Share

BAB 4 - Rencana Perjodohan

Author: W_udin
last update Last Updated: 2025-01-17 13:04:42

“Coba, umur Mas Pur sekarang berapa?” tanyanya menatap lelaki berkulit sawo matang itu lekat-lekat.

“Tiga puluh tahun.”

“Nah, pas sekali!” serunya sambil menepuk paha Purnomo. Membuat lelaki itu menatap dengan sedikit terkejut.

“Pas apanya?” Lelaki itu semakin bingung dengan tingkah pemuda di hadapannya.

“Pas sama Mas Pur. Kalau sama aku, tua dia. Rasanya sungkan.”

“Usia bukan jadi penghalang saat menjalin hubungan suami istri, Bro. Yang terpenting dewasa dan ngemong. Ya… saling melengkapi gitu. Mengisi kekosongan,” paparnya.

“Masalahnya, aku punya cewek, Mas. Aku udah cinta banget sama dia dan dia pun sama. Kita punya mimpi yang sama. Nggak mungkin dong kita pisah demi bisa nurutin keinginan Mama buat menikahi kakak ipar,” katanya menatap lurus. Kemudian membuang napas panjang.

Purnomo menatapnya dan ikut membuang napas panjang. Tidak tahu apa yang akan dia katakan.

Karena dia pun tengah pusing dengan masalahnya sendiri.

“Ini bisa jadi solusi kita bersama, Mas,” katanya membuat Purnomo menoleh dan menatapnya. “Nggak mungkin dong Allah mempertemukan kita tanpa alasan. Aku yakin ini solusinya!” imbuhnya dengan sangat mantap.

“Solusi?” Purnomo terdiam.

Mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Awan.

“Gini aja deh, aku minta nomor telepon Mas Pur biar kita bisa lanjut ngobrol setelah turun dari Gunung Sindoro. Lagian rumah kita juga nggak jauh-jauh amat,” katanya membuat Purnomo mengangguk. Kemudian memberikan nomor teleponnya pada Awan agar bisa melanjutkan komunikasi.

Hari semakin malam, mereka pun salat maghrib berjama’ah dengan para pendaki lain yang mendirikan tenda di sekitar sunrise camp. Hanya beberapa karena sudah banyak yang turun. Purnomo sendiri naik gunung pada hari kerja, sehingga tidak terlalu banyak pendaki yang mendaki Gunung Sindoro. Tidak seperti saat liburan.

Mereka menikmati makan malam bersama dilanjut ngopi sambil ngobrol. Kemudian tidur di tenda masing-masing. Pagi harinya, mereka bangun dan salat subuh bersama lagi. Lalu tinggal menikmati matahari terbit sembari menyeruput kopi panas dan bercengkerama.

Setelahnya, mereka persiapan melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Sindoro. Di sana hanya sebentar, sekadar foto untuk mengabadikan kenangan. Lalu turun dan berkemas. Karena mereka akan turun hari itu juga.

Beruntung hari itu hujan tidak turun deras. Hanya gerimis kecil saja yang menemani mereka sepanjang turun dari pos satu menuju basecamp karena tidak dijemput ojek gunung.

“Istirahat dulu, Mas. Atau mau langsung pulang ke Jogja?” tanya Awan sambil melepas sepatu gunungnya. Lalu duduk bersandar sambil meluruskan kaki yang terasa sangat pegal.

“Nginep lagi semalam di sini. Malas pulang juga kalau ujung-ujungnya ditanya lagi kapan nikah,” jawab Purnomo melakukan hal yang sama dengan Awan.

Membuat Awan tertawa menanggapinya.

“Dipikir-pikir, pertanyaan kayak gitu tuh sama aja kayak tanya, kapan kamu mati?”

“Kok bisa? Kan jauh, Mas?” Awan yang tak paham menatap Purnomo dengan kening berkerut.

“Lha iya. Jodoh itu kan rahasia Allah. Datangnya kapan ya kita juga nggak tahu. Orang banyak menjalin hubungan dengan si A lama. Eh, tahunya nikah sama si B. Kan jodoh nggak ada yang tahu. Sama kayak istri nggak hamil-hamil. Lha yang kasih rezeki anak kan Allah. Tugas kita manusia hanya berusaha tho?”

Awan menyimak dan mengangguk paham.

“Sama seperti kematian. Hanya beda konteks saja. Tapi maknanya sama,” tukas Purnomo.

“Tapi, kalau boleh tahu nih. Apa sih yang buat Mas Pur itu belum menikah? Jangan jawab belum ketemu jodohnya. Tapi, yang Mas Pur rasain sekarang. Dari pribadi Mas Pur sendiri.” Awan menatap serius.

Menurutnya, Purnomo pribadi yang enak diajak diskusi. Maka dari itu, dia banyak belajar dari lelaki berkulit sawo matang itu. Begitu juga sebaliknya.

“Banyak hal. Pekerjaanku belum mapan meski penghasilan sudah lumayan. Tapi … apa sih yang bisa dibanggain dari seorang penulis sama orang-orang yang awam?”

Awan kembali mengangguk.

“Kedua ….” Purnomo menggantung kalimatnya. Dia terdiam sejenak sambil mengembuskan napas panjang.

“Kedua apa, Mas?” tanyanya penasaran.

“Masih ada nama seseorang yang hidup di hati. Sampai sekarang aku nggak bisa lupain dia, Bro. Nggak tahu kenapa. Rasanya kok sulit nerima perempuan lain. Padahal sudah sepuluh tahun lebih kita nggak ada komunikasi. Nggak tahu juga kabar dia bagaimana sekarang. Sudah menikah atau belum. Atau malah justru sudah punya anak dan hidup bahagia dengan keluarga kecilnya,” paparnya menatap lurus ke depan. Bibirnya tersenyum kecut.

“Kalau udah itu alasannya sih … susah, Mas,” sahut Awan membuat Purnomo menoleh. “Kuncinya ada pada Mas Pur sendiri. Mau buka hati nggak buat perempuan lain gitu,” imbuhnya.

“Itu dia yang aku nggak bisa, Bro. Rasanya seperti mati rasa.” Purnomo menarik napas dalam. “Aku udah pernah coba dulu-dulu, tapi rasanya nggak masuk ke hati. Malah seolah cuma jadi pelampiasan. Sejak saat itu aku berhenti coba-coba dan memilih sendiri sampai saat ini.”

“Sabar, Mas Pur.” Awan menepuk bahu Purnomo. “Atau mau lanjut nih aku kenalin sama kakak ipar aku. Cantik lho. Baru dipake sebulan doang sama kakak aku,” candanya membuat Purnomo tertawa dan meninju lengan Awan pelan.

“Aku pusing ini harus cari jodoh dalam waktu tiga bulan. Kalau nggak, Ibu bakal jodohin aku sama si Shela. Cewek centil yang bikin aku ilfeel kalau ketemu,” katanya sambil bergidik ngeri.

“Jangan sebel-sebel, Mas. Takutnya nanti jadi jatuh cinta,” candanya lagi.

Mereka pun akhirnya tidur di basecamp lagi semalam. Baru pulang esok harinya. Mereka sendiri satu arah. Purnomo ke Jogja. Sedangkan Awan ke Klaten.

“Mas, dapat jodohnya nggak turun dari gunung?” Bintang sudah menghadang Purnomo di depan pintu masuk.

“Ya ampun, pertanyaannya, Dek.” Purnomo menggeleng dan menatap kesal. “Mas-mu ini baru pulang kok yo langsung ditembak mati!” kesalnya.

Bintang sendiri hanya tertawa sambil mengikuti langkah kakak laki-lakinya yang masuk ke dalam rumah.

“Nggak bawa oleh-oleh, Mas?” tanyanya sambil kembali dari dapur dan memberikan segelas air dingin untuk sang Kakak.

“Nah gitu dong. Kasih air minum, biar otaknya adem.” Purnomo menerima air tersebut dan meminumnya hingga tandas.

“Oleh-oleh, Mas?” ulang Bintang dengan manja.

“Tuh, di tas. Sesuai keinginan kamu, kopi posong.” Purnomo menunjuk tas ransel yang tadi dibawa naik gunung. Membuat Bintang bersorak kegirangan dan memeluk kakaknya sambil mengucap terima kasih.

Sebelum pulang, Purnomo sempat membeli oleh-oleh untuk adik dan ibunya di sekitar basecamp.

“Ibu di mana? Nggak menyambut kepulangan anak sulungnya yang paling ganteng?” tanyanya membuat Bintang berdecak sebal.

“Lagi ke rumah Bude Mirna. Lagi bahas perjodohan antara Mbak Shela sama Mas Pur katanya.”

“Apa?” Purnomo melebarkan kedua matanya. “Bagaimana bisa, Dek? Baru juga beberapa hari. Belum sampai tiga bulan.”

“Nggak tahu ….” Bintang mengendikkan kedua bahunya dan berlalu ke dapur. Meninggalkan sang Kakak yang merasa kesal dengan tindakan ibunya yang asal main menjodohkan saja tidak bicara dengannya dulu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Cinta atau Cita-cita

    Malam beranjak naik. Ummi Rahmah diantar pulang ke hotel oleh Wulan dan Purnomo. Sebenarnya, Wulan ingin Ummi Rahmah menginap di rumahnya saja agar bisa ngobrol banyak dan mengakrabkan diri. Namun, Ummi Rahmah menolak. Merasa tak enak hati. "Ummi, nginap saja di rumah," ujar Wulan menatap penuh harap. "Insyallah kapan-kapan saja kalau Ara sudah di rumah. Sebenarnya juga pengin temenin mantu di rumah sakit. Tapi biar saja ada suaminya," kekehnya. "Iya, Mi. Biar mereka makin dekat," sahut Wulan. Purnomo sendiri yang sibuk dengan setirnya hanya tersenyum mendengar obrolan mereka. Hingga tiba di depan lobby hotel, Ummi Rahmah turun dan Wulan juga Purnomo pamit menuju rumahnya. Ara sendiri dijaga oleh Galaxy juga Hafifi. Dia diharuskan menginap satu malam untuk memantau perkembangannya. "Permisi, mau antar makan malam." Seorang pramusaji rumah sakit masuk mendorong troli berisi makanan dan obat untuk Ara. Lalu meletakkan makanannya di meja. "Terima kasih, Bu."

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Keputusan Hafifi

    "Assalamualaikum, Ma?" ["Wa'alaikumsalam. Hafifi sudah di situ, Nak? Mama sudah sampai di parkiran. Kamu di ruangan mana?"] "Lantai tiga, Ma. Ruang Bugenvil nomor dua." ["Ya udah. Mama sama ayah ke sana sekarang, ya."] "Iya, Ma. Di sini juga ada ibunya Hafifi," katanya sambil menatap perempuan itu yang mengangguk dengan senyum tipis. ["MaasyaAllah ... ya sudah. Mama sudah masuk lift. Telepon Mama matiin, ya."] "Iya, Ma. Hati-hati." Ara mematikan panggilan teleponnya. Lalu menatap Ummi Rahmah yang juga menatapnya. "Mama saya sebentar lagi sampai, Mi," katanya memberitahu. "Alhamdulillah, nggak sabar ketemu besan," sahutnya dengan antusias. Meski sudah berusia empat puluh delapan tahun, ibunya Hafifi ini memang modis dan masih terlihat awet muda. Bahkan kecantikannya hampir sama dengan ibunya Ara yang usianya lima tahun di bawah Ummi Rahmah. Ibunya Hafifi seorang dosen juga ustadzah yang mengajar di pesantren miliknya sendiri. Jadwalnya padat dan sibuk. Sehingg

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Kehadiran Ummi Rahmah

    "Tidak, Lettu. Tidak apa," jawab Ara sedikit gugup. Namun, dia berhasil menguasai diri. "Terima kasih untuk bantuannya tadi," katanya mengangguk sopan. "Iya. Jangan terima kasih terus. Saya akan selalu usahakan ada buat Serda Ara sebelum orang tua Serda Ara datang," katanya dengan senyum tulus. "Emm ... saya rasa tidak perlu. Karena di sini sudah ada saya. Jadi, biar saya yang akan mengurusi keperluan is ... emmm ... Ara," timpal Hafifi begitu posesif menjaga istrinya. Ara menatap lelaki itu dengan kening berkerut. Merasa heran dengan sikap Hafifi yang menurutnya berlebihan. "Oh, begitu. Ya sudah. Kalau begitu saya pamit, ya, Serda Ara. Kalau butuh apa-apa hubungi saya saja. Saya akan usahakan," katanya lagi sebelum digiring keluar ruang rawat Ara oleh Hafifi. "Ah, ya. Terima kasih banyak." Hafifi yang menimpali. Kemudian menutup pintu dan menutupnya rapat-rapat setelah Lettu Arhan benar-benar pergi. "Kamu nggak seharusnya bersikap seperti itu sama Lettu Arhan. Dia itu ata

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Bertemu Ara

    Kata-kata yang keluar dari mulut Hafifi masih terus terbayang di benak Ara. Pikirannya terus berputar. 'Bagaimana bisa dia berpikir akan melanjutkan pernikahan ini? Sedangkan aku menolak keras. Aku masih ingin berkarir di dunia militer tanpa terikat pernikahan dulu. Masih banyak hal yang ingin aku lakukan untuk bisa membanggakan almarhum Papa.' Ara berusaha untuk fokus saat latihan bela diri. Namun, bayang-bayang wajah Hafifi terus menghantuinya. Hingga saat lawan menyerang, Ara yang tak siap terjatuh dengan tangan sebagai tumpuan. Gadis itu mengerang menahan rasa sakit di tangan kanannya. "Arggghhh!" Dia memejamkan kedua matanya. Berusaha menahan sakit yang menjalar dari siku hingga jai-jemarinya. "Astaga, Ara! Maaf, ya." Temannya langsung membantu berdiri sambil terus mengucapkan kata maaf karena dia tadi yang menyerangnya. "Bawa ke klinik sekarang!" titah pelatih dengan raut wajah cemas. Namun, tetap berusaha tegas dan tenang. "Tanganku sakit banget." Ara merasa

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Kejutan

    "Masih proses ta'aruf kan, Mi. Masih bisa dibatalkan kok. Lagian belum sampai pada tahap nadzor. Kita bisa bicarakan ini baik-baik melalui Pakde Hasan. Sebagai perwakilan keluarga kita," terangnya mencoba menenangkan ibunya. "Iya juga sih. Tapi tetap tidak enak hati sama Pak Yai dan Bu Nyai." "Ya, mau bagaimana lagi, Mi? Ara yang sekarang sudah sah menjadi istriku lebih pantas aku perjuangkan daripada Hasna." Ummi Rahmah mengembuskan napas panjang. Pasrah dengan keputusan yang diambil putranya. "Ya sudah kalau memang kamu sudah yakin dengan pilihan kamu, Nak. Kamu sudah tahu mana yang terbaik. Semoga Allah melimpahkan keberkahan pada pernikahan kalian," katanya dengan lembut. Hafifi mengaminkan doa sang ibu dengan seulas senyum. Hatinya lega karena sudah mendapat restu dari sang ibu tercinta. "Mana coba Ummi lihat foto menantu Ummi? Penasaran," pintanya. Hafifi menutup seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Kenapa?" Ummi Rahmah menatap dengan kening be

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Pulang ke Jombang

    "Taipur?" gumam Ara saat dia sudah berada di dalam kamar nyamannya. Dia sudah pulang ke rumah dan mandi agar tubuh lelahnya terasa sedikit segar. Taipur? Tawaran atasannya tadi masih terngiang-ngiang dalam benaknya. Sebenarnya bisa saja, apalagi dia ditawari langsung oleh atasannya. Tinggal kemauannya saja untuk ikut daftar dan mengikuti pendidikan selama tujuh bulan. Tapi bagaimana dengan pernikahannya dengan Hafifi? Ara mengembuskan napas panjang. Lalu memilih merebahkan tubuh lelahnya. Menutup kedua matanya dengan napas teratur. Mencoba terlelap, tapi pikirannya masih melalang buana. Hingga dering ponsel yang menandakan pesan masuk mengusik waktu istirahatnya. Dengan gerak malas, tangan Ara meraih ponsel yang ada di atas nakas. Kedua matanya langsung membelalak membaca pesan masuk dari nomor tak dikenal. Dia langsung mengubah posisinya menjadi duduk dengan punggung tegap. [Istriku, ini nomor suamimu. Tolong disimpan, ya.] [Suamimu, Muhammad Hafifi.] "Ya Allah

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Tawaran Komandan

    "Saya akan bicarakan perihal ini dulu dengan kedua orang tua. Insyallah hari ini saya akan pulang ke Jombang dan segera membicarakannya untuk kejelasan." Laki-laki bercambang tipis itu mengembuskan napas panjang. Lalu melanjutkan. "Jujur, saya juga berat menerima pernikahan ini. Tapi ... saya sebagai lelaki juga tidak akan meninggalkan apa yang sudah menjadi tanggung jawab saya begitu saja. Saya ... akan mengupayakan untuk mempertahankan pernikahan ini dan meresmikannya untuk melindungi hak perempuan," terangnya dengan tenang dan tanpa keraguan sedikit pun. Seolah yakin jika perempuan yang kini sedang menatapnya dengan jengkel itu adalah jodoh yang sudah Allah tetapkan untuknya. Ara mungkin jauh dari kata anggun karena memang karakternya keras dan mandiri akibat tempaan saat pelatihan menjadi prajurit TNI. Namun, Hafifi yakin jika di balik sifat kerasnya itu akan selalu tersimpan sisi perempuan yang mungkin tidak akan ditunjukkan pada orang lain, kecuali keluarganya. "Kenap

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Keras Kepalanya Ara

    Laki-laki bercambang tipis itu terdiam sejenak. Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "saya akan berbicara hal ini dengan kedua orang tua saya dulu, Pak, Bu. Meski saya juga tidak menyangka akan menikah dengan cara seperti ini. Tapi saya memiliki prinsip untuk menikah hanya sekali seumur hidup. Saya pun yakin jika Allah memberikan jalan hidup saya seperti ini pasti ada kebaikan di dalamnya." Wulan menatap suaminya yang mengangguk. Sementara Ara tetap menatap penuh selidik. "Sekarang ceritakan siapa dirimu sebenarnya?" tanya Ara penasaran. "Kalau kamu memang bagian dari para gengster itu, maka aku akan mengantarmu ke jeruji besi karena sudah mengusik ketenangan warga sekitar!" tekannya menatap penuh intimidasi. "Ara, nggak boleh asal nuduh begitu tanpa bukti yang jelas," tegur sang mama. "Mana ada penjahat mau ngaku, Mama," balas Ara sambil memutar bola matanya. Namun, Hafifi sama sekali tak terusik. Senyum tipis terukir di wajah manisnya. "Sebelumnya, saya

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Pernikahan tak Diinginkan

    ["Hallo, Assalamu'alaikum, Mas. Tumben malam-malam telepon?"] Tubuh Ara lemas seketika mendengar suara Awan di seberang telepon. Dia mengusap wajahnya sambil menyandar pasrah. "Maaf, Wan ganggu. Ada hal penting ini. Ara ... Ara mau menikah." ["Apa? Menikah? Kapan? Kok dadakan? Tapi bukannya dia belum boleh menikah, ya karena kan masih belum dua tahun berdinas."] "Itu dia, Wan. Kena musibah," katanya pelan. Lalu mengembuskan napas kasar. ["Musibah? Gimana maksudnya, Mas?"] "Iya, Wan. Jadi ...." Purnomo menceritakan semua kejadiannya secara detail. Mulai dari versi orang-orang yang memergoki Ara dan Hafifi berduaan. Sampai versi Ara dan Hafifi. ["Astaghfirullah ...."] "Keputusan nggak bisa diganggu gugat, Wan. Mereka harus menikah sekarang juga," ujarnya tampak sedikit berat. Terlebih melihat bagaimana reaksi Ara. "Aku minta kamu jadi wali nikah Ara sekarang, Wan. Nikahkan Ara meski lewat sambungan telepon," pintanya. ["Ya Allah ... kok bisa begini? Ara nggak bisa menekan?

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status