Share

BAB 2 - Melarikan Diri

Author: W_udin
last update Last Updated: 2025-01-17 13:01:47

Adzan subuh berkumandang dengan merdu di mushola sebelah rumah Purnomo.

Lelaki berkumis tipis itu sudah bangun sepuluh menit sebelum adzan berkumandang. Sudah siap dengan baju koko dan sarungnya.

Setelah adzan usai, dia pun langsung melangkahkan kakinya menuju mushola untuk ikut salat subuh berjamaah. Rutinitas Purnomo setiap pagi. Dia berusaha untuk tidak absen untuk ikut salat berjamaah di mushola.

“Segar kali pagi-pagi gini sudah keramas. Macam punya istri saja,” ledek salah satu tetangganya saat melihat rambut Purnomo yang sedikit ikal itu basah klimis.

Dia memang menyempatkan mandi sebelum berangkat ke masjid. Namun, tidak selalu keramas.

“Ya Allah, gini amat nasib jomlo,” keluhnya sambil menepuk keningnya pelan. Lalu berjalan mendahului tetangganya yang tertawa.

Jahat sekali ....

Usai salat, Purnomo menyempatkan diri membaca Al-Qur'an beberapa lembar. Kemudian olahraga rutin angkat beban dan push-up selama tiga puluh menit.

Setelah keringat hilang, baru dia mandi dan sarapan di meja makan bersama dengan ibu dan adiknya yang sudah bersiap untuk berangkat kerja di salah satu rumah sakit yang ada di Jogjakarta.

“Mas, jangan lupa, ya!” katanya mengingatkan sang Kakak untuk permintaannya yang selalu harus dituruti.

“Apa?” jawab Purnomo dengan santai. Meski dia tahu arah pembicaraan adiknya ke mana.

“Bu, Mas Pur nih pura-pura lupa,” rengek Bintang yang mengacu pada ibunya.

“Ibu yakin kalau Mas kamu itu nggak akan lupa kok, Nduk. Tenang saja,” sahut sang Ibu sambil mengusap punggung tangan Bintang.

“Belain aja terooossss!” balasnya setelah menghabiskan suapan terakhirnya. Minum hingga tandas. Setelahnya dia bangkit dari kursinya dan menuju kamarnya seperti biasa.

“Tuh kan, Bu. Mas Pur selalu saja begitu,” rajuknya sambil menekuk wajahnya.

“Udah. Makan dulu habiskan. Mas kamu biar jadi urusan Ibu,” katanya berusaha menenangkan anak bungsunya.

Purnomo hanya bisa mengembuskan napas kasar sambil menyugar rambutnya usai menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Kemudian duduk di depan laptopnya yang sudah terbuka, tapi belum dihidupkan.

“Gini amat nasib jadi anak pertama. Harus jadi contoh yang baik, harus memperlakukan adik dengan baik. Harus ngalah sama adik. Apa-apa adik, apa-apa adik. Lalu kapan giliranku? Kapan orang-orang bisa memahamiku?”

Purnomo ngedumel sendiri sambil mengeluarkan unek-unek yang ada di dalam hatinya. Mengendap sudah cukup lama. Namun tidak ada yang tahu.

“Dikira menikah itu gampang apa? Cari istri selama tiga bulan? Emang bayar angsuran? Aneh!”

Suara ketukan di pintu kamarnya membuat Purnomo menoleh dan mengembuskan napas kasar.

“Pur, buka sebentar. Ibu mau bicara,” pinta Ningsih.

“Iya, sebentar.”

Dengan berat hati, Purnomo bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati pintu. Kemudian membukanya.

“Ibu mau bicara,” katanya dengan lembut.

“Masuk, Bu!” Lelaki berkumis tipis itu membuka pintu lebih lebar. Mempersilakan ibunya masuk. Lalu sama-sama duduk di tepian tempat tidur.

“Le, kamu sayang kan sama adik kamu?” tanya Ningsih sambil menepuk bahu anak sulungnya. Menatapnya lekat.

“Iya, Bu,” jawabnya dengan menganggukkan kepala yang tertunduk.

“Le, Ibu seperti ini bukan berarti nggak sayang sama kamu. Justru karena Ibu sayang. Ibu menghormati kamu sebagai anak pertama. Apalagi laki-laki. Ibu ingin kamu menikah lebih dulu. Biar ada yang mengurus semua kebutuhan kamu.”

Ningsih menjeda kalimatnya. Ditariknya napas dalam-dalam. Ditatapnya Purnomo yang merupakan anak kebanggaannya.

“Ibu ini sudah tua. Sudah nggak sehebat dulu buat jagain kalian. Apalagi Ibu sendiri. Bapak kalian sudah nggak ada.”

Ningsih mulai terisak. Dia selalu seperti itu jika mengingat almarhum suaminya yang meninggal dua puluh tahun yang lalu.

Perempuan paruh baya itu membesarkan kedua anaknya seorang diri tanpa bantuan suaminya. Kerja banting tulang untuk mencukupi kebutuhannya juga kedua anaknya.

“Bu ….”

Purnomo mengangkat wajah dan menatap ibunya yang kini menangis mengingat suami yang begitu dicintainya.

“Ibu hanya ingin melihat kamu menikah, Le. Ibu takut nggak bisa melihat keluarga kecil kamu. Nggak bisa lihat cucu-cucu ibu,” isaknya lagi sambil mengusap wajahnya.

“Jangan bicara seperti itu, Bu.” Purnomo menghembuskan napas panjang. Dia paling tidak tega jika sudah melihat wanita yang paling dicintainya menangis seperti ini. Kelemahannya adalah tidak bisa melihat wanita yang dicintainya menangis.

“Pur juga ingin menikah, Bu. Tapi bukan dalam waktu dekat ini. Karena … jodohnya saja belum kelihatan,” lirihnya sambil kembali menundukkan kepala.

“Jodoh itu dicari, Pur. Dikejar. Kamu nggak bisa kalau cuma duduk manis menunggu. Laki-laki itu mencari dan mengejar, bukan menunggu.”

Lagi. Lelaki berkumis tipis itu hanya menghembuskan napas panjang.

Mencari?

Mengejar?

Perempuan mana yang akan dia cari dan dia kejar jika di hatinya saja masih tersimpan rapi satu nama yang begitu sulit dia lupakan. Bahkan mungkin hatinya telah mati rasa pada perempuan lain.

“Cobalah membuka hati, Pur. Kasihan adik kamu kalau sampai batal menikah.” Ningsih kembali mengingatkan.

“Nikahkanlah Bintang dulu, Bu. Pur nggak papa kok dilangkahi,” katanya pelan.

“Pur, kamu tahu kan tradisi di dalam keluarga kita? Anak pertama tidak boleh dilangkahi. Ibu nggak setuju kalau Bintang menikah lebih dulu dibanding kamu.” Ningsih menatap putranya sungguh-sungguh.

“Ayolah, Pur. Ibu akan tetap menunggu kamu membawa calon istri dalam waktu tiga bulan. Kasihan kalau sampai Bintang jadi perawan tua juga seperti kamu yang nggak nikah-nikah. Karena dia perempuan,” paparnya dengan kalimat terakhir yang begitu menusuk relung hati Purnomo.

Tak ada pilihan lain selain memberikan jawabannya dengan anggukan kepala hingga perempuan paruh baya itu diam dan akhirnya pergi meninggalkan kamar putra sulungnya.

“Hahhhh … Ya Allah … gimana coba cari jodoh dalam waktu tiga bulan? Rasa-rasanya kayak dikejar debtcolector yang lagi nagih hutang!” desisnya sambil memegangi kepalanya yang rasanya hampir meledak setiap kali ditekan untuk segera menikah. Padahal calon saja belum punya.

***

Jenuh dengan rentetan pertanyaan kapan nikah. Purnomo pun mengemasi beberapa peralatan mendakinya, seperti tenda, sleeping bag, alat masak beserta tabung gas portable, jaket gunung, baju ganti, alat salat, dan logistic yang harus dipersiapkan selama beberapa hari di gunung.

Tujuannya kini adalah Gunung Sindoro yang ada diantara dua kabupaten, yaitu Kabupaten Temanggung dan Wonosobo.

Dengan mengendarai motor trailnya, Purnomo melaju dengan kecepatan sedang menuju arah Temanggung. Dia akan naik Gunung Sindoro melalui jalur Kledung yang mudah dicapai karena letaknya berada di dekat jalan utama.

Menempuh waktu dua jam setengah dari Sleman menuju Temanggung, Purnomo pun akhirnya sampai di basecamp pendakian Gunung Sindoro via Kledung pada pukul lima sore.

Sebenarnya bisa ditempuh dalam waktu dua jam saja perjalanan. Namun tadi sempat hujan di jalan. Sehingga Purnomo memutuskan untuk berteduh sejenak sambil mengisi perut yang terasa keroncongan saat di Magelang.

Setibanya di basecamp, dia pun langsung menuju loket pendaftaran dan mengisi beberapa chek list.

“Berapa orang, Mas?” tanya petugas basecamp.

“Satu orang, Mas. Sendirian saja,” katanya dengan percaya diri.

Purnomo sudah dua kali mendaki Gunung Sindoro, namun itu sudah lama. Sekitar lima tahun yang lalu. Dia memang suka mendaki gunung, tapi menolak disebut pendaki. Hanya seorang penikmat alam.

“Maaf, Mas. Sekarang aturannya tidak boleh mendaki sendirian. Kalau mau, nanti Mas gabung saja sama pendaki lain yang mau naik,” kata petugas basecamp.

Namun, ini sudah sore. Basecamp pun sepi dan hanya ada dia yang akan naik di jam itu. Ada beberapa pendaki di basecamp, tapi mereka rata-rata sudah turun dan sedang istirahat.

Yah … gimana ini? Sudah jauh-jauh ke sini mau naik gunung. Masa nggak jadi?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Cinta atau Cita-cita

    Malam beranjak naik. Ummi Rahmah diantar pulang ke hotel oleh Wulan dan Purnomo. Sebenarnya, Wulan ingin Ummi Rahmah menginap di rumahnya saja agar bisa ngobrol banyak dan mengakrabkan diri. Namun, Ummi Rahmah menolak. Merasa tak enak hati. "Ummi, nginap saja di rumah," ujar Wulan menatap penuh harap. "Insyallah kapan-kapan saja kalau Ara sudah di rumah. Sebenarnya juga pengin temenin mantu di rumah sakit. Tapi biar saja ada suaminya," kekehnya. "Iya, Mi. Biar mereka makin dekat," sahut Wulan. Purnomo sendiri yang sibuk dengan setirnya hanya tersenyum mendengar obrolan mereka. Hingga tiba di depan lobby hotel, Ummi Rahmah turun dan Wulan juga Purnomo pamit menuju rumahnya. Ara sendiri dijaga oleh Galaxy juga Hafifi. Dia diharuskan menginap satu malam untuk memantau perkembangannya. "Permisi, mau antar makan malam." Seorang pramusaji rumah sakit masuk mendorong troli berisi makanan dan obat untuk Ara. Lalu meletakkan makanannya di meja. "Terima kasih, Bu."

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Keputusan Hafifi

    "Assalamualaikum, Ma?" ["Wa'alaikumsalam. Hafifi sudah di situ, Nak? Mama sudah sampai di parkiran. Kamu di ruangan mana?"] "Lantai tiga, Ma. Ruang Bugenvil nomor dua." ["Ya udah. Mama sama ayah ke sana sekarang, ya."] "Iya, Ma. Di sini juga ada ibunya Hafifi," katanya sambil menatap perempuan itu yang mengangguk dengan senyum tipis. ["MaasyaAllah ... ya sudah. Mama sudah masuk lift. Telepon Mama matiin, ya."] "Iya, Ma. Hati-hati." Ara mematikan panggilan teleponnya. Lalu menatap Ummi Rahmah yang juga menatapnya. "Mama saya sebentar lagi sampai, Mi," katanya memberitahu. "Alhamdulillah, nggak sabar ketemu besan," sahutnya dengan antusias. Meski sudah berusia empat puluh delapan tahun, ibunya Hafifi ini memang modis dan masih terlihat awet muda. Bahkan kecantikannya hampir sama dengan ibunya Ara yang usianya lima tahun di bawah Ummi Rahmah. Ibunya Hafifi seorang dosen juga ustadzah yang mengajar di pesantren miliknya sendiri. Jadwalnya padat dan sibuk. Sehingg

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Kehadiran Ummi Rahmah

    "Tidak, Lettu. Tidak apa," jawab Ara sedikit gugup. Namun, dia berhasil menguasai diri. "Terima kasih untuk bantuannya tadi," katanya mengangguk sopan. "Iya. Jangan terima kasih terus. Saya akan selalu usahakan ada buat Serda Ara sebelum orang tua Serda Ara datang," katanya dengan senyum tulus. "Emm ... saya rasa tidak perlu. Karena di sini sudah ada saya. Jadi, biar saya yang akan mengurusi keperluan is ... emmm ... Ara," timpal Hafifi begitu posesif menjaga istrinya. Ara menatap lelaki itu dengan kening berkerut. Merasa heran dengan sikap Hafifi yang menurutnya berlebihan. "Oh, begitu. Ya sudah. Kalau begitu saya pamit, ya, Serda Ara. Kalau butuh apa-apa hubungi saya saja. Saya akan usahakan," katanya lagi sebelum digiring keluar ruang rawat Ara oleh Hafifi. "Ah, ya. Terima kasih banyak." Hafifi yang menimpali. Kemudian menutup pintu dan menutupnya rapat-rapat setelah Lettu Arhan benar-benar pergi. "Kamu nggak seharusnya bersikap seperti itu sama Lettu Arhan. Dia itu ata

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Bertemu Ara

    Kata-kata yang keluar dari mulut Hafifi masih terus terbayang di benak Ara. Pikirannya terus berputar. 'Bagaimana bisa dia berpikir akan melanjutkan pernikahan ini? Sedangkan aku menolak keras. Aku masih ingin berkarir di dunia militer tanpa terikat pernikahan dulu. Masih banyak hal yang ingin aku lakukan untuk bisa membanggakan almarhum Papa.' Ara berusaha untuk fokus saat latihan bela diri. Namun, bayang-bayang wajah Hafifi terus menghantuinya. Hingga saat lawan menyerang, Ara yang tak siap terjatuh dengan tangan sebagai tumpuan. Gadis itu mengerang menahan rasa sakit di tangan kanannya. "Arggghhh!" Dia memejamkan kedua matanya. Berusaha menahan sakit yang menjalar dari siku hingga jai-jemarinya. "Astaga, Ara! Maaf, ya." Temannya langsung membantu berdiri sambil terus mengucapkan kata maaf karena dia tadi yang menyerangnya. "Bawa ke klinik sekarang!" titah pelatih dengan raut wajah cemas. Namun, tetap berusaha tegas dan tenang. "Tanganku sakit banget." Ara merasa

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Kejutan

    "Masih proses ta'aruf kan, Mi. Masih bisa dibatalkan kok. Lagian belum sampai pada tahap nadzor. Kita bisa bicarakan ini baik-baik melalui Pakde Hasan. Sebagai perwakilan keluarga kita," terangnya mencoba menenangkan ibunya. "Iya juga sih. Tapi tetap tidak enak hati sama Pak Yai dan Bu Nyai." "Ya, mau bagaimana lagi, Mi? Ara yang sekarang sudah sah menjadi istriku lebih pantas aku perjuangkan daripada Hasna." Ummi Rahmah mengembuskan napas panjang. Pasrah dengan keputusan yang diambil putranya. "Ya sudah kalau memang kamu sudah yakin dengan pilihan kamu, Nak. Kamu sudah tahu mana yang terbaik. Semoga Allah melimpahkan keberkahan pada pernikahan kalian," katanya dengan lembut. Hafifi mengaminkan doa sang ibu dengan seulas senyum. Hatinya lega karena sudah mendapat restu dari sang ibu tercinta. "Mana coba Ummi lihat foto menantu Ummi? Penasaran," pintanya. Hafifi menutup seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Kenapa?" Ummi Rahmah menatap dengan kening be

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Pulang ke Jombang

    "Taipur?" gumam Ara saat dia sudah berada di dalam kamar nyamannya. Dia sudah pulang ke rumah dan mandi agar tubuh lelahnya terasa sedikit segar. Taipur? Tawaran atasannya tadi masih terngiang-ngiang dalam benaknya. Sebenarnya bisa saja, apalagi dia ditawari langsung oleh atasannya. Tinggal kemauannya saja untuk ikut daftar dan mengikuti pendidikan selama tujuh bulan. Tapi bagaimana dengan pernikahannya dengan Hafifi? Ara mengembuskan napas panjang. Lalu memilih merebahkan tubuh lelahnya. Menutup kedua matanya dengan napas teratur. Mencoba terlelap, tapi pikirannya masih melalang buana. Hingga dering ponsel yang menandakan pesan masuk mengusik waktu istirahatnya. Dengan gerak malas, tangan Ara meraih ponsel yang ada di atas nakas. Kedua matanya langsung membelalak membaca pesan masuk dari nomor tak dikenal. Dia langsung mengubah posisinya menjadi duduk dengan punggung tegap. [Istriku, ini nomor suamimu. Tolong disimpan, ya.] [Suamimu, Muhammad Hafifi.] "Ya Allah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status