Masuk“Kalau untuk itu sepertinya aku belum terpikirkan. Bagiku saat ini adalah kesembuhan Arsyana. Aku ingin benar-benar fokus dalam pengobatan kankernya. Aku sudah kehilangan Risa, dan aku juga tidak ingin kehilangan keturunan satu-satunya dari Risa. Aku ingin Arsyana sembuh dulu, baru nanti aku akan memikirkannya,” jawab Ardian sambil menatap ibunya dengan tatapan sendu penuh kesedihan.
Selain kehilangan istri, belum lama ini Ardian harus kembali mendapat ujian karena kesehatan putrinya. Tim dokter mengatakan anak semata wayangnya menderita kanker darah atau yang biasa disebut leukemia. Dirinya yang baru saja berhasil bangkit dari keterpurukan karena ditinggal istri untuk selamanya, harus kembali menghadapi ujian berat dengan penyakit yang diderita oleh putrinya. Sejak saat itu Ardian bertekad jika dirinya akan mengutamakan kesembuhan Arsyana dibanding dengan kebahagiaannya sendiri. “Aku ingin Arsya sembuh dulu, Bu. Baru setelah itu mungkin aku akan berpikir tentang bagaimana kelanjutan hidupku. Tapi untuk saat ini, kesehatan dan kesembuhan Arsyana yang paling utama bagiku,” lanjut Ardian kembali. “Baiklah. Ibu akan dukung semua keputusanmu. Ibu juga nggak ingin melihat Arsyana sakit apalagi kondisi kesehatannya memburuk. Besok pagi saat kontrol, ibu akan menemani,” jawab Bu Nining sambil berjalan menghampiri Ardian dan menepuk lembut pundak putranya. “Ibu keluar ya. Nanti ibu sama Audy yang akan temani Arsyana tidur,” lanjut Bu Nining kembali berpamitan pada Ardian. “Iya, Bu. Terima kasih,” jawab Ardian penuh senyum. Bu Nining kemudian keluar dari kamar Ardian dan menutup pintu kamar putranya. Wanita tua itu lalu menemani cucunya istirahat setelah memastikan pintu utama rumah tersebut telah terkunci. *** Pagi hari saat kumandang adzan subuh berbunyi, Arsyana bangun. Tanpa membangunkan nenek dan juga tantenya yang tidur di sebelah kanan kirinya, Arsyana turun dari tempat tidur dan keluar dari kamar menuju kamar ayahnya. Saat sampai di kamar Ardian, Arsyana segera naik ke tempat tidur dan mulai membangunkan ayahnya. “Ayah bangun! Ayah... Ayah...” seru Arsyana sambil menggoyang-goyangkan tubuh ayahnya setelah naik ke atas tempat tidur sang ayah. Beberapa kali Arsyana memanggil dan menggoyang-goyangkan pundak ayahnya hingga akhirnya laki-laki berusia 33 tahun itu membuka matanya. “Apa, sayang?” tanya Ardian sambil membuka matanya. “Udah subuh, Yah. Katanya ayah mau antar aku ke tempat istirahat Bunda. Kita harus pagi-pagi ayah, biar aku juga bisa ketemu Bunda,” ucap Arsyana penuh semangat. “Kita shalat, mandi, dan sarapan dulu baru berangkat. Masa bangun tidur langsung ke sana nanti bau iler dong,” jawab Ardian dengan lembut kemudian mencubit hidung putrinya dengan gemas. “Oke. Aku mandi sama ayah ya di sini...” Ardian mengangguk menyetujui permintaan Arsyana. Buru-buru gadis kecil yang rambutnya tergerai itu turun dari tempat tidur dan berlari menuju ke kamarnya. Ardian tersenyum melihat tingkah putrinya. Beberapa saat kemudian Arsyana sudah datang kembali dengan membawa handuk dan baju ganti ke kamar ayahnya. “Ayah, aku sudah bawa baju ganti. Aku pelan-pelan ambilnya biar Eyang sama Tante nggak bangun, eh malah Eyang bangun pas lihat aku ambil baju,” cerita Arsya sambil meletakkan pakaian di atas kasur. “Lalu Eyang bilang apa?” “Cuma tanya dan aku jawab aja mau dimandiin ayah. Eyang ngangguk terus aku keluar deh,” jawab Arsyana polos. Kemudian dengan cepat gadis kecil itu menarik tangan Ardian agar turun dari tempat tidur. Setelah itu anak perempuan berambut hitam panjang itu menarik ayahnya ke kamar mandi yang ada dalam kamar untuk memandikan dirinya. “Arsya, ini masih pagi banget lho. Beneran mau mandi?” tanya Ardian memastikan. “Pakai air hangat, yah,” jawab Arsyana. “Baiklah... Pakai sabun ayah nggak apa-apa?” “Iya, aku suka.” “Tapi besok kalau Arsya sudah masuk SD, Arsya harus mulai belajar mandi sendiri ya. Udah nggak boleh dimandiin ayah lagi. Kan udah gede.” “Oke.” Ayah dan anak itu kemudian masuk ke kamar mandi. Ardian memandikan putri kecilnya penuh kasih sayang. Selesai mandi, Ardian memakaikan baju ganti yang telah Arsyana bawa. Jika biasanya gadis kecilnya itu akan mandi dengan wanita tua yang kerap dipanggil budhe Mar oleh Arsyana. Budhe Mar adalah orang yang membantu mengurus rumahnya mulai dari masak dan bersih-bersih. Akan tetapi budhe Mar hanya bekerja dari pagi sampai sore saja. Setelah itu Ardian hanya berdua bersama putri kecilnya itu di rumah. Selesai bersiap-siap, Ardian meminta putrinya untuk menunggu di luar kamarnya sementara ia mandi dan berganti pakaian di dalam kamar. Setelah siap Ardian keluar kamar dan menghampiri putrinya yang tengah melihat Eyangnya sedang memasak bersama budhe Mar. “Ardi? Sudah?” tanya Bu Nining pada putranya yang berdiri menatap putri semata wayangnya penuh senyum. “Sudah, Bu...” jawab Ardian. “Sarapan dulu pakai nasi goreng ya, mas Ardian. Saya siapkan sebentar,” ujar budhe Mar. Budhe Mar adalah sapaan Arsyana pada wanita tua yang sebenarnya justru lebih pantas dipanggil nenek olehnya. Namun karena gadis kecil itu mengikuti apa yang kerap diucapkan ayahnya yang memanggil wanita tua itu dengan sebutan budhe. Budhe Mar adalah orang yang membantu pekerjaan rumah Ardian saat siang hari. Dia akan datang pagi hari untuk membuatkan sarapan dan akan pulang sore hari. Biasanya wanita tua yang rumahnya tidak jauh dari rumah Ardi itu akan datang pukul 6 pagi dan pulang pukul 4 sore. Beliau sudah tidak mengurus anak sekolah sehingga bisa pagi-pagi datang menyiapkan sarapan. Anak-anaknya sudah besar-besar bahkan beberapa sudah menikah dan memiliki anak. Usianya lebih tua dibandingkan Bu Nining, ibu dari Ardian. Bu Nining sengaja mencarikan orang yang sudah tua untuk membantu pekerjaan rumah Ardian, hal itu karena status putranya yang sudah duda sehingga ia mencoba untuk menjaga putranya dari fitnah jika memperkerjakan wanita yang masih muda. Bu Nining sendiri yang menawarkan pekerjaan itu pada budhe Mar yang langsung diiyakan oleh yang bersangkutan karena desakan ekonomi yang menghimpit. “Sudah siap. Mas Ardian sama Arsyana makan dulu sebelum berangkat sekolah ya... Sama Eyang dan Tante juga,” ujar budhe Mar setelah selesai meletakkan makanan yang ia masak untuk sarapan majikannya. “Baik, terima kasih budhe Mar,” ucap Ardian yang kini tangannya telah digandeng oleh gadis kecil dengan begitu erat. “Sama-sama... Saya pamit ke belakang lagi. Bu Nining dan mbak Audy sekalian silakan...” Ucap budhe Mar kemudian berjalan menuju ke dapur kembali. Ardian, Arsyana, Audy dan Bu Nining kemudian duduk bersama di meja makan untuk mengisi perut dengan sarapan yang sudah disiapkan budhe Mar. “Ayah, hari ini aku nggak sekolah ya,” ujar Arsyana setelah selesai makan. “Sekolah dong. Memangnya kenapa sampai nggak sekolah?” saut Bu Nining. “Aku mau ke tempat Bunda, Eyang. Iya kan ayah?” Ardian segera menelan air putih yang baru saja di minumnya dengan cepat. Setelah itu baru laki-laki berusia 33 tahun itu menjawab ucapan putrinya dengan tenang. “Iya. Tapi jangan pagi-pagi seperti ini. Kamu sekolah dulu, nanti pulang sekolah baru kita ke tempat Bunda.” “Nggak! Aku mau setelah ini kita langsung ke sana, yah. Aku nggak mau sekolah hari ini. Aku mau ke tempat Bunda,” Arsyana kekeh. “Arsya...” panggil Ardian dengan lembut dan penuh penekanan suara. “Aku mohon ayah...” jawab Arsyana sambil menangkupkan kedua telapak tangannya memohon kepada sang ayah. Laki-laki dewasa itu hanya mampu menarik senyuman kecil sambil menggelengkan kepalanya perlahan. Dirinya benar-benar tidak menyangka jika putrinya itu akan menunjukkan sikap memohon yang menggemaskan seperti itu. “Bagaimana ayahku yang ganteng?” tanya Arsyana penuh senyum menggoda pada sang ayah. Bu Nining dan Audy yang menyaksikan ucapan Arsyana dengan tersenyum geli. “Baiklah. Setelah dari tempat Bunda, kita ke rumah sakit ya? Jadi Eyang sama Tante ikut sekalian,” Ardian akhirnya mengalah namun tetap dengan pengajuan syarat agar putrinya itu mau ke rumah sakit untuk kontrol. Arsyana tersenyum dan mengangguk menyetujui permintaan sang ayah. Dengan penuh senyum bahagia gadis kecil dengan rambut panjang yang diikat seperti ekor kuda itu melihat kepada tiga orang dewasa yang ada bersamanya saat ini. Karena keinginan Arsyana yang cukup kuat untuk bisa bertemu dengan bundanya, gadis kecil itu dengan sabar menunggu nenek dan juga tantenya bersiap-siap. Sedangkan ayahnya masuk kembali ke dalam kamar dan terlihat menelepon orang kepercayaannya untuk menghandle pekerjaan di toko bangunan miliknya. Setelah semua siap, Arsya dan keluarga menyusuri jalanan menggunakan mobil pribadi milik Ardian. Senyum penuh kebahagiaan tak pernah sedetik pun hilang dari wajah cantik nan menggemaskan itu. Bahkan karena teramat bahagia dengan angan dan pengharapannya sendiri, Arsyana bernyanyi beberapa lagu yang ia kuasai dengan penuh keceriaan. Gadis kecil yang duduk di kabin belakang bersama tantenya itu terlihat beberapa kali mengajak sang tante agar ikut bernyanyi bersama dirinya. Ardian yang melihat kebahagiaan dan keceriaan putri semata wayangnya itu tersenyum bahagia. Pria itu kemudian melirik ke arah ibunya yang duduk di sebelahnya untuk memberitahu betapa bahagia putrinya saat ini. Beberapa saat menyusuri jalanan yang pagi itu sudah mulai ramai karena pengguna jalan yang hendak pergi melakukan aktivitasnya, akhirnya mobil Ardian sampai juga di sebuah tempat pemakaman umum yang ada di kota tersebut. “Ayah, kok kita ke sini? Katanya ayah mau ngasih tahu tempat Bunda istirahat? Ini kenapa kita malah ke kuburan?” tanya Arsyana dengan wajah bingung.“Duh, sayang... Bu guru harus pulang ke rumah, soalnya pasti sudah ditunggu orang tua Bu guru,” tolak Riska halus sambil mengusap kepala Arsyana. “Tidak mau! Pokoknya harus ikut! Nanti Bu Riska naik motor di belakang mobil ayah. Janji cuma sebentar saja! Mau ya, bu Riska?” Arsyana merengek dan menatap Riska dengan mata memohon yang membuat hati siapa pun luluh. Bu Nining menyikut lengan Ardian pelan. Beliau memberi kode agar putranya itu ikut membujuk. “Bu Riska, bagaimana? Kalau... Bu guru tidak keberatan,” bujuk Ardian dengan nada lebih terdengar seperti permohonan. Riska menghela nafas pasrah. Dirinya tahu bahwa menolak Arsyana dalam kondisi sebahagia ini akan sangat menyakitkan. Dia akhirnya mengangguk dengan tersenyum yang terlihat dipaksakan. “Baiklah. Tapi hanya sebentar ya. Bu guru cuma mau antar Arsya sampai rumah saja,” kata Riska berusaha memberikan batasan waktu. “Horeee!!” Gadis kecil berusia 5 tahun itu meloncat kegirangan. Dia benar-benar terlihat bahagia dengan
Riska merasakan pipinya memanas dan matanya bergantian menatap Arsyana yang tersenyum penuh harap kepadanya. Sedangkan Ardian menatap heran dan mematung sesaat melihat ke arah sang ibu. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Bu Nining. Akan tetapi wanita tua itu segera menguasai dirinya dan justru tersenyum menanggapi ucapan sang cucu yang ajaib itu. “Aduh Arsya! Pertanyaan apa itu? Jangan aneh-aneh seperti itu dong,” ucap Ardian pelan sembari berjalan ke arah bangsal dengan ekspresi yang mencoba ia tunjukkan santai meski dirinya benar-benar malu. Arsyana mengerucutkan bibir, dan menjawab, “Kok aneh sih, Yah? Kata temen-temen itu, kalau udah suka boleh jadi pacar. Bu Riska kan cantik dan baik, terus Bu Riska juga suka dengan ayah yang baik juga. Jadi ayah sama Bu Riska boleh jadi pacar. Ayah mau ya pacaran sama Bu Riska?” Suasana di ruangan itu mendadak menjadi panggungnya, hanya terdengar suara detak jam dinding. Bu Nining yang tadinya hanya tersenyum maklum kini justru terkekeh pe
“Sudahlah, Yan. Kamu tahu bagaimana susahnya membuat anak ini mau makan dan minum obat kan? Kalau dia punya keinginan begini, biarkan saja sesekali kita turuti. Demi dia tidak stres, penyakitnya kan butuh semangat,” ujar Bu Nining tegas dengan suara lirih di dekat telinga anak lelakinya itu. Ada nada prihatin dalam suara Bu Nining. Wanita tua itu tahu bagaimana menjaga mood Arsyana adalah bagian terpenting dari perawatan di awal ini. Ardian akhirnya menghela nafas pasrah. Dia kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Nomor guru muda itu sudah tersimpan rapi sejak beberapa minggu yang lalu. Saat itu ia harus minta izin absen sekolah Arsyana. Dengan sedikit gugup, Ardian mengetikkan pesan kepada Bu Riska. {Selamat sore Bu Riska. Maaf mengganggu waktunya. Ini saya ayahnya Arsana. Arsyana hari ini sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit, tapi dia mendadak tidak mau pulang kalau belum dijenguk oleh ibu. Katanya dia mau menunjukkan kalau dia sudah hebat. Apakah Bu Riska ada
“Tidak sesederhana itu, pak. Saya belum mengenal dia dengan dekat. Permintaan Arsya itu bukan soal permintaan beli permen yang dengan mudah dapat langsung saya kabulkan. Dia minta bunda, minta ibu yang hubungannya dengan pernikahan. Apalagi yang namanya pernikahan itu hubungannya tidak hanya dua orang saja, tapi dua keluarga besar, lebih dari itu juga perjanjian pada Tuhan. Tidak sesimpel pemikiran Arsya, pak,” jawab Ardi mencoba menjelaskan. “Bapak tahu. Atau... kamu memang sudah ada calon?” Ardian menggeleng dan berkata, “Saya masih belum berani menggantikan Risa di kehidupan Arsya. Dia belum sepenuhnya diingat dan dikenal Arsya, kasihan pak. Kasihan jika nanti Risa justru tidak dikenal Arsya sebagai ibunya, padahal Risa orang yang mengandung dan melahirkan.” Pak Nugraha terdiam. Beliau tidak ingin memaksakan sesuatu pada anak laki-lakinya itu. Laki-laki tua itu pun sadar semua yang dikatakan oleh Ardi benar dan memang masalah pernikahan juga tidak bisa grasah-grusuh dan sembaran
‘Ini permintaan apa lagi? Kenapa Arsya selalu mengajukan permintaan yang rasanya tak mungkin untuk aku penuhi,' ujar Ardi di dalam hatinya. Untuk beberapa saat ayah satu anak itu terdiam bahkan tatapan matanya lurus namun kosong. Ardi mematung dan otaknya berputar dengan pikirannya sendiri karena ucapan sang anak. “Ayah... Ayah kok malah diam?” desak Arsyana yang berhasil menyadarkan Ardian kembali. “Eh iya... Gimana sayang?” jawab Ardian setelah tersadar dari lamunannya. “Bu Riska jadi bundaku ya, yah! Bu Riska ajak tinggal di rumah sama kita. Boleh kan yah?” ucap Arsya kembali. Ardian terdiam. Ia merasa bingung harus menjawab apa atas ucapan putrinya itu. “Assalamu’alaikum...” Terdengar suara salam yang dibarengi dengan pintu yang terbuka. Dari luar masuk Bu Nining dan pak Nugraha, ayah kandung Ardian. “Wa’alaikum s
Berkali-kali dibangunkan akhirnya mata Arsyana pun terbuka. Matanya tampak sayu dan wajahnya pucat. “Sayang... Apa yang kamu rasakan, nak?” tanya Ardian penuh kekhawatiran. “Ayah, aku lemas rasanya. Kepalaku pusing,” jawab Arsyana lemah. “Kita ke rumah sakit sekarang!” Ardian langsung menggendong putrinya keluar dari kamar dan mengajak budhe Mar untuk ikut serta. Ardian dengan cepat membawa putri kesayangannya itu ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, Arsyana segera mendapat pertolongan dengan cepat. Ardian menghubungi orang kepercayaannya untuk menghandle pekerjaannya di toko. “Ya Allah, semoga semua baik-baik saja. Izinkan aku membesarkannya dan melihatnya tumbuh jadi gadis dewasa. Jangan ambil dulu putriku satu-satunya,” lirih Ardian sambil berdiri penuh kesedihan. Tak dapat lagi disembunyikan kesedihan ayah muda itu. Bahkan Ardian ta







