"Kenapa tidak langsung masuk, bukannya kak Bram sudah menunggumu, di dalam?" tanya Thomas."Kamu tahu dia ada di dalam?" tanya Tiara balik."Kami datang bersama tadi, dan aku pamit keluar karena ada panggilan masuk," jelas Thomas.Tiara mengangguk mengerti, bukan hal yang aneh juga jika Thomas, selalu bersama Bram kemanapun pria itu pergi. Mengingat, selain adik, Thomas juga merangkap sebagai orang kepercayaan Bram. Sehingga, wajar jika pria itu selalu mendampingi sang kakak.Tapi, bukankah malam itu hanya bertemu dengannya, perlukan kehadiran Thomas di antara mereka?Tiara masih berusaha membaca situasi yang ada, mencoba berpikir realistis. Mungkin Bram, memang tidak pernah bisa lepas dari para antek-anteknya, termasuk Thomas."Ayo masuk, jangan buat kakakku menunggu. Tentu kamu belum lupa bagaimana tabiatnya," ujar Thomas seraya membuka pintu.Tiara hanya bisa kembali mengangguk, masih jelas di ingatan, bagaimana marahnya Bram kemarin sampai akhirnya mengendarai mobil seperti orang k
Tiara tertegun, membaca apa saja yang tertulis dalam surat perjanjian yang hendak ia tandatangani. Jika dulu ia syok, begitu membaca tuntutan Bram yang fantastik, kini ia tidak bisa lagi berkata-kata saat harus kembali dihadapkan dengan rentetan keinginan pria itu.Bram, benar-benar gila!Macam mana, pria itu bisa menuntut dirinya harus melahirkan dalam waktu dua tahun sekali, dan dengan jumlah dua puluh anak. Bukankah itu permintaan di luar nalar manusia pada umumnya?Dan, apa dia pikir melahirkan semudah itu?'Rasa sakit melahirkan Nana saja, rasanya masih terasa hingga sekarang, apalagi ini?' Batin Tiara masih belum sepenuhnya percaya dengan apa yang ia baca.Bagaimana tidak, Tiara menatap ngilu banyaknya jumlah anak yang Bram inginkan, begitu dirinya setuju menjadi istri diam-diam pria itu, dua puluh. Bukan lagi angka normal, walaupun ada segelintir pasangan yang memiliki banyak anak. Tapi, apakah Tiara sanggup melahirkan anak sebanyak itu untuk Bram?"Inisih .. ternak anak," guma
"Aku tidak menyangka, kau bisa meminta anak sebanyak itu darinya, kak. Kau pikir gampang melahirkan?" cetus Thomas."Kau berbicara, seolah sudah pernah melihat wanita melahirkan saja," balas Bram acuh."Aku memang belum pernah melihatnya langsung. Tapi, setidaknya dulu pernah mendengar dari mendiang mama. Kalau melahirkan itu sakit. Makanya mama tidak mau punya anak lagi, walaupun papa ingin," jelas Thomas menggebu.Bram yang sebelumnya fokus menyetir, menoleh sebentar ke arah Thomas. Tapi tidak berkomentar apapun, ia memilih enggan menanggapi ucapan adiknya.Kini, keduanya berada di dalam mobil Bram. Mereka memutuskan pulang, setelah Tiara pergi meninggalkan restoran lebih dulu. Dan sekarang, keduanya masih di perjalanan menuju pulang ke rumah."Bahkan jika bisa, aku ingin dia melahirkan anakku setiap tahun," ujar Bram tiba-tiba, setelah hening sesaat. "Itu hukuman untuk dia, karena dulu sudah berani meninggalkan aku, dan melahirkan anak untuk pria lain," lanjutnya."Hah! salahmu Tiar
Hari semakin larut, keheningan terasa menyergap bumi, suara serangga semakin jelas di telinga. Tapi, rasa kantuk belum juga menghampiri.Tiara masih setia terjaga, meski Nana, sudah kembali pulas dalam dekapannya.Pikiran Tiara, berkelana jauh tak tentu arah. Tapi sialnya, kepingan bahagia masa lalu, datang mendominasi. Sampai akhirnya, keputusan salah menjadi pilihan, hanya karena satu alasan, peduli.Enam tahun lalu."Mawar, ibu mohon, sayang. Jangan lakukan itu, nak," ujar Suti."Kita bisa bicara baik-baik, Mawar. Tenang dulu, jangan gegabah bertindak dan kami semua menyayangimu, nak. Sungguh, bapak tidak berbohong!" seru Wisnu."Cukup! aku muak mendengarnya, kamu hanya pandai membual. Karena nyatanya, baik kamu ataupun ibu, kalian tidak pernah sayang padaku. Kalian hanya menyayangi Tiara," teriak Mawar.Kala itu, Tiara yang baru selesai berpakaian setelah mandi, buru-buru keluar dari kamarnya saat mendengar suara keributan. Terlebih, ketika ia mendengar suara Mawar yang melengking
"Kasihani kakakmu, Ara. Apa susahnya kamu melepaskan Bram. Toh, kamu masih muda, bapak yakin, kamu pasti bisa dengan cepat mendapat pengganti pemuda itu," terang Wisnu."Tapi, pak," sela Tiara."Setidaknya kamu lebih beruntung daripada Mawar. Kamu punya tubuh yang sehat, dan kekebalan tubuh yang baik. Sementara dia?" imbuh Wisnu yang sengaja menjeda kalimatnya."Tapi Ara mencintai Bram, pak. Dan rasanya, mustahil Ara sanggup melakukan itu," ungkap Tiara dengan suara berubah parau. Wisnu berang, pria itu sampai menajamkan pandangan.Sementara Tiara, tertunduk semakin dalam, saat tahu tatapan sang ayah mengintimidasi padanya. Ia yang duduk di ranjang sementara-Wisnu berada di kursi dan menghadapnya. Membuat Tiara tidak berani mengangkat kepala, barang sebentar saja. Sebab, wajah garang Wisnu, selalu berhasil membuat Tiara takut.Setelah ketegangan yang terjadi di ruang tengah, Wisnu membawa Tiara memasuki kamar gadis itu, untuk bicara berdua. Karena menurut Wisnu, dengan begitu, ia bis
Tak terasa fajar menyingsing, dan Tiara belum terpejam sedetikpun. Wanita itu tetap terjaga, karena terlalu sibuk menyiapkan diri, sampai tak terasa sang surya sudah mulai menampakkan pesonanya.Dret dretTiara menoleh kesamping, dimana ponselnya bergetar di atas nakas. Ia pun menegakkan tubuh lalu meraih benda pipih tersebut.[Kita akan menikah jam delapan pagi, persiapan dirimu, dan kenakan pakaian yang ada di paper bag yang aku berikan semalam.]Helaan nafas kasar terdengar jelas, begitu Tiara membuka pesan yang diyakini dari Bram. Lalu, pandangannya beralih pada benda yang terletak di atas meja. Untung saja semalam saat ia membawa paper bag itu, Sari tidak bertanya apapun.[Baiklah, aku akan bersiap dengan cepat.] Balas Tiara.[Jangan berpikir akan ada pesta ataupun perayaan, ingat! Kamu aku peristri hanya untuk ganti rugi uang resepsi, yang sudah aku keluarkan sebelumnya. Selain harus melahirkan anak sebanyak mungkin untukku, jangan pernah berharap sesuatu yang lebih dariku.]Tiar
Bulir bening akhirnya lolos dari sudut mata Tiara, tatkala, sang ayah-Wisnu, berjalan menghampirinya. Pria paruh baya itu, tampak gagah mengenakan setelan jas berwarna putih. Wajahnya masih saja garang, tapi dari sorot matanya, Tiara tahu, ada tangis yang berusaha pria itu tahan."Bapak," ucap Tiara pelan begitu sang ayah sudah mendekat."Terima kasih sudah mau hadir," imbuhnya dengan suara bergetar."Ara, maafkan bapak, nak. Bapak sudah membuatmu berada di situasi ini," ungkap Wisnu dengan suara yang juga bergetar."Bapak," ucap Tiara yang langsung menghambur ke dalam pelukan sang ayah.Pelukan hangat yang hampir Tiara lupa, kapan terakhir kali merasakannya. Wisnu bukan sosok orang tua hangat, tapi juga tidak kejam. Pria itu hanya tegas pada Tiara, dan terbukti. Dari cara didik Wisnu yang demikian, Tiara bisa tumbuh menjadi wanita yang mandiri, serta tidak mudah mengeluh.Awalnya, Tiara memang sempat marah, ketika sang ayah memaksa dirinya membatalkan pernikahan dan mengakhiri hubung
"Ikut aku," tegas Bram.Tanpa babibu, pria itu langsung menarik Tiara. Mengabaikan tatapan heran semua orang, termasuk Wisnu dan juga Suti.Acara memang sudah selesai, tamu undangan-pun bersiap meninggalkan tempat itu. Tapi, melihat sang pengantin pria dengan kasar menarik tangan istrinya, membuat semua orang bertanya-tanya.Mungkinkah sang pengantin pria sudah tidak sabar?"Ish, kenapa tidak sabaran sekali. Kalau sudah seperti ini saja aku di abaikan, tidak ingat apa, siapa yang menyiapkan acara semua ini," gerutu Thomas melihat Bram melewati dirinya begitu saja."Cih, benar-benar mirip remaja labil," sambungnya.Bram terus menarik Tiara, sampai mendekati mobilnya yang terparkir di bagian depan bangunan."Masuk!"Tiara menurut, dan tidak bertanya apapun. Wanita itu benar-benar telah menyiapkan diri atas segala kemungkinan yang bisa saja Bram lakukan padanya.Pasrah.Hanya itu yang bisa Tiara lakukan, setidaknya mengalah sementara waktu, agar bisa meraup keberhasil dikemudian hari.'Ak