Pasrah. Purnomo akhirnya memutuskan untuk menginap satu malam dulu di basecamp. Menunggu hari esok. Berharap ada pendaki lain yang mau membawa dirinya ikut serta.
Dia pun memilih untuk mengambil wudhu untuk salat Isya di mushola kecil yang ada di basecamp. Setelahnya, dia mengecek ponsel yang sempat dia matikan agar tidak diganggu lagi oleh ibu maupun adiknya yang terus menekannya untuk mencari calon istri dalam waktu tiga bulan. Ada beberapa pesan masuk dan riwayat panggilan tak terjawab yang berasal dari adik juga ibunya. Lelaki berkumis tipis itu membalas pesan ibunya yang menanyakan keadaannya setelah pamit mendaki Gunung Sindoro. Tak lama, panggilan telepon masuk sebelum Purnomo sempat mematikan kembali ponselnya. “Assalamu’alaikum,” sapanya sambil menempelkan ponsel di telinga kanannya. Dia duduk menyandar dengan tatapan kosong. [“Wa’alaikumsalam. Dari tadi Ibu sama adekmu telepon kok nggak diangkat, Le? Khawatir karena di sini hujan.”] “Tadi lagi di jalan. Hujan juga. Jadi hp-nya Pur matiin. Ini sudah sampai basecamp kok,” jawabnya sambil menatap keluar basecamp yang ternyata mulai turun hujan. Ada untungnya juga dia tidak jadi naik malam ini. Bisa dibayangkan jika tetap nekat melakukan solo hiking dengan kondisi hati kacau? Belum lagi hujan mengguyur semakin deras. Jalur licin dan pastinya bahaya. Maka dari itu, basecamp membuat peraturan baru, tidak boleh melakukan solo hiking apalagi mendaki malam hari. Takut terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, maka akan membahayakan pendaki itu sendiri. [“Jangan lama-lama, Mas. Ingat, harus cari istri juga.”] Suara Bintang terdengar di samping ibunya. Membuat Purnomo menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatap ponsel itu tak suka. “Bawel!” sahut Purnomo kesal. “Ya sudahlah, Pur mau tidur. Besok baru mulai mendaki,” katanya pamit setelah mengucap salam dan memutus sambungan telepon dengan ibu dan adiknya. Kemudian kembali mematikan ponsel dan menyimpannya di dalam tas. Saat dia hendak memejamkan mata, terlihat seorang laki-laki masuk ke basecamp setelah melepas jas hujan dan menggantungnya di tempat yang telah disediakan. Pandangan Purnomo tak lepas dari laki-laki yang menggendong tas ransel dan berjalan menuju loket pendaftaran. Dia mendengar jika laki-laki itu ingin mendaki esok hari dan petugas basecamp pun menyarankan agar mendaftar besok pagi saja. Lelaki yang tampak lebih muda dari Purnomo itu berjalan mendekat ke arah Purnomo yang sudah mengubah posisinya dari rebahan menjadi duduk. “Mau naik juga, Mas?” tanya Purnomo menatap lelaki itu yang meletakkan tas ransel di sebelah ranselnya. “Iya, Mas. Rencananya mau naik malam ini. Eh, malah hujan. Terus kata orang basecamp juga nggak ada barengan. Jadi nggak boleh naik,” paparnya sambil mengambil posisi duduk di atas karpet. Lalu membuka ransel dan mengeluarkan sleeping bag untuk dijadikan selimut saat dia tidur. “Mas sendirian emang?” “Iya. Biasa. Suka nebeng-nebeng sama pendaki lain. Biar sat set,” kekehnya. “Nebeng jalan bareng gitu maksudnya,” imbuhnya menjelaskan. “Oh …,” desis Purnomo menganggukkan kepalanya. “Mas sendiri mau naik atau baru turun?” lelaki itu menatap Purnomo. “Baru mau naik. Mau solo hiking malah nggak dibolehin. Padahal dulu boleh. Jadi, nunggu besok ada barengan,” kekehnya. “Bareng aja kalau gitu. Kan jadi berdua, nggak solo lagi!” ajaknya dengan sangat antusias. “Boleh!” sahutnya tak kalah semangat karena akhirnya menemukan pendaki lain yang akan menjadi teman selama pendakian Gunung Sindoro. “Aku Awan. Mas siapa? Belum kenalan,” kekehnya sambil mengulurkan tangan pada Purnomo. “Aku Purnomo. Panggil Pur saja,” balasnya menjabat tangan Awan. “Tapi … sepertinya Mas Pur ini lebih tua beberapa tahun dariku. Lebih senior,” kekehnya. “Ah, nggak juga. Hanya suka menikmati alam. Bukan pendaki,” balasnya tersenyum. Setelah ngobrol dan bertanya-tanya banyak hal yang ternyata Awan ini berasal dari Klaten, mereka pun memutuskan untuk istirahat agar besok saat pendakian stamina masih prima. **** Pagi harinya, usai sarapan, briefing, juga olahraga ringan, Purnomo dan Awan memulai pendakian di jam delapan pagi. Mereka akhirnya berangkat berdua saja. Dari basecamp menuju pos satu mereka memanfaatkan jasa ojek gunung. Setelahnya baru berjalan di track pendakian. “Mas, kok sendirian aja sih? Nggak sama teman atau komunitas gitu? Biasanya kan pendaki pada rame-rame naik gunungnya,” tanya Awan yang berjalan di belakang Purnomo. “Sudah kubilang bukan pendaki, hanya penikmat alam,” kekehnya. “Lebih senang sendiri. Sat set. Lebih cepat nggak kelamaan. Kebanyakan ngajak orang, banyak rencana, yang akhirnya hanya jadi wacana,” imbuhnya dan tertawa. “Iya juga sih.” Awan ikut tertawa membenarkan. “Kamu sendiri kenapa naik gunung sendiri?” Purnomo menoleh sekilas ke belakang. “Seperti yang Mas Pur bilang tadi. Rencanya akan mendaki lima orang. Sudah direncanakan dua bulan sebelumnya. Eh, pas udah mendekati hari-H malah pada ngilang orangnya. Jadilah aku sendiri, daripad batal,” balasnya membuang napas kasar. “Nah, maka dari itu, aku lebih suka ke mana-mana sendiri. Bebas mau ke mana sesuai dengan keinginan hati,” balasnya. “Iya, ya.” Pos demi pos mereka lewati hingga akhirnya mereka sampai di Sunrise Camp sekitar pukul setengah dua siang. Purnomo dan Awan pun salat dzuhur terlebih dahulu. Setelahnya sama-sama mendirikan tenda masing-masing dan makan siang bersama dengan nasi rames yang dibawa saat di basecamp tadi. Setelahnya istirahat karena lelah. Sore, sekitar jam tiga lebih lima belas menit, Purnomo terbangun. Dia mengusap wajahnya dan keluar tenda. Ditatapnya Awan yang tengah menatap langit, namun berkali-kali terlihat mengembuskan napas panjang dan terasa berat. Seperti sedang ada masalah yang menimpa. “Kenapa, Bro? Kayaknya lagi ada masalah?” tanya Purnomo sambil menepuk bahu Awan dan membuat tubuhnya sedikit berjingkat. Dia menoleh dan tersenyum. “Biasalah. Masalah keluarga,” balasnya. “Memang sudah menikah?” Purnomo duduk di sebelah Awan. “Belum.” Lelaki itu menggeleng pelan. “Tapi sama Mama dipaksa nikah sama kakak ipar. Padahal aku udah punya pilihan hati sendiri.” Awan pun menceritakan masalahnya. Karena dia tipe orang yang terbuka. “Lha, memang …?” Pertanyaan Purnomo menggantung. “Iya. Dia janda, Mas. Kakakku menikah belum ada satu tahun. Sebulan setelah menikah, kakakku yang seorang tantara itu dapat tugas khusus dari kesatuannya. Karena dia salah satu tim elite di kesatuannya. Tapi … sampai sekarang belum ada kabar. Padahal teman-teman yang berangkat bersama itu sudah pulang seminggu setelah pemberian tugas itu. Dan kami dapat kabar kalau Mas Langit, kakakku hilang tanpa jejak. “Setelah dilakukan pencarian dua bulan pun tidak ditemukan tanda-tanda keberadaannya. Jadi … kesatuan menyatakan kalau Mas Langit gugur dalam tugas. Tanpa jasad yang ditemukan. Nah, karena saking sayangnya Mama sama kakak ipar, Mama berniat menikahkan kami agar kakak ipar tetap jadi menantu di keluarga kami. Mama enggan melepasnya,” jelasnya. Lalu menarik napas panjang. Purnomo melebarkan kedua matanya mendengar kisah cinta Awan yang hampir mirip dengannya. Sama-sama dipaksa nikah. “Mas, gimana kalau dia buat Mas Purnomo saja? Katanya Mas Pur lagi cari jodoh!” ujarnya menoleh dan membuat Purnomo semakin melebarkan kedua matanya. “Eh, kok jadi aku?” Purnomo menatap Awan dengan kening berkerut.Malam beranjak naik. Ummi Rahmah diantar pulang ke hotel oleh Wulan dan Purnomo. Sebenarnya, Wulan ingin Ummi Rahmah menginap di rumahnya saja agar bisa ngobrol banyak dan mengakrabkan diri. Namun, Ummi Rahmah menolak. Merasa tak enak hati. "Ummi, nginap saja di rumah," ujar Wulan menatap penuh harap. "Insyallah kapan-kapan saja kalau Ara sudah di rumah. Sebenarnya juga pengin temenin mantu di rumah sakit. Tapi biar saja ada suaminya," kekehnya. "Iya, Mi. Biar mereka makin dekat," sahut Wulan. Purnomo sendiri yang sibuk dengan setirnya hanya tersenyum mendengar obrolan mereka. Hingga tiba di depan lobby hotel, Ummi Rahmah turun dan Wulan juga Purnomo pamit menuju rumahnya. Ara sendiri dijaga oleh Galaxy juga Hafifi. Dia diharuskan menginap satu malam untuk memantau perkembangannya. "Permisi, mau antar makan malam." Seorang pramusaji rumah sakit masuk mendorong troli berisi makanan dan obat untuk Ara. Lalu meletakkan makanannya di meja. "Terima kasih, Bu."
"Assalamualaikum, Ma?" ["Wa'alaikumsalam. Hafifi sudah di situ, Nak? Mama sudah sampai di parkiran. Kamu di ruangan mana?"] "Lantai tiga, Ma. Ruang Bugenvil nomor dua." ["Ya udah. Mama sama ayah ke sana sekarang, ya."] "Iya, Ma. Di sini juga ada ibunya Hafifi," katanya sambil menatap perempuan itu yang mengangguk dengan senyum tipis. ["MaasyaAllah ... ya sudah. Mama sudah masuk lift. Telepon Mama matiin, ya."] "Iya, Ma. Hati-hati." Ara mematikan panggilan teleponnya. Lalu menatap Ummi Rahmah yang juga menatapnya. "Mama saya sebentar lagi sampai, Mi," katanya memberitahu. "Alhamdulillah, nggak sabar ketemu besan," sahutnya dengan antusias. Meski sudah berusia empat puluh delapan tahun, ibunya Hafifi ini memang modis dan masih terlihat awet muda. Bahkan kecantikannya hampir sama dengan ibunya Ara yang usianya lima tahun di bawah Ummi Rahmah. Ibunya Hafifi seorang dosen juga ustadzah yang mengajar di pesantren miliknya sendiri. Jadwalnya padat dan sibuk. Sehingg
"Tidak, Lettu. Tidak apa," jawab Ara sedikit gugup. Namun, dia berhasil menguasai diri. "Terima kasih untuk bantuannya tadi," katanya mengangguk sopan. "Iya. Jangan terima kasih terus. Saya akan selalu usahakan ada buat Serda Ara sebelum orang tua Serda Ara datang," katanya dengan senyum tulus. "Emm ... saya rasa tidak perlu. Karena di sini sudah ada saya. Jadi, biar saya yang akan mengurusi keperluan is ... emmm ... Ara," timpal Hafifi begitu posesif menjaga istrinya. Ara menatap lelaki itu dengan kening berkerut. Merasa heran dengan sikap Hafifi yang menurutnya berlebihan. "Oh, begitu. Ya sudah. Kalau begitu saya pamit, ya, Serda Ara. Kalau butuh apa-apa hubungi saya saja. Saya akan usahakan," katanya lagi sebelum digiring keluar ruang rawat Ara oleh Hafifi. "Ah, ya. Terima kasih banyak." Hafifi yang menimpali. Kemudian menutup pintu dan menutupnya rapat-rapat setelah Lettu Arhan benar-benar pergi. "Kamu nggak seharusnya bersikap seperti itu sama Lettu Arhan. Dia itu ata
Kata-kata yang keluar dari mulut Hafifi masih terus terbayang di benak Ara. Pikirannya terus berputar. 'Bagaimana bisa dia berpikir akan melanjutkan pernikahan ini? Sedangkan aku menolak keras. Aku masih ingin berkarir di dunia militer tanpa terikat pernikahan dulu. Masih banyak hal yang ingin aku lakukan untuk bisa membanggakan almarhum Papa.' Ara berusaha untuk fokus saat latihan bela diri. Namun, bayang-bayang wajah Hafifi terus menghantuinya. Hingga saat lawan menyerang, Ara yang tak siap terjatuh dengan tangan sebagai tumpuan. Gadis itu mengerang menahan rasa sakit di tangan kanannya. "Arggghhh!" Dia memejamkan kedua matanya. Berusaha menahan sakit yang menjalar dari siku hingga jai-jemarinya. "Astaga, Ara! Maaf, ya." Temannya langsung membantu berdiri sambil terus mengucapkan kata maaf karena dia tadi yang menyerangnya. "Bawa ke klinik sekarang!" titah pelatih dengan raut wajah cemas. Namun, tetap berusaha tegas dan tenang. "Tanganku sakit banget." Ara merasa
"Masih proses ta'aruf kan, Mi. Masih bisa dibatalkan kok. Lagian belum sampai pada tahap nadzor. Kita bisa bicarakan ini baik-baik melalui Pakde Hasan. Sebagai perwakilan keluarga kita," terangnya mencoba menenangkan ibunya. "Iya juga sih. Tapi tetap tidak enak hati sama Pak Yai dan Bu Nyai." "Ya, mau bagaimana lagi, Mi? Ara yang sekarang sudah sah menjadi istriku lebih pantas aku perjuangkan daripada Hasna." Ummi Rahmah mengembuskan napas panjang. Pasrah dengan keputusan yang diambil putranya. "Ya sudah kalau memang kamu sudah yakin dengan pilihan kamu, Nak. Kamu sudah tahu mana yang terbaik. Semoga Allah melimpahkan keberkahan pada pernikahan kalian," katanya dengan lembut. Hafifi mengaminkan doa sang ibu dengan seulas senyum. Hatinya lega karena sudah mendapat restu dari sang ibu tercinta. "Mana coba Ummi lihat foto menantu Ummi? Penasaran," pintanya. Hafifi menutup seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Kenapa?" Ummi Rahmah menatap dengan kening be
"Taipur?" gumam Ara saat dia sudah berada di dalam kamar nyamannya. Dia sudah pulang ke rumah dan mandi agar tubuh lelahnya terasa sedikit segar. Taipur? Tawaran atasannya tadi masih terngiang-ngiang dalam benaknya. Sebenarnya bisa saja, apalagi dia ditawari langsung oleh atasannya. Tinggal kemauannya saja untuk ikut daftar dan mengikuti pendidikan selama tujuh bulan. Tapi bagaimana dengan pernikahannya dengan Hafifi? Ara mengembuskan napas panjang. Lalu memilih merebahkan tubuh lelahnya. Menutup kedua matanya dengan napas teratur. Mencoba terlelap, tapi pikirannya masih melalang buana. Hingga dering ponsel yang menandakan pesan masuk mengusik waktu istirahatnya. Dengan gerak malas, tangan Ara meraih ponsel yang ada di atas nakas. Kedua matanya langsung membelalak membaca pesan masuk dari nomor tak dikenal. Dia langsung mengubah posisinya menjadi duduk dengan punggung tegap. [Istriku, ini nomor suamimu. Tolong disimpan, ya.] [Suamimu, Muhammad Hafifi.] "Ya Allah