Suasana malam terasa menenangkan. Fianna mengendarai motornya dengan santai, menikmati semilir angin yang menampar wajahnya pelan-pelan. Ia bersenandung riang, entah lagu apa, yang penting nadanya bahagia.
Walau senja tak menemani acara pulang kantornya kali ini, tak apa. Sorot lampu jalanan yang berderet rapi seolah mengantarnya pulang, langkah demi langkah, roda demi roda. Hingga tiba-tiba, sebuah pemandangan tak biasa membuat Fianna melambatkan laju motornya. Sebuah mobil terparkir di pinggir jalan, dengan kap depan terbuka dan asap mengepul dari dalamnya. “Wih, kenapa tuh?” gumamnya, alis mengernyit penasaran. Ia mendekat perlahan. Dan di balik kepulan asap... berdirilah seorang pria dengan lengan kemeja digulung dan dua kancing atas terbuka—seperti adegan pembuka iklan parfum mahal. Fianna mengerjap. Itu Abian. Sungguh, secara objektif, pria itu tampan. Tapi, wajah tampan itu juga pemilik dari ekspresi kaku permanen dan aura intimidasi level dewa. Tak ada satu pun wanita di kantor yang berani mendekat kecuali kalau terpaksa. Dan sekarang, pria itu terlihat sedang kesal. Wajahnya menyipitkan mata ke arah mesin mobil seperti ingin mengutuknya agar menyala kembali. Abian menoleh. Seolah tahu ada yang mendekat dan tampak seperti mempersiapkan ancang-ancang akan menyerang. Begitu melihat Fianna, ia mendecak pelan. “Ck. Kamu ternyata.” “Hehe… mogok ya, Pak?” Abian meliriknya datar. “Menurut kamu?” Fianna nyaris tertawa. Ini mungkin karma. Karma karena Abian terlalu sering membuat hidup orang lain terasa seperti ujian nasional dadakan. Ingin sekali Fianna menertawakan dengan kencang jika saja ia tidak menyayangi nyawa dan pekerjaannya. “Aduh, sayang banget ya,” katanya sambil mulai memutar gas motor. “Kalau begitu, saya duluan ya, Pak. Semoga mobilnya cepet sembuh.” Baru saja motornya hendak melaju, tangan Abian menahan bagian belakang jok. "Tunggu.” Fianna menoleh cepat, terkejut. “Eh? Kenapa, Pak?” Abian menghela napas, ekspresi wajahnya seperti orang yang baru menelan ego dalam bentuk utuh. “Tolong saya,” katanya akhirnya, suara terdengar sedikit berat. “Tolong antar saya pulang. Saya akan bayar kamu untuk itu.” Bayar? Fianna hampir saja menyeringai seperti kucing baru menang lotre. Menolak uang itu hanya untuk orang-orang yang tidak melihat peluang besar. Dengan gerakan cepat, ia menepuk jok belakang motornya. “Sini sini, Pak. Saya antar dengan selamat sampai rumah. Dijamin cepat, murah, dan nyaman.” Abian tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk, mengambil tas kerja dan beberapa berkas dari mobil, lalu menelpon seseorang—mungkin layanan derek atau teman kerjanya yang lain. Setelahnya, tanpa banyak basa-basi, ia duduk di jok belakang, kedua tangannya mencengkeram sisi jaket Fianna erat-erat. “Ayo,” katanya pendek. Fianna menahan tawa, melihat ekspresi Abian yang setegang pertama kali naik wahana roller coaster, lewat kaca spion. Padahal naik motor tidaklah semenyeramkan itu. “Hehe, antar ke mana ya, Pak? Saya kan nggak tahu rumahnya Pak Abian,” godanya ringan. Abian mengangkat wajah, matanya bertemu dengan mata Fianna di cermin kecil itu. “Jalan saja dulu. Saya arahkan.” Fianna mulai melajukan motornya perlahan, membelah jalanan kota yang mulai lengang. Lampu-lampu jalan memantul di aspal basah sisa hujan tadi sore, dan udara malam terasa segar, menusuk hidung. Suasana agak hening di antara mereka, hanya suara motor dan desiran angin yang menemani. “Pak,” Fianna akhirnya membuka suara, “Kalau takut jatuh, tinggal bilang. Nggak perlu mencengkeram jaket saya sekuat itu.” “Diam,” balas Abian singkat. Fianna tertawa pelan. “Siap, Pak. Tapi kalau jaket saya sobek, saya tagih juga ya, kayak Bapak mau bayar saya tadi.” Abian mendengus kecil. “Sudah, jalan saja. Belok kanan di lampu merah.” “Siap, Pak!” Beberapa menit berlalu, lalu Abian kembali berbicara. “Nanti belok kiri. Rumah saya nggak jauh.” “Oke,” sahut Fianna. Sisa perjalanan berjalan tenang. Bahkan Abian tak lagi mencengkeram jaket Fianna sekeras tadi—entah karena sudah merasa aman, atau karena terlalu lelah. Dan untuk pertama kalinya, Fianna merasa... aneh. Aneh karena tak merasa tertekan berada sedekat itu dengan Abian. Aneh karena pria menyebalkan itu kini duduk diam, tanpa kritik, tanpa komentar, hanya... jadi manusia biasa yang mogok mobil dan minta tolong. Perjalanan terasa cukup damai, sampai sebuah insiden kecil tapi fatal terjadi. Mereka melaju pelan di jalanan kompleks yang sepi, hanya ada suara jangkrik dan gemerisik dedaunan di tiupan angin. Fianna asyik bersenandung kecil, sedangkan Abian sudah lumayan rileks di jok belakang—setidaknya jaketnya tidak lagi dicengkeram seperti tadi. Lalu, seekor kucing hitam tiba-tiba melintas cepat dari semak-semak ke sisi jalan, menyebrang tanpa aba-aba yang membuat Fianna dan Abian tersentak dibuatnya. “AWAS!” teriak Abian panik sambil refleks menarik badannya ke kiri, memegang pinggang Fianna seperti mau lompat dari motor. Keseimbangan motor langsung hilang. Ban depan oleng, dan dalam sekejap... BYUURR!!! Mereka berdua sukses nyemplung ke saluran air yang ada di pinggir jalanan kompleks itu. Sesaat, hanya suara air bergolak dan cicak yang menonton dari tembok. Fianna muncul lebih dulu dari genangan got yang lebarnya tidak seberapa, tapi cukup untuk membuat seluruh tubuh mereka basah kuyup. Ia mengibaskan air dari wajahnya sambil megap-megap. “Bapak kenapa sih?” Fianna hampir kelepasan mengamuk jika saja ia tidak ingat itu adalah Abian. Abian menyusul naik, rambutnya basah dan menempel di dahinya, wajahnya kaku tapi matanya masih syok. “Ada kucing...!” “Padahal masih jauh, loh, Pak!” Fianna menatap motor yang terguling manis di tepi got, dan kemudian dirinya yang basah kuyup, penuh lumpur dan daun. Seharian ini sepertinya ia terus saja ditimpa sial, dan itu selalu berhubungan dengan Abian. “Pak,” ujarnya setengah napas, “Saya mau marah banget, tapi Bapak harus bersyukur saya adalah orang yang sabar dan pemaaf.” Abian terbatuk pelan. “Maaf....” Fianna memejamkan mata, mencoba mengatur napas. Berusaha untuk tidak menenggelamkan kepala Abian ke dalam air kotor ini. Namun entah salah lihat atau bagaimana, Fianna menangkap raut wajah Abian yang sedikit merajuk dan merasa bersalah. Dan itu terasa lucu juga menggemaskan baginya.Beberapa saat berlalu. Ruangan itu tadinya penuh suara—awalnya semua orang berebut pasta gigi dan sabun, lalu diskusi heboh soal siapa yang harus berkorban pergi ke lobi untuk ambil sarapan. Tapi kini, kehebohan itu sirna. Keheningan menyelimuti ruangan. Alasannya? Tentu saja karena Abian. Memangnya hal apa yang membuat tim super berisik itu tenang kecuali Abian. Entah kenapa, pria yang sejak kedatangannya ke perusahaan tidak pernah sekalipun berbaur dengan karyawan, kini justru duduk manis di antara mereka dengan semangkuk bubur di tangan. Kemeja putihnya sudah rapi, rambutnya disisir ke belakang, dan wajahnya yah, terlalu bersih untuk jam segini, berbanding terbalik dengan semua orang yang masih dengan wajah bantal mereka. Di sebelahnya, Aryan tampak sibuk memilih antara telur puyuh atau usus untuk topping buburnya, seolah tidak keberatan dengan adanya Abian diantara mereka. “Kenapa diam saja? Ayo dimakan,” ucap Abian datar, tapi cukup membuat semua orang langsung tunduk, s
Fianna terbangun saat pipinya terasa ditusuk lembut oleh sebuah jari. Kelopak matanya perlahan membuka, dan pandangannya langsung disambut senyum geli dari Abian yang menatapnya hangat. Fianna mengerjap pelan, mencoba memproses apa yang sedang terjadi. Tapi begitu ingatan tentang kejadian dini hari tadi melintas, ia langsung bangkit setengah duduk dan menatap Abian dengan ekspresi terkejut. “Selamat pagi, Mbak Istri,” sapa Abian sambil mengecup keningnya dengan lembut. Pipinya langsung merona. Pemandangan seperti ini—Abian yang manis dan penuh kasih—masih terasa seperti mimpi baginya. Dan sejujurnya, ia masih belum terbiasa dengan ini, rasanya masih canggung dan malu. Tentu saja begitu, karena bulan lalu ia masih melajang bahkan tidak dekat dengan lelaki manapun. Fianna menyikut dada Abian pelan dan mendongak menatap wajah suaminya lekat-lekat. Ia ingin menyimpan momen ini dalam ingatannya sebelum jam kerja datang dan Abian berubah kembali menjadi ‘iblis kantor’. “Pagi,” bal
Lembur telah usai. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Hari sudah berganti, tapi esok—lebih tepatnya nanti—Fianna tetap harus kembali bekerja. Dengan langkah gontai, ia berjalan ke pojok ruangan, tempat teman-temannya telah menggelar karpet, bantal, dan selimut. Perlengkapan lengkap yang memang sengaja disiapkan untuk menghadapi malam-malam mendadak lembur seperti ini. Fianna langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas karpet. Otot-ototnya yang sempat kaku mulai rileks, rasa lelah menyergap seluruh tubuhnya. Teman-temannya juga ikut merebahkan diri, tidur berjajar sambil menatap langit-langit seperti sekumpulan korban peperangan yang kehabisan energi. “Beres juga,” desah Andrew lemah, lalu langsung memeluk Tirta dari samping. “Kapan gue punya pacar kalau lembur terus…” “Gak lembur aja gak ada yang mau sama lo,” ucap Tirta dengan ketus sambil mendorong tubuh Andrew. “Jauh jauh lo!” “Lo bisa ngomong gitu ke gue kalau lo juga punya pacar ya, Tirta! Kurang ajar lo!” Bahkan dalam kondisi
Fianna masuk ke dalam ruangannya dengan terburu-buru dengan sepatu masih di tangan dan wajah yang merah padam seperti kepiting rebus. Begitu sampai di kursinya, ia langsung duduk dan membenamkan wajahnya di telapak tangan. Ruangan pemasaran masih sepi—hampir semua orang sedang keluar mencari udara segar atau kopi di jam istirahat. Tangan Fianna kini menutup bibirnya, terbayang jelas momen beberapa menit lalu saat wajah Abian begitu dekat dengannya terlalu dekat. Perutnya seperti dikerubungi kupu-kupu, bukan karena lapar, tapi karena gugup yang tak ada ujung. Ia langsung menjatuhkan kepala ke meja dengan satu tarikan napas panjang. "LOH, Fianna! Kita nyariin kamu loh!" Suara Tirta mengejutkannya. Fianna langsung mendongak dengan rambut yang berantakan, pipi memerah, dan sorot matanya terlihat menerawang. "Are you okay, besttt? Kamu kenapa?" Tirta berjalan mendekat, meletakkan tumbler kopi di meja Fianna. "Tadi aman kan sama Pak Abian? Gak dimarahin lagi, kan?" Fianna hanya me
"Haduhh..." Fianna menghela napas, agak menyesali keputusannya mengenakan rok hari ini. Gara-gara itu, ia kesulitan untuk naik ke atas pohon. Ia mendongak ke atas, menatap Tirta dan Sonia yang sudah duduk santai di cabang pohon sambil membuka bekal makan siang mereka. "Bisa gak, Best?" tanya Tirta, nada suaranya malas tapi terdengar menyebalkan, jelas tidak berniat membantu. "Tumben, monyet gak bisa naik pohon." Fianna melotot kesal. Ia buru-buru melihat sekeliling, memastikan tidak ada orang yang melihat, lalu nekat menaikkan sedikit roknya dan memanjat. Saat berhasil duduk di atas cabang pohon, tepuk tangan dan tawa mengejek dari Tirta dan Sonia langsung menyambut. Pohon jambu ini adalah basecamp mereka sejak hari pertama masuk kerja. Tempat yang teduh, jauh dari keramaian, dan sempurna untuk mengurangi stres akibat pekerjaan. Di sinilah mereka bisa bebas menggosip, curhat, atau bersembunyi dari orang-orang yang dulu suka mengusik mereka. "Ian kayaknya lagi disidang, tuh. Gegar
Fianna keluar dari ruangan Abian dengan langkah gontai. Pagi ini ia dimarahin habis-habisan hanya karena kesalahan kecil—warna desain yang tidak sesuai brief. Sepele, tapi cukup bikin kupingnya panas dan mentalnya nyungsep. Dan ini rekor! Dari semua karyawan, Fianna sudah dimarahin Abian sebanyak empat kali. Empat, Best! Bukan sekali, bukan dua, tapi empat. Ia menarik kembali pernyataannya soal Abian sebagai suami idaman. Di kantor, laki-laki itu kembali jadi beruang pemarah yang rasanya ingin dia ruqyah di tempat. Fianna menjatuhkan tubuhnya ke kursi, menatap jam dinding dengan tatapan kosong. Kepalanya rasanya mau meledak. Masalah datang bertubi-tubi seperti paket COD yang nggak bisa ditolak. Belum selesai mencerna pernikahan dadakan, pekerjaannya menumpuk layaknya cucian akhir bulan, ditambah gosip yang makin panas soal siapa sebenarnya istri Abian. Semua gara-gara Aryan yang iseng upload foto ijab kabul Abian. Meskipun pengantin perempuannya dipotong, tetap saja itu berisiko.