[ Rate : 21+ ] Fiona terpaksa menikah karena perjodohan dengan Edgar. Parahnya, ia harus tinggal serumah dengan kekasih suami nya. Suaminya bahkan tidak hadir di acara perayaan pernikahan mereka dan lebih memilih bermain-main dengan kekasihnya. Apakah Fiona akan terus bertahan dalam pernikahan ini ? Bagaimana cara Fiona membalaskan dendamnya ? Dan bagaiamana respon Edgar saat tahu Fiona bukan orang sembarang ?
Lihat lebih banyak"Mana suami saya?" tanya Fiona dengan nada dingin yang menusuk.
Ia menatap pelayan tua di hadapannya dengan sorot mata yang tajam, menuntut jawaban. Pernikahan ini hanyalah sebuah formalitas belaka, tanpa cinta dan hanya untuk kepentingan bisnis semata.
Pelayan itu gemetar di bawah tatapan intens Fiona. Dengan suara yang gugup, ia menjawab, "Maaf Nyonya, Tuan sedang ada urusan pekerjaan mendesak yang tidak bisa ditinggalkan. Izinkan saya menggantikan Tuan untuk menyambut kedatangan Anda."
"Hmm, begitu rupanya." sahut Fiona dengan nada acuh tak acuh. Wajah cantiknya yang bak porselain tidak menampakkan emosi sedikitpun.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia melangkah masuk ke dalam rumah megah nan dingin itu, rumah suaminya yang tak pernah dicintainya.
Fiona mendongak ke arah lantai dua, matanya menangkap pemandangan yang membuatnya muak.
Meskipun samar, ia masih bisa melihat sosok yang disebut suaminya sedang asyik bercumbu dan saling melucuti pakaian dengan seorang wanita. Mereka kemudian menghilang ke dalam sebuah ruangan, meninggalkan pintu sedikit terbuka.
“Ah jadi itu yang di sebut pekerjaan mendesak?” gumamnya, namun suaranya tetap terdengar sampai ke telinga pelayan tua itu.
Pelayan tua itu terperanjat mendengar ucapan Fiona. Ia mengikuti arah pandang majikannya dan menyaksikan adegan memalukan di lantai atas.
Wajahnya memucat, tidak menyangka Tuannya akan berbuat serendah itu di hari pertama kedatangan istrinya.
"Nyo...Nyonya... Maafkan kelancangan Tuan..." ucap pelayan itu tergagap, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan situasi yang tidak pantas ini.
Fiona tetap berdiri anggun, ekspresinya datar tanpa emosi. Namun sorot matanya yang tajam menyiratkan kemarahan yang tertahan. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam gejolak di dadanya yang siap meledak kapan saja.
"Aku akan menunggu di ruang tamu. Suruh tuanmu segera menemuiku," ucapnya dengan nada tegas nan dingin.
Fiona memutar langkahnya ke arah ruang tamu dengan anggun. Ia duduk di sofa, menyilangkan kakinya dengan elegan, dan menunggu kedatangan suaminya.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar menuruni tangga. Suaminya – Edgar, muncul dengan seorang wanita yang menggelayut manja di lengannya.
Edgar memiliki perawakan tinggi dan tampan, dengan rambut hitam yang disisir rapi ke belakang. Ia mengenakan setelan jas mahal berwarna hitam yang tampak kontras dengan kulitnya yang putih. Ternyata ia masih sempat memakai bajunya kembali setelah saling menelanjangi tadi.
Wanita di sampingnya juga tak kalah menawan. Ia memiliki tubuh yang sintal dengan lekuk-lekuk sempurna. Rambut pirang panjangnya terurai indah, sementara gaun merah ketat yang dikenakannya memperlihatkan belahan dada yang menggoda.
Pasangan itu berjalan santai menghampiri Fiona, seolah tak terjadi apa-apa. Mereka duduk di sofa tepat di hadapan Fiona, dengan wanita itu masih menempel erat di lengan Edgar.
"Ini hanya pernikahan bisnis, jadi mari langsung saja bicarakan hal-hal penting," ucap Fiona dengan nada tenang, namun sorot matanya menyiratkan kejengkelan yang mendalam.
Ia menatap tajam Edgar yang duduk dengan santai di hadapannya, seolah tak peduli dengan situasi yang tengah terjadi.
Edgar menyeringai dengan arogansi yang menjijikkan. Tangannya yang kekar membelai wajah wanita jalang di sebelahnya dengan penuh nafsu.
"Jangan hiraukan kekasihku ini. Dan dia jauh lebih berharga daripada dirimu," ujarnya dengan nada meremehkan yang menusuk.
Fiona mendengus keras, tidak lagi mampu menahan rasa muak yang menggelegak di dadanya.
"Tentu saja, aku sama sekali tidak peduli dengan urusan pribadimu dan jalang murahan ini." Ia menatap wanita itu dengan sorot mata penuh kebencian, seolah ingin mencabik-cabiknya saat itu juga.
Wanita itu balas menatap Fiona dengan pandangan merendahkan dan senyum mengejek di bibirnya. "Kau hanya istri palsu, jadi jangan sok berkuasa di sini ya," desisnya dengan nada mengejek.
Edgar tertawa terbahak-bahak melihat perseteruan kedua wanita itu. Ia seolah menikmati melihat istrinya dipermalukan di hadapannya.
"Sudahlah, Diana sayang. Jangan hiraukan wanita ini. Kita punya urusan yang lebih penting," ujarnya sambil menarik wanita itu ke pangkuannya dan mencium bibirnya dengan penuh gairah.
Fiona mengepalkan tangannya erat hingga buku-buku jarinya memutih, berusaha sekuat tenaga menahan amarah yang membuncah di dadanya. Ia merasa dikhianati, direndahkan, dan dilecehkan oleh suaminya sendiri di hadapan wanita lain.
Setelah puas bercumbu, Edgar kembali menatap Fiona dengan pandangan merendahkan.
"Dengar, istriku tersayang. Kewajibanmu hanya melayani nafsuku di ranjang kapanpun aku mau. Itu pun jika aku membutuhkanmu " ujarnya dengan nada meremehkan.
“Dan untuk segala urusan rumah ini yang mengelola adalah Diana, termasuk segala macam kebutuhan mu akan diatur oleh Diana.” tambahnya yang membuat Fiona semakin kesal.
Fiona menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan emosinya yang bergejolak tak terkendali. Ia ingin sekali menampar wajah suaminya yang menjijikkan itu, namun ia tahu ia harus tetap tenang jika ingin memenangkan permainan ini.
"Dan satu lagi, jangan pernah berharap aku akan mencintaimu. Hati dan cintaku hanya untuk Diana seorang. Aku menikahimu hanya karena keuntungan yang ku dapatkan dari perjanjian dengan orang tuamu,” tambah Edgar dengan seringai di wajahnya.
Mendengar kata-kata itu, kesabaran Fiona sudah habis. Ia bangkit dari duduknya dan menatap Edgar dengan penuh kebencian.
"Kau pikir aku sudi melayani bajingan sepertimu? Bermimpilah!" teriaknya penuh amarah.
Dengan langkah penuh emosi, Fiona berbalik dan melangkah pergi meninggalkan ruangan itu. Ia tidak tahan lagi berada di ruangan yang sama dengan suaminya dan jalang murahannya.
Harga dirinya sudah diinjak-injak, namun ia bersumpah akan membalas semua penghinaan ini suatu hari nanti.
Fiona menatap langit-langit kamarnya yang megah nan mewah. Tentu saja kamar yang berbeda dari Edgar dan simpanannya itu.
“Ternyata begini rasanya jadi ibu,” bisiknya lirih.
Ayahnya adalah pria paling brengsek yang pernah ia temui. Ia sering membawa jalang yang berbeda masuk ke dalam rumahnya. Bahkan ia melayani pelayan-pelayan yang sengaja menggodanya.
“Apa yang ibu lakukan dulu dengan situasi ini?”
Ia mengernyit bingung. Sejujurnya ia tidak terlalu dekat dengan ibunya. Tidak hanya ibunya, ia tidak dekat dengan siapapun di keluarganya.
Karena ayahnya hobi bermain dengan banyak wanita, Fiona jadi memiliki banyak sekali saudara. Dan alasan ia berada dalam pernikahan menjijikkan ini karena ayahnya menjual dirinya kesini untuk mengambil keuntungan untuk perusahaannya.
“Aku tidak tahu, apakah kau akan mengingat ucapan ini. Jika kau tumbuh besar nanti dan memiliki suami sampah seperti ayahmu. Kau harus mencari pria lain yang bisa kau jadikan selingan untuk kebahagianmu, Pria yang benar-benar mencintaimu dan selalu berada di sisimu. Karena kau tidak mungkin kembali ke rumah ini setelah menikah, dan akan sulit untuk bercerai.”
Samar-samar ia mengingat kembali ucapan ibunya saat ia berumur delapan tahun. Saat itu ia benar-benar tidak mengerti apa maksud dari ucapannya.
“Apakah aku benar-benar harus mencari pria lain?” Bisiknya lirih mulai mempertimbangkan apa yang diucapkan ibu nya dulu.
-TBC-Begitu mereka sudah berada di dalam mobil yang melaju membelah jalanan kota, Putra menggelengkan kepalanya dengan heran. "Aku masih tidak habis pikir, bagaimana mungkin orang sebodoh Edgar bisa menjadi pimpinan perusahaan sebesar itu?" tanyanya, nada suaranya dipenuhi oleh campuran ketidakpercayaan dan ejekan. Fiona mendengus, senyum sinis tersungging di bibirnya. "Kau lihat sendiri bagaimana ia terus menerus mempertahankan wanita tak bermoral itu di sisinya. Bukankah itu sudah cukup membuktikan betapa bodoh dan naifnya dia?" sindirnya dengan nada mencemooh. Putra mengangguk setuju, lalu mengeluarkan sebuah map berisi dokumen-dokumen penting. Dengan teliti, ia memeriksa setiap detail angka yang tertera di sana. "Setelah pembelian saham ini, total kepemilikan saham kita di perusahaan Edgar menjadi lima puluh lima persen. Ditambah dengan lima persen saham milik Mingle, itu artinya kita memiliki kendali penuh atas segala keputusan perusahaan," jelasnya, matanya berkilat penuh kemenanga
Setelah pertemuan yang menghancurkan itu, Edgar menemukan dirinya terduduk lemas di ruang kerjanya. Kepalanya tertunduk dalam, jemarinya meremas rambutnya dengan penuh rasa frustasi yang menggerogoti jiwanya. Ia masih tidak dapat mempercayai bahwa peristiwa memalukan yang baru saja terjadi benar-benar nyata, menghancurkan reputasi dan kredibilitasnya dalam sekejap mata, seperti sebuah mimpi buruk yang menjadi kenyataan. "Sa... sayang. Apa yang sebenarnya terjadi?" ucap Diana dengan suara tergagap, tubuhnya gemetar saat ia mondar-mandir di depan meja kerja Edgar. Kecemasan dan ketakutan terpancar jelas di matanya. Edgar mengangkat kepalanya, matanya menatap Diana dengan tajam. "Diamlah dan duduklah. Kegelisahanmu hanya membuatku semakin pusing," ucapnya dengan nada dingin sambil memijit pelipisnya, berusaha menahan emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Diana terduduk dengan lemas, jemarinya gemetar saat ia menggigit ujung kukunya. "Ini semua pasti ulah wanita itu. Ini pasti perbua
Pintu ruang kerja Edgar tiba-tiba terbuka, mengejutkan Diana dan Edgar yang masih terengah-engah dalam pusaran gairah. Namun, alih-alih sosok Fiona yang muncul sendirian seperti yang diharapkan Diana, mereka justru disambut oleh sekelompok orang yang terdiri dari beberapa petinggi perusahaan. Fiona melangkah masuk dengan anggun, diikuti oleh tiga orang pria paruh baya dalam setelan jas mahal, seorang wanita paruh baya, Putra dan juga Aris. Mereka adalah dewan direksi dan investor utama perusahaan tempat Edgar bekerja, dan beberapa karyawan dari perusahaan milik Edgar. Suasana dalam ruangan seketika membeku, udara dipenuhi oleh ketegangan yang mencekam dan terasa sedikit canggung. Mata Fiona seketika tertuju pada Edgar dan Diana yang masih setengah telanjang, pakaian mereka berserakan di lantai. Ekspresi terkejut dan jijik terukir jelas di wajahnya, namun dengan cepat ia menutupinya dengan topeng profesionalitas yang dingin. "Maaf mengganggu, Pak Edgar. Kami ke sini untuk mendiskusi
"Sayang, bolehkah aku ikut ke tempat kerjamu hari ini?" tanya Diana dengan nada manja, sembari meringkuk dalam pelukan Edgar yang matanya masih setengah terpejam. "Untuk apa?" gumam Edgar, suaranya masih serak oleh kantuk. "Wanita itu, istrimu, katanya sudah mulai bekerja, bukan? Aku juga ingin merasakan pengalaman bekerja, meski aku sadar kemampuanku terbatas. Setidaknya, izinkan aku melihat seperti apa suasana kantor, bagaimana kesibukan orang-orang di dalamnya," rengek Diana, berusaha membujuk Edgar dengan suaranya yang mendayu-dayu. Edgar menghela napas, lalu berkata dengan lembut namun tegas, "Sayang, kantor bukanlah tempat untuk bermain-main. Kau mungkin akan merasa bosan dan tidak nyaman di sana. Lagipula, hari ini agendaku sangat padat. Ada pertemuan penting dengan rekan bisnis yang harus kuhadiri." Mendengar kata 'rekan bisnis', Diana menegang. Dengan ragu, ia bertanya, "Apakah rekan bisnis yang kau maksud adalah orang yang sangat penting?" Edgar mengangguk. "Ya, rekan b
Restoran yang dipilih Aris terletak tidak jauh dari kafe tempat mereka bertemu sebelumnya. Dengan desain minimalis yang elegan, restoran ini memancarkan aura keanggunan dan kehangatan. Dinding-dinding kaca yang membentang dari lantai hingga langit-langit memberikan pemandangan menakjubkan ke arah kota yang bermandikan cahaya di malam hari. Seorang pelayan dengan senyum ramah menyambut kedatangan mereka dan mengantar ke meja yang telah dipesan Aris. Meja itu terletak di dekat jendela, memberikan privasi yang sempurna untuk melanjutkan obrolan mereka. Fiona tidak bisa menahan diri untuk terkagum-kagum dengan pilihan tempat Aris. "Tempat ini luar biasa indah, Aris. Saya bisa melihat mengapa Anda sangat merekomendasikannya," ucapnya tulus. Aris tersenyum, merasa senang dengan pujian Fiona. "Saya senang Anda menyukainya. Restoran ini adalah salah satu favorit saya. Makanan di sini tidak hanya lezat, tetapi juga disajikan dengan presentasi yang memukau," jelasnya. Mereka membuka menu da
"Ah maaf, apa saya terlambat ?" tanya Fiona ketika melihat pemuda dengan setelan jas berwarna hitam duduk di salah bangku paling ujung."Tidak, saya datang lebih cepat. Ada keperluan di sekitar sini" jelasnya, Fiona melihat jam kulit yang melingkar di pergelangan tangannya. Masih sekitar tiga puluh menit lagi dari waktu yang di janjikan."Mau pesan apa ?" tanya Aris sambil memanggil pelayan dengan lambaian tangannya."saya belum pernah ke sini. Apakah anda bisa merekomendasikannya ?" ucap Fiona jujur. Ini sebuah kafe yang sangat nyaman. Fiona bertanya-tanya, bagaimana bisa ia tidak tahu tempat sebagus ini.Aris tersenyum mendengar pertanyaan Fiona. Ia sudah cukup sering mengunjungi kafe ini sehingga tahu menu-menu andalan mereka."Kalau saya biasanya memesan Chicken Pesto Pasta di sini. Pastanya dimasak al dente dengan saus pesto yang segar dan potongan ayam yang empuk. Porsinya juga pas, tidak terlalu banyak tapi cukup mengenyangkan," jelas
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen