"Alira!" panggil Bu Rani, dengan degup jantungnya yang tak karuan, berdiri di lorong yang menyambungkan antara pintu lift dan juga unit apartement menantunya.
Mengalihkan kompak pandangan Adam dan juga Alira yang tersentak."Ibu?" gumam Alira, mebulatkan matanya, tak menyangka dengan kehadiran ibunya saat dirinya bersama dengan Adam, membuatnya begitu gemetar."Bu...," lirih Alira lagi, beradu pandang dengan sorot tajam mata Bu Rani yang terdiam, bersama dengan Aksa yang berdiri di belakang ibunya menatapnya dalam."Kalian masih berhubungan? dari mana kalian?" tanya Bu Rani, berusaha bersikap tenang, tak bisa percaya dengan apa yang di lihatnya.Bagaimana bisa? putrinya? yang sudah menjadi istri orang, ketahuan jalan bersama dengan mantan pacar? apa yang sudah Alira lakukan?"Selamat malam Tante," sapa Adam, menelan salivanya pelan menyapa ibu dari kekasihnya.Seraya mengulurkan tangannya ke dMalam semakin larut, menambah suasana yang begitu hening, tanpa suara di dalam ruangan rawat Satria.Karena Alira, hanya duduk termenung sendiri di atas sofa, bersama dengan Aksa yang tertidur, meringkuk di atas sofa di sampingnya.Masih setia menunggu, menemani suaminya yang belum juga membuka mata, entah karena efek obat yang di beri Dokter dia pun tak mengetahuinya.Karena pikirannya yang melayang, tampak menari-nari, berusaha memahami semua yang terjadi namun tetap tak bisa di mengerti."Kamu sudah menjadi istri Ra, sudah tugas kamu untuk berbakti dan taat kepada suami kamu, jaga Satria, rawat Satria, jangan menyakitinya, karena surga kamu ada di tangan Satria Ra, ada di tangan suami kamu,"Kalimat Bu Rani, terus saja terngiang di kepalanya. Membuatnya semakin sedih, dengan kondisi hatinya yang merana, tak bisa melupakan kalimat demi kalimat Ibunya yang menyalahkanny
Pagi kembali menyapa, dengan sinarnya yang menghangat, menembus jendela kaca kamar rawat Satria yang tak tertutup gorden.Terlihat Alira, masih duduk di sebelah ranjang, sedang memainkan ponselnya, berkirim pesan dengan kekasihnya Adam.Hanya sendiri, tanpa Aksa, yang sudah pamit pulang lebih dulu, untuk memulai aktifitas sekolah sebagai pelajar SMA."Ra," panggi Satria, baru membuka mata.Kembali merintih, merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Terutama di bagian kepalanya yang di perban menegakkan kepala Alira."Mas... sudah bangun?" tanya Alira, sesaat setelah meletakkan ponselnya di atas meja.Menyentuh lengan Satria, menanyakan apa yang di butuhkan suaminya."Mau minum? aku ambilkan minum ya?" tanya Alira, tak membuat Satria bersuara, hanya menganggukkan kepalanya begitu pelan mengiyakan."Sebentar ya?" lanjut Alira, segera berdiri dari duduknya, hendak menarik tuas di belakang
Semilirnya angin di siang hari, bertemankan sinar mentari yang tak begitu terik. Akibat dari mendung yang bergelayut pertanda akan turunnya hujan.Terlihat Anton, sedang mengayunkan langkah, hendak memasuki ruangan sahabatnya, Adam."Ayo Dam," ucap Anton. sesaat setelah membuka pintu, mengalihkan pandangan Adam."Jadi?""Jadilah, kita berangkat sama Gladis dan Pak Adi," jawab Anton, masih berdiri di balik pintu ruangan yang terbuka, menganggukkan kepala Adam.Sementara itu di rumah sakit, terlihat Alira, duduk di kursi sebelah ranjang, duduk bercanda, mengupas jeruk yang di bawa orang tuanya, untuk di berikannya kepada Satria."Gimana Sat jeruknya? manis?" tanya Bu Rani, duduk di atas sofa, bersama dengan suami dan juga besannya, ikut menikmati buah yang di bawanya."Manis Bu, kayak saya," jawab Satria, menciptakan tawa semuanya, termasuk
"Ehem!" suara deheman. Menyadarkan Alira dan juga Satria, mengalihkan pandangan mereka kompak ke arah suara."Adam...," batin Alira, membulatkan matanya.Dengan degup jantungnya yang tak karuan, spontan berdiri dari duduknya mengetahui keberadaan kekasihnya.Yang terdiam dan membisu, hanya berdiri di depan pintu kamar rawat yang terbuka, di belakang Adi. Bersebelahan dengan Anton dan juga Gladis, menatapnya tajam menahan amarah."Duh duh duh... yang lagi di manja...pakai di suapin segala...," goda Adi, mencebikkan bibir Satria.Bersamaan dengan Alira, yang menundukkan kepalanya, tak berani menatap kekasihnya yang membisu terlihat murka."Ayo Di, Gladis, An, silahkan duduk," sahut Papa Bagaskara, sebelum terdiam tak mengenali Adam."Ini Manager baru itu ya?" lanjut Papa Bagas, menunjuk Adam yang mengangguk pelan."Iya
"Kamu nggak papa kan?" tanya Bu Rani, sesaat setelah Alira membuka pintu, menatap wajah basah putrinya oleh air dengan kedua mata yang memerah."Nggak papa Bu, aku hanya lelah, ingin istirahat," jawab Alira."Kamu duduk dulu Ra,""Nggak Bu, aku ingin pulang, aku ingin tidur Bu, kepalaku pusing," kilah Alira, ingin sekali menemui Adam untuk menjelaskan semuanya.Sebelum mengalihkan pandangannya, menatap suaminya yang bersuara."Kamu mau pulang Ra?" tanya Satria, masih tak ingin di tinggal sama istrinya beradu pandang."Iya Mas, aku pulang dulu ya Mas? hanya sebentar, nanti malam aku kesini lagi," jawab Alira, berusaha bersikap tenang, menata hatinya sendiri yang gelisah, menatap suaminya yang terdiam membuang pandangan."Saya pulang nggak papa kan Pa?" tanya Alira, kepada Papa Bagaskara yang mengangguk pelan."Nggak pa
Malam belum terlalu larut, masih berada di pukul tujuh, tanpa bintang dan juga rembulan. Karena derasnya hujan.Bersamaan dengan petir yang sedikit menggelegar, menemani perjalanan Alira yang sedang duduk terdiam di dalam taksi online yang di tumpanginya.Baru pulang dari apartemen kekasihnya, membawa sebuah rasa dilema yang begitu besar, membuatnya begitu bimbang dengan keputusan yang harus di ambilnya.Bercerai atau putus? sebuah pilihan yang begitu sulit, bukan karena dirinya yang telah mencintai suaminya, tapi karena kondisi suaminya yang tak mungkin bisa di ajaknya berkomunikasi mengenai perceraian mereka yang belum pada waktunya.Dan putus? sungguh, sebuah kata yang sangat menyakitinya, karena dirinya yang mencinta, tak ingin kehilangan lelaki pujaan hatinya, lelaki yang sangat dicintainya."Ya Allah...," batinnya, menyeka buliran bening yang terjatuh di pipi.
"Apa kabar? sudah lama sekali kita nggak pernah bertemu," ucap Azkia, sudah duduk di atas sofa di ruangan Adi, bersebrangan dengan pemilik ruangan yang tersenyum tipis beradu pandang."Iya, lama sekali," jawab Adi, tak mengalihkan pandanganya, dari Azkia yang menunduk kembali membisu, tampak begitu ragu untuk membuka suara."Lupakan Satria!" kalimat Adi, menyentakkan hati Azkia, membuat degup jantungnya tak karuan kembali bersitatap."Jalan kalian sudah berbeda Az, biarkan Satria bahagia dengan kehidupannya, dan kamu juga bisa bisa bahagia dengan kehidupan kamu,""Satria mencintaiku Di, aku hanya perlu meminta maaf bukan? dia pasti bisa memaafkan aku. Meskipun aku harus menunggu beberapa saat untuk membuatnya bisa kembali menerimaku," jawab Azkia.Menciptakan seulas senyum tipis di bibir Adi menggosok dahinya perlahan membuang pandangannya."Jangan berlagak b
"Mau kemana kamu Ra?" sela Satria.Semakin menyentakkan hati Azkia, menatap lekat genggaman tangan kekasihnya membuatnya cemburu."Keluar sebentar Mas,""Nggak perlu keluar," sahut Satria, segera mengalihkan pandangannya kembali menatap Azkia yang membeku."Kamu mau bicara? bicara saja, istriku tetap di sini, dan nggak akan kemana-mana,""Istri?" spontan Azkia, dengan degup jantungnya yang tak karuan, di temani oleh deru nafasnya yang memburu, tak bisa percaya dengan kata istri yang baru di dengarnya.Tak terkecuali Alira, yang menolehkan kepalanya cepat, membulatkan matanya penuh tak menyangka dengan status pernikahan yang di ungkap suaminya."Apa maksud kamu Sat? istri? istri apa maksud kamu?""Alira istriku, aku sudah menikahinya enam bulan yang lalu," jawab Satria, mengulaskan senyum tipis di bibirnya, tak lagi me