Setelah berucap seperti itu Alex keluar dan melangkah, kini Gina hanya sendirian diruangan tersebut. Seketika tubuhnya merinding, Apa jangan-jangan Bos dari suaminya itu, mempunyai niat tersembunyi seperti akan menjual ginjalnya. Entahlah yang jelas ia berhutang nyawa kepada lelaki tersebut.
Tak berapa lama kemudian Alex datang dengan membawa sebuah plastik di tangannya yang isinya tak lain adalah makanan."Apa kau bisa menyuap makanan ini sendiri?" tanyanya melirik ke arah tangan Gina."Bi... bisa Mas!" ucap Gina sungkan. Meski tangan kanannya terpasang selang infus, tidak mungkin rasanya ia meminta untuk disuapi oleh lelaki asing yang bukan siapa-siapanya tersebut. Ia akan berusaha untuk mandiri, menyuap makanan itu sendiri.Alex duduk sebuah kursi yang berada dekat dengan ranjang Gina."Saya belikan kamu bubur, biar gak perlu robek-robek ikannya." ucapnya menyerahkan mangkuk berwarna bening tersebut kepada Gina. Entah apa maksudnya dengan merobek-robek ikan."Terima kasih karena Mas telah menolongku. Sebelumnya aku minta maaf jika lancang, aku belum tau nama Mas siapa, dan apa benar Mas ini adalah bos di tempat suamiku bekerja." tanya Gina hati-hati. Sebenarnya ragu menanyakan hal tersebut, namun karena memang tidak tahu nama orang yang berada di hadapannya ini. Ia haruslah berani mempertanyakannya."Nama saya Alex. Iya suami kamu itu anak buah saya. Anak buah yang sulit diatur, pemalas, tempramental, dan juga banyak hutang." ucap Alex datar."Ooh..." Gina membeo, beberapa kali ia pernah mendengar Adam ditelpon oleh seseorang yang bernama Alex. Ternyata lelaki inilah orang tersebut."Sebelumnya aku meminta maaf atas kelakuan suami saya sama bos." ucap Gina meralat panggilannya yang semula Mas menjadi Bos."Panggil saya Mas saja, agak aneh mendengar kamu memanggil saya Bos. Segeralah makan, selagi buburnya masih hangat." ucap Alex kemudian bangkit dan keluar dari kamar. Ia paham, Gina tidak leluasa makan, jika ada dirinya. Dengan bersusah payah akhirnya Gina berhasil menghabiskan bubur di hadapannya. Sedikit darah terlihat dari pangkal jarum infusnya karena sedari tadi tangannya itu bergerak.Sementara itu di luar, Alex menerima sebuah telepon dari seseorang."Hallo ..." "Bos, gudang cat kita kebakaran!" suara Wawan terdengar di sebrang telepon.Alex mematikan telepon tersebut, kemudian pergi ketempat yang dimaksud oleh Wawan.****
Berbeda dengan pasien lain yang dirawat di rumah sakit tersebut, yang didampingi oleh sanak keluarga mereka, Gina duduk di atas ranjang pasien seorang diri tanpa didampingi oleh siapapun.Ia duduk diatas tempat tidur, sembari menatap lurus ke depan, menikmati kesendirian. Tanpa bisa ia cegah, butiran bening jatuh begitu saja dari pelupuk mata. Rasa sedih itu mendera kedalam relung jiwa."Kemana kamu setelah membuatku hampir mati Mas?" tanyanya lirih pada diri sendiri.Lama Gita menatap daun pintu, namun sepertinya tidak akan ada orang yang akan datang. Entah mengapa ia menginginkan ada seseorang yang menjenguknya. Tidak bisa ia pungkiri dirinyapun juga bertanya-tanya kemana Alex pergi. Lelaki yang menolongnya tersebut terlihat dingin, cuek, dan misterius, ia berbicara jika ada perlunya saja, namun disisi lain ia juga terlihat berkharisma.Sedari tadi siang setelah Alex keluar, lelaki itu tak lagi datang sampai sekarang. Mungkin ia pulang, buat apa juga berpamitan dengannya, memangnya aku siapa?Pemikiran-pemikiran seperti itu terus saja bermunculan dalam pikiran Gina, membuat air matanya kembali menetes. Merasa nelangsa atas takdir yang menimpanya saat ini.Pintu diketuk oleh seseorang, seorang suster masuk."Ada titipan untuk anda!""Oh iya terima kasih Sus," Gina menerima paperbag yang disodorkan oleh Suster tersebut.Dahinya mengernyit, ketika tangannya merogoh dan mengeluarkan dua setel pakaian dan juga dalamannya.Mata Gina membelalak, dirinya juga bertanya-tanya tentang siapa yang memberiakan pakaian tersebut.Apa jangan-jangan orang yang membelikannya pakaian adalah Alex, apa lagi bra dan celana dalam yang berada di tangannya kini mempunyai ukuran yang pas sekali dengannya. Gina memejamkan matanya teringat kejadian sebelum ia pingsan.Ia tidak memakai pakaian lengkap, saat ia hanya memakai celana dalam serta tanktop tanpa bra, dan berbalut selimut karena berniat ke kamar mandi. Itu berarti Alex telah melihat aset yang ia miliki. Aaaa tidaaak...Sementara itu di tempat lain, Adam yang dikejar polisi sejak tempo hari bersembunyi di tempat teman wanitanya.
"Mas, sampai kapan kamu sembunyi di sini?" tanya Ike selingkuhannya yang merupakan wanita penjaja cinta tersebut."Sabar sayang, sampai keadaannya mereda dulu." sahut Adam, sembari membelai wajah cantik Ike."Tapikan aku perlu kerja Mas, kalau Mas di sini aku gak bisa nerima tamu." Ike merengut."Kan ada Mas, Mas akan ganti uang penghasilan kamu.""Katanya Mas gak punya uang, gimana mau ganti uang aku," Ike cemberut Adam memperlihatkan handphonenya kepada Ike."Hahhh... Mas menang main slot?" mata Ike berbinar melihat sejumlah uang yang ada di M-banking di hp Adam. Adam menatap Ike sembari menaik turunkan alisnya."Bagaimana, masih ragu menghabiskan waktu bersamaku?" tanya Adam tersenyum miring."Enggak lah, kan aku kerja buat makan kita juga. Sementara Mas gak punya penghasilan." Ike memeluk erat tubuh Adam dari samping, jemari lentiknya mulai bergerilya di dada lelaki yang merupakan suami dari seorang wanita yang kini tengah berada di sebuah rumah sakit tersebut.Nafas Adam mulai memburu tatkala wanita itu dengan lihai memancing gairahnya... "Kamu memang sangat pandai Ike, aku sangat menyukai wanita agresif seperti kamu ini," puji Adam yang berbaring telentang, sementara Ike berada diatas tubuhnya."Apa istrimu dirumah tidak pernah melakukan seperti ini?" tanyanya menyibak kaos yang dikenakan pria bertato mawar hitam tersebut. Kemudian menjilati dada Adam, membuat lelaki itu memejamkan matanya. Sesaat ia teringat kepada Gina, entah bagaimana saat ini keadaan istrinya itu, setelah ia tinggalkan dalam keadaan babak belur kemaren. 'Ah pasti dia akan baik-baik saja. Dia memang harus diberikan pelajaran, karena telah berani kepadaku. Jika dia masih marah tinggal minta maaf saja. Gina pasti akan memaafkan seperti kejadian yang telah lalu.' batin Adam kembali fokus ke Ike.Dua hari sudah berlalu, kini keadaan Gina berangsur membaik, wajahnya yang bengkak dan lebam juga mulai normal. Ia pun meminta untuk diperbolehkan pulang, karena sore nanti kemungkinan besar mamanya akan pulang dari kegiatannya. Meski dokter menganjurkan untuk tetap dirawat di rumah sakit namun karena Gina bersikeras, akhirnya mereka tidak bisa melarangnya.Ketika membuka pintu kamarnya, ia menabrak seseorang. "Maaf!" ucapnya tanpa melihat siapa orang yang ia tabrak tersebut. Gina mengira lelaki yang memakai kaos biru tersebut adalah petugas rumah sakit. Karena memang seragam kebersihan mereka juga berwarna biru."Kamu mau pulang?" suara berat lelaki tersebut berhasil membuat Gina mendongak. Netra keduanya sempat bertemu, sebelum Gina mengalihkan pandangan. Sungguh ia tak sanggup beradu pandang dengan lelaki tersebut."Mas Alex!"Hujan turun deras sore itu, membasahi jalanan yang terlihat lengang. Di dalam rumah Gina, suasana terasa sunyi. Gina duduk di sofa ruang tamunya, menatap jendela yang dipenuhi bulir-bulir air. Di pangkuannya, sebuah buku cerita anak-anak terbuka, tetapi pikirannya melayang jauh. Tama, anak laki-lakinya yang baru berusia empat tahun, sedang tertidur di kamar. Suara dengkurnya yang kecil terdengar samar dari balik pintu.Ketenangan itu tiba-tiba terusik oleh suara ketukan di pintu depan. Gina mengalihkan pandangan dari jendela, sedikit bingung. Siapa yang datang di tengah hujan deras seperti ini?Ia berdiri, melangkah ke arah pintu, dan membukanya. Sosok Alex berdiri di sana, dengan jas hujan yang sudah basah kuyup dan rambut yang sedikit berantakan.Gina mengerutkan kening. “Ada apa malam-malam kesini?"Alex tidak langsung menjawab. Tatapannya serius, hampir menusuk, membuat Gina merasa sedikit canggung. Dia melepas jas hujannya, menepuk-nepuk sisa air yang masih mene
Laura duduk termenung di ruang kecil kamarnya. Jendela kaca di samping meja riasnya memantulkan bayangan dirinya yang tampak lelah. Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini tampak sedikit berantakan. Sejak kejadian malam itu, semuanya terasa berubah. Ia telah melewati batas, dan entah kenapa, perasaan bersalah itu terus menghantuinya.Hubungannya dengan Satria telah menjadi sebuah kesalahan besar. Malam itu, di pesta perusahaan, ia tak pernah menyangka akan terjebak dalam situasi yang begitu kacau. Entah apa yang diminum Satria pada malam itu nyatanya membawa mereka ke dalam kekeliruan yang tak termaafkan. Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir bayang-bayang gelap itu dari pikirannya. Namun, semakin ia mencoba melupakan, semakin kuat rasa hampa di dadanya.—Laura memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia ingin keluar dari zona nyaman, dari lingkungan yang penuh dengan intrik dan konflik. Ketika salah satu divisi perusahaan mengadakan
Setelah perdebatannya dengan Angel Alex memilih keluar dan pergi ke kamarnya yang berada tepat disamping kamar Angel, meski menginap dihotel yang sama, namun ia memesan kamar kamar lain untuk dirinya sendiri karena memang Alex menyukai ketenangan. Alex berdiri di depan jendela besar di kamar tersebut. Sinar matahari sore memantulkan bayangan tubuhnya yang kokoh ke lantai kayu. Tatapannya kosong menembus kaca, tetapi pikirannya penuh dengan berbagai rencana. Ia sudah terlalu muak dengan permainan Angel. Istrinya itu sudah melampaui batas, dan kali ini, Alex tidak akan tinggal diam.Pintu kamar terbuka perlahan. Entah dari mana Angel mendapatkan kunci kamar tersebut, ia melangkah masuk dengan anggun, mengenakan gaun merah yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya penuh percaya diri, seperti biasa, tetapi sorot matanya menyimpan sesuatu—ketakutan yang ia coba tutupi.“Maafkan aku," Angel bersuaranya terdengar menyesal, juga ada nada gugup yang terselip di sana.Alex
Langit sore itu terlihat mendung, menambah suasana muram di sekitar tempat Gina berpijak saat ini. Udara terasa lembap, dan aroma tanah basah mulai tercium, tanda-tanda hujan akan segera turun. Gina menatap cakrawala dimana cahaya jingga serta awan hitam menutupi langit bagian barat wilayah tersebut. Handphone dalam tas selempangnya bergetar."Iya, Ma," ucapnya sedikit cemas."Kamu kok belum pulang? ini Tama nanyain dari tadi," ucap Maria disebrang sana."Iya Ma ini lagi dijalan, Mama sudah dirumah?" Gina memastikan keduanya baik-baik saja."Iya kami sudah dirumah, tadi ada orang baik nawarin tumpangan naik mobil, jadi Mama gak perlu nunggu jemputan dari Paman Andi,"Deg...Pernyataan dari Maria membuat Gina semakin yakin bahwa Angel tidak berbohong atas ucapannya."Ya sudah Ma, aku mau lanjutin perjalanan nanti keburu hujan!""Iya hati-hati..." Sepanjang perjalanan lagi-lagi Gina merasa tidak tenang, sebab ada seseorang yang terus saja men
Malam itu terasa sunyi, meski di luar suara kendaraan pengangkut barang produksi masih hilir mudik melewati jalanan ibu didepan rumah sederhana, Satria duduk di dalam kamarnya, menatap layar ponselnya yang menyala. Nama Gina terpampang di sana, tetapi ia tak punya keberanian untuk mengetuk ikon “panggil”. Ada ribuan kata yang ingin ia ucapkan, tetapi semuanya terhenti di tenggorokan. Kepalanya bersandar di sandaran ranjang sementara pikirannya penuh dengan bayangan Gina.Satria menghela napas panjang. “ Aku nggak bisa terus kayak gini…” gumamnya, setengah berbisik. Ia tahu, perasaannya kepada Gina bukan sekadar rasa suka biasa. Ini cinta. Cinta yang tumbuh tanpa ia rencanakan, meski ia tahu Gina masih menyimpan banyak misteri dari masa lalunya. Setiap kali ia melihat wanita itu, ada dorongan kuat untuk mengungkap misteri tersebut. Namun, semuanya terasa rumit. Gina, dengan sikapnya yang dingin namun penuh keraguan, selalu menolak untuk memberikan kepastian. Satria tahu
Malam itu, Angel berdiri di balkon kamarnya, memandang gelapnya malam di sekitar hotel tempat ia menginap. Pikirannya berputar-putar, penuh dengan rasa cemburu dan amarah yang tak bisa ia kendalikan. Gina. Nama itu terus menghantui pikirannya. Angel tidak bisa menerima kenyataan bahwa Alex, suaminya, masih memendam perasaan untuk wanita itu, apalagi setelah insiden malam pesta kemarin. Angel menggenggam ponselnya erat-erat, jemarinya gemetar. Tekadnya sudah bulat, Gina harus disingkirkan.Angel menekan nomor seseorang yang sudah ada di daftar kontaknya. Suaranya dingin ketika dia berbicara.“Aku butuh kamu lakukan sesuatu,” ucap Angel, nada suaranya rendah namun tegas.“Siapa targetnya?” balas suara pria dari seberang telepon.“Seorang wanita. Namanya Gina. Aku nggak peduli caranya gimana, tapi aku nggak mau dia lagi ada di sekitar suami aku. Buat dia kapok, atau lebih baik lagi... lenyapkan dia. Selamanya.”Hening sejenak di telepon, hanya terdengar suara nafas