Share

4. Foto Bunda

Author: Iestie Adja
last update Last Updated: 2024-02-02 21:34:14

“Ada yang datang, Yah!” Ucap Arsya sedikit berbisik kepada ayahnya.

Ardian pun mengangguk mengiyakan ucapan putrinya. Beberapa detik kemudian laki-laki berusia 33 tahun itu beranjak dari tempat duduknya dan dengan bahasa isyarat meminta putrinya untuk tetap menunggu di sofa ruang tamu. Ardian lalu berjalan menuju ke pintu utama dan membukakan pintu bagi tamu yang sempat membuat dirinya dan juga anaknya terkejut.

“Assalamualaikum...” Suara seorang wanita tua saat pintu rumah dibuka.

“Wa’alaikum salam. Ibu ternyata. Arsya... ada Eyang sama Tante Audy ini!” jawab Ardian kemudian berseru memberitahu putrinya tentang kedatangan ibu dan adik kandungnya.

Ayah satu anak itu kemudian mencium punggung tangan sang ibu dan menyodorkan tangan kanannya ke arah gadis muda dengan balutan jilbab yang dengan cepat mencium punggung tangannya sebagai rasa hormatnya kepada kakak laki-lakinya. Audy gadis muda yang periang dan sudah kerap datang ke rumah Ardian itu langsung masuk ke dalam rumah dan menghampiri keponakan satu-satunya dengan senyuman terkembang.

“Assalamualaikum Arsya... Lagi apa?” Sapa Audy sambil duduk di samping Arsya setelah tangan kanannya di kecup oleh gadis kecil itu dengan penuh hormat.

“Wa’alaikum salam. Lagi duduk santai nih, Tante. Terus lagi mau goreng telur sama ayah buat makan,” jawab Arsyana dengan penuh keceriaan.

“Nggak bosan ya makan telur terus? Nanti lama-lama bulet seperti telur loh,” ledek Audy sambil mencubit pipi keponakannya dengan gemas.

Audy adalah adik satu-satunya Ardian. Gadis berusia 22 tahun itu adalah tante yang sangat disayangi oleh Arsyana. Bahkan saat Ardian sibuk, Audy yang kerap mengajak keponakannya itu jalan-jalan atau sekedar menjemput gadis kecil itu untuk menginap di rumah orang tuanya.

“Bosan sih Tante, tapi rasanya tetap enak sih kan masaknya bareng sama Ayah,” jawab Arsyana penuh senyum.

Tiba-tiba Audy mendekatkan bibirnya ke telinga gadis 5 tahun itu dan berbisik, “Makanya bilang sama Ayah suruh cari Bunda baru. Jadi nanti ada yang masakin nggak makan telur ceplok terus.”

“Kata Ayah kalau aku bosan suruh bilang aja nanti kita makan di luar atau beli di luar. Kan juga ada budhe Mar yang masakin. Ayah nggak mau kalau punya Bunda lagi,” jawab Arsyana dengan polos.

“Kalau Arsya sendiri pengen punya bunda nggak?”

“Pengen banget, Tante. Aku kalau di sekolah pada dikatain sama teman-teman karena aku nggak punya Bunda sendiri. Tapi Ayah nggak mau kasih aku Bunda,” jawab Arsya.

“Arsya nggak baik bilang seperti itu. Ayah bukan nggak mau, tapi memang belum waktunya. Kita fokus sama kesembuhan kamu dulu,” Ardian tiba-tiba turut bicara saat mendengar putrinya mengatakan tentang dirinya pada Audy.

“Eh iya, besok jadwal Arsya berobat. Eyang nginep sini biar besok bisa temani Arsya ya,” ujar Bu Nining, ibu kandung Ardian.

Wanita tua yang mengenakan jilbab itu terlihat begitu menyayangi cucu satu-satunya itu. Tatapan matanya lembut dan teduh menatap gadis kecil berambut panjang itu. Nining segera memeluk tubuh cucunya setelah mengulurkan tangan kanannya pada Arsyana.

“Iya. Berarti besok sama Eyang juga kita berobatnya, Arsya. Kamu senang kan?” sahut Ardian mencoba membuat putri kecilnya tersenyum dan melupakan tentang keinginannya yang kerap kali diucapkannya.

“Tapi aku ingin kalau berobat itu ditemani Bunda juga, Yah,” jawab Arsyana kemudian berjalan menghampiri Ayahnya dan memeluk tubuh kekar Ardian.

“Bunda pasti nemenin kamu, bahkan Bunda selalu ada di dekat kita, di hati kita. Jadi Bunda besok ikut juga ke rumah sakit. Tapi Bunda ikutnya di hati kita, bukan secara fisik ikut bersama dengan kita,” jawab Ardian dengan lembut.

“Tapi kalau Bunda sayang kan harusnya Bunda nggak usah pergi. Udah tetap di sini aja sama kita. Jadi nggak harus ngumpet terus di hati kita. Kan aku juga ingin peluk Bunda, ayah...” protes Arsyana dengan wajah yang terlihat sedih.

“Arsya...” panggil Ardian sambil memeluk putri kecilnya.

“Bunda perginya itu ketemu sama Allah. Bunda nggak akan pernah kembali lagi ke sini dengan wujud seperti kita. Bunda sekarang ada di surga Allah, insya Allah. Tapi nanti bunda juga akan kembali ke rumah ini melihat apakah kita bahagia atau tidak. Kalau kita bahagia Bunda akan tersenyum bahagia, kalau kita sedih Bunda juga akan ikut sedih. Jadi Arsya jangan pernah sekalipun bilang kalau Arsya nggak punya Bunda. Karena yang melahirkan Arsya dengan mempertaruhkan nyawa itu Bunda. Jadi tolong Arsya kalau ada teman yang bilang Arsya nggak punya Bunda, jawab saja kalau Arsya punya Bunda yang hebat yang sekarang sudah ada dalam surga Allah. Kasihan kan Bunda jadi seperti tidak diakui oleh putrinya sendiri,” lanjut Ardian mencoba memberitahu tentang istrinya yang meninggal beberapa tahun yang lalu di saat putri kecilnya itu belum paham tentang arti meninggal dunia.

“Ayah, apa aku boleh ketemu sama Bunda? Aku kangen sama Bunda. Aku juga mau dipeluk sama Bunda. Ayah, aku mau ketemu sama Bunda ya... Sekali saja ayah...”

Melihat permintaan putri kecilnya yang disertai dengan tatapan memohon, Ardian justru tak bisa lagi menyembunyikan kesedihan yang turut mendera hatinya. Dipeluk erat-erat tubuh mungil Arsyana sambil menyembunyikan kesedihan yang terlihat jelas di wajahnya dari putrinya itu. Akan tetapi karena Ardian tidak bisa menahan rasa haru dan sedih karena ucapan Arsyana, laki-laki berusia 33 tahun itu kemudian melepas pelukan putrinya dan menatap ke arah Bu Nining dengan tatapan penuh kesedihan. Setelah itu Ardian bergegas masuk ke dalam kamarnya tanpa mampu mengatakan apa pun kepada gadis kecil yang begitu sangat disayanginya itu.

Segera Bu Nining mendekati Arsyana dan memeluk tubuh kecil cucunya dengan lembut.

“Ayah kenapa, Eyang? Apa ayah marah sama aku karena aku ingin ketemu sama Bunda?” tanya Arsyana bingung dalam dekapan sang nenek.

“Nggak kok. Ayah sepertinya kebelet pipis. Jadi buru-buru lari masuk ke kamar,” jawab Bu Nining menutupi apa yang sebenarnya di rasakan oleh putranya.

Tanpa diduga Arsyana melepaskan pelukan neneknya dan berlari menuju ke kamar Ardian. Tanpa mengetuk pintu gadis kecil itu langsung membuka pintu kamar ayahnya dan mendapati sang ayah sedang duduk di depan meja kerjanya sambil menatap sebuah foto yang selama ini ia letakkan di dalam laci meja kerjanya.

“Ayah... Maafkan aku ya kalau ayah jadi marah. Kalau ayah nggak mau aku ketemu sama Bunda, aku juga nggak akan kok minta ketemu lagi sama Bunda,” ujar Arsyana sambil berdiri di samping Ardian.

Ardian segera mengusap air matanya yang basah dan menatap putri kecilnya sambil menarik kedua ujung bibirnya membentuk senyuman. Dibelai dengan lembut rambut panjang Arsyana kemudian berkata, “Arsya, ini foto Bunda.”

Ardian kemudian menunjukkan sebuah foto wanita cantik dengan rambut pendek sebahu tersenyum sambil menggendong seorang anak kecil berusia 1 tahun.

“Ini Bunda aku, ayah?” tanya Arsyana sambil menatap takjub ke arah foto yang tersimpan di dalam bingkai itu.

Ardian mengangguk sambil mengalungkan satu tangannya ke pundak kecil Arsyana. Ditatap anak gadisnya itu yang terlihat tersenyum mengagumi foto istrinya yang masih jelas meski sudah cukup lama tersimpan di dalam laci meja kerjanya.

“Bunda cantik ya, yah? Surga Allah itu di mana, yah? Biar aku ke sana untuk ketemu sama Bunda,” tanya Arsyana kembali penuh senyum menatap ke arah Ardian.

Ardian tercengang dan ternganga mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut kecil putrinya. Kemudian beberapa detik setelah dirinya berhasil mengembalikan kesadarannya dari keterkejutan akan pertanyaan putrinya, Ardian tersenyum kecil dan menggeleng sambil menatap ke arah Arsyana dan berkata, “Tidak, sayang. Kamu belum waktunya untuk ketemu sama Bunda. Karena kamu harus menemani ayah setiap hari di sini. Kalau kamu ingin melihat tempat istirahat Bunda, besok ayah antarkan.”

“Benar, ayah?” tanya Arsyana dengan wajah girang.

Ayah satu anak itu pun mengangguk dengan senyuman tipis yang ia jaga agar putri semata wayangnya itu tidak khawatir dengan kesedihan yang sebenarnya kembali menyapa dirinya.

“Sekarang Arsya salat isya kemudian tidur! Sama tante Audy dulu ya. Besok bangun pagi-pagi dan kita akan ke tempat istirahat Bunda,” ujar Ardian kembali.

“Iya, ayah. Aku ke kamar dulu ya, yah...” jawab Arsyana penuh senyum kemudian menarik tangan Ardian agar wajah ayahnya itu sedikit menunduk. Dengan cepat dicium pipi ayahnya kemudian berkata, “Aku sayang ayah.”

Arsyana langsung berlari keluar kamar ayahnya untuk meminta Audy menemaninya. Sedangkan Ardian tetap di kamar sambil menatap foto Risa, mendiang istrinya yang beberapa saat tadi ia keluarkan dari laci meja.

Tak berselang lama, Bu Nining masuk ke kamar putranya dan duduk di tepian kasur sambil berkata, “Ardi, mungkin sekarang saatnya kamu beri pemahaman yang sebenarnya pada Arsya tentang Risa. Arsya sudah 5 tahun, insya Allah dia sudah paham dengan arti meninggal dunia.”

“Iya, Bu. Tadi aku sudah tunjukkan foto Risa padanya, dan besok akan aku antarkan Arsya ke makam Risa,” jawab Ardian.

Selama ini Ardian memang melarang seluruh keluarganya untuk memberikan pemahaman tentang kepergian Risa secara arti yang sebenarnya. Dirinya merasa jika Arsyana yang waktu itu masih berusia 3 tahun belum sepenuhnya paham tentang kepergian ibunya sehingga ia tidak ingin melukai hati gadis kecilnya itu sebelum pemahamannya benar-benar ada.

“Kamu sendiri juga sepertinya harus mulai mencoba untuk membuka hati terhadap perempuan lain. Kamu masih muda dan masih memiliki perjalanan panjang. Terlebih juga kamu harus menghadirkan kembali sosok ibu untuk putrimu dalam pertumbuhannya,” kata Bu Nining dengan lembut menasihati putranya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dipikat Anaknya, Dipinang Ayahnya   21. Bu Riska Kesayangan Arsyana

    “Duh, sayang... Bu guru harus pulang ke rumah, soalnya pasti sudah ditunggu orang tua Bu guru,” tolak Riska halus sambil mengusap kepala Arsyana. “Tidak mau! Pokoknya harus ikut! Nanti Bu Riska naik motor di belakang mobil ayah. Janji cuma sebentar saja! Mau ya, bu Riska?” Arsyana merengek dan menatap Riska dengan mata memohon yang membuat hati siapa pun luluh. Bu Nining menyikut lengan Ardian pelan. Beliau memberi kode agar putranya itu ikut membujuk. “Bu Riska, bagaimana? Kalau... Bu guru tidak keberatan,” bujuk Ardian dengan nada lebih terdengar seperti permohonan. Riska menghela nafas pasrah. Dirinya tahu bahwa menolak Arsyana dalam kondisi sebahagia ini akan sangat menyakitkan. Dia akhirnya mengangguk dengan tersenyum yang terlihat dipaksakan. “Baiklah. Tapi hanya sebentar ya. Bu guru cuma mau antar Arsya sampai rumah saja,” kata Riska berusaha memberikan batasan waktu. “Horeee!!” Gadis kecil berusia 5 tahun itu meloncat kegirangan. Dia benar-benar terlihat bahagia dengan

  • Dipikat Anaknya, Dipinang Ayahnya   20. Ya Ampun, Nak....

    Riska merasakan pipinya memanas dan matanya bergantian menatap Arsyana yang tersenyum penuh harap kepadanya. Sedangkan Ardian menatap heran dan mematung sesaat melihat ke arah sang ibu. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Bu Nining. Akan tetapi wanita tua itu segera menguasai dirinya dan justru tersenyum menanggapi ucapan sang cucu yang ajaib itu. “Aduh Arsya! Pertanyaan apa itu? Jangan aneh-aneh seperti itu dong,” ucap Ardian pelan sembari berjalan ke arah bangsal dengan ekspresi yang mencoba ia tunjukkan santai meski dirinya benar-benar malu. Arsyana mengerucutkan bibir, dan menjawab, “Kok aneh sih, Yah? Kata temen-temen itu, kalau udah suka boleh jadi pacar. Bu Riska kan cantik dan baik, terus Bu Riska juga suka dengan ayah yang baik juga. Jadi ayah sama Bu Riska boleh jadi pacar. Ayah mau ya pacaran sama Bu Riska?” Suasana di ruangan itu mendadak menjadi panggungnya, hanya terdengar suara detak jam dinding. Bu Nining yang tadinya hanya tersenyum maklum kini justru terkekeh pe

  • Dipikat Anaknya, Dipinang Ayahnya   19. Ingin Bu Riska Datang ke RS

    “Sudahlah, Yan. Kamu tahu bagaimana susahnya membuat anak ini mau makan dan minum obat kan? Kalau dia punya keinginan begini, biarkan saja sesekali kita turuti. Demi dia tidak stres, penyakitnya kan butuh semangat,” ujar Bu Nining tegas dengan suara lirih di dekat telinga anak lelakinya itu. Ada nada prihatin dalam suara Bu Nining. Wanita tua itu tahu bagaimana menjaga mood Arsyana adalah bagian terpenting dari perawatan di awal ini. Ardian akhirnya menghela nafas pasrah. Dia kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Nomor guru muda itu sudah tersimpan rapi sejak beberapa minggu yang lalu. Saat itu ia harus minta izin absen sekolah Arsyana. Dengan sedikit gugup, Ardian mengetikkan pesan kepada Bu Riska. {Selamat sore Bu Riska. Maaf mengganggu waktunya. Ini saya ayahnya Arsana. Arsyana hari ini sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit, tapi dia mendadak tidak mau pulang kalau belum dijenguk oleh ibu. Katanya dia mau menunjukkan kalau dia sudah hebat. Apakah Bu Riska ada

  • Dipikat Anaknya, Dipinang Ayahnya   18. Ingin Tetap di Rumah Sakit

    “Tidak sesederhana itu, pak. Saya belum mengenal dia dengan dekat. Permintaan Arsya itu bukan soal permintaan beli permen yang dengan mudah dapat langsung saya kabulkan. Dia minta bunda, minta ibu yang hubungannya dengan pernikahan. Apalagi yang namanya pernikahan itu hubungannya tidak hanya dua orang saja, tapi dua keluarga besar, lebih dari itu juga perjanjian pada Tuhan. Tidak sesimpel pemikiran Arsya, pak,” jawab Ardi mencoba menjelaskan. “Bapak tahu. Atau... kamu memang sudah ada calon?” Ardian menggeleng dan berkata, “Saya masih belum berani menggantikan Risa di kehidupan Arsya. Dia belum sepenuhnya diingat dan dikenal Arsya, kasihan pak. Kasihan jika nanti Risa justru tidak dikenal Arsya sebagai ibunya, padahal Risa orang yang mengandung dan melahirkan.” Pak Nugraha terdiam. Beliau tidak ingin memaksakan sesuatu pada anak laki-lakinya itu. Laki-laki tua itu pun sadar semua yang dikatakan oleh Ardi benar dan memang masalah pernikahan juga tidak bisa grasah-grusuh dan sembaran

  • Dipikat Anaknya, Dipinang Ayahnya   17. Rengekan Arsyana

    ‘Ini permintaan apa lagi? Kenapa Arsya selalu mengajukan permintaan yang rasanya tak mungkin untuk aku penuhi,' ujar Ardi di dalam hatinya.  Untuk beberapa saat ayah satu anak itu terdiam bahkan tatapan matanya lurus namun kosong. Ardi mematung dan otaknya berputar dengan pikirannya sendiri karena ucapan sang anak.  “Ayah... Ayah kok malah diam?” desak Arsyana yang berhasil menyadarkan Ardian kembali.  “Eh iya... Gimana sayang?” jawab Ardian setelah tersadar dari lamunannya.  “Bu Riska jadi bundaku ya, yah! Bu Riska ajak tinggal di rumah sama kita. Boleh kan yah?” ucap Arsya kembali.  Ardian terdiam. Ia merasa bingung harus menjawab apa atas ucapan putrinya itu.  “Assalamu’alaikum...”  Terdengar suara salam yang dibarengi dengan pintu yang terbuka. Dari luar masuk Bu Nining dan pak Nugraha, ayah kandung Ardian.  “Wa’alaikum s

  • Dipikat Anaknya, Dipinang Ayahnya   16. Demam

    Berkali-kali dibangunkan akhirnya mata Arsyana pun terbuka. Matanya tampak sayu dan wajahnya pucat.  “Sayang... Apa yang kamu rasakan, nak?” tanya Ardian penuh kekhawatiran.  “Ayah, aku lemas rasanya. Kepalaku pusing,” jawab Arsyana lemah.  “Kita ke rumah sakit sekarang!”  Ardian langsung menggendong putrinya keluar dari kamar dan mengajak budhe Mar untuk ikut serta. Ardian dengan cepat membawa putri kesayangannya itu ke rumah sakit.  Sampai di rumah sakit, Arsyana segera mendapat pertolongan dengan cepat. Ardian menghubungi orang kepercayaannya untuk menghandle pekerjaannya di toko.  “Ya Allah, semoga semua baik-baik saja. Izinkan aku membesarkannya dan melihatnya tumbuh jadi gadis dewasa. Jangan ambil dulu putriku satu-satunya,” lirih Ardian sambil berdiri penuh kesedihan.  Tak dapat lagi disembunyikan kesedihan ayah muda itu. Bahkan Ardian ta

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status