Awalnya, hidup Alissa sangat bahagia. Namun, semua berubah saat Alissa mendadak sakit. Karena kondisi yang lemah, ia sekarang tidak dapat melayani suaminya Erick, dengan baik. Justru sebaliknya, Erick lah yang melayaninya.
Di dalam kamar, Alissa baru saja menyelesaikan makan malamnya dengan bantuan Erick. "Mas, maaf! Harusnya aku yang melayani kamu, tapi sekarang ...." Tiba-tiba jari telunjuk Erick menyentuh bibir Alissa; menghentikan ucapan Alissa.
"Ssst! Kamu ngomong apa sih, Sayang? Sudah, jangan dipikirkan lagi!" pinta Erick. Alissa pun hanya bisa mengangguk, pasrah menuruti apa yang diucapkan suaminya.
"Oh ya, kamu belum minum obat kan? Biar aku panggilkan Riana supaya menyiapkan obat untukmu." Alissa mengangguk, Erick pun beranjak pergi dan meninggalkan Alissa sendiri di kamarnya.
Alissa termenung, merutuki dirinya sendiri yang tidak berdaya karena sebuah penyakit. Ia tidak mengerti, sebenarnya sakit apa dirinya. Kenapa semakin hari tubuhnya semakin lemah, seakan mati rasa? Erick tidak pernah memberi tahu ia sakit apa, tapi Alissa sepenuhnya percaya bahwa Erick akan melakukan yang terbaik untuknya.
Suara pintu terbuka, tampak Riana masuk ke dalam kamar. Lima bulan yang lalu Riana datang sebagai pengasuh putrinya, Ellena. Namun sejak Alissa sakit, Riana juga yang merawatnya.
"Sudah waktunya untuk minum obat, Nyonya!" ucap Riana seraya melarutkan obat.
"Kenapa obatnya harus dilarutkan?" tanya Alissa, penasaran. Selama ini Alissa bertanya-tanya, kenapa ia selalu minum obat dengan cara dilarutkan seperti itu? Tidak seperti minum obat pada umumnya.
"Saya tidak tahu, Nyonya! Kata Tuan memang seperti ini." Alissa hanya mengangguk mendengar jawaban Riana.
Riana memberikan larutan obat itu pada Alissa. Alissa pun menerima obat itu, namun tatapannya tertuju pada wajah Riana yang kini tampak berbeda dengan saat pertama kali ia datang. Sekarang wajah Riana nampak sangat cantik dan terawat.
"Riana! Kamu makin cantik ya sekarang," ucap Alissa. Seketika Riana menjadi gugup, ia langsung salah tingkah di hadapan Alissa.
"Ma-maaf! Apa saya tidak boleh memakai riasan? Kalau begitu, biar saya hapus riasan saya," ucap Riana, sementara tangannya mengusap wajah untuk menghapus riasannya.
"Boleh, boleh! Maaf, Aku cuma penasaran saja tadi. Jangan dihapus!" sahut Alissa, merasa bersalah. Sedangkan Riana, menundukkan kepala serta tersenyum licik melihat Alissa.
Alissa mengarahkan gelas obat yang ia bawa ke mulutnya. Namun, ia merasa berat sekali untuk meminumnya. Ia teringat saat setiap kali minum obat, maka ia akan langsung tertidur pulas seperti orang pingsan. Bahkan saat bangun dari tidurnya, ia merasa tubuhnya semakin lemas. Ingin sekali Alissa menolak minum obat itu, tapi ia tidak enak hati pada Erick yang telah berusaha menyembuhkannya.
Begitu lama gelas obat itu di dekat mulut Alissa, tapi ia masih enggan untuk meminumnya. Tiba-tiba ia berpikir untuk tidak minum obat itu. Ia ingin tetap terjaga untuk memberi kejutan pada Erick. Malam ini ia ingin melayani Erick; ia ingin menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri.
"Nyonya! Ada apa? Kenapa tidak segera diminum?" tanya Riana.
Alissa tersentak, lalu menjauhkan gelas itu dari mulutnya. "Riana, aku baru ingat kalau tissue ku habis. Tolong, ambilkan di lemari itu!" pinta Alissa, seraya menunjuk lemari untuk mengalihkan perhatian Riana.
Riana mengangguk, lalu berbalik menuju lemari untuk mencari tissue nya. Alissa pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia segera menuang larutan obat itu ke selimut tebal miliknya dan menyisakan sedikit agar Riana mengira ia sudah meminumnya. Lalu Alissa menaruh gelas itu di meja.Tak lama, Riana kembali dengan membawa tissue yang Alissa minta.
Riana pun tampak tersenyum puas melihat gelasnya sudah kosong. Sementara Alissa, ia juga sangat senang karena berhasil mengelabuhi Riana. Akhirnya, ia bisa memberi kejutan pada Erick.
Lima menit kemudian, Alissa memulai aksinya. Ia pura-pura tertidur di depan Riana. "Hoah, obatnya mulai bekerja, Riana! Aku istirahat dulu ya!" pamit Alissa, seraya memasang selimut di tubuhnya lalu memejamkan mata.
Cukup lama Alissa pura-pura tidur, tapi ia tidak mendengar Riana keluar dari kamarnya. Alissa pun bertanya-tanya dalam hati, 'apa yang sedang dilakukan Riana? Kenapa ia tidak keluar?'
Sementara itu, Riana sedang berdiri di depan meja rias. Ia ingin membenahi riasan yang sudah ia hapus tadi, karena ia harus tampil cantik malam ini.
Tak berselang lama, terdengar suara pintu terbuka. Lalu, terdengar langkah seseorang masuk ke dalam.
"Bagaimana Sayang? Apa obat untuk istriku sudah bekerja?" tanya Erick, lalu merengkuh tubuh ramping Riana dari belakang.
Riana tersenyum senang, seketika ia membalikkan tubuhnya menghadap Erik seraya melingkarkan tangannya pada leher Erick. "Tentu sudah, Sayang! Aku kan tidak mau melewatkan malam kita."
Deg
Tenggorokan Alissa tercekat, mendadak nafasnya sesak kala mendengar panggilan sayang suaminya pada Riana. 'Apa ini? Apa yang terjadi?' ucapnya dalam hati.
Bibir Alissa bergetar, wajahnya terasa panas, sementara matanya semakin terpejam erat karena menahan amarah. Alissa mengurungkan niatnya untuk memberi kejutan pada Erick. Ia akan tetap berpura-pura tidur untuk mencari tahu yang sebenarnya.
"Hm, bagus! Malam ini, kamu cantik sekali Sayang. Ayo, layani aku sekarang!" ucap Erick.
"Apapun akan kulakukan untukmu, Sayang." Riana menarik dan menggiring Erick hingga keduanya terjatuh duduk di tepi kasur. Tanpa keduanya sadari, Alissa yang sedang berbaring di sampingnya masih terjaga.
Hati Alissa berdenyut nyeri, sakit bagai tertusuk ribuan duri kala merasakan dua orang di sampingnya bercumbu mesra. Sepanjang malam ia harus mendengar dan merasakan suaminya bercinta dengan wanita lain di ranjang yang sama dengannya. Untuk pertama kalinya ia merasa sangat hancur. Di dalam selimut, kedua tangan Alissa terkepal begitu kuatnya. Sebisa mungkin ia harus bisa menahan amarahnya, ia tidak ingin gegabah, ia harus tahu apa yang sebenarnya Erick inginkan darinya.
.
Alissa baru saja membuka matanya. Ia bangun lalu duduk bersandar pada headboard. Ia melihat ke arah sekelilingnya, tidak ada Erick di sana. Tak lama kemudian ia melihat Erick masuk dengan membawa makanan serta obat yang harus ia minum. Erick pun menaruh makanan itu di meja kamarnya.
"Sayang, kamu udah bangun? Udah waktunya sarapan. aku suapi ya?" Alissa tersenyum kecut, Ia merasa telah tertipu mentah-mentah oleh Erick. Sekarang, baginya Erick hanya seorang manusia bermuka dua. Seperti laki-laki sempurna, namun nyatanya tak lebih dari laki-laki brengsek.
"Biar aku sendiri, Mas! Bukankah kamu harus segera ke kantor?"
"Itu bisa nanti, Sayang. Yang terpenting sekarang adalah kamu," sahut Erick.
"Tidak, Mas! Aku juga ingin belajar mandiri, nggak bergantung sama kamu terus." Erick mengerutkan keningnya, entah kenapa ia merasa Alissa sedikit aneh hari ini. Namun sejurus kemudian, ia mengabaikan perasaannya.
"Baiklah! aku berangkat ke kantor dulu ya, Sayang," pamit Erick, seraya mencium kening Alissa sebelum pergi. Alissa bergeming, ia hanya diam tak menanggapi Erick.
Setelah Erick pergi, Alissa pun memakan sarapannya. Lalu mengambil larutan obat yang ada di meja. Tapi, tiba-tiba ada kucing miliknya yang lompat dari arah samping dan menyenggol tangannya. Alhasil obat itu pun tumpah ke lantai. Kucing itu ternyata tidak pergi; kucing itu meminum larutan obat yang menggenang di lantai. Namun, seketika mata Alissa terbelalak, ia sangat terkejut saat melihat kucingnya itu tiba-tiba mati.
"Obat apa sebenarnya ini? Kenapa kucing ini mati?"
***
Dengan tubuh yang masih lemah, Alissa segera bangun dari ranjang saat melihat kucingnya tiba-tiba tergeletak di lantai. Ia memeriksa kucing itu sudah mati. "Obat apa sebenarnya ini? Kenapa kucing ini mati?" Kejadian itu membuat Alissa bertanya-tanya, apa ia telah salah minum obat selama ini? Pantas saja tubuhnya semakin lemah, bukannya semakin membaik.Tak berselang lama, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Mendadak Alissa gugup, ia tahu bahwa yang di luar pasti Riana. Alissa segera mengambil kucing mati itu, lalu kembali ke atas ranjang dan menyembunyikan kucing itu di dalam selimut. Ia tidak mau membuat Riana curiga jika melihat kucingnya mati."Masuk," teriak Alissa. Pintu pun terbuka dan tampak Riana masuk ke dalam kamar. Mendadak Alissa merasa panas, ia marah karena teringat kejadian semalam. Alissa selama ini sangat percaya pada Riana, namun Alissa tidak menyangka ternyata Riana menusuknya dari belakang."Maaf, Nyonya! Sesuai perintah Tuan, saya ingin memastikan apa Anda s
Ceklek Suara pintu yang akan dibuka mengejutkan Alissa. Ia segera berbaring di ranjangnya, lalu pura-pura tidur dan menyembunyikan ponselnya di bawah bantal. Pintu pun terbuka, nampak Erick yang masuk ke dalam kamar. "Kamu sedang tertidur pulas rupanya. Heh, seharusnya kamu sudah tenang di atas sana. Tapi sayang, aku masih membutuhkanmu sampai perusahaan itu benar-benar menjadi milikku. Tapi kamu tenang saja, hal itu tidak akan lama lagi terjadi." Erick mengusap lembut pipi Alissa, lalu mencengkeram rahang Alissa. Sekuat tenaga, Alissa menahan rasa sakitnya. Di dalam selimut, tangannya mengepal begitu kuatnya. Ia bertanya dalam hati, 'Apa ini yang kamu lakukan selama aku tidak sadarkan diri karena obat itu, Mas!' Erick yang melihat tidak ada perlawanan dari Alissa, menjadi yakin bahwa yang ia pikirkan ternyata salah. Ia yakin bahwa Alissa masih dalam kendalinya. Erick pun melepas cengkeraman tangannya, lalu tidur di samping Alissa. Sementara Alissa, tubuhnya tiba-tiba bergetar
Alissa baru saja menyelesaikan makan malamnya. Ia merasa lega karena berhasil mengelabuhi Riana untuk tidak minum obat mematikan itu. Alissa berpikir, 'Entah sampai kapan ia harus pura-pura seperti ini.' Namun apa daya, hanya itu yang bisa ia lakukan supaya terhindar dari bahaya Erick yang ingin membunuhnya untuk sementara waktu. Riana sudah pergi tidur. Sementara Erick, sedang pergi untuk makan malam dengan kliennya. Alissa merasa bebas, ia tidak perlu pura-pura untuk sementara waktu, setidaknya sampai Erick pulang. Alissa berjalan menuju balkon untuk menikmati angin malam, namun saat ia sampai pada pintu menuju balkon. Seketika matanya terbelalak, ia sangat terkejut saat tiba-tiba ada seseorang yang baru saja datang dari bawah. "Siapa kamu?" teriak Alissa. Reyvan yang baru saja berhasil memanjat dan sampai di balkon, terkejut saat melihat dan mendengar teriakan Alissa. Dengan cepat, Reyvan bergerak menghampiri Alissa, lalu menarik tubuh Alissa dan menyandarkannya pada tembok. Ali
"Emph ... " Mendadak ada yang menarik tubuh Alissa hingga terhuyung ke belakang dan membentur dada orang itu. Alissa yang masih dibekap, tubuhnya meronta-ronta, berusaha lepas dari dekapan orang di belakangnya. Namun tenaganya tidaklah sebanding, hingga sulit untuk melepaskan diri. Alissa sangat mengenali bau parfum orang yang membekapnya, dan ia yakini itu adalah Erick. 'Kenapa Erick lakukan ini? Apa Erick akan melakukannya sekarang? Apa aku akan dibunuh sekarang?' ucap Alissa dalam hati. Mendadak, ia pun merasakan takut luar biasa. Erick terus membekap dan menggiring Alissa, lalu melepaskannya saat agak lebih jauh dari kamar Ellena. Alissa merasa lega, karena ternyata Erick tidak membunuhnya sekarang. "Maaf, Sayang! Aku langsung menarikmu begitu saja. Aku tidak mau kamu menemui Ellena sekarang." Seketika Alissa membelalakkan matanya. "Kenapa? Kenapa aku tidak boleh menemui putriku sendiri?" tanya Alissa pada Erick. Meski sedikit takut, Alissa pun bertanya pada Erick. Ia ingi
"Baiklah, aku setuju." Meski dengan berat hati Alissa pun menyetujuinya. Alissa tidak tahu apa yang ia lakukan sudah benar atau tidak, yang ia pikirkan hanya itu satu-satunya jalan untuk selamat dari Erick."Oke, berikan surat perjanjian itu. Apa Kakak sudah menandatanganinya?""Belum, aku ambil dulu sebentar." Alissa pun beranjak menuju ke dalam kamar untuk mencari berkas perjanjian dari Reyvan yang ia simpan.Sementara itu, Reyvan nampak tersenyum tipis melihat Alissa memasuki kamarnya. Reyvan senang karena rencananya telah berhasil. Dengan menikahi Alissa nanti, ia bisa menghindari perjodohan yang diatur oleh mamanya. Ia berpikir jika dengan Alissa ia tidak akan ragu untuk berpisah mengingat ia menikah hanya karena sebuah perjanjian. Berbeda jika ia harus menikah dengan pilihan mamanya. Tak berselang lama, Alissa pun kembali dengan membawa surat itu. Reyvan yang tadinya berdiri bersandar pada dinding kamar di balkon, segera beranjak menghampiri Alissa."Mana lihat!" "Ini ... sudah
Alissa dengan sekuat tenaga menahan rasa sakit pada jarinya yang dengan sengaja di tusuk-tusuk jarum oleh Erick. Alissa tidak menyangka Erick begitu kejam memperlakukan dirinya bahkan saat ia tak berdaya. Tenggorokannya tercekat, tubuhnya menegang, matanya semakin terpejam. Berusaha untuk tetap diam dan menerima semua perlakuan Erick padanya karena hanya dengan cara itu ia akan tetap aman. "Bangunlah! Apa kau pikir aku tidak tahu bahwa kau sedang mengelabuhi kami, hah?!" ucap Erick sembari masih menusuki jari tangan Alissa. Namun, Alissa tetap bergeming. Tidak ada sama sekali pergerakan dari Alissa hingga akhirnya Erick pun menghentikan kegiatannya. "Sepertinya kau masih beruntung. Bersyukurlah karena aku masih membiarkan kau hidup selama ini," ucap Erick lagi seraya mengusap pipi Alissa. Alissa yang masih pura-pura memejamkan matanya, hanya bisa berharap Erick segera pergi dari kamarnya. Berada dalam satu ruangan dengan Erick seakan membuatnya sesak. "Ma-maaf, Tuan! Sepertinya
Alissa dan Reyvan keluar dari kamar berjalan menuju ruang kerja Erick yang kebetulan tidak jauh dari kamar Alissa di deretan paling ujung. Kini keduanya pun sampai di ruang kerja Erick. "Baiklah, Kakak sekarang cari di mana obat itu sementara aku akan mencari sesuatu yang mungkin bisa dijadikan bukti," pinta Reyvan.Alissa mengangguk, kemudian keduanya menggeledah semua barang yang ada di sana. Namun, belum sempat keduanya mendapatkan apa yang mereka cari, mereka mendengar suara mobil yang datang. "Kenapa ada suara mobil? Jangan-jangan suamimu kembali," ucap Reyvan."Kamu benar, bagaimana ini?" tanya Alissa khawatir. "Kita harus kembali ke kamarmu sekarang." Tanpa sadar Reyvan menarik tangan Alissa lalu menggandeng Alissa pergi menuju ke kamar Alissa kembali. Dengan langkah cepat, Reyvan menarik Alissa tanpa melihat kondisi Alissa di belakangnya. Hingga ketika sampai di kamar Alissa, Reyvan begitu terkejut saat menoleh ke belakang dan melihat Alissa yang tampak tidak baik-baik saja
"Dari mana saja kamu, Reyvan?" Reyvan membelalakkan matanya saat melihat sosok wanita yang sangat berarti dalam hidupnya berada di sana. "Hehe ... Mama. Kapan Mama datang?""Itu nggak penting. Bukannya hari ini tidak ada pertemuan dengan klien, kenapa bisa pulang selarut ini?" Risa melipat kedua tangan di perutnya seraya mengerutkan keningnya, heran dengan apa yang dilakukan oleh putranya."Aku? Ya pergi main, lah, Ma! Memang mau dari mana lagi?" Reyvan mendekati mamanya lalu memeluk mamanya dari belakang. "Mama tumben kemari, mama sendiri apa sama kak Rena?""Main sama siapa? Mama tahu kamu bohong. Nggak usah mengalihkan pembicaraan, cepat katakan!" Vira pun melepaskan pelukan Reyvan lalu memutar tubuhnya menghadap Reyvan. "Teman lama, Ma. Mama nggak percaya, sama Reyvan?" "Percaya Rey ... Mama penasaran saja karena tidak biasanya kamu seperti ini."Sudahlah, mending Mama istirahat saja. Kita bicarakan ini lagi besok. Ayo! Rey antar mama ke kamar?" Reyvan pun menggiring mamanya nai