Dari berbagai beban hidup yang pernah Fianna alami, tak pernah terlintas sekalipun dalam pikirannya bahwa bekerja di bawah pengawasan Abian Aiden akan menjadi beban paling berat sejauh ini. Bahkan saat orang tuanya bercerai dulu, kondisi mentalnya bahkan tak separah sekarang.
“Coba bandingkan hasilnya dengan yang sebelumnya,” suara Abian terdengar tepat di belakang punggungnya. Hari sial memang tidak tercetak di kalender—dan hari ini Fianna menjalaninya. Abian, si beruang pemarah itu, kini berdiri tegap di belakangnya. Bersidekap dada, dengan tatapan tajam yang menelanjangi layar komputer Fianna tanpa ampun. Bahkan keberadaannya lebih menyeramkan dibandingkan hantu. “Baik, Pak,” jawab Fianna dengan pasrah. Menurut lebih aman daripada memicu ledakan emosi pria itu. “Hasilnya sama seperti sebelumnya, Pak Abian. Hanya saja sudut pandang dan data yang berbeda menyebabkan—” “Saya tidak butuh pendapat kamu.” Fianna langsung mengatupkan mulut. Rasanya ingin sekali melempar kursi putar yang ia duduki sekarang. Sudah hampir satu jam pria itu berdiri di belakangnya, dan ruangan divisi pemasaran yang biasanya ribut kini mendadak sunyi seperti perpustakaan setelah jam operasional. “Maaf, Pak,” gumamnya akhirnya, menahan letupan kesal. Ia tak berani menoleh. Berhadapan langsung dengan wajah datar Abian seperti menyerahkan diri untuk disayat dengan kritik. Pandangannya justru melayang pada dinding kubikelnya, tepat ke arah photo strip kecil—dirinya, Tirta, Aryan, dan Sonia tertawa lepas di dalamnya. Setidaknya, masih ada hal yang bisa mengalihkan pikirannya. “Hhh…” helaan napas berat terdengar dari belakang. Fianna menelan ludah. Napas itu lebih menakutkan daripada teriakan. “Hari ini kita harus lembur.” Kalimat singkat itu terdengar seperti palu godam bagi Fianna—cukup untuk membuatnya ingin mengibarkan bendera putih, lalu bersembunyi di balik meja sampai dunia berubah lebih ramah. Sejak Abian masuk ke perusahaan ini, lembur jadi menu utama harian. Fianna bahkan nyaris lupa bagaimana rasanya pulang tepat waktu, menyentuh matahari sore, atau mencium bau gorengan abang-abang depan kantor. Usai menjatuhkan bom waktu itu, Abian langsung berjalan menuju Aryan yang tampak sibuk mengetik—entah memang fokus atau sekadar pura-pura terhisap ke dunia spreadsheet. Bahunya Fianna merosot lemah. Helaan napas panjang lolos begitu saja dari mulutnya. Kalau dunia ini sebuah permainan strategi, maka Abian jelas boss final-nya. Bahkan tirani dunia pun mungkin perlu berguru padanya. Tidak ada yang bisa mengalahkan kekejaman Abian Aiden itu dalam hal perbudakan. Dan tanpa sadar, waktu melaju seperti kereta tanpa rem. Fianna mulai merenggangkan tubuhnya yang sudah kaku seperti papan uji coba yoga. Leher pegal, punggung protes, dan matanya ngambek sejak dua jam yang lalu. Ia melirik jam digital mungil di mejanya. 23:02. Hampir tengah malam. Satu per satu temannya sudah pamit pulang, menyisakan sunyi dan dengungan AC yang kini terdengar lebih lantang. Fianna menoleh pelan ke belakang. Abian masih duduk di sana, menatap layar komputer dengan ekspresi default: dingin, tajam, fokus. “Ok.” Satu kata singkat itu terdengar bagai suara malaikat bersayap glitter, seruan kemerdekaan dari lembur yang tak berujung. Fianna menatap Abian, memastikan ia tidak berhalusinasi. Benar. Abian mengangguk pelan, tanpa melepaskan pandangan dari layar. Dan dengan itu, Fianna tahu—akhirnya, ia boleh pulang. Kalau saja tidak terlalu lelah, mungkin ia akan lari kecil keluar ruangan sambil meneriakkan, "Merdekaaa!" Tapi cukup dalam hati pun sudah terasa seperti parade kemenangan. Setelah bekerja bagai di neraka—lengkap dengan pengawasan super intens dari Abian dan kritik dari setiap klik mouse yang ia lakukan—Fianna akhirnya bisa lepas dari pria itu. Dengan senyum lega, ia mulai membereskan barang-barangnya. Pikirannya hanya dipenuhi bayangan kasur empuk dan rencana mulia: tidur seharian besok. Ya, besok hari libur. Sebuah anugerah dari semesta. Abian sudah tak terlihat. Seperti biasa, keberadaannya misterius. Ia datang dan pergi sesuka hati, seperti hantu shift malam. Tapi Fianna tak peduli. Lebih baik begitu. Ia mematikan lampu ruangan, lalu melangkah ringan menuju parkiran. Kegelapan tak mengganggunya. Bahkan dinginnya lorong kantor yang biasanya bikin merinding, malam ini terasa biasa saja. Karena Fianna tahu satu hal pasti, tak ada hantu yang lebih menakutkan… daripada Abian. Fianna berdiri di depan lift yang kosong. Ia menekan tombol, lalu bersandar di dinding, menatap pantulan dirinya di permukaan logam pintu lift yang mulai buram. Wajahnya lelah. Rambutnya kusut. Tapi senyumnya... ikhlas. Ikhlas untuk pulang. Ikhlas untuk tidak memikirkan Abian. Ikhlas untuk menerima bahwa dunia ini memang penuh ketidakadilan dan lembur tanpa batas. Ting! Pintu lift terbuka. Ia masuk dan berdiri sendirian di dalamnya. Musik instrumental lembut mengalun samar. Ironisnya, lagu itu adalah versi instrumental Happy milik Pharrell. Seolah hidup ini menyenangkan. Seolah lembur adalah pilihan gaya hidup. Fianna tertawa kecil. "Lucu, ya,” gumamnya. Bukan karena ada yang lucu. Tapi karena kalau tidak ditertawakan, mungkin ia sudah menangis sejak jam tujuh tadi. Begitu lift tiba di lantai dasar, ia melangkah keluar dengan semangat sisa-sisa. Kantor sudah sepi. Hanya lampu darurat yang menyala, mewarnai lorong dengan cahaya oranye pucat. Sunyi. Tapi tidak mencekam. Karena Fianna tahu—sunyi bukanlah hal yang menakutkan. Yang menakutkan adalah saat sunyi itu diselingi suara Abian berkata, "Fianna, revisiannya salah lagi.” Untung malam ini tidak. Dan untuk pertama kalinya minggu ini, Fianna merasa seperti ditolong keajaiban. Semoga mimpi malam ini nyenyak. Dan semoga... Abian tidak ikut muncul di dalamnya.Jam makan siang tiba. Seperti biasa, empat sekawan itu kembali ke basecamp kesayangan mereka—sebuah pohon besar di belakang gedung kantor, tempat rahasia yang selalu mereka pakai buat recharge pikiran. Tirta dan Sonia sudah sibuk di atas, panjat-memanjat sambil memetik jambu demi persiapan merujak. Sementara itu, di bawah pohon, Fianna sedang serius mengulek sambal rujak, dan Aryan duduk bersila di sebelahnya sambil mengupas mangga muda. Setelah melewati lembur semalaman dan pagi yang menyebalkan, ritual merujak ini bagaikan pelampiasan atas segala penderitaan hidup mereka – sedikit berlebihan tapi memang benar adanya. “Khael kayaknya cemburu,” celetuk Aryan tiba-tiba, suaranya tenang tapi mengandung senyum-senyum nakal. Fianna berhenti mengulek. “Hah?” Ia menoleh, menatap Aryan curiga. “Cemburu kenapa?” “Ya ini pertama kalinya dia kayak gitu. Tadi pagi mukanya asem banget liat kamu sama Tirta. Aneh, cemburunya malah baru sekarang,” Fianna menghela napas pelan. “Kalau dia
Beberapa saat berlalu. Ruangan itu tadinya penuh suara—awalnya semua orang berebut pasta gigi dan sabun, lalu diskusi heboh soal siapa yang harus berkorban pergi ke lobi untuk ambil sarapan. Tapi kini, kehebohan itu sirna. Keheningan menyelimuti ruangan. Alasannya? Tentu saja karena Abian. Memangnya hal apa yang membuat tim super berisik itu tenang kecuali Abian. Entah kenapa, pria yang sejak kedatangannya ke perusahaan tidak pernah sekalipun berbaur dengan karyawan, kini justru duduk manis di antara mereka dengan semangkuk bubur di tangan. Kemeja putihnya sudah rapi, rambutnya disisir ke belakang, dan wajahnya yah, terlalu bersih untuk jam segini, berbanding terbalik dengan semua orang yang masih dengan wajah bantal mereka. Di sebelahnya, Aryan tampak sibuk memilih antara telur puyuh atau usus untuk topping buburnya, seolah tidak keberatan dengan adanya Abian diantara mereka. “Kenapa diam saja? Ayo dimakan,” ucap Abian datar, tapi cukup membuat semua orang langsung tunduk, s
Fianna terbangun saat pipinya terasa ditusuk lembut oleh sebuah jari. Kelopak matanya perlahan membuka, dan pandangannya langsung disambut senyum geli dari Abian yang menatapnya hangat. Fianna mengerjap pelan, mencoba memproses apa yang sedang terjadi. Tapi begitu ingatan tentang kejadian dini hari tadi melintas, ia langsung bangkit setengah duduk dan menatap Abian dengan ekspresi terkejut. “Selamat pagi, Mbak Istri,” sapa Abian sambil mengecup keningnya dengan lembut. Pipinya langsung merona. Pemandangan seperti ini—Abian yang manis dan penuh kasih—masih terasa seperti mimpi baginya. Dan sejujurnya, ia masih belum terbiasa dengan ini, rasanya masih canggung dan malu. Tentu saja begitu, karena bulan lalu ia masih melajang bahkan tidak dekat dengan lelaki manapun. Fianna menyikut dada Abian pelan dan mendongak menatap wajah suaminya lekat-lekat. Ia ingin menyimpan momen ini dalam ingatannya sebelum jam kerja datang dan Abian berubah kembali menjadi ‘iblis kantor’. “Pagi,” bal
Lembur telah usai. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Hari sudah berganti, tapi esok—lebih tepatnya nanti—Fianna tetap harus kembali bekerja. Dengan langkah gontai, ia berjalan ke pojok ruangan, tempat teman-temannya telah menggelar karpet, bantal, dan selimut. Perlengkapan lengkap yang memang sengaja disiapkan untuk menghadapi malam-malam mendadak lembur seperti ini. Fianna langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas karpet. Otot-ototnya yang sempat kaku mulai rileks, rasa lelah menyergap seluruh tubuhnya. Teman-temannya juga ikut merebahkan diri, tidur berjajar sambil menatap langit-langit seperti sekumpulan korban peperangan yang kehabisan energi. “Beres juga,” desah Andrew lemah, lalu langsung memeluk Tirta dari samping. “Kapan gue punya pacar kalau lembur terus…” “Gak lembur aja gak ada yang mau sama lo,” ucap Tirta dengan ketus sambil mendorong tubuh Andrew. “Jauh jauh lo!” “Lo bisa ngomong gitu ke gue kalau lo juga punya pacar ya, Tirta! Kurang ajar lo!” Bahkan dalam kondisi
Fianna masuk ke dalam ruangannya dengan terburu-buru dengan sepatu masih di tangan dan wajah yang merah padam seperti kepiting rebus. Begitu sampai di kursinya, ia langsung duduk dan membenamkan wajahnya di telapak tangan. Ruangan pemasaran masih sepi—hampir semua orang sedang keluar mencari udara segar atau kopi di jam istirahat. Tangan Fianna kini menutup bibirnya, terbayang jelas momen beberapa menit lalu saat wajah Abian begitu dekat dengannya terlalu dekat. Perutnya seperti dikerubungi kupu-kupu, bukan karena lapar, tapi karena gugup yang tak ada ujung. Ia langsung menjatuhkan kepala ke meja dengan satu tarikan napas panjang. "LOH, Fianna! Kita nyariin kamu loh!" Suara Tirta mengejutkannya. Fianna langsung mendongak dengan rambut yang berantakan, pipi memerah, dan sorot matanya terlihat menerawang. "Are you okay, besttt? Kamu kenapa?" Tirta berjalan mendekat, meletakkan tumbler kopi di meja Fianna. "Tadi aman kan sama Pak Abian? Gak dimarahin lagi, kan?" Fianna hanya me
"Haduhh..." Fianna menghela napas, agak menyesali keputusannya mengenakan rok hari ini. Gara-gara itu, ia kesulitan untuk naik ke atas pohon. Ia mendongak ke atas, menatap Tirta dan Sonia yang sudah duduk santai di cabang pohon sambil membuka bekal makan siang mereka. "Bisa gak, Best?" tanya Tirta, nada suaranya malas tapi terdengar menyebalkan, jelas tidak berniat membantu. "Tumben, monyet gak bisa naik pohon." Fianna melotot kesal. Ia buru-buru melihat sekeliling, memastikan tidak ada orang yang melihat, lalu nekat menaikkan sedikit roknya dan memanjat. Saat berhasil duduk di atas cabang pohon, tepuk tangan dan tawa mengejek dari Tirta dan Sonia langsung menyambut. Pohon jambu ini adalah basecamp mereka sejak hari pertama masuk kerja. Tempat yang teduh, jauh dari keramaian, dan sempurna untuk mengurangi stres akibat pekerjaan. Di sinilah mereka bisa bebas menggosip, curhat, atau bersembunyi dari orang-orang yang dulu suka mengusik mereka. "Ian kayaknya lagi disidang, tuh. Gegar