"Kamu nggak papa kan?" tanya Bu Rani, sesaat setelah Alira membuka pintu, menatap wajah basah putrinya oleh air dengan kedua mata yang memerah.
"Nggak papa Bu, aku hanya lelah, ingin istirahat," jawab Alira.
"Kamu duduk dulu Ra,"
"Nggak Bu, aku ingin pulang, aku ingin tidur Bu, kepalaku pusing," kilah Alira, ingin sekali menemui Adam untuk menjelaskan semuanya.
Sebelum mengalihkan pandangannya, menatap suaminya yang bersuara.
"Kamu mau pulang Ra?" tanya Satria, masih tak ingin di tinggal sama istrinya beradu pandang.
"Iya Mas, aku pulang dulu ya Mas? hanya sebentar, nanti malam aku kesini lagi," jawab Alira, berusaha bersikap tenang, menata hatinya sendiri yang gelisah, menatap suaminya yang terdiam membuang pandangan.
"Saya pulang nggak papa kan Pa?" tanya Alira, kepada Papa Bagaskara yang mengangguk pelan.
"Nggak pa
Malam belum terlalu larut, masih berada di pukul tujuh, tanpa bintang dan juga rembulan. Karena derasnya hujan.Bersamaan dengan petir yang sedikit menggelegar, menemani perjalanan Alira yang sedang duduk terdiam di dalam taksi online yang di tumpanginya.Baru pulang dari apartemen kekasihnya, membawa sebuah rasa dilema yang begitu besar, membuatnya begitu bimbang dengan keputusan yang harus di ambilnya.Bercerai atau putus? sebuah pilihan yang begitu sulit, bukan karena dirinya yang telah mencintai suaminya, tapi karena kondisi suaminya yang tak mungkin bisa di ajaknya berkomunikasi mengenai perceraian mereka yang belum pada waktunya.Dan putus? sungguh, sebuah kata yang sangat menyakitinya, karena dirinya yang mencinta, tak ingin kehilangan lelaki pujaan hatinya, lelaki yang sangat dicintainya."Ya Allah...," batinnya, menyeka buliran bening yang terjatuh di pipi.
"Apa kabar? sudah lama sekali kita nggak pernah bertemu," ucap Azkia, sudah duduk di atas sofa di ruangan Adi, bersebrangan dengan pemilik ruangan yang tersenyum tipis beradu pandang."Iya, lama sekali," jawab Adi, tak mengalihkan pandanganya, dari Azkia yang menunduk kembali membisu, tampak begitu ragu untuk membuka suara."Lupakan Satria!" kalimat Adi, menyentakkan hati Azkia, membuat degup jantungnya tak karuan kembali bersitatap."Jalan kalian sudah berbeda Az, biarkan Satria bahagia dengan kehidupannya, dan kamu juga bisa bisa bahagia dengan kehidupan kamu,""Satria mencintaiku Di, aku hanya perlu meminta maaf bukan? dia pasti bisa memaafkan aku. Meskipun aku harus menunggu beberapa saat untuk membuatnya bisa kembali menerimaku," jawab Azkia.Menciptakan seulas senyum tipis di bibir Adi menggosok dahinya perlahan membuang pandangannya."Jangan berlagak b
"Mau kemana kamu Ra?" sela Satria.Semakin menyentakkan hati Azkia, menatap lekat genggaman tangan kekasihnya membuatnya cemburu."Keluar sebentar Mas,""Nggak perlu keluar," sahut Satria, segera mengalihkan pandangannya kembali menatap Azkia yang membeku."Kamu mau bicara? bicara saja, istriku tetap di sini, dan nggak akan kemana-mana,""Istri?" spontan Azkia, dengan degup jantungnya yang tak karuan, di temani oleh deru nafasnya yang memburu, tak bisa percaya dengan kata istri yang baru di dengarnya.Tak terkecuali Alira, yang menolehkan kepalanya cepat, membulatkan matanya penuh tak menyangka dengan status pernikahan yang di ungkap suaminya."Apa maksud kamu Sat? istri? istri apa maksud kamu?""Alira istriku, aku sudah menikahinya enam bulan yang lalu," jawab Satria, mengulaskan senyum tipis di bibirnya, tak lagi me
Suasana yang begitu sepi, sangat cocok untuk menyendiri mencari ketenangan hati setelah kesabaran yang telah loss tak terkendali.Masih di dalam gedung tinggi menjulang rumah sakit tempat suaminya di rawat, sudah tiga jam lamanya, Alira masih duduk sendirian di atas kursi yang letaknya berada di bagian sudut di dalam kantin, sudah menghabiskan dua mangkuk bakso pedas dan juga dua gelas es teh manis guna untuk menetralisir rasa kesal yang sempat menghampiri.Kembali terdiam dan termenung, duduk bersandar dengan pandangan menerawangnya tak bisa melupakan bayangan Satria yang menciumnya."Kenapa sampai mencium segala sih? meskipun Azkia nggak percaya kan juga nggak masalah?" gumamnya, membuang pandangannya.Masih belum bisa menerima perlakuan suaminya yang begitu tiba tiba dan tanpa aba-aba, memancing rasa bersalah di dirinya kepada Adam yang jika tahu, pasti akan semakin marah dan tak bisa terima.
Gerimis hujan yang tak terlalu deras, berhasil membasahi jalanan kota yang terlihat lenggang, tak padat ataupun merambat.Tepat di sore hari, di pukul 15:00, terlihat sedan hitam Papa Bagaskara, melaju dengan kecepatan sedang menembus rintiknya gerimis di bawah kendali Pak Anam.Membawa serta Tuannya, Papa Bagaskara yang sedang duduk di kursi kemudi memejamkan mata dengan kedua tangan yang melipat di atas dada.Beserta Alira dan juga Satria, tampak tenang saling diam, duduk di kursi belakang tanpa pembicaraan."Bagaimana jika Adam tahu? aku pindah ke rumah Papa dan tidur satu kamar dengan Mas Satria?" batin Alira pilu, semakin merasa bersalah, namun tak bisa berbuat apa apa.Hanya bisa pasrah, akibat status yang di sandangnya, tak mampu lagi menjaga hati dan perasaan kekasihnya.Kekasih yang masih di perjuangkannya, berpegangan pada perjanjian pernikahan yang
"Kamu duduk dulu ya Mas? tunggu sebentar, biar aku ambilkan jubah handuk kamu dulu," suara Alira, mengarahkan suaminya untuk kembali duduk di tepi ranjang.Tak membuat Satria bersuara, hanya menahan senyum mengangguk pelan."Dimana tempatnya ya? aku lupa,""Ada di almari, pintu tengah di bagian bawah,""Oh iya, sebentar," lanjut Alira, segera mengayunkan langkahnya, hendak membuka pintu almari, untuk mengambil salah satu jubah handuk yang ada di dalamnya."Kamu pakai dulu ya? aku siapin air nya dulu," lanjut Alira, sesaat setelah berdiri di depan suaminya, mengangsurkan jubah handuk yang baru diambilnya ke depan Satria."Air hangat Ra,""Iya Mas," jawab Alira, menganggukkan kepalanya pelan, kembali mengayunkan langkahnya, hendak masuk ke dalam kamar mandi.Untuk mengisi bathup yang tersedia, meninggalkan Satria yang t
"Kok belinya cuma satu Ra?" tanya Satria, masih duduk bersandar di atas ranjang, mengalihkan pandangan Alira yang sedang berdiri, membuka bungkusan ketoprak yang ada di atas nakas."Lupa nggak bawa dompet Mas, ini aja masih untung nemu uang dua puluh ribu di saku celana," jawab Alira, menciptakan senyum di bibir Satria menyandarkan kepala."Sampai segitunya kamu Ra, hanya untuk menghindariku sampai lari gitu aja nggak bawa apa-apa," sindir Satria, tak membuat Alira bersuara, hanya diam membisu segera melangkah untuk duduk di tepi ranjang di depannya."Kamu mau nggak? aku hanya bisa beli satu Mas, kita bisa makan bersama," kata Alira."Itu kenapa sendoknya ada dua?" tanya Satria, menunjuk sendok yang ada di tangan istrinya, mengalihkan pandangan Alira."Biar kita bisa makan sama-sama Mas,""Ya nggak perlu sendok dua lah Ra, satu saja cukup kan? kasihan Bi Asih
"Mau kemana kamu?" tanya Satria, masih duduk di tepi ranjang, beradu pandang dengan mata sembab istrinya, baru keluar dari dalam kamar mandi hendak keluar kamar."Keluar.""Kemana?" desak Satria, menciptakan helaan nafas di bibir Alira, merasa tak suka.Karena hatinya yang sedang tak baik baik saja, merasa terluka dengan semua keadaan yang terus saja memaksanya. Hanya ingin sendiri menenangkan diri tak melakukan pembicaraan.Hingga membuatnya terdiam, segera membuang pandangannya ke sembarang arah, menggigit bibir bawahnya menahan jatuhnya air mata.Tak menatap suaminya yang telah berdiri, hendak mengayunkan langkah mendekatinya."Kenapa kamu nangis?" tanya Satria, tak membuat istrinya bersuara, hanya menundukkan kepala menitikan air mata."Hei... kenapa kamu Ra? kenapa nangis begini sih?" lanjut Satria, semakin bingung dengan tangisan is