Pernikahan Paksa yang terjadi antara Alira Maulidina bersama dengan Satria Abraham, di saat keduanya masih memiliki kekasih. Hingga membuat keduanya hanyut didalam pernikahan palsu. Penuh dengan kepura puraan demi untuk bisa menjaga hati orang tua keduanya, dan menjadikan sakralnya pernikahan menjadi sebuah permainan di atas sebuah penjanjian. Sebelum akhirnya Satria yang patah hati, akibat video syur kekasihnya yang tersebar di media sosial, menciptakan luka di hatinya yang begitu menganga, juga menciptakan celah di hatinya untuk bisa mencintai istrinya. Hingga membuatnya harus berjuang, demi untuk bisa mengambil hati istrinya yang masih menjalin hubungan dengan Adam, membuatnya harus mengingkari surat perjanjian yang telah dibuatnya sendiri, mengenai perceraian yang akan di lakukan setelah satu tahun pernikahan.
Lihat lebih banyakBrukkkk
Alira melempar tas selempangnya dengan kesal ke atas kasur, segera manjatuhkan tubuh langsingnya di atas ranjang kemudian membenamkan wajah cantiknya ke dalam bantal. Air mata jatuh tak bisa ditahan, sangat deras hingga membuatnya tergugu bahkan tersedu sedu.
Tak habis pikir dengan rencana Ayahnya yang akan menjodohkan dengan laki laki yang tak dia kenal. Sesak, bibir bergetar Alira meraung melampiaskan desakan dari rasa sedih. Bagaimana nasib percintaannya setelah ini? kisah cinta yang sudah dia rajut dengan sangat lama bersama dengan laki laki yang dia cinta.
Susah untuknya bisa menerima. Kenapa Ayahnya tega sekali? tiba tiba mendorongnya masuk ke dalam kehidupan pria asing, memaksanya hidup bagaikan kisah seorang Siti Nurbaya.
"Kenapa harus punya hutang sih Yah? kenapa harus membayar hutang dengan aku Yah? kenapa? aku kan anak Ayah? anak kandung Ayah! bukan anak tiri Yah!" gumamnya kesal.
Ia baru saja menyelesaikan kuliah, merasa perjalanan masih sangat panjang. Bekerja lalu meneria gaji, sungguh ia ingin merasakannya.
Tapi kenapa Ayahnya tega berbuat demikian? memaksanya menikah lalu menjadi ibu rumah tangga? setelah menyakiti hati Adam.
Alira meraung, memukul bantal melampiaskan perasaan furstasi. Gelap, masa depan terlihat begitu suram jika benar Ayahnya bersikekeh dengan perjodohan yang tak dia inginkan.
Alira beranjak duduk ketika dada terasa sesak. Susah sekali untuknya bernapas. "Aaaah!" ia memekik kesal, berteriak setelah memukul dadanya yang dihimpit keras.
"Adam! aku di jodohkan Dam! bagaimana ini Dam? aku di jodohkan sama Ayah Ibuku Dam!" tangis Alira tergugu, memanggil nama kekasih hati lalu menutup wajah cantiknya menggunakan kedua telapak tangannya.
Hanya sebatas tahu saja rasanya sudah sakit seperti ini. Bagaimana kalau merasakannya langsung? kehilangan Adam lalu menikah dengan laki laki yang tak dia kenal?
"Aku nggak mau putus Dam! aku mencintai kamu! aku ingin menikah dan hidup sama kamu!" tersedu sedu, ia ingat bagaimana sikap baik Adam yang juga sangat mencintainya, selalu berusaha membuatny bahagia selama enam tahun menjalin hubungan.
Alira kembali berteriak, membuang semua bantal di ranjang ke atas lantai tapi tetap saja tidak bisa menguraikan rasa sesak.
Pintu kaar terbuka. "Alira." Panggil Bu Rani, ibu Alira itu terlihat begitu sendu, memandang sedih putrinya dengan putus asa..
"Aku nggak mau dijodohkan Bu." Ucap Alira, kedua sorot mata memerah ia menatap tajam Bu Rani yang berjalan mendekati.
"Ibu sama Ayah minta maaf ya?"
"Aku nggak mau memaafkan kalau Ibu dan Ayah masih memiliki niat menjodohkanku!"
"Ibu nggak bisa berbuat apa-apa."
"Ibu bisa membujuk Ayah." Alira mengiba
Menambahkan rasa bersalah di hati Bu Rani, ia menitikan air mata, lalu membelai lembut puncak kepala anaknya.
Bibir Alira bergetar. "Aku nggak mau dijodohkan." Ucapnya kembali terisak, meminta belas kasih dari ibunya agar tak lagi dipaksa. Aku nggak mau dijodohkan." Ucapnya semakin lirih, kemudian masuk ke dalam pelukan Bu Rani yang segera mendekapnya erat.
Keduanya menangis, lidah Bu Rani kelu hingga membuatnya susahnya berkata. "Ibu minta maaf." Hanya sebatas itu yang bisa dia katakan, karena lemahnya diri tak bisa berbuat lebih. "Ibu minta maaf ya."
Alira kian tergugu, kembali terisak dan tersedu sedu di pelukan Ibunya. "Apa karena statusku yang anak pertama? jadi aku dijadikan alat untuk membayar hutang."
'Bukan seperti itu."
'Harusnya Ibu melahirkanku menjadi anak kedua! biar aku bisa menikmati kebahagiaanku sendiri! sesuai jalan yang aku sukai sendiri!"
"Ibu minta maaf." Rasa bersalah menyeruak. Bu Rani eratkan dekapannya di tubuh putrinya yang tak berhenti menangis.
Alira lepaskan pelukan. "Bagaimana dengan masa depanku jika aku dijodohkan? cita-citaku? impianku? bahkan aku belum bisa memberikan ibu gaji pertamaku." Suara Alira terbata. "Aku belum bekerja, apa Ibu tidka ingin merasakan uang dari gaji pertamaku?"
'Bibir Bu Rani bergetar.
'Ibu jangan ikut menangis! Ibu bantu aku bilang sama Ayah! Ibu bisa kan membujuk Ayah?" Asa semakin menipis membuat Alira lebih emosional.
"Ibu sudah berusaha melakukannya."
'Kalau Ibu sudah berusaha harusnya Ayah nggak memaksakan kehendaknya!"
Bu Rani menyeka lembut pipi anak gadisnya, dengan perasaan sakit di hati merasa tak berdaya dengan permohonan Alira. Karena hutang Budi suaminya yang harus dibayar, Ia tidak bisa berbuat banyak untuk menghentikan perjodohan yang diminta calon besannya.
Sahabat baik dari suaminya, yang telah banyak membantu kehidupan keluarganya.
***
Flasback
"Assalamualaikum," ucap Alira, mengayunkan langkahnya masuk kedalam rumah, mengulaskan senyumnya kepada Ayah dan Ibunya yang sedang duduk bersantai di depan tv di ruang keluarga menjawab salamnya kompak.
"Waalaikum Salam, sudah pulang Ra?" jawab Bu Rani menikmati kue kering yang tersaji, mengulaskan senyumnya kepada Alira yang mengayunkan langkah mendekatinya.
"Sudah Bu," jawab Alira, mencium tangan kedua orang tuanya bergantian, sebelum duduk di sebelah Ayah Pras, sesaat setelah mencomot satu kue kering di atas meja.
"Gimana? lancar interviewnya?" tanya Ayah Pras yang di jawab dengan anggukan pelan kepala Alira.
"Doain ya Yah? Bu?" jawab Alira, di sela kunyahannya.
"Aamiin. semoga keterima ya Ra?" jawab Bu Rani, di ikuti dengan kata Amin Ayah Pras dan Alira.
"Emmm...Ayah ingin bicara sama kamu bisa?" ucap Ayah Pras, mengalihkan pandangan Alira yang mengangguk pelan menatapnya.
"Bicara aja Yah, kenapa harus pakai izin?" jawab Alira santai, kembali menyuapkan kue kering ke dalam mulutnya menatap Ayahnya.
"Bagaimana hubungan kamu dengan Adam Ra? baik-baik saja?" tanya Ayah Pras yang di sambut dengan anggukan kepala Alira yang masih mengunyah kue di mulutnya.
"Baik Yah, nggak ada masalah, cuma Adam sekarang lagi di luar kota jadi kangen deh nggak bisa ketemu," jawab Alira terkekeh.
Mengalihkan pandangan Ayah Pras, beradu pandang dengan Ibu Rani yang terdiam.
"Apa Ayah sama Ibu boleh minta sesuatu sama kamu Ra?" tanya Ayah Pras lagi hati-hati.
"Minta apa Yah?" jawab Alira sebelum tersedak dengan kalimat Ayahnya.
"Kamu putus sama Adam ya?" lanjut Ayah Pras, menyentakkan hati Alira, membuatnya terbatuk.
"Minum dulu Ra," Bu Rani bersuara, memberikan segelas teh hangat milik suaminya kepada Alira.
"Kenapa Yah? kenapa aku harus putus sama Adam?" tanya Alira, dengan sorot mata bingungnya, sesaat setelah menenggak habis teh hangat pemberian Ibunya.
"Karena kamu harus menikah sama Satria Ra, anak Om Bagaskara." jawab Ayah Pras, membulatkan mata Alira menatapnya.
"Ayah bercanda kan?" tanya Alira, sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Bu Rani yang terdiam, masih duduk di samping ayahnya menatapnya sendu.
"Ayah bercanda kan Bu? ayo Bu tolong bilang sama aku kalau Ayah sedang bercanda!" ucap Alira, dengan wajah tak percayanya ingin mencari pembelaan Ibunya.
Sebelum mengulaskan senyum getirnya, dengan matanya yang berkaca-kaca mengalihkan pandagannya ke arah Ayah Pras yang terdiam menatapnya.
"Ayolah Yah, Ayah pasti bercanda kan?" lirih Alira, ingin mencari kebohongan di wajah ayahnya.
Namun tak menemukannya, yang dia temukan hanya gelengan pelan kepala Ayah Pras, dengan sorot mata sendu menatapnya dalam.
Bibir Alira bergetar, ia menitikan air mata kemudian membuang pandangannya ke sembarang arah.
"Aku nggak mau menikah sama Satria Yah, dan aku nggak mau putus sama Adam!" jawab Alira, menyeka air matanya pelan tak menatap Ayahnya.
"Kamu harus nikah sama Satria Ra, Ayah mohon sama kamu, kamu menyetujuinya ya?" mohon Ayah Pras, mengalihkan kembali pandangan Alira menatapnya.
"Tapi kenapa Yah? kenapa tiba-tiba?"
"Karena hutang Budi Ayah Ra!" jawab Ayah Pras, dengan nafasnya yang memburu, semakin memecahkan tangis Alira.
"Ayah minta tolong sama kamu, tolong kamu ngerti posisi Ayah," lirih Ayah Pras, beradu pandang, memohon kepada anak gadisnya.
"Bagaimana dengan posisiku Yah? hatiku? perasaanku? tolong mengerti aku juga Yah!" lirih Alira.
Tak membuat Ayah Pras bersuara, hanya membuang pandangannya ke sembarang arah, dengan helaan nafasnya yang terdengar berat mengusap wajahnya pelan.
" Apa kamu ingat dulu Ra? saat usaha Ayah kamu ini hampir bangkrut? Om Bagas yang membantu Ayah, Om Bagas menyuntikkan dana hingga usaha Ayah bisa berdiri tegak seperti sekarang ini!" ucap Ayah Pras, dengan pandangan menerawangnya lurus kedepan.
"Apa kamu ingat saat Ayah sakit dulu Ra? ayah harus di operasi, tepat di saat keuangan ayah yang menipis, Om Bagas juga yang membantu Ayah, hingga Ayah bisa di operasi, dan bisa seperti sekarang ini, berkumpul bersama Kamu, ibu kamu dan adik kamu!" lanjut Ayah Pras tak mengalihkan pandangannya.
Semakin membuat bibir Alira bergetar, kembali mengingat masa-masa susah keluarganya.
Tak terkecuali Bu Rani, yang ikut menitikan air matanya, membelai lembut bahu suaminya.
"Om Bagas juga yang telah membantu biaya kuliah kamu Ra! saat masa - masa krisis Ayah dulu! saat ayah tak lagi punya uang untuk membayar biaya kuliah kamu!," lanjut Ayah Pras, mengalihkan pandangannya menatap Alira yang terdiam dan menangis.
"Dan kemarin Om Bagas bilang ingin melamar kamu untuk anaknya, apa menurutmu Ayah bisa menolaknya setelah kebaikan Om Bagas kepada kita Ra?" lanjut Ayah Pras yang di jawab dengan kebisuan Alira.
Hanya menangis, terisak tak mampu lagi mendebat kalimat Ayahnya yang penuh beban.
Beban dari hutang Budi yang ditanamkan Om Bagas di pundak Ayahnya, menjadikan Ayahnya tak berdaya.
Walaupun hanya sekedar untuk menolak keinginan Om Bagas, agar tak sampai mengorbankan perasaan anak kandungnya.
"Apa nggak ada cara lain selain pernikahan Yah? Bu?" lirih Alira, dengan wajahnya yang memelas, Beradu pandang dengan Ayah dan Ibunya.
Bersambung.
Kebahagiaan yang sudah menyelimuti, merasa saling membutuhkan dan terlebih lagi mencintai. Setelah kehilangan yang begitu sangat menyakiti hati, dan di tambah lagi dengan kesalahpahaman yang menyesakkan, menyayat perih luka hati yang sudah saling mencintai.Setelah dua Minggu berlalu, Alira yang kini telah menyadari untuk siapa sebenarnya hatinya di labuhkan, setelah dilema panjang yang menderanya, dan masih belum bisa melupakan Adam secara sempurna.Tapi kali ini, dirinya sudah memantapkan nya, memilih untuk mencintai sepenuh hati. Satria, sang suami, pendamping hidupnya pemilik hatinya.Tanpa bayang bayang Adam yang membayangi, tanpa bayangan dari kisah cinta lamanya yang telah ia lepaskan seutuhnya."Mas," panggil Alira suatu sore, tepat di hari minggu di ruang tengah di dalam apartemennya.Mengalihkan pandangan Satria, yang sedang menikmati buah apel hasil irisan tangannya, menikmati drama Korea kesukaannya."Kenapa?" tanya Satria, di sela mengunyahnya mengecup singkat pipi istriny
Kemarahan yang menguasai, membuat Satria tak lagi bisa mengontrol diri. Sudah berada di dalam perjalanan, sedang mencoba menelepon mantan kekasihnya."Dimana?" sengit Satria, dengan sorot mata tajamnya. Duduk di kursi depan di mobilnya yang di kemudikan Adi."Di kafe, kenapa? mau kesini?" jawab Azkia, dengan suaranya yang terdengar biasa, sama sekali tak mengetahui gemuruh di dalam dada Satria."Share lokasi, aku kesana sekarang,""Jadi ngajak ketemu terus ya sekarang? goda Azkia terdengar senang. "Apa mungkin kamu sudah mulai..."Mengembangkan amarah di hati Satria, segera mematikan panggilan teleponnya spontan. Karena dirinya yang merasa tak sabar, untuk memberikan mantan kekasihnya itu pelajaran."Ke kafe Memory," suara Satria, sesaat setelah menerima pesan dari Azkia.Dan tak membuat sahabatnya itu bersuara, hanya menginjak gas mobil
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
"Gila kamu Sat," lirih Adi, sesaat setelah mendengarkan cerita dari Satria, mengenai situasi yang sebenarnya sama sekali tak menyangka. "Bodoh sekali kamu,""Aku tahu," sahut Satria, semakin sendu membuang pandangan. "Dan aku menyesalinya.""Apa kamu tahu apa yang sudah aku katakan kemarin ke Alira saat kamu pergi menemui Azkia dalam keadaan marah?"Mengalihkan pandangan Satria menatapnya diam."Jangan panik Ra, Satria lebih tahu apa yang harus di lakukannya, dia hanya sedang menjaga dan melindungi kamu," menirukan ucapannya sendiri mencebikkan bibirnya."Dan aku benar benar malu dengan kalimatku itu Sat, kamu nggak sebaik yang aku kira, kamu nggak tahu apa yang harus kamu lakukan, bukannya menjaga istri kamu, kamu malah... ck," berdecak kesal."Lebih baik kamu masuk ke dalam sekarang Di! lihat kondisinya Alira, daripada terus menyalahkan ku dan semakin membu
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen