Sebuah mobil Alphard keluaran terbaru berhenti di depanku, kaca mobil diturunkan. Reno, pengacaraku yang juga sahabat lamaku sewaktu kuliah tersenyum lebar.
“Ayo… masuk!” Ucapnya dari balik kemudi. Aku berdiri dan menenteng tas dan bingkisan dari Ibu, masuk ke dalam mobil.
“Thanks sudah menjemput. Bagaimana keluargamu? Sehat?”
“Ya. Thanks. Sehat semua, istriku sedang hamil lagi… sudah tiga bulan. Doakan ya…” Ucapnya tersenyum lebar. Ah… sebuah keluarga yang bahagia. Reno cukup beruntung, ia memiliki karir sukses dan istri yang membahagiakannya, terlihat… lerut pria ini semakin lama semakin membesar… Reno selalu bilang, istrinya pintar memasak. Sungguh beruntung. Terkadang penampilan memang tak ada harganya, value… sikap dan ahlak seorang perempuanlah yang lebih penting untuk dijadikan istri. Aku sudah melakukan kesalahan besar dulu, aku menikahi Bella karena ia adalah seorang perempuan yang sangat cantik… nyatanya ia tak bisa membahagiakanku dan justru menghancurkan rumah tangga kami.
“Kita mau langsung ke lokasi?” Tawar Reno yang langsung kuberi anggukan.
“Nanti antarkan aku ke kantor teman ibuku ya. Di daerah Jakarta Selatan.” Ucapku kepada Reno, aku berjanji dengan Pak Reza bertemu di kantor saja. Ia saat ini sudah berada di kantornya, dan ia bilang tak ada orang di rumah… jadi sebaiknya aku langsung ke kantor. Aku menghubunginya via email.
“Siap boss. Kau belum ada rencana menikah lagi?” Tanya Reno padaku. Ia adalah salah satu sahabat dekatku, kalau ia tak akrab.. ia tak akan bertanya selancang itu. Hampir semua orang yang mengenalku selalu sungkan bertanya dan membahas kehidupan pribadiku, kalau tak mengenai pekerjaan, mereka lebih banyak diam dan tak mengajakku berbicara. Mungkin mereka semua sudah tahu tentang sejarah kelam hidupku… entah mereka mengejek atau mereka simpati.
“Belum ada calon, dan belum niat.” Jawabku asal, aku memperhatikan jalanan Jakarta yang semakin hari semakin padat saja. Ada beberapa perbaikan jalan dan infrastruktur yang justru membuat jalanan ibu kota ini macet parah, ditambah ini jam makan siang.
“Ayo cepat. Kau sudah berumur loh… nanti kau punya anak, kaunya sudah tak bisa gendong.” Ejeknya. Aku hanya tertawa. Ah… betapa ironinya hidup ini.
Kami tiba di lokasi dan mensurvei berkeliling, aku mempertimbangkan kedekatannya dengan beberapa akses dan fasilitas umum yang kira-kira akan menjual property ini. Aku berencana membuat sebuah apartemen yang bersebelahan dengan sekolah dan mall. Ini adalah projek property pertamaku di Jakarta, aku telah sukses membangun jaringan bisnis property di beberapa kota speerti Bangkok, Manila dan Kyoto. Tahun ini targetku adalah Jakarta dan Jeju.
Aku dan Reno merasa memang harga yang ditawarkan untuk bidang tanah di sini cukup masuk akal, karena berdekatan dengan beberapa fasilitas umum, aku setuju dengan pembelian ini, dan meminta Reno mengurus secepatnya. Aku akan datang ke Jakarta lagi begitu surat-surat sudah selesai. Aku sudah meminta arsitekku untuk mendesain bentuk dan berbagai macam desain untuk Jakarta dan Jeju.
Aku meminta Reno untuk mengantarkanku ke kantor milik Pak Reza, aku bercerita tentang pesan dari ibuku yang harus kusampaikan. Aku tiba di kantor besar dan masuk bersama Reno, aku juga memintanya menemaniku. Kami masuk dan diantar oleh seorang sekretaris menuju sebuah ruang kerja bertema kayu dan bernuansa alam yang tenang. Sang sekretaris mengetuk pintu kayu besar dua kali, lalu menlongokkan kepalanya ke dalam.
“Pak. Tuan Benjamin Yusuf ingin bertemu.” Ucap sekretaris itu lalu ia menoleh ke arahku dan mengangguk, memberi isyarat agar aku dan Reno masuk ke dalam.
“Selamat siang Pak Reza.” Ucapku kepada pria yang sudah berusia lebih dari ibuku. Pria dengan beberapa helai uban dan kerutan halus di wajah dan dahinya. Pria yang dengan setia tak menikah lagi… walau telah ditinggal bertahun-tahun oleh mendiang istrinya. Entah kenapa ia tak mau menikah lagi, aku hanya mendengar semua itu dari ibuku.
“Siang. Kamu Ben? Wah.. kau semakin dewasa... gagah pula. Duduk. Ini siapa?” Tanyanya kepada Reno.
“Saya pengacara Ben, Pak. Reno.” Jawab Reno sedikit membungkukkan punggungnya, sebuah gesture seorang Indonesia sejati saat bertemu dengan orang yang lebih tua.
“Ah…orang Indonesia ya?”
“Iya pak. Asli Magetan.” Jawab Reno dengan senyum khasnya.
“Ah… ya. Silahkan duduk. Bagaimana kabar ibumu Ben? Sehat kan?” Tanya Pak Reza.
“Iya Pak. Alhamdulillah. Ini saya ada titipan dari ibu, untuk anak Bapak.” Aku menyodorkan sebuah bingkisan dari ibuku. Pak Reza menerimanya dan mengucapkan terima kasih.
“Anak saya sebentar lagi lulus kuliah, dia mengambil jurusan photografi di Austrlia, ucapkan terima kasih untuk Fatimah… ada sangat perhatian dengan Faiza anakku.” Ucapnya menyimpan bingkisan itu di ujung mejanya.
“Loh… berarti anaknya Bapak sudah gadis dong Pak! Ini jodohkan saja sama Ben. Kasihan Pak, masih jomlo.” Ucap Reno, yang berhadiah lirikan maut dari ku. Berani-beraninya ia!
“Ah ya? Bukannya kamu sudah menikah Ben? Seingat saya kamu sudah punya anak malah.” Ucap Pak Reza yang membuatku membelalak kaget. Pria tua ini dengan santainya membicarakan masa laluku, sebuah hal yang sangat tabu untuk dibicarakan di depanku bagi banyak orang. Reno hanya nyengir tak enak hati denganku.
Aku megembuskan nafas panjang. “Saya sudah bercerai Pak, anak itu ternyata bukan anak saya… mantan istri saya selama ini berselingkuh. Saya sudah bercerai dua tahun yang lalu.” Ucapku menjelaskan statusku saat ini.
“Kenapa Fatimah tak bilang, biasanya ia selalu bertukar kabar dengan saya. Jangan salah pengertian… saya dengan ibumu tak ada relationship spesial, kami hanya saling kontak. Ia sahabat dekat almarhum istri saya… saya juga akrab dengan Almarhum Yusuf. Dulu awal-awal kematian istri saya, ibumu sering ke sini untuk menghibur Fay… yah… kau maklum saja, seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun kehilangan Ibunya untuk selamanya.. disaat ia butuh cinta dan bimbingan sosok Ibu, beruntung ada ibumu yang menghiburnya. Sejak saat itu kami selalu bertukar kabar… tapi Fatimah tak bilang apapun tentang perceraianmu, Ben. Kalau tahu begitu… kan biar saya jodohkan saja Fay dengan kamu.”
“Ah… Jadi anak Bapak sudah dijodohkan dengan orang lain ya Pak?” Tanya Reno ingin tahu.
Pak Reza tersenyum menggeleng, “Tidak. Tapi anak saya minta perpanjang masa belajarnya di sana tahun kemarin… ia mau mengambil magister. Sudah saya ijinkan, mungkin ia baru selesai akhir tahun depan. Kenapa… Ben mau sama anak saya?” Tawarnya tersenyum menggoda. Aku hanya memasang wajah serba tak enak, kalau kujawab tak mau… aku sungkan, tapi..
“Ya. Mau Pak. Dikenalin aja dulu. Atau ada fotonya Pak?” Reno menjawab. What the…
“Ada… Fotonya. Kalau Ben mau… saya dengan ikhlas mengijinkan kamu menikah dengan anak satu-satunya milik saya. Keluarga kalian sangat baik terhadapku dan Fay.”
“Kami… maksud saya, ibu saya.. ikhlas membantu. Jadi Bapak tidak usah merasa sungkan dan mau membalas budi..”
“Tidak Ben. Saya sejak kecil tau sepak terjangmu. Saya percaya dengan kamu. Saya tulus… kalau kau mau, saya akan menjodohkanmu dengan Faiza. Ia memang anak yang sedikit ramai… tapi dengan sikapnya itu… hidup saya menjadi bewarna. Ia punya virus mematikan yang membuat orang di sekelilingnya tertawa.. dijamin, kalau anak itu sudah membuka mulutnya… kalian tak akan bisa berhenti tertawa.” Jelas Pak Reza, matanya seperti menerawang… mengenang sosok sang anak yang sepertinya sangat dirindukannya.
"Ben! Kamu itu..." Aku memukul bahu Ben, saat ia baru saja datang ke kamar. Wajahnya kaget dengan seranganku yang tanpa pemanasan. "Eh...what? Apa? Kenapa?" Tanyanya bingung. "Nih!" Ucapku menyodorkan ponselnya. "Kau dapat video dari mantan pacarmu!" Ucapku setengah berteriak. Ia duduk di atas kasur dan membuka isi video itu. Ia mendengarkan denganw ajah datar, aku memperhatikan reaksi wajahnya yang sama sekali tak berubah dari awal sampai akhir. "So?" Tanyanya kepadaku, seperti menantang. "Itu mantanmu minta balikan... Secara gak langsung nyuruh kamu pisah sama aku kan? Dia mau nunggu sampai kamu single lagi..." Ucapku setengah berteriak. Saat marah seperti ini, aku menjadi bar-bar. "Kan dia yang bilang...bukan aku." Ucapnya lagi. He? Apa dia bilang, aku seperti sudah dibutakan oleh amarah. Serasa ada asap yang menguap di k
Su Min : Aku tahu, kau dan Fay adalah sepasang kekasih.Aku hampir saja memekik saat ikut membacanya. Ben menoleh dan memberi kode dengan matanya, agar aku diam tak bersuara.Ia dengan tenang membalas isi pesan itu.Ben: Maaf kau salah menyimpulkan.Ucapnya lalu dengan tenang mematikan ponselnya. Aku dengan otomatis memgang tangan Ben. Kalau sampai orang tahu, karirnya bisa selesai, dan aku akan sangat menyesal kalau itu semua karena aku."Ben...gimana kalau ketahuan?" Bisikku."Tak usah risau... Aku takkan jatuh miskin kalau tak bekerja sebagai produser." Jawabnya tenang, kami sudah memasangkan seat belt karena pesawat akan mau take off. Ia menjawab tanpa menoleh ke arahku. Namun genggamannya meremas telapak tanganku.Aku diam, ada banyak yang ingin kutanyakan nanti. Saat tiba di Busan...semoga kami punya waktu berduaan untuk
Kami berujung...berkendara bersama, kami akan pergi ke Busan dengan pesawat, karena akan memakan waktu sekitar empat sampai lima jam untuk tiba di sana dengan mobil, jalur paling cepat adalah pesawat…hanya akan memakan waktu kurang lebih satu jam di udara.“Kita akan langsung ke hotel, dan aku akan rapat dengan manajernya. Kalian bisa beristirahat dulu.” Ucap Ben, Lea dan Su Min akhirnya ikut mobil Ben ke bandara karena tim lainnya sudah berangkat dengan kereta cepat, yang hanya memakan waktu dua jam lebih perjalanan. Sebenarnya aku sangat penasaran dengan kereta itu, tapi Ben sepertinya sangat buru-buru.Aku duduk di kursi depan, hasil kelincahanku di parkiran, Lea sebenarnya sudah membuka kursi penumpang depan, dan aku dengan sangat jenius langsung menunduk dan duduk di depan. Ia sempat protes, tapi Ben sudah meneriaki agar cepat karena penerbangan kami sudah sangat mepet.Di bandara aku merengek ingin caramel macchiato, aku belum
Aku duduk seperti biasa di kursi tamu milik Ben, sebuah sofa kecil di pinggir ruangan. Lea duduk di depan Ben, ia dengan pakaian formalnya…sebuah blazer dan celana skinny. Ia mengikat rambutnya agar berkesan pintar. Apakah ia pintar? Aku pun tak paham. Tuan Su Min terlihat santai duduk di sampingku.“Kau terlihat santai..” Sapaku kepada Su Min.“Kau terlihat bersinar..” Ucap Su Min yang membuatku duduk lebih tegak.“What do you mean?”“Kau dan Ben… terlihat berbeda…ada aura yang bersinar. Kalau kalian bukan sepupu… aku pasti akan curiga kalian seorang suami istri.” Ucapnya santai, ia masih memainkan sebuah game di ponselnya.Jeder! Kok bisa Su Min bicara seperti itu?Mencoba untuk tak terpengaruh, aku alihkan topic. “Kau ikut ke Busan?”Su Min mengangguk.“Padat acara di sana?”Ia menggeleng, “kebanyakan sudah diu
Ben sudah lebih dahulu mandi dan bersiap, saat kemarin ia bilang hari itu hanya untuk aku dan ia, ia benar-benar melakukannya. Seharian aku dan Ben hanya berada di kamar… walau sekali kami melakukannya di ruang tamu. Ah… sepertinya aku tak bisa lagi berpikiran lurus kalau melihat sofa hitam tua yang empuk itu. Ben…dengan segala idenya yang meledakkan kepalaku.“Fay… aku ada rapat di Busan mungkin akan seharian, kau mau ikut?” Tawar Ben.“Hmm…?” Aku masih bermalas-malasan ria, aku sudah mandi…jangan slah! Sebelum subuh… aku sudah mandi dan beribadah, tapi tidur lagi. Hehe…“Aku mau ke Busan, rapat untuk road tour.” Ulang Ben yang sudah rapih dengan kemeja plus celana jeansnya.“Oo… ok.”“Kamu mau ikut? Aku sepertinya akan seharian di sana… mungkin tengah malam baru pulang.
Kami tiba di apartemen Ben, hampir tengan hari di hari berikutnya. Ben sudah meemsan makanan yang akan diantar dalam beberala menit. Sebuah mie jjampong dengan logo halal. Yumm."Mau mandi?" Tanya Ben, ia melepaskan Jeansnya. Sekarang ia hanya mengenakan celana boxernya. Aish.."Gak deh. Kamu aja." Jawabku malu. Kenapa jadi canggung seperti ini sih? Tapi salah dia juga...ngapain pake buka-buka baju segala!"Bareng...yok!" Ucapnya lagi sudah berjalan menuju tempatku berdiri."Mmh.. dingin. Malas, mmmh..nanti aja!" Jawabku sekenanya."Ada aku ..yang bisa buat kamu hangat." Ucapnya dengan pandangan mata yang penuh maksud.Tapi aku cringe! Pake banget! Gimana dong!"Mmh..."Ben tak menjawab lagi, ia langsung menggandengku masuk ke dalam kamar mandi."Ben..." Rengekku dengan suara kecil. Aku benci diri