Purnomo diberi waktu tiga bulan oleh sang Ibu untuk mencari istri agar adiknya bisa segera menikah. Karena aturan yang berlaku di keluarganya, anak pertama tidak boleh dilangkahi. "Kalau dalam waktu tiga bulan belum juga menemukan wanita pilihanmu, maka kamu harus siap menerima perjodohanmu dengan Shela." "Usia kamu sudah mau tiga puluh. Masa belum menikah juga. Kasihan adik kamu yang sudah mau dilamar orang. Jangan sampai dia jadi perawan tua gara-gara nunggu kamu nikah duluan, Pur!" "Bu, menikah itu mudah. Jangan persulit dengan aturan-aturan yang tidak ada dalam agama. Aku ikhlas dilangkahi kalau memang jodoh Bintang datang lebih dulu dari aku. "Lagian, aku sudah memiliki pilihan sendiri." "Sadar, Pur! Wulan itu masih istri orang. Istri seorang tentara. Jangan macam-macam atau nanti kamu ditembak gara-gara mengganggu istrinya?" "Ikhlaskan dia dan terima perjodohanmu dengan Shela!" Akankah Purnomo menuruti permintaan sang Ibu untuk melupakan Wulan yang namanya terukir di lubuk hatinya dan menerima perjodohannya dengan Shela? Atau malah memilih menutup hati dan tidak memilih wanita mana pun untuk menjadi istrinya? Simak terus kisah Purnomo, Wulan, dan Langit dalam novel Dipaksa Nikah.
Voir plus"Mas, ayo dong nikah!"
Seketika itu Purnomo menyemburkan kopi panas yang baru saja dia sesap saat tiba-tiba saja mendengar seruan yang tak asing lagi baginya. Tatapannya tertuju pada perempuan berseragam serba putih yang kini berdiri di hadapannya dengan wajahnya yang ditekuk. "Masuk rumah itu ngucapin salam, Dek! Bukan malah nyuruh nikah!" tegurnya sambil memutar bola matanya. Merasa jengah tiap kali sang Adik menyuruhnya untuk menikah. "Ayo nikah, Mas! Aku tuh udah dua puluh lima tahun. Pacar aku udah ngajakin nikah terus. Kalau nggak mau, dia bakal putusin aku," jelasnya panjang lebar. "Ya udah sih, putus aja. Lagian kayak laki-laki cuma dia aja. Masih banyak laki-laki baik di dunia ini, Bintang!" "Enak aja! Aku nggak mau putus sama dia, Mas. Aku tuh cinta sama dia." "Cinta itu bulshit!" tegasnya. Perempuan yang rambutnya dicepol itu mengembuskan napasnya dengan kasar. Menatap kakaknya dengan jengah. "Mas tuh mau sampai kapan sih begini terus? Umur udah tiga puluh tahun lho. Tapi nggak nikah-nikah." Purnomo meletakkan cangkir berisi kopi yang belum sempat diteguknya itu kembali ke meja bundar yang ada di sampingnya. "Nikah itu nggak seindah yang kamu bayangkan, Dek!" "Halahhh ... kayak udah pernah ngerasain aja. Pacar aja nggak punya," cibirnya sambil menghempaskan bobot tubuhnya di kursi sebelah meja yang masih kosong. Kemudian tangannya menyomot kacang kulit yang tergeletak di atas meja. Purnomo hanya berdecak mendengar ocehan dari mulut adiknya itu. "Kamu nggak tahu aja. Perempuan itu kan yang dipikirkan romansanya saja," sahutnya. "Lagian menikah itu kan nggak harus pacaran dulu. Mas nanti kalau sudah ketemu yang pas ya mau langsung nikah saja. Pacaran setelah menikah." "Ya udah buruan. Atau ... aku cariin jodoh buat Mas Purnomo deh." Bintang menatap kakaknya dengan serius. Meski mulutnya masih asik mengunyah kacang yang sudah dia buka kulitnya itu. "Hadeehhh ... nggak usah ribetlah, Dek." Purnomo memutar bola matanya. Lalu kembali mengambil cangkir kopinya dan menyesapnya perlahan. "Terus aku gimana, Mas?" rengeknya. "Ya kamu kalau mau nikah, nikah aja. Nggak usah nunggu Mas nikah dulu." "Tapi ... Ibu pasti nggak akan setuju kalau Mas aku langkahi." "Jodoh itu nggak ada yang tahu, Bintang. Kalau misalkan jodoh kamu datang lebih cepat dari Mas ya kamu nikah duluan aja. Nanti biar Mas yang ngomong sama Ibu." "Tapi ... aku nggak yakin." Bintang mengembuskan napasnya sedikit kasar. Lalu menyandarkan punggung lelahnya pada sandaran kursi rotan di teras rumahnya. "Kenapa?" Purnomo menatap adiknya dengan kening berkerut. "Mas tahu sendiri kan bagaimana teguhnya pendirian Ibu? Tradisi tetap tradisi. Aturan tetap aturan yang nggak boleh dilanggar!" tegasnya meng-copy paste omelan ibunya saat ada salah satu anaknya yang melanggar aturan yang ada di keluarga tersebut. "Insyaallah bisa." Purnomo berusaha meyakinkan adik satu-satunya itu. "Aku nggak mau tahu deh, Mas. Pokoknya, sebelum Mas Rio berangkat tugas ke luar pulau, Mas Pur sudah harus nikah. Titik!" Bintang bangkit dari duduknya dan bergegas masuk ke dalam kamarnya dengan langkah sedikit dihentakkan. Lagi. Lelaki berkumis tipis itu hanya bisa mengembuskan napas panjang. Dia menyugar rambutnya dengan kasar. Pertanyaan "Kapan nikah?" atau perintah "Ayo dong nikah!" seolah menjadi bom waktu baginya. Sebenarnya dia sudah jengah mendengar kata-kata itu. Telinganya sudah tebal jika yang berbicara adalah orang lain. Namun, jika yang berbicara adalah adiknya, seolah menjadi beban tersendiri untuknya. Purnomo tak masalah jika dia dilangkahi oleh adiknya. Namun, Ibunya pasti menolak karena aturannya yang tua harus menikah terlebih dulu. Itu aturan baku dan tidak boleh dilanggar. Katanya pamali. Usianya lima bulan lagi menginjak angka tiga puluh satu tahun. Namun sampai saat ini belum memiliki pasangan. Jangankan gebetan, mantan saja dia hanya punya satu. Dan namanya masih melekat di hatinya. Pikirannya kini kembali berkelana pada masa putih abu-abu. Masa paling indah sepanjang sejarah percintaannya. Di saat dia melabuhkan cinta pertamanya pada seorang perempuan yang memiliki senyum seindah rembulan. “Pur, itu adikmu kenapa pulang kerja begitu?” Lamunan Purnomo buyar seketika saat mendengar suara yang tak asing lagi baginya. Siapa lagi jika bukan Ningsih, perempuan yang sudah melahirkannya itu. Laki-laki itu membuang napas secara kasar. Lalu menoleh pada ibunya dan mengangkat kedua bahunya. Dia sebenarnya enggan menjelaskan, tapi tidak sopan rasanya jika ditanya oleh orang tua hanya seperti itu. “Pacarnya ngajak nikah katanya, Buk.” “Itu berarti warning buat kamu biar segera nikah, Pur!” Ningsih langsung mencecarnya. Menyudutkannya untuk segera menikah. “Buk, Bintang yang diajak nikah kok malah jadi warning buat aku?” Purnomo menatap ibunya dengan kening berkerut. Perempuan yang usianya sudah berkepala lima itu lantas duduk di dekat anak sulungnya dan menepuk bahunya. “Kamu tahu kan aturan di rumah ini?” Ningsih bertanya balik. “Buk, hapuskanlah itu. Datangnya jodoh itu nggak ada yang tahu. Mungkin saja jodohnya Bintang datang lebih cepat daripada aku.” “Kamu aja yang males dan nggak mau usaha, Pur,” sahutnya dengan lirikan sinis. Membuat Purnomo sedikit kesusahan menelan salivanya. Ekspresi wajah Ningsih seperti ini yang membuat nyali Purnomo ciut. Itu artinya, sang ibu tengah kecewa ppadanya. Jika sudah seperti ini, Purnomo akan diam tertunduk dan tidak lagi menyahut. Percuma. Karena tidak akan didengarkan. “Ayolah, Pur. Usia kamu itu sudah berkepala tiga. Memangnya kamu nggak pengin kayak teman-teman kamu itu yang udah gandeng istri dan gendong anak?” Ya pengin, Buk. Tapi mungkin ini belum waktunya. Purnomo hanya bisa menjawab dalam hati. “Pokoknya Ibu nggak mau tahu, Ibu kasih kamu waktu selama tiga bulan dan kamu harus sudah punya calon istri. Jadi nanti kalian menikah sebelum Bintang menikah!” Seketika itu Purnomo mengakat wajahnya, melebarkan kedua matanya. Dia menatap ibunya seolah tak percaya. Dikira cari jodoh itu kayak cari kacang godok kali, Buk? Lagian kenapa jadi perintahnya sama kayak Bintang sih? Purnomo menghembuskan napas kasar sambil mengacak-acak rambutnya yang sedikit gondrong saat ibunya kembali masuk ke dalam rumah dan membujuk Bintang yang menangis di kamarnya. “Nasib jadi anak pertama!” keluhnya sambil kembali membuang napas kasar. Jengah. Dia pun akhirnya pergi dan berniat ke rumah temannya. Namun, saat di jalan, dia berpapasan dengan salah satu teman saat masih duduk di Sekolah Dasar yang sudah begitu lama tidak bertemu. “Lho, Purnomo, ya?” tanyanya sambil menatap Purnomo yang menatapnya dengan kening berkerut. “Eko?” balas Purnomo. “Iya. Ya Allah... mau ke mana? Kok sendirian aja? Udah nikah belum?” Lelaki berkumis tipis itu dengan susah payah menelan salivanya saat kembali disudutkan dengan pertanyaan yang sama. Sudah nikah belum? Kapan nikah? Kenapa kok belum nikah? Ingin rasanya Purnomo menghilang dari planet Bumi demi menghindari pertanyaan seperti itu yang membuat kepalanya berdenyut.Malam beranjak naik. Ummi Rahmah diantar pulang ke hotel oleh Wulan dan Purnomo. Sebenarnya, Wulan ingin Ummi Rahmah menginap di rumahnya saja agar bisa ngobrol banyak dan mengakrabkan diri. Namun, Ummi Rahmah menolak. Merasa tak enak hati. "Ummi, nginap saja di rumah," ujar Wulan menatap penuh harap. "Insyallah kapan-kapan saja kalau Ara sudah di rumah. Sebenarnya juga pengin temenin mantu di rumah sakit. Tapi biar saja ada suaminya," kekehnya. "Iya, Mi. Biar mereka makin dekat," sahut Wulan. Purnomo sendiri yang sibuk dengan setirnya hanya tersenyum mendengar obrolan mereka. Hingga tiba di depan lobby hotel, Ummi Rahmah turun dan Wulan juga Purnomo pamit menuju rumahnya. Ara sendiri dijaga oleh Galaxy juga Hafifi. Dia diharuskan menginap satu malam untuk memantau perkembangannya. "Permisi, mau antar makan malam." Seorang pramusaji rumah sakit masuk mendorong troli berisi makanan dan obat untuk Ara. Lalu meletakkan makanannya di meja. "Terima kasih, Bu."
"Assalamualaikum, Ma?" ["Wa'alaikumsalam. Hafifi sudah di situ, Nak? Mama sudah sampai di parkiran. Kamu di ruangan mana?"] "Lantai tiga, Ma. Ruang Bugenvil nomor dua." ["Ya udah. Mama sama ayah ke sana sekarang, ya."] "Iya, Ma. Di sini juga ada ibunya Hafifi," katanya sambil menatap perempuan itu yang mengangguk dengan senyum tipis. ["MaasyaAllah ... ya sudah. Mama sudah masuk lift. Telepon Mama matiin, ya."] "Iya, Ma. Hati-hati." Ara mematikan panggilan teleponnya. Lalu menatap Ummi Rahmah yang juga menatapnya. "Mama saya sebentar lagi sampai, Mi," katanya memberitahu. "Alhamdulillah, nggak sabar ketemu besan," sahutnya dengan antusias. Meski sudah berusia empat puluh delapan tahun, ibunya Hafifi ini memang modis dan masih terlihat awet muda. Bahkan kecantikannya hampir sama dengan ibunya Ara yang usianya lima tahun di bawah Ummi Rahmah. Ibunya Hafifi seorang dosen juga ustadzah yang mengajar di pesantren miliknya sendiri. Jadwalnya padat dan sibuk. Sehingg
"Tidak, Lettu. Tidak apa," jawab Ara sedikit gugup. Namun, dia berhasil menguasai diri. "Terima kasih untuk bantuannya tadi," katanya mengangguk sopan. "Iya. Jangan terima kasih terus. Saya akan selalu usahakan ada buat Serda Ara sebelum orang tua Serda Ara datang," katanya dengan senyum tulus. "Emm ... saya rasa tidak perlu. Karena di sini sudah ada saya. Jadi, biar saya yang akan mengurusi keperluan is ... emmm ... Ara," timpal Hafifi begitu posesif menjaga istrinya. Ara menatap lelaki itu dengan kening berkerut. Merasa heran dengan sikap Hafifi yang menurutnya berlebihan. "Oh, begitu. Ya sudah. Kalau begitu saya pamit, ya, Serda Ara. Kalau butuh apa-apa hubungi saya saja. Saya akan usahakan," katanya lagi sebelum digiring keluar ruang rawat Ara oleh Hafifi. "Ah, ya. Terima kasih banyak." Hafifi yang menimpali. Kemudian menutup pintu dan menutupnya rapat-rapat setelah Lettu Arhan benar-benar pergi. "Kamu nggak seharusnya bersikap seperti itu sama Lettu Arhan. Dia itu ata
Kata-kata yang keluar dari mulut Hafifi masih terus terbayang di benak Ara. Pikirannya terus berputar. 'Bagaimana bisa dia berpikir akan melanjutkan pernikahan ini? Sedangkan aku menolak keras. Aku masih ingin berkarir di dunia militer tanpa terikat pernikahan dulu. Masih banyak hal yang ingin aku lakukan untuk bisa membanggakan almarhum Papa.' Ara berusaha untuk fokus saat latihan bela diri. Namun, bayang-bayang wajah Hafifi terus menghantuinya. Hingga saat lawan menyerang, Ara yang tak siap terjatuh dengan tangan sebagai tumpuan. Gadis itu mengerang menahan rasa sakit di tangan kanannya. "Arggghhh!" Dia memejamkan kedua matanya. Berusaha menahan sakit yang menjalar dari siku hingga jai-jemarinya. "Astaga, Ara! Maaf, ya." Temannya langsung membantu berdiri sambil terus mengucapkan kata maaf karena dia tadi yang menyerangnya. "Bawa ke klinik sekarang!" titah pelatih dengan raut wajah cemas. Namun, tetap berusaha tegas dan tenang. "Tanganku sakit banget." Ara merasa
"Masih proses ta'aruf kan, Mi. Masih bisa dibatalkan kok. Lagian belum sampai pada tahap nadzor. Kita bisa bicarakan ini baik-baik melalui Pakde Hasan. Sebagai perwakilan keluarga kita," terangnya mencoba menenangkan ibunya. "Iya juga sih. Tapi tetap tidak enak hati sama Pak Yai dan Bu Nyai." "Ya, mau bagaimana lagi, Mi? Ara yang sekarang sudah sah menjadi istriku lebih pantas aku perjuangkan daripada Hasna." Ummi Rahmah mengembuskan napas panjang. Pasrah dengan keputusan yang diambil putranya. "Ya sudah kalau memang kamu sudah yakin dengan pilihan kamu, Nak. Kamu sudah tahu mana yang terbaik. Semoga Allah melimpahkan keberkahan pada pernikahan kalian," katanya dengan lembut. Hafifi mengaminkan doa sang ibu dengan seulas senyum. Hatinya lega karena sudah mendapat restu dari sang ibu tercinta. "Mana coba Ummi lihat foto menantu Ummi? Penasaran," pintanya. Hafifi menutup seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Kenapa?" Ummi Rahmah menatap dengan kening be
"Taipur?" gumam Ara saat dia sudah berada di dalam kamar nyamannya. Dia sudah pulang ke rumah dan mandi agar tubuh lelahnya terasa sedikit segar. Taipur? Tawaran atasannya tadi masih terngiang-ngiang dalam benaknya. Sebenarnya bisa saja, apalagi dia ditawari langsung oleh atasannya. Tinggal kemauannya saja untuk ikut daftar dan mengikuti pendidikan selama tujuh bulan. Tapi bagaimana dengan pernikahannya dengan Hafifi? Ara mengembuskan napas panjang. Lalu memilih merebahkan tubuh lelahnya. Menutup kedua matanya dengan napas teratur. Mencoba terlelap, tapi pikirannya masih melalang buana. Hingga dering ponsel yang menandakan pesan masuk mengusik waktu istirahatnya. Dengan gerak malas, tangan Ara meraih ponsel yang ada di atas nakas. Kedua matanya langsung membelalak membaca pesan masuk dari nomor tak dikenal. Dia langsung mengubah posisinya menjadi duduk dengan punggung tegap. [Istriku, ini nomor suamimu. Tolong disimpan, ya.] [Suamimu, Muhammad Hafifi.] "Ya Allah
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Commentaires