“Jaw ... .”“Tidak bisa!”Ali berdiri, meninggalkan Fiani.Fiani berlari, mengejar Ali yang melangkah lebar menuju lantai atas. Perempuan itu menarik tangan Ali. “Nggak bisa gimana? Kamu itu yang nggak bisa menghalangi orang mengambil keputusan! Aku mau tinggal berdua sama Reni, tanpa bayang-bayangmu lagi.”“Kita akan menikah.”“Menikah adalah hal besar, nggak bisa kamu asal ngomong, terus semua tercapai. Menikah itu kesepakatan, Li. Aku nggak akan pernah mau me ... ni ... kah, sama kamu!” Emosi Fiani mulai meledak-ledak.Fiani yakin kebaikan Ali memang tidak beres. Sekarang dia tertahan di sana, dengan orang yang sulit dipahami.“Masih ada waktu, satu bulan. Jadi belajarlah menerima semua ini. Kita akan menikah bulan depan.”Plak ... !Kesabaran Fiani habis, dia paling benci pria mempermainkan pernikahan. Kegagalannya di pernikahan terdahulu, bikin Fiani mawas diri. Tidak terbersit sedikit pun bahwa dia akan dinikahi oleh Ali.Tamparan di pipi Ali, membikin pria itu tersenyum. Detik
Satu bulan bukanlah waktu yang panjang untuk seseorang menunggu dengan keresahan. Sejak Ali melamarnya, dia enggan melihat detik jam berputar, begitu juga untuk melihat matahari di luar, Fiani malas."Ibu ... ayo beli jajan, Eni mau jajan, Bu." Reni menggoyang tangan Fiani yang sedang diam menatap televisi. Siang itu dia merasa bosan, dan mencoba menyalakan televisi. Namun, ternyata saluran pertama yang tayang adalah berita. Pembawa acara menyebutkan hari dan tanggal saat itu. Fiani kaget, dia sejenak diam dan menghitung berapa lama dia mengurung diri di rumah itu. Hingga suara rengekan Reni menyadarkan keegoisan dan nyalinya yang ciut. Harusnya dia berpikir bagaimana cara keluar dari tempat mengerikan tersebut, bukan malah meratapi hal yang baru direncanakan.Bukankah Tuhan penentu segala kejadian? Apakah imannya mulai lemah dengan berbagai ujian yang Tuhan berikan? Fiani terus berpikir, tidak sepantasnya dia menyerah dengan keadaan. Apa gunanya Tuhan memberi akal jika didiamkan."Bu
“Mas pengen liat permainanmu, Dek. Apa kamu bisa bener-bener bikin Mas bangga?” “Mas ngomong apa? Emang selama ini Mas nggak bangga punya aku?” kata Fiani bingung.“Ini udah lebih dari setengah jam, kamu belum juga berhasil bikin Mas tuntas. Awas, turun aja, Mas yang pimpin. Kamu emang nggak bisa kayak Jeni.” Verry asal nyeletuk. “Haa? Jeni siapa, Mas?” “Ah itu ... ehm, itu lho Jeni pemain film dewasa,” jawab Verry agak gugup. Fiani hanya manggut-manggut, lalu turun dan berganti posisi. Setelah beberapa saat, Fiani akhirnya mencapai klimaks. Sayangnya, tidak dengan sang suami. “Mas, kamu emang luar biasa,” ucap Fiani memuji sang suami. “Mas emang hebat dari dulu, Dek. Nggak kayak kamu yang berubah sejak ngelahirin Reni. Udahlah, Mas mau tidur. Capek, buang-buang tenaga aja.” Verry kemudian membersihkan diri walaupun belum sampai puncak. Dia kembali memakai pakaian tanpa peduli Fiani yang diam mematung di atas ranjang. ****Keesokan pagi, Fiani bangun pukul empat. Meski sakit
Fiani memekik tak percaya dengan cerita yang Verry sampaikan. Bagaimana mungkin Arsa yang notabene teman sekolah Fiani sejak SMP, dan telah banyak membantu Fiani, tiba-tiba berkhianat? Bukan tanpa alasan, Fiani meminta bantuan Arsa untuk ikut memasarkan kendaraan di dealer miliknya dan Verry. Selain mereka saling kenal dan telah bersahabat lama, Arsa juga memiliki kemampuan pemasaran yang bagus. Terbukti dengan bantuan Arsa, dealer Verry setiap bulannya mengalami kenaikan omset. Kini, saat Verry bilang kalau Arsa sudah memalsukan tanda tangannya dan memindah alih semua aset toko yang diperjual-belikan, Fiani sulit untuk percaya. “Jadi, kamu nggak percaya sama suami sendiri? Mana mungkin aku mengada-ngada, sih, Dek?” Verry berdiri dan berkacak pinggang. “Bukan gitu, Mas? Aku cuma nggak nyangka aja kalo Arsa tega melakukan itu. Coba nanti aku telepon dia, aku minta dia buat balikin semua hak kita.” “Namanya uang, Dek, siapa yang nggak tergiur. Apalagi usahaku meningkat pesat. Coba
Dini hari, pukul empat pagi, Fiani terbangun dari tidur. Entah sudah kali keberapa dia menangis. Setelah menciumi seluruh wajah Reni, Fiani keluar kamar. Duduk sendiri di kursi makan.Sendiri membikin Fiani banyak berandai-andai sesuatu yang tak akan pernah terjadi.'Ya Allah, coba kalo Bapak sama Ibuk masih ada, pasti aku masih bisa minta solusi dari mereka.' Fiani menangisi nasibnya yang kurang beruntung.Gadis malang yang kehilangan orang tua sejak usia lima tahun. Dia tak begitu ingat saat ayahnya meninggal akibat kecelakaan, dan ibunya depresi lalu ikut menyusul sebulan kemudian. Kala itu dia masih terlalu kecil untuk mengingat hal-hal yang terjadi. Sepeninggal orang tua, Fiani diasuh oleh Pakde dan budenya, saudara tunggal dari sang Ibu. Namun, Fiani kehilangan jejak mereka saat sepulang merantau. Kala itu, ternyata mereka sudah pindah karena rumah mereka disita oleh lintah darat.Ada surat yang dititipkan pada tetangga, tepatnya pada orang tua Arsa. Sayang, karena terlalu lama,
Nada ketus Verry sontak membuat Fiani bingung. “Loh? Itu masih hak kita, Mas! Dealer itu direbut lho, kalo kamu lupa. Kamu terlalu polos apa terlalu baik sih, Mas? Makanya Arsa gampang banget ngambil punya kita," ucap Fiani sembari berpikir, "Ah, iya, cewek tadi bukannya Tina, ya? Sekarang aku percaya, Mas. Berarti beneran Arsa bermuka dua, di depan dia baik, di belakang dia menusukku. Dia pasti kerja sama dengan Tina ya, Mas! Pokoknya, aku nggak terima, Mas.”“Ya begitu temanmu, Dek. Mas aja yang selalu nutupin keburukannya. Kamu terlalu percaya sama dia. Sekarang nggak usah mikirin itu lagi. Rejeki yang hilang pasti ada gantinya. Kamu fokus kerja.” Verry berhenti di depan rumah berlantai tiga.Setelah menempuh perjalanan empat puluh lima menit, mereka sampai di kediaman Beny. Lelaki berkulit putih dengan mata sipit, langsung menyambut kedatangan Verry dengan ramah. “Ini istrimu, Ver?”“Iya, Ben. Jadwal terbang jam berapa?”“Malam, Ver. Ini nanti langsung berangkat ke Jakarta dulu.
Di rumahnya, Reni tak tidur semalaman. Bocah kecil itu hanya menangis mencari ibunya. Baru sehari mengurus Reni, Darmi sudah uring-uringan. Bahkan, Reni dibiarkan sendiri. “Pak, kamu gantian urusin cucumu itu. Capek aku gendong semalaman. Awas aja kalo anakmu nggak bisa bayar mahal. Ogah aku ngurus anak Fia lagi.”“Sudah, urus aja Buk. Aku habis menang togel. Ini buat kamu 500, nanti kalo Verry pulang kamu pergilah senang-senang.”“Mana cukup 500? Lihat, lingkar mataku hitam karena ngurus bocah itu. Ini sih cuma cukup buat ke salon.”Ketika dua orang paruh baya itu sedang meributkan uang, Verry dengan pongahnya pulang. Tepat pukul lima pagi saat orang-orang sedang mendirikan Salat Subuh.“Apa sih, Pak, Buk, pagi-pagi udah rebutan duit?” ucap Verry sambil melepas jaket.“Kamu dari mana aja, Ver? Ibu capek ngurusin anakmu yang rewel dan nyusahin itu.”“Ibumu minta bayar Ver, kasihlah dia duit. Biar dia gantian yang senang-senang, kamu kan sudah puas seharian nggak pulang.”“Emang kamu
“Diam! Bisa diam nggak, sih? Anak nakal, diam nggak? Kalo nggak diam Tante cubit lagi. Mau?” Jeni menarik tangan mungil Reni ke kamar mandi.Reni meredamkan suara cemprengnya. Bocah itu sesenggukan karena tangisnya membikin kulit-kulitnya membiru. Namun, bocah itu pandai juga meski akalnya belum sempurna. Dia selalu mengangguk kala Jeni mengomel, dan ... ketika Jeni lengah, dia berlari keluar rumah tanpa pakaian.“Ante atan ... hu-hu-hu, Ante atan! Nek ... Ante atan!” Reni terus meraung sambil mengatakan kalimat balita. Tidak semua orang mengerti makna kalimat tersebut, tetapi setidaknya banyak orang peduli.Kebetulan pagi itu banyak ibu rumpi sedang jajan sayuran di warung depan rumah Verry. Otomatis semua orang berlari mengejar Reni. Meski tujuan Reni tidak terlalu jauh, tetapi bagi balita sekecil itu sangat berisiko kala berlarian sendiri di jalanan ramai.“Ya Allah ... Reni ... Nak! Eh, kenapa Reni nggak pake baju?” tanya seorang ibu muda saat berhasil menangkap Reni.“Enek ... An