Dua minggu berlalu, semua sudah kembali seperti semula. Sari juga sudah pulang dari satu minggu sebelumnya. Walaupun kepulangannya sempat diwarnai ketegangan, lantaran Thomas tidak mau membawa istrinya pulang karena menganggap Sari belum benar-benar sembuh. Sementara Sari sendiri sudah sangat bosan hanya berdiam diri di ranjang rumah sakit. Terlebih rasa tidak enak hati selalu menghampiri setiap kali melihat Daniel. Walaupun kedekatan mereka dulu tidak bisa dikategorikan pasangan kekasih, tapi Daniel-lah sosok yang selalu menguatkan dirinya selain Tiara. Namun, setelah mengetahui perasaan pria itu yang sebenarnya, Sari berubah canggung. Apalagi dengan statusnya istri dari pria lain yang tak lain sahabat Daniel juga. Begitu pun dengan keberadaan Thomas yang selalu menempel padanya—membuat Sari benar-benar tidak nyaman. Hingga akhirnya memaksa pulang, walaupun Dokter senior Daniel ikut menyarankan dirinya masih harus bertahan satu atau dua hari kedepan. Tapi Sari tetap kukuh pada pendir
"Jadi, kamu adiknya?Tiara berusaha menyembunyikan tubuhnya yang bergetar karena takut. Sudah lama, ia tidak mendengar pria yang dulu menjadi kekasihnya, bicara dengan nada serendah ini. Meskipun dengan suara pelan, Tiara kemudian menjawab pertanyaan itu, "Iya. Dia kakakku."BRAK!Bramantyo seketika menggebrak kuat meja di hadapannya, begitu mendengar jawaban singkat Tiara.Degup jantung Tiara semakin kencang. Bertahun-tahun tak bertemu, sepertinya Bram sudah berubah. Pria itu tampak semakin kasar setelah Tiara pergi semalam sebelum pernikahan mereka. "Kalian ternyata benar-benar keluarga penipu!" pekik Bram dengan tatapan tajam bak belati yang siap menghujam siapa saja, "Dulu, adiknya yang ingin menikahiku, tetapi kabur. Lalu, aku nyaris saja menghabiskan hidupku sebagai suami sang kakak. Apa kalian pikir aku akan bersimpati setelah kematian Mawar, begitu?!”“Jangan harap!"Ucapan pedas Bram membuat Tiara tertegun.Bagaimana bisa pria yang dulunya penuh kasih itu berkata demikian t
"Kamu gila, Bram! Bahkan kakakku saja baru dimakamkan kemarin, dan kamu sudah menuntut keluargaku," sembur Tiara begitu tiba di tempat yang dianggap aman.Tidak ingin kedua orang tuanya mendengar pembicaraan mereka, Tiara telah membawa pria itu keluar rumah.Anehnya, Bram justru menatap datar dirinya dan menanti ucapan perempuan itu selanjutnya.“Jika pun bisa menawar, pasti kak Mawar tidak akan mau nyawanya diambil tepat di hari pernikahan kalian. Sekarang aku juga yakin, dia pasti menangis di atas sana melihat kelakuan laki-laki yang sangat dicintainya, ternyata tak lebih dari seorang rentenir!" Tiara nyaris kehilangan kendali. Namun, begitu tahu tatapan Bram padanya tidak bisa diartikan, ia memilih mengurungkan niatnya untuk kembali meledak."Nominal itu tidak sebanding dengan sakit hatiku dulu, Ara." Seketika tubuh Tiara menegang. Amarah yang tadinya sudah berada di puncak kepala, seolah meredam begitu saja saat mendengar pria itu memanggil singkat namanya."Ara…" Jantung Tiara b
Melihat sang ayah tertunduk penuh penyesalan, Tiara benar-benar tidak tega. Segera, ia beralih duduk di samping sang ayah."Tiara tahu … itu semua bapak lakukan karena Bapak juga menyayangi kak Mawar, sama seperti ibu yang tulus bahkan tidak pernah menganggap Tiara ini anak sambung," ujarnya, "apapun yang terjadi, kalian tetap orang terbaik untuk Tiara, pak, buk."Mendengar itu, bahu pasangan paruh baya itu seketika bergetar hebat. Bahkan, Wisnu–sosok yang terkenal garang–pun tidak mampu menyembunyikan rasa haru melihat kebesaran hati darah gadingnya. Padahal, dia dulu tega memaksa sang anak menerima seluruh keputusan sepihaknya. Tapi, anaknya …."Jika saja dulu bapak tidak memaksamu untuk membatalkan pernikahan kalian, tuntutan nak Bram ini tidak akan pernah terjadi." Wisnu mengusap kasar wajahnya, lalu menatap dalam Tiara yang tertunduk di sampingnya. "Sekarang, wajar jika dia marah dan menganggap keluarga kita penipu. Mengingat kamu yang dulu meninggalkan dia tanpa pesan sebelum
"Ma ….""Iya, Sayang?" Tiara yang hendak melangkahkan kaki sontak menoleh ke Nana."Kata Remon, kalau orang sudah di surga itu berarti sudah meninggal. Apa benar?" tanya Nana ragu.Mata Tiara sontak membola. Namun, dia berhasil mengendalikan ekspresinya dengan cepat."Iya, benar," jawab Tiara akhirnya meski dengan berat hati."Lalu … kalau sudah meninggal, berarti ada kuburannya? Apa itu benar juga ma?"Tiara menelan ludah susah payah sembari membuang pandangan ke arah lain. Sejujurnya, hal itu ia lakukan agar cairan bening yang sudah terkumpul di pelupuk mata tidak sampai jatuh menerjang pipi. Dia tak ingin Nana melihatnya. Dengan suara parau, Tiara kembali menjawab sang putri, "Iya, Sayang.""Jadi, kapan mama mau mengajak Nana mengunjungi kuburan papa?"DEG!Kini, jantung Tiara berpacu lebih cepat dari biasanya. Cairan bening yang ditahan, akhirnya luruh tanpa bisa lagi ia cegah. Sayangnya, Nana menangkap pergerakan Tiara tengah mengusap pipi. "Loh, kenapa mama menangis? Apa mam
"Tuntutan itu …," ucap Tiara gelisah. Perempuan itu jalan bolak-balik mengitari kamarnya, seperti kesetanan. Bahkan, ia mengabaikan rambut panjangnya yang terlepas dari gulungan. Sejak tadi, dia memikirkan segala kemungkinan. Jika bapak yang mengajukan, pasti tak diterima. Selain faktor usia, beliau sendiri hanya mengandalkan pensiunan untuk bertahan hidup. Sang ayah sudah tidak lagi mengajar seperti beberapa tahun lalu saat dirinya memutuskan pergi. Ibu sambungnya juga hanya buruh setrika biasa. Apakah kedua orang tuanya akan berakhir di dalam penjara?"Jika aku mengajukan pinjaman ke Bank dengan jumlah sebanyak itu, berapa tahun aku bisa melunasinya? Belum lagi, statusku sebagai wanita tanpa suami,” gumamnya semakin panik. Tiara merasa berada di posisi yang sulit. Meski kini hubungannya dengan sang ayah membaik pasca meninggalkan Mawar, tetapi masalah belum juga berakhir. Jikapun mereka berusaha semaksimal mungkin dan menggunakan uang pensiunan sang ayah dalam waktu dua bulan
Tanpa sadar, Tiara sampai mundur satu langkah, berpikir untuk lari. Namun itu bukanlah tindakan yang etis. Hingga sejurus kemudian, ia mengumpulkan keberanian untuk menghadapi Bram. 'Persetan, dengan tuntutan itu,' pikirnya.Bram menarik sudut bibirnya—-melihat ketegangan di wajah Tiara yang berusaha wanita itu lawan. " Kau disini? apa yang kamu lakukan?"Bram sempat menoleh kiri-kanan, memastikan ada sosok lain yang mungkin bersama wanita itu. Namun sayang, yang ia lihat hanya gapura bertuliskan 'TPU UMUM' tepat di belakang Tiara.Sadar pandangan Bram mengarah kemana, Tiara berniat menjawab pertanyaannya. Tetapi, begitu mengetahui pandangan pria dibelakang Bram tertuju padanya dan penuh selidik. Kegugupan tidak bisa lagi teratasi dengan baik. Ia pun merutuki keputusannya karena sudah menampakkan diri di depan orang-orang itu.Mungkin, Bram menyebutnya pucung dicinta ulampun tiba."Kamu tidak mendengarku?" Tiara terjingkat, terlebih menyadari Bram semakin mengikis jarak diantara merek
"Turun!" Tiara terhenyak, dan yang membuatnya semakin kebingungan, dimana mereka sekarang?'Dimana ini?' batinnya bertanya-tanya.Ia berusaha mengingat apakah pernah mendatangi tempat itu. Namun naasnya sudah seperkian detik ia mencoba. Hasilnya tetap nihil. Tempat itu benar-benar asing baginya. menyadari itu, muncul rasa khawatir. Untuk apa Bram membawanya kesana, terlebih begitu ia menoleh ke samping kiri, bangunan menjulang itu seperti tempat ibadah. Kegelisahan semakin membumbung tinggi, Namun Tiara enggan untuk bertanya.Di saat Tiara masih berpikir keras, tiba-tiba ia terkejut mendapati Bram sudah membuka pintu yang ada di sampingnya. "Cepat turun! sebelum aku menyeretmu keluar dari mobilku." Tidak ingin hal itu sampai terjadi. Tiara buru-buru melangkahkan kaki dan bergerak turun.Meski masih diselimuti rasa penasaran, setidaknya Tiara bersyukur masih bisa berdiri menggunakan kedua kakinya. "Kita dima—" Namun, belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Bram sudah lebih dulu menarik