"Kami takut jika membawanya sendiri, bagaimana jika kami nanti dituduh macam-macam. Karena kondisi wanita ini seperti habis digebukin!" jelas salah satu anak buahnya disambungan telepon tersebut.
"Benar-benar merepotkan!" umpat Alex sembari menaiki mobilnya dan langsung berangkat ke tempat di mana anak buahnya berada.15 menit kemudian Alex pun sampai di tempat tujuannya tersebut, ia segera masuk ke dalam rumah di mana kedua anak buahnya menunggu dengan wajah yang pucat."Kenapa tidak kalian angkat?" tanyanya sanksi menatap keduanya."Kami takut Bos, coba Bos lihat sendiri bagaimana keadaannya." Alex mendekat kearah Gina yang tak sadarkan diri di lantai. Dilihatnya bahkan pakaian yang dipakai oleh istri anak buahnya tersebut tak sempurna. Wajah cantik yang ia temui kemaren berubah menjadi biru lebam dan membengkak. Begitu juga dengan tubuhnya, di beberapa bagian terdapat memar. Alex terlebih dulu mengecek nadi dan hembusan wanita tersebut, setelah yakin bahwa Gina masih hidup ia pun segera menutupi tubuh Gina dengan selimut dan mengangkatnya membawa ke dalam mobil.Wanita yang berstatus istri orang lain tersebut harus segera mendapatkan pertolongan, dan Alex pun membawanya ke rumah sakit.Alex mengangkat tubuh Gina dengan sedikit berlari dan langsung disambut oleh paramedis. Beberapa orang yang melihat kondisi Gina sempat terkejut dan bertanya mengapa.
"Pakaian dulu baju pasien kepadanya!" titah dokter kepada perawat yang mendampinginya ketika Gina dibawa masuk keruang tindakan."Di, kamu urus administrasinya." titahnya kepada Andi yang datang menyusul."Baik Bos!" jawab lelaki bertubuh besar tersebut.Ketika Alex beranjak ingin pergi dari tempat tersebut, langkahnya dicegah oleh seorang perawat yang keluar dari ruangan di mana tempat Gina dirawat."Tunggu Pak. Ini selimut pasien, kotor karena terkena darah." ucap perempuan ber-tag nama Sulas tersebut."Berikan saja sama dia mba, saya mau pulang!"Alex melangkah pergi namun wanita dengan seragam putih tersebut mengejarnya."Bapak tidak bisa membiarkan pasien sendirian.""Kenapa?, orang saya bukan siapa-siapa dia!" jawab Alex penuh dengan penekanan, sebab sepertinya wanita bernama sulas ini mengira bahwa dialah orang yang telah menganiyaya pasien yang mereka tangani tersebut."Maksud Bapak apa?" tanya wanita itu lagi."Dengar ya Sus, dari nada bicara Suster saya bisa melihat dan menyimpulkan bahwa Suster sepertinya telah salah paham kepada saya, perlu saya tekankan disini orang yang menganiyaya wanita di dalam, bukanlah saya. Saya sudah cukup berbaik hati, tidak membiarkan dia meninggal sendirian di dalam rumahnya dan membawanya ke sini!" Alex menatap tajam ke arah suster tersebut. Membuat wanita yang ada di hadapannya ini bungkam.Sulas terdiam, mencerna apa yang diucapkan oleh lelaki berparas tampan di depannya ini. Karena apa yang dikatakannya adalah benar, ia dan beberapa temannya di dalam mengira bahwa lelaki bertubuh tinggi inilah yang menjadi tersangka penganiyayaan tersebut."Sebelumnya saya meminta maaf, jika Bapak bukan keluarga pasien tolong berikan kami kontak keluarganya.""Nah itu, anak buah saya datang. Mbak Suster bisa minta kontak keluarganya lewat dia!" Alex menunjuk Andi sementara dirinya memutuskan untuk pergi dari tempat tersebut."Di, kamu urus dia!" ucapnya sebelum pergi.Tuuuuut... tuuutttt...
Hanya nada tunggu yang sedari tadi Alex dengar ketika mencoba menghubungi Adam. Sudah beberapa kali ia mencoba menelpon namun tidak diangkat oleh anak buahnya tersebut.Ia pun mencoba menelpon anak buahnya yang lain."Hallo Rian, kamu dimana?""Saya lagi dipasar Bos, nganter istri belanja" "Kamu liat Adam tidak?" "Loh bukannya Adam pergi.""Pergi ke mana dia?""Kalau perginya ke mana saya gak tau Bos yang jelas tadi malam Jamal, Adam sama Rojak katanya digerebek polisi karena pesta sabu.""Ya sudah." telepon dimatikan.Alex memijit pelipisnya, Adam memang kurang ajar. Setelah berhutang sejumlah uang yang cukup banyak ia malah mangkir dari pekerjaannya. Bukan hanya itu saja. Lelaki tidak tahu diri itu juga menyeretnya kedalam permasalahan lain. Istrinya yang babak belur dan di bawa kerumah sakit, Alex jugalah yang menanggung semua biayanya. Bukan mempersalahkan tentang jumlah uang, melainkan sebuah tanggung jawab dari seorang suami. Di mana Adam saat istrinya terbaring lemah di rumah sakit?Drrttt... drrrrttt...
Hp yang diletakkan Alex di samping bantalnya bergetar, ia mengernyitkan dahi karena tidak mengenal nomor yang masuk ke handphonenya tersebut."Hallo... dengan Pak Alex? kami dari pihak rumah sakit ingin menyampaikan bahwa pasien yang tadi siang datang kerumah sakit dalam keadaan pingsan kini sudah siuman." ucap si penelpon yang. Alex yakini adalah orang dari pihak rumah sakit.Alex mematikan telepon tersebut dan kemudian menelpon Andi, karena lelaki itulah yang tadi ia suruh mengurus administrasi ketika di rumah sakit."Andi, kamu ngasih nomor saya ke rumah sakit?" tanyanya geram."I... iya maaf Bos, habisnya saya bingung. Saya gak punya apa-apa kalau ditelpon pihak rumah sakit, buat beli ini beli itu!" alasan Andi cukup masuk diakal.Dalam sambungan telepon tersebut, masuk lagi panggilan lain yang tak lain adalah nomor dari rumah sakit. Membuat Alex jengah."Saya akan segera kesana!" ucapnya mengangkat telepon tersebut kesal.Akhirnya mau tidak mau, Alex terpaksa pergi kerumah sakit tempat di mana Gina dirawat.****Tiba di rumah sakit ia berjalan menuju ruangan di mana Gina dirawat. Wanita itu sudah sadar namun ketika Alex datang ia memejamkan mata, entahlah mungkin tidur.Alex masuk ke dalam ruangan yang di isi oleh dua tempat tidur pasien namun hanya satu pasien yang dirawat di ruangan tersebut. Ia duduk di ranjang yang kosong sembari menunggu Gina bangun."Di mana Adam?" tanyanya to the poin ketika Gina membuka matanya.Gina menggeleng lemah, entah mengapa mendengar nama tersebut disebut hatinya merasa teriris."Gina itukan namamu? siapa yang melakukan semua ini?" Gina hanya diam, tak menjawab pertanyaan Alex. Alex menggaruk tekuknya kemudian menghela nafas kasar."Jadi wanita itu harus berani, kalau kamu lemah seperti ini, kamu akan terus diinjak-injak oleh orang. Setidaknya beritahu, siapa orang yang telah menganiyaya kamu ini!" ucap Alex panjang lebar.Bukannya memberitahu Alex siapa orang tersebut, yang Gina lakukan hanyalah menangis dan menangis. Matanya yang bengkak semakin terasa sulit untuk dibuka."Baiklah jika kamu tidak ingin bicara, saya juga tidak bisa memaksa." Alex kemudian diam, dalam hatinya yakin bahwa yang melakukan penganiyayaan ini pastilah Adam, karena lelaki tersebut memang terkenal tempramental, pernah beberapa kali berkelahi dengan anak buahnya yang lain.Krruuyyyuuuk...Suara yang berasal dari perut Gina terdengar. Gina yang sedari tadi diam, merasa sangatlah malu kepada Alex, ia menundukan kepalanya. Kemaren sore adalah waktu terakhir ia makan. Dan sudah lebih dari dua belas jam perutnya kosong."Aku akan membelikanmu makanan. Tunggulah." Alex beranjak keluar."Apa yang mendasarimu menolongku seperti ini?" tanya Gina menatap Alex yang memegang knop pintu."Jangan berpikir bahwa aku adalah orang yang baik hati Gina. Karena semuanya tidaklah gratis!"Hujan turun deras sore itu, membasahi jalanan yang terlihat lengang. Di dalam rumah Gina, suasana terasa sunyi. Gina duduk di sofa ruang tamunya, menatap jendela yang dipenuhi bulir-bulir air. Di pangkuannya, sebuah buku cerita anak-anak terbuka, tetapi pikirannya melayang jauh. Tama, anak laki-lakinya yang baru berusia empat tahun, sedang tertidur di kamar. Suara dengkurnya yang kecil terdengar samar dari balik pintu.Ketenangan itu tiba-tiba terusik oleh suara ketukan di pintu depan. Gina mengalihkan pandangan dari jendela, sedikit bingung. Siapa yang datang di tengah hujan deras seperti ini?Ia berdiri, melangkah ke arah pintu, dan membukanya. Sosok Alex berdiri di sana, dengan jas hujan yang sudah basah kuyup dan rambut yang sedikit berantakan.Gina mengerutkan kening. “Ada apa malam-malam kesini?"Alex tidak langsung menjawab. Tatapannya serius, hampir menusuk, membuat Gina merasa sedikit canggung. Dia melepas jas hujannya, menepuk-nepuk sisa air yang masih mene
Laura duduk termenung di ruang kecil kamarnya. Jendela kaca di samping meja riasnya memantulkan bayangan dirinya yang tampak lelah. Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini tampak sedikit berantakan. Sejak kejadian malam itu, semuanya terasa berubah. Ia telah melewati batas, dan entah kenapa, perasaan bersalah itu terus menghantuinya.Hubungannya dengan Satria telah menjadi sebuah kesalahan besar. Malam itu, di pesta perusahaan, ia tak pernah menyangka akan terjebak dalam situasi yang begitu kacau. Entah apa yang diminum Satria pada malam itu nyatanya membawa mereka ke dalam kekeliruan yang tak termaafkan. Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir bayang-bayang gelap itu dari pikirannya. Namun, semakin ia mencoba melupakan, semakin kuat rasa hampa di dadanya.—Laura memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia ingin keluar dari zona nyaman, dari lingkungan yang penuh dengan intrik dan konflik. Ketika salah satu divisi perusahaan mengadakan
Setelah perdebatannya dengan Angel Alex memilih keluar dan pergi ke kamarnya yang berada tepat disamping kamar Angel, meski menginap dihotel yang sama, namun ia memesan kamar kamar lain untuk dirinya sendiri karena memang Alex menyukai ketenangan. Alex berdiri di depan jendela besar di kamar tersebut. Sinar matahari sore memantulkan bayangan tubuhnya yang kokoh ke lantai kayu. Tatapannya kosong menembus kaca, tetapi pikirannya penuh dengan berbagai rencana. Ia sudah terlalu muak dengan permainan Angel. Istrinya itu sudah melampaui batas, dan kali ini, Alex tidak akan tinggal diam.Pintu kamar terbuka perlahan. Entah dari mana Angel mendapatkan kunci kamar tersebut, ia melangkah masuk dengan anggun, mengenakan gaun merah yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya penuh percaya diri, seperti biasa, tetapi sorot matanya menyimpan sesuatu—ketakutan yang ia coba tutupi.“Maafkan aku," Angel bersuaranya terdengar menyesal, juga ada nada gugup yang terselip di sana.Alex
Langit sore itu terlihat mendung, menambah suasana muram di sekitar tempat Gina berpijak saat ini. Udara terasa lembap, dan aroma tanah basah mulai tercium, tanda-tanda hujan akan segera turun. Gina menatap cakrawala dimana cahaya jingga serta awan hitam menutupi langit bagian barat wilayah tersebut. Handphone dalam tas selempangnya bergetar."Iya, Ma," ucapnya sedikit cemas."Kamu kok belum pulang? ini Tama nanyain dari tadi," ucap Maria disebrang sana."Iya Ma ini lagi dijalan, Mama sudah dirumah?" Gina memastikan keduanya baik-baik saja."Iya kami sudah dirumah, tadi ada orang baik nawarin tumpangan naik mobil, jadi Mama gak perlu nunggu jemputan dari Paman Andi,"Deg...Pernyataan dari Maria membuat Gina semakin yakin bahwa Angel tidak berbohong atas ucapannya."Ya sudah Ma, aku mau lanjutin perjalanan nanti keburu hujan!""Iya hati-hati..." Sepanjang perjalanan lagi-lagi Gina merasa tidak tenang, sebab ada seseorang yang terus saja men
Malam itu terasa sunyi, meski di luar suara kendaraan pengangkut barang produksi masih hilir mudik melewati jalanan ibu didepan rumah sederhana, Satria duduk di dalam kamarnya, menatap layar ponselnya yang menyala. Nama Gina terpampang di sana, tetapi ia tak punya keberanian untuk mengetuk ikon “panggil”. Ada ribuan kata yang ingin ia ucapkan, tetapi semuanya terhenti di tenggorokan. Kepalanya bersandar di sandaran ranjang sementara pikirannya penuh dengan bayangan Gina.Satria menghela napas panjang. “ Aku nggak bisa terus kayak gini…” gumamnya, setengah berbisik. Ia tahu, perasaannya kepada Gina bukan sekadar rasa suka biasa. Ini cinta. Cinta yang tumbuh tanpa ia rencanakan, meski ia tahu Gina masih menyimpan banyak misteri dari masa lalunya. Setiap kali ia melihat wanita itu, ada dorongan kuat untuk mengungkap misteri tersebut. Namun, semuanya terasa rumit. Gina, dengan sikapnya yang dingin namun penuh keraguan, selalu menolak untuk memberikan kepastian. Satria tahu
Malam itu, Angel berdiri di balkon kamarnya, memandang gelapnya malam di sekitar hotel tempat ia menginap. Pikirannya berputar-putar, penuh dengan rasa cemburu dan amarah yang tak bisa ia kendalikan. Gina. Nama itu terus menghantui pikirannya. Angel tidak bisa menerima kenyataan bahwa Alex, suaminya, masih memendam perasaan untuk wanita itu, apalagi setelah insiden malam pesta kemarin. Angel menggenggam ponselnya erat-erat, jemarinya gemetar. Tekadnya sudah bulat, Gina harus disingkirkan.Angel menekan nomor seseorang yang sudah ada di daftar kontaknya. Suaranya dingin ketika dia berbicara.“Aku butuh kamu lakukan sesuatu,” ucap Angel, nada suaranya rendah namun tegas.“Siapa targetnya?” balas suara pria dari seberang telepon.“Seorang wanita. Namanya Gina. Aku nggak peduli caranya gimana, tapi aku nggak mau dia lagi ada di sekitar suami aku. Buat dia kapok, atau lebih baik lagi... lenyapkan dia. Selamanya.”Hening sejenak di telepon, hanya terdengar suara nafas