Fianna Arunika hanya ingin hidup tenang. Jadi karyawan biasa, kerja lalu pulang, atau kalau bisa—uang lembur lancar, pulang cepat, dan jauh-jauh dari segala hal menyebalkan. Sayangnya, semesta punya rencana lain. Dalam waktu kurang dari 3 hari, dia—yang katanya jomblo abadi—tiba-tiba sah menjadi istri dari Abian Aiden : Manajer Keuangan baru yang paling galak, paling kaku, dan paling bikin tekanan darah naik di kantor. Fianna gak mabuk. Gak mimpi. Gak dirasuki jin. Tapi kenapa bisa sampai halu level menikah begini? Dan yang paling penting… Bisakah kehidupan tenang Fianna bertahan setelah ia menjadi istri dari beruang pemarah itu?!
Lihat lebih banyakGedung tinggi dengan lambang perusahaan mengkilap itu tampak megah dari luar—tapi siapa pun yang pernah bekerja di dalamnya tahu, kemegahan itu tidak lebih dari penjara korporat berkedok modern.
Di lantai lima belas, ruangan Divisi Pemasaran penuh dengan suara dering telepon, ketukan keyboard yang nyaris seperti musik techno, dan desahan napas putus asa para karyawan yang sudah berdamai dengan nasibnya. Fianna duduk di meja kerjanya, dikelilingi oleh sticky notes warna-warni yang dulunya estetis tapi kini lebih mirip mural pengingat hutang. Matanya menatap layar laptop yang sudah mulai berwarna pelangi akibat terlalu lama menyala tanpa istirahat. “Fi, revisian dari Pak Malik udah masuk lagi,” ujar Tirta dari seberang kubikel dengan suara lelah yang diolah dari kopi keempatnya hari ini. “Ditunggu dalam waktu lima belas menit, katanya.” Fianna tidak menjawab. Ia menatap layar, lalu menoleh ke kanan dengan tatapan kosong bak tak memiliki jiwa. “Aku berubah jadi amoeba dulu.” Tirta hanya mengangkat jempol. Solidaritas karyawan, tidak peduli sekarat atau tidak. “Segera, sebelum ada beruang ngamuk.” Fianna berteriak tanpa suara sembari menjambak rambutnya sampai kusut. Namun, setelah tenang, ia kembali duduk tegak dan menatap layar komputer yang seolah menatapnya balik dengan ekspresi mengejek. “Pekerjaan sialan ini nggak ada habisnya... andai duit juga begitu,” gumamnya gemas, lalu mulai fokus, seolah lupa bahwa ada bom waktu yang sudah ditetapkan untuknya dalam bekerja. Belum sempat ia menyeruput kopi sachet yang sudah dingin sejak dua jam lalu, suara notifikasi dari atasannya masuk. Bukan—bukan Aryan, si ketua tim anak presdir yang hobi cengengesan itu. Bukan juga dari Tirta, yang menyuruhnya segera mengerjakan pekerjaan. Tapi ini... dari atasan dari segala atasan. Hierarki tertinggi di perusahaan. Pemegang nasib karyawan biasa seperti dirinya. Siapa lagi kalau bukan Pak Malik, Presdir sekaligus pendiri dan pemilik perusahaan ini. “Fianna, segera ke ruang rapat dengan revisian.” Fianna mematung selama tiga detik. Revisi baru selesai disentuh. Printer bahkan belum sempat menyala. Tapi hatinya sudah lompat ke ubun-ubun. Ini bukan sekadar tamparan realita—ini ditonjok langsung sama sistem. Kenapa dunia begitu terburu-buru, memangnya sedang mengejar apa sih? Fianna tak habis pikir. Dengan kecepatan minimalis dan semangat pasrah, ia mulai mencetak dokumen sambil menahan napas, seperti hendak menghadapi sidang skripsi. Kertas-kertas keluar dari printer dengan suara yang lebih nyaring dari detak jantungnya. Satu bundel revisi lengkap di tangan, Fianna melangkah menuju ruang rapat di lantai atas. Tapi entah kenapa, hari ini hawanya terasa berbeda. Mungkin cuma perasaannya saja. Ia menghela napas sebelum membuka pintu. Dan di dalam sana sudah ada sosok yang membuat langkahnya nyaris mundur — Abian Aiden Mikhael. Manajer Keuangan yang dikenal seantero kantor sebagai beruang pemarah. Pria itu baru bekerja dua minggu, tapi aura dingin dan komentarnya yang tajam sudah menyebar seperti kupon diskon akhir bulan. Celakanya, Fianna sudah tiga kali berurusan langsung dengannya. Tiga kali pula dia kena semprot. Tiga kali pula dia menyesali hidup. Mata Fianna sempat membulat sepersekian detik, tapi buru-buru ia menetralkan ekspresi. Act normal. Act like you didn’t just see Voldemort in human form. “Silakan duduk,” ucap Abian tanpa menoleh, suaranya tetap rendah dan datar. Fianna hanya bisa mengangguk. Dalam hatinya, dia sudah mengadakan rapat darurat dengan otaknya sendiri. Kenapa aku di sini? Kenapa nggak sakit aja ya hari ini? Ia duduk di ujung meja, menaruh revisian di depannya sambil menjaga jarak seolah Abian bisa meledak kalau disentuh. Belum sempat Fianna memutuskan apakah ia harus pura-pura pingsan atau menyelamatkan diri dengan alasan darurat fiktif, pintu ruang rapat kembali terbuka. Masuklah empat pria berjas rapi dengan aura korporat level dewa—Pak Malik, pemilik sekaligus Presdir perusahaan; Arkian, putra sulung sekaligus Manajer Data yang wajahnya selalu serius kayak statistik BPS; disusul Arkana, si kembaran yang menjabat sebagai HRD dengan senyum manis tapi jebakan batmannya tiada tara; dan terakhir, Aryan—manajer pemasaran sekaligus si anak bungsu Presdir yang gayanya nyentrik dan kadang... agak nyeleneh. Fianna otomatis duduk makin tegak. Lho? Terus aku ngapain di sini sendiri kayak anak kesasar? Aryan duduk santai di kursi sebelah Fianna, menyapanya dengan anggukan kecil. “Wah, Fianna tampak semangat sekali ya hari ini.” Fianna menoleh pelan dengan ekspresi shock. Semangat? SEMANGAT DARIMANA? Sementara itu, keempat pria itu sudah duduk berhadap-hadapan. Fianna mencoba menahan diri untuk tidak mengedarkan pandangan panik. Ia duduk diam, menyatu dengan kursi, berharap bisa jadi bayangan di dinding. Sayangnya, tidak ada kekuatan gaib di dunia ini yang bisa menghapus keberadaannya saat Aryan tiba-tiba membuka suara—dengan senyum sok manis yang mencurigakan, salah satu ciri khasnya saat mendapatkan sebuah ide nyeleneh. “Jadi begini, Fianna di sini karena saya minta bantuannya untuk urusan presentasi pemasaran,” ucap Aryan santai, seolah-olah baru ngajak temen buat bantu belanja ke supermarket. “Mohon bantuannya ya, Fianna,” Fianna menoleh perlahan, ekspresinya campuran antara “HAH?” dan “INI BERCANDA KAN?” “Maaf... saya?” tanyanya dengan suara pelan, lebih ke curhat ke semesta. Arkian menatap Aryan dengan alis terangkat. “Saya bukannya minta Pak Aryan buat ini ya? Kok jadi Fianna?” Aryan mengangkat bahu acuh tak acuh. “Ya kan dia yang paling ngerti konsep campaign yang kita mau luncurkan. Lagi pula—dia jago, Pak Kian. Sayang kalau gak dimanfaatin. Pak Malik juga sudah mengizinkan.” Fianna tersedak udara. Jadi ini alasannya Pak Malik menghubunginya tadi. Aryan, pria aneh itu, astaga, Fianna lagi-lagi tak habis pikir. Pak Malik hanya mengangguk pelan. “Kalau begitu, kita lihat saja hasilnya nanti.” Fianna mulai berpikir keras. Ini jebakan. Ini jelas jebakan. Harusnya aku pulang tadi. Harusnya aku terima lamaran om-om waktu kuliah biar aku gak harus kerja keras kayak gini. Dan saat ia menoleh ke Abian, pria itu sama sekali tidak menoleh balik. Tetap fokus pada dokumen, seolah Fianna hanyalah angin lalu—atau lebih buruk lagi, remah rengginang yang tak layak dilirik. Pak Malik membuka suara, “Baik. Kita mulai.” Fianna otomatis menelan ludah. Okay. Here we go again.Beberapa saat berlalu. Ruangan itu tadinya penuh suara—awalnya semua orang berebut pasta gigi dan sabun, lalu diskusi heboh soal siapa yang harus berkorban pergi ke lobi untuk ambil sarapan. Tapi kini, kehebohan itu sirna. Keheningan menyelimuti ruangan. Alasannya? Tentu saja karena Abian. Memangnya hal apa yang membuat tim super berisik itu tenang kecuali Abian. Entah kenapa, pria yang sejak kedatangannya ke perusahaan tidak pernah sekalipun berbaur dengan karyawan, kini justru duduk manis di antara mereka dengan semangkuk bubur di tangan. Kemeja putihnya sudah rapi, rambutnya disisir ke belakang, dan wajahnya yah, terlalu bersih untuk jam segini, berbanding terbalik dengan semua orang yang masih dengan wajah bantal mereka. Di sebelahnya, Aryan tampak sibuk memilih antara telur puyuh atau usus untuk topping buburnya, seolah tidak keberatan dengan adanya Abian diantara mereka. “Kenapa diam saja? Ayo dimakan,” ucap Abian datar, tapi cukup membuat semua orang langsung tunduk, s
Fianna terbangun saat pipinya terasa ditusuk lembut oleh sebuah jari. Kelopak matanya perlahan membuka, dan pandangannya langsung disambut senyum geli dari Abian yang menatapnya hangat. Fianna mengerjap pelan, mencoba memproses apa yang sedang terjadi. Tapi begitu ingatan tentang kejadian dini hari tadi melintas, ia langsung bangkit setengah duduk dan menatap Abian dengan ekspresi terkejut. “Selamat pagi, Mbak Istri,” sapa Abian sambil mengecup keningnya dengan lembut. Pipinya langsung merona. Pemandangan seperti ini—Abian yang manis dan penuh kasih—masih terasa seperti mimpi baginya. Dan sejujurnya, ia masih belum terbiasa dengan ini, rasanya masih canggung dan malu. Tentu saja begitu, karena bulan lalu ia masih melajang bahkan tidak dekat dengan lelaki manapun. Fianna menyikut dada Abian pelan dan mendongak menatap wajah suaminya lekat-lekat. Ia ingin menyimpan momen ini dalam ingatannya sebelum jam kerja datang dan Abian berubah kembali menjadi ‘iblis kantor’. “Pagi,” bal
Lembur telah usai. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Hari sudah berganti, tapi esok—lebih tepatnya nanti—Fianna tetap harus kembali bekerja. Dengan langkah gontai, ia berjalan ke pojok ruangan, tempat teman-temannya telah menggelar karpet, bantal, dan selimut. Perlengkapan lengkap yang memang sengaja disiapkan untuk menghadapi malam-malam mendadak lembur seperti ini. Fianna langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas karpet. Otot-ototnya yang sempat kaku mulai rileks, rasa lelah menyergap seluruh tubuhnya. Teman-temannya juga ikut merebahkan diri, tidur berjajar sambil menatap langit-langit seperti sekumpulan korban peperangan yang kehabisan energi. “Beres juga,” desah Andrew lemah, lalu langsung memeluk Tirta dari samping. “Kapan gue punya pacar kalau lembur terus…” “Gak lembur aja gak ada yang mau sama lo,” ucap Tirta dengan ketus sambil mendorong tubuh Andrew. “Jauh jauh lo!” “Lo bisa ngomong gitu ke gue kalau lo juga punya pacar ya, Tirta! Kurang ajar lo!” Bahkan dalam kondisi
Fianna masuk ke dalam ruangannya dengan terburu-buru dengan sepatu masih di tangan dan wajah yang merah padam seperti kepiting rebus. Begitu sampai di kursinya, ia langsung duduk dan membenamkan wajahnya di telapak tangan. Ruangan pemasaran masih sepi—hampir semua orang sedang keluar mencari udara segar atau kopi di jam istirahat. Tangan Fianna kini menutup bibirnya, terbayang jelas momen beberapa menit lalu saat wajah Abian begitu dekat dengannya terlalu dekat. Perutnya seperti dikerubungi kupu-kupu, bukan karena lapar, tapi karena gugup yang tak ada ujung. Ia langsung menjatuhkan kepala ke meja dengan satu tarikan napas panjang. "LOH, Fianna! Kita nyariin kamu loh!" Suara Tirta mengejutkannya. Fianna langsung mendongak dengan rambut yang berantakan, pipi memerah, dan sorot matanya terlihat menerawang. "Are you okay, besttt? Kamu kenapa?" Tirta berjalan mendekat, meletakkan tumbler kopi di meja Fianna. "Tadi aman kan sama Pak Abian? Gak dimarahin lagi, kan?" Fianna hanya me
"Haduhh..." Fianna menghela napas, agak menyesali keputusannya mengenakan rok hari ini. Gara-gara itu, ia kesulitan untuk naik ke atas pohon. Ia mendongak ke atas, menatap Tirta dan Sonia yang sudah duduk santai di cabang pohon sambil membuka bekal makan siang mereka. "Bisa gak, Best?" tanya Tirta, nada suaranya malas tapi terdengar menyebalkan, jelas tidak berniat membantu. "Tumben, monyet gak bisa naik pohon." Fianna melotot kesal. Ia buru-buru melihat sekeliling, memastikan tidak ada orang yang melihat, lalu nekat menaikkan sedikit roknya dan memanjat. Saat berhasil duduk di atas cabang pohon, tepuk tangan dan tawa mengejek dari Tirta dan Sonia langsung menyambut. Pohon jambu ini adalah basecamp mereka sejak hari pertama masuk kerja. Tempat yang teduh, jauh dari keramaian, dan sempurna untuk mengurangi stres akibat pekerjaan. Di sinilah mereka bisa bebas menggosip, curhat, atau bersembunyi dari orang-orang yang dulu suka mengusik mereka. "Ian kayaknya lagi disidang, tuh. Gegar
Fianna keluar dari ruangan Abian dengan langkah gontai. Pagi ini ia dimarahin habis-habisan hanya karena kesalahan kecil—warna desain yang tidak sesuai brief. Sepele, tapi cukup bikin kupingnya panas dan mentalnya nyungsep. Dan ini rekor! Dari semua karyawan, Fianna sudah dimarahin Abian sebanyak empat kali. Empat, Best! Bukan sekali, bukan dua, tapi empat. Ia menarik kembali pernyataannya soal Abian sebagai suami idaman. Di kantor, laki-laki itu kembali jadi beruang pemarah yang rasanya ingin dia ruqyah di tempat. Fianna menjatuhkan tubuhnya ke kursi, menatap jam dinding dengan tatapan kosong. Kepalanya rasanya mau meledak. Masalah datang bertubi-tubi seperti paket COD yang nggak bisa ditolak. Belum selesai mencerna pernikahan dadakan, pekerjaannya menumpuk layaknya cucian akhir bulan, ditambah gosip yang makin panas soal siapa sebenarnya istri Abian. Semua gara-gara Aryan yang iseng upload foto ijab kabul Abian. Meskipun pengantin perempuannya dipotong, tetap saja itu berisiko.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen