Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.
Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yangKemarahan yang menguasai, membuat Satria tak lagi bisa mengontrol diri. Sudah berada di dalam perjalanan, sedang mencoba menelepon mantan kekasihnya."Dimana?" sengit Satria, dengan sorot mata tajamnya. Duduk di kursi depan di mobilnya yang di kemudikan Adi."Di kafe, kenapa? mau kesini?" jawab Azkia, dengan suaranya yang terdengar biasa, sama sekali tak mengetahui gemuruh di dalam dada Satria."Share lokasi, aku kesana sekarang,""Jadi ngajak ketemu terus ya sekarang? goda Azkia terdengar senang. "Apa mungkin kamu sudah mulai..."Mengembangkan amarah di hati Satria, segera mematikan panggilan teleponnya spontan. Karena dirinya yang merasa tak sabar, untuk memberikan mantan kekasihnya itu pelajaran."Ke kafe Memory," suara Satria, sesaat setelah menerima pesan dari Azkia.Dan tak membuat sahabatnya itu bersuara, hanya menginjak gas mobil
Kebahagiaan yang sudah menyelimuti, merasa saling membutuhkan dan terlebih lagi mencintai. Setelah kehilangan yang begitu sangat menyakiti hati, dan di tambah lagi dengan kesalahpahaman yang menyesakkan, menyayat perih luka hati yang sudah saling mencintai.Setelah dua Minggu berlalu, Alira yang kini telah menyadari untuk siapa sebenarnya hatinya di labuhkan, setelah dilema panjang yang menderanya, dan masih belum bisa melupakan Adam secara sempurna.Tapi kali ini, dirinya sudah memantapkan nya, memilih untuk mencintai sepenuh hati. Satria, sang suami, pendamping hidupnya pemilik hatinya.Tanpa bayang bayang Adam yang membayangi, tanpa bayangan dari kisah cinta lamanya yang telah ia lepaskan seutuhnya."Mas," panggil Alira suatu sore, tepat di hari minggu di ruang tengah di dalam apartemennya.Mengalihkan pandangan Satria, yang sedang menikmati buah apel hasil irisan tangannya, m
BrukkkkAlira melempar tas selempangnya dengan kesal ke atas kasur, segera manjatuhkan tubuh langsingnya di atas ranjang, sebelum membenamkan wajah cantiknya ke dalam bantal.Dengan air matanya yang berderai, Alira hanya bisa menangis, terisak dan tergugu, memikirkan bagaimana nasib dan masa depannya setelah ini.Dia masih tak percaya, bagaimana bisa kedua orang tuanya menjodohkannya begitu saja, tiba-tiba, tanpa ada angin ataupun hujan, menjadikan hidupnya bagaikan kisah seorang Siti Nurbaya."Kenapa harus punya hutang sih Yah? kenapa harus membayar hutang dengan aku Yah? kenapa? aku kan anak Ayah? anak kandung Ayah! bukan anak tiri Yah...,""Aku baru saja selesai kuliah Yah, perjalananku masih sangat panjang! bahkan aku masih mencari kerja dan belum pernah merasakan uang hasil kerja kerasku sendiri, bagaimana bisa Ayah menjodohkanku Yah? bagaimana bisa? bagaimana dengan&
Di kediaman Papa Bagaskara.Malam telah menjelang, setelah kehilangan senja sore yang begitu indah di pandang mata, karena langit yang telah menggelap sempurna, dengan hiasan bintang yang menemani sang rembulan.Terlihat Satria, duduk berselonjor diatas sofa kamarnya yang terlihat luas, tak mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya yang menyala di atas pangkuannya.Karena dirinya yang tengah sibuk, membaca beberapa file yang di kirim oleh sekretarisnya lewat email.Sebelum mengalihkan pandangannya, hanya sesaat karena suara ponselnya yang berdering di atas meja."Siapa sih?" gumamnya pelan, seraya meraih ponselnya tak mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya."Halo!" ucap Satria, sesaat setelah menggeser layar ponselnya, segera meletakkannya di telinga tak membaca nama yang tertera di dalamnya.
Sinar sang Surya mulai beranjak, namun tak terlalu naik bertemankan angin yang semilir menggoyangkan dedaunan yang tumbuh di halaman rumah Alira.Tepat di saat pukul 10:00, terlihat sedan mewah Papa Bagaskara, melaju pelan memasuki pintu pagar rumah Alira yang terbuka, sebelum berhenti tepat di halaman rumah Alira yang cukup luas."Ayo masuk Sat!" ucap Papa Bagaskara, duduk di kursi belakang di samping anaknya.Terlihat antusias ingin segera menemui calon besannya, sahabat baiknya sendiri.Berbeda dengan Satria yang terlihat lesu, masih menyandarkan kepalanya di sandaran mobil tak ingin beranjak keluar dari mobil papanya."Ayo,""Aku masih belum yakin dengan keputusanku ini Pa!" lirih Satria, dengan wajah memelasnya, dengan harapannya yang sangat besar, bisa merubah pikiran Papanya."Sudah lah Sat! percaya sama Papa, Papa yakin kamu akan suka sama Alira, d
Satu Minggu telah berlalu...Angin begitu semilir, menggoyangkan dedaunan di bawah sinar mentari yang masih hangat tepat di hari Minggu.Menemani perjalan Alira, dengan menggunakan motor matic yang dikendarainya, melajukan motornya dengan kecepatan sedang menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Dengan perasaannya yang sedikit bahagia, setelah dua Minggu lamanya menahan nestapa.Karena kedatangan sang pujaan hatinya yang baru pulang dari luar kota, membuatnya tak sabar ingin segera bertemu di sebuah kafe tempat biasanya saling ngobrol dan bercerita.Sementara itu di tempat lainnya, tampak Satria, mengulaskan senyum semringahnya, menggenggam erat tangan seorang gadis cantik berambut panjang, yang sedang duduk di kursi penumpang depan di sebelahnya.Beberapa kali menolehkan kepalanya, saling bicara dan bercanda, bersama dengan Azkia, wanita pujaan hatinya, menikmati ken
"Yank...," panggil Azkia, menyentakkan hati Satria.Melepaskan sentuhan tangannya spontan di lengan Alira, bersamaan dengan gerakan kepalanya yang menoleh, beradu pandang dengan Azkia yang berdiri, mengayunkan langkah mendekatinya."Ngapain kamu?" tanya Azkia.Tak membuat Satria bersuara, hanya berdiri tegak mengusap dahinya perlahan tak mengalihkan pandangannya."Siapa wanita ini? kamu mengenalnya?" tanya Azkia, menoleh ke arah Alira yang terdiam tak ingin ikut campur di dalam urusan Satria."Aku permisi," ucap Alira, segera mengayunkan langkahnya cepat, keluar dari lorong kamar mandi meninggalkan Satria dan Azkia yang terdiam menyaksikan kepergiannya."Siapa dia Yank?" tanya Azkia lagi, dengan jiwa ke ingin tahuannya yang meninggi, tak sabar dengan jawaban Satria."Dia anak dari teman Papa Yank," jawab Satria akhirnya, mengerutkan kening Azkia menatapnya dalam."Anak teman Papa
"Apa ini?" tanya Alira."Surat perjanjian pernikahan," jawab Satria, menyentakkan hati Alira segera membuka berkas di tangannya.Sebelum mengulaskan senyumnya, membekap mulutnya sendiri, dengan detak jantungnya yang tak karuan membaca surat perjanjian pernikahan.Mengerutkan kening Satria, tak menyangka dengan ekspresi yang di lihatnya di wajah calon istrinya."Surat perjanjian pernikahan kita?" tanya Alira, tak menyadari binar bahagia di manik indahnya, beradu pandang dengan Satria yang terdiam."Kamu buta huruf? baca aja!" jawab Satria, tak melukai hati Alira, karena rasa bahagianya yang begitu bergelora.Menyejukkan hatinya yang sempat merana, karena surat perjanjian pernikahan yang a