Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)

Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)

last updateDernière mise à jour : 2025-03-21
Par:  W_udinEn cours
Langue: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
1 Note. 1 commentaire
67Chapitres
326Vues
Lire
Ajouter dans ma bibliothèque

Share:  

Report
Overview
Catalog
Scanner le code pour lire sur l'application

Purnomo diberi waktu tiga bulan oleh sang Ibu untuk mencari istri agar adiknya bisa segera menikah. Karena aturan yang berlaku di keluarganya, anak pertama tidak boleh dilangkahi. "Kalau dalam waktu tiga bulan belum juga menemukan wanita pilihanmu, maka kamu harus siap menerima perjodohanmu dengan Shela." "Usia kamu sudah mau tiga puluh. Masa belum menikah juga. Kasihan adik kamu yang sudah mau dilamar orang. Jangan sampai dia jadi perawan tua gara-gara nunggu kamu nikah duluan, Pur!" "Bu, menikah itu mudah. Jangan persulit dengan aturan-aturan yang tidak ada dalam agama. Aku ikhlas dilangkahi kalau memang jodoh Bintang datang lebih dulu dari aku. "Lagian, aku sudah memiliki pilihan sendiri." "Sadar, Pur! Wulan itu masih istri orang. Istri seorang tentara. Jangan macam-macam atau nanti kamu ditembak gara-gara mengganggu istrinya?" "Ikhlaskan dia dan terima perjodohanmu dengan Shela!" Akankah Purnomo menuruti permintaan sang Ibu untuk melupakan Wulan yang namanya terukir di lubuk hatinya dan menerima perjodohannya dengan Shela? Atau malah memilih menutup hati dan tidak memilih wanita mana pun untuk menjadi istrinya? Simak terus kisah Purnomo, Wulan, dan Langit dalam novel Dipaksa Nikah.

Voir plus

Chapitre 1

BAB 1 - Dipaksa Nikah

"Mas, ayo dong nikah!"

Seketika itu Purnomo menyemburkan kopi panas yang baru saja dia sesap saat tiba-tiba saja mendengar seruan yang tak asing lagi baginya. Tatapannya tertuju pada perempuan berseragam serba putih yang kini berdiri di hadapannya dengan wajahnya yang ditekuk. 

"Masuk rumah itu ngucapin salam, Dek! Bukan malah nyuruh nikah!" tegurnya sambil memutar bola matanya. Merasa jengah tiap kali sang Adik menyuruhnya untuk menikah. 

"Ayo nikah, Mas! Aku tuh udah dua puluh lima tahun. Pacar aku udah ngajakin nikah terus. Kalau nggak mau, dia bakal putusin aku," jelasnya panjang lebar. 

"Ya udah sih, putus aja. Lagian kayak laki-laki cuma dia aja. Masih banyak laki-laki baik di dunia ini, Bintang!"

"Enak aja! Aku nggak mau putus sama dia, Mas. Aku tuh cinta sama dia."

"Cinta itu bulshit!" tegasnya. 

Perempuan yang rambutnya dicepol itu mengembuskan napasnya dengan kasar. Menatap kakaknya dengan jengah. 

"Mas tuh mau sampai kapan sih begini terus? Umur udah tiga puluh tahun lho. Tapi nggak nikah-nikah."

Purnomo meletakkan cangkir berisi kopi yang belum sempat diteguknya itu kembali ke meja bundar yang ada di sampingnya. 

"Nikah itu nggak seindah yang kamu bayangkan, Dek!"

"Halahhh ... kayak udah pernah ngerasain aja. Pacar aja nggak punya," cibirnya sambil menghempaskan bobot tubuhnya di kursi sebelah meja yang masih kosong. Kemudian tangannya menyomot kacang kulit yang tergeletak di atas meja. 

Purnomo hanya berdecak mendengar ocehan dari mulut adiknya itu. 

"Kamu nggak tahu aja. Perempuan itu kan yang dipikirkan romansanya saja," sahutnya. "Lagian menikah itu kan nggak harus pacaran dulu. Mas nanti kalau sudah ketemu yang pas ya mau langsung nikah saja. Pacaran setelah menikah."

"Ya udah buruan. Atau ... aku cariin jodoh buat Mas Purnomo deh." Bintang menatap kakaknya dengan serius. Meski mulutnya masih asik mengunyah kacang yang sudah dia buka kulitnya itu. 

"Hadeehhh ... nggak usah ribetlah, Dek." Purnomo memutar bola matanya. Lalu kembali mengambil cangkir kopinya dan menyesapnya perlahan. 

"Terus aku gimana, Mas?" rengeknya.

"Ya kamu kalau mau nikah, nikah aja. Nggak usah nunggu Mas nikah dulu." 

"Tapi ... Ibu pasti nggak akan setuju kalau Mas aku langkahi."

"Jodoh itu nggak ada yang tahu, Bintang. Kalau misalkan jodoh kamu datang lebih cepat dari Mas ya kamu nikah duluan aja. Nanti biar Mas yang ngomong sama Ibu."

"Tapi ... aku nggak yakin." Bintang mengembuskan napasnya sedikit kasar. Lalu menyandarkan punggung lelahnya pada sandaran kursi rotan di teras rumahnya. 

"Kenapa?" Purnomo menatap adiknya dengan kening berkerut. 

"Mas tahu sendiri kan bagaimana teguhnya pendirian Ibu? Tradisi tetap tradisi. Aturan tetap aturan yang nggak boleh dilanggar!" tegasnya meng-copy paste omelan ibunya saat ada salah satu anaknya yang melanggar aturan yang ada di keluarga tersebut. 

"Insyaallah bisa." Purnomo berusaha meyakinkan adik satu-satunya itu. 

"Aku nggak mau tahu deh, Mas. Pokoknya, sebelum Mas Rio berangkat tugas ke luar pulau, Mas Pur sudah harus nikah. Titik!"

Bintang bangkit dari duduknya dan bergegas masuk ke dalam kamarnya dengan langkah sedikit dihentakkan. 

Lagi. Lelaki berkumis tipis itu hanya bisa mengembuskan napas panjang. Dia menyugar rambutnya dengan kasar. 

Pertanyaan "Kapan nikah?" atau perintah "Ayo dong nikah!" seolah menjadi bom waktu baginya. 

Sebenarnya dia sudah jengah mendengar kata-kata itu. Telinganya sudah tebal jika yang berbicara adalah orang lain. Namun, jika yang berbicara adalah adiknya, seolah menjadi beban tersendiri untuknya. 

Purnomo tak masalah jika dia dilangkahi oleh adiknya. Namun, Ibunya pasti menolak karena aturannya yang tua harus menikah terlebih dulu. 

Itu aturan baku dan tidak boleh dilanggar. Katanya pamali. 

Usianya lima bulan lagi menginjak angka tiga puluh satu tahun. Namun sampai saat ini belum memiliki pasangan. Jangankan gebetan, mantan saja dia hanya punya satu. Dan namanya masih melekat di hatinya. 

Pikirannya kini kembali berkelana pada masa putih abu-abu. Masa paling indah sepanjang sejarah percintaannya. Di saat dia melabuhkan cinta pertamanya pada seorang perempuan yang memiliki senyum seindah rembulan.

“Pur, itu adikmu kenapa pulang kerja begitu?”

Lamunan Purnomo buyar seketika saat mendengar suara yang tak asing lagi baginya. Siapa lagi jika bukan Ningsih, perempuan yang sudah melahirkannya itu. 

Laki-laki itu membuang napas secara kasar. Lalu menoleh pada ibunya dan mengangkat kedua bahunya. Dia sebenarnya enggan menjelaskan, tapi tidak sopan rasanya jika ditanya oleh orang tua hanya seperti itu. 

“Pacarnya ngajak nikah katanya, Buk.”

“Itu berarti warning buat kamu biar segera nikah, Pur!” 

Ningsih langsung mencecarnya. Menyudutkannya untuk segera menikah. 

“Buk, Bintang yang diajak nikah kok malah jadi warning buat aku?” Purnomo menatap ibunya dengan kening berkerut. 

Perempuan yang usianya sudah berkepala lima itu lantas duduk di dekat anak sulungnya dan menepuk bahunya. 

“Kamu tahu kan aturan di rumah ini?” Ningsih bertanya balik. 

“Buk, hapuskanlah itu. Datangnya jodoh itu nggak ada yang tahu. Mungkin saja jodohnya Bintang datang lebih cepat daripada aku.”

“Kamu aja yang males dan nggak mau usaha, Pur,” sahutnya dengan lirikan sinis. 

Membuat Purnomo sedikit kesusahan menelan salivanya. Ekspresi wajah Ningsih seperti ini yang membuat nyali Purnomo ciut. Itu artinya, sang ibu tengah kecewa ppadanya. 

Jika sudah seperti ini, Purnomo akan diam tertunduk dan tidak lagi menyahut. Percuma. Karena tidak akan didengarkan. 

“Ayolah, Pur. Usia kamu itu sudah berkepala tiga. Memangnya kamu nggak pengin kayak teman-teman kamu itu yang udah gandeng istri dan gendong anak?”

Ya pengin, Buk. Tapi mungkin ini belum waktunya. 

Purnomo hanya bisa menjawab dalam hati. 

“Pokoknya Ibu nggak mau tahu, Ibu kasih kamu waktu selama tiga bulan dan kamu harus sudah punya calon istri. Jadi nanti kalian menikah sebelum Bintang menikah!”

Seketika itu Purnomo mengakat wajahnya, melebarkan kedua matanya. Dia menatap ibunya seolah tak percaya. 

Dikira cari jodoh itu kayak cari kacang godok kali, Buk? 

Lagian kenapa jadi perintahnya sama kayak Bintang sih? 

Purnomo menghembuskan napas kasar sambil mengacak-acak rambutnya yang sedikit gondrong saat ibunya kembali masuk ke dalam rumah dan membujuk Bintang yang menangis di kamarnya. 

“Nasib jadi anak pertama!” keluhnya sambil kembali membuang napas kasar. 

Jengah. Dia pun akhirnya pergi dan berniat ke rumah temannya. Namun, saat di jalan, dia berpapasan dengan salah satu teman saat masih duduk di Sekolah Dasar yang sudah begitu lama tidak bertemu. 

“Lho, Purnomo, ya?” tanyanya sambil menatap Purnomo yang menatapnya dengan kening berkerut. 

“Eko?” balas Purnomo. 

“Iya. Ya Allah... mau ke mana? Kok sendirian aja? Udah nikah belum?”

Lelaki berkumis tipis itu dengan susah payah menelan salivanya saat kembali disudutkan dengan pertanyaan yang sama. 

Sudah nikah belum? 

Kapan nikah? 

Kenapa kok belum nikah? 

Ingin rasanya Purnomo menghilang dari planet Bumi demi menghindari pertanyaan seperti itu yang membuat kepalanya berdenyut. 

 

Déplier
Chapitre suivant
Télécharger

Latest chapter

Plus de chapitres

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Commentaires

user avatar
Atin Pri
cerita yg menarik dan seru
2025-02-27 21:00:15
0
67
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status