Share

Muslihat

Disangka

Masih Hilang Ingatan

Deg!

"Kemana dana ini di luncurkan? Hah?" Rudi kutatapi dengan nanar. Wajahnya amat pucat. Bahkan makin pucat.

"Em, a-anu, Bu, pak Andri. Pak Andri yang pakai uang itu. Saya tak tahu untuk apa. Yang pasti saya hanya di perintah saja," jawabnya gagap. Amat ketakutan. 

Aku geram. Geram sekali padanya. Pada Rudi dan juga pada Mas Andri.

"Kamu masih ingin bekerja?" tanyaku. Biar kuberi dia harapan. 

"Mau, Bu, saya masih sangat mau bekerja disini. Tolong Ibu jangan pecat saya." Dia meringis. Bahkan memohon-mohon.

Mulai kuatur nafas ini, meskipun sulit, tapi aku berusaha. Heurkh. "Oke, siapa yang barusan kamu telepon?" tanyaku.

Dia diam. Perlahan dengan penuh tekanan mulai angkat bicara. "Ta-tadi, pak Andri, Bu," jawabnya ketakutan. Dasar tukang adu.

"Apa yang kamu adukan padanya? Apa kamu bilang kalau saya datang kesini dan meminta data keuangan?" gertakku. "Jawab!" 

Dia hanya teridam. Wajahnya makin ketakutan saja. Ada raut bingung dan serba salah. Beberapa bagian tubuhnya pun mulai gemetar hebat.

"Oke! Tinggalkan kantor ini. Saya akan suruh security untuk seret kamu, atau kamu yang angkat kaki sendiri dari kantor ini!" gertakku lagi.

"Ja-jangan, Bu. Iya, tadi saya bilang sama pak Andri, a-ada-ada Ibu datang ke sini. Begitu saja, Bu," ringisnya. Tak mampu menatap. Hanya menunduk dengan wajah memerah.

"Oke, jadi kamu memang kerja untuk Andri, bukan untukku. Jadi silahkan kamu minta gaji padanya."

"Jangan, Bu, jangan. Saya janji, saya tidak akan ada di pihak pak Andri lagi. Saya janji, Bu. Saya janji," Rudi makin meringis ketakutan. Apalagi kala aku terlihat olehnya hanya mengulum amarah. Serius. Bukan sekedar candaan.

Rudi terus meminta maaf, namun aku tak banyak bicara. Hanya berdiri sambil melipat lengan di bawah dada dengan tatapan kekecewaan.

"Bu, pak Andri akan beli hunian mewah. Tapi mereka baru akan membelinya. Saya sedikit dengar, Bu." Rudi mengungkapkan. Jadi benar tentang brosur yang kulihat di dashboard. Bagus sekali si Rudi. Tipikal pengkhianat yang mudah di ancam.

"Mereka baru akan pergi, Bu. Tapi pak Andri sepertinya tak akan lancarkan niatnya sekarang, dia akan segera kembali buat jemput Ibu," jelasnya lagi. Dasar orang munaf*k kamu Rudi. Pengkhianat. Diancam sedikit nyerocos menjelaskan. Hah, pantas saja Mas Andri dengan mudahnya perdaya kamu.

"Kamu yakin?" tanyaku perihal kembalinya Mas Andri katanya.

"Ya, yakin, Bu. Mereka belum lama pergi. Baru saja. Dan mereka akan segera kembali." Jadi Rudi tahu kalau Mas Andri tak pergi sendiri? Uh, uh, uh.

"Mereka? Mereka siapa?" Aku pura-pura tak tahu. 

"Pak Andri pergi bersama Maya, Bu. Mereka pergi berdua." Rudi kembali menjelaskan. Dia belum bisa menatapku, hanya menunduk sejak tadi. Bahkan lebih menunduk dari sebelumnya.

"Maya? Siapa Maya?" tanyaku pada Rudi lagi. Dia seperti ingin membeli hatiku dengan semua penjelasan nyatanya.

"Maya, sekretaris baru pak Andri, Bu," jawab Rudi dengan nada pelan dan agak sedikit takut. 

"Lho, kenapa sama dia? Ada hubungan apa mereka?" selidikku pura-pura. 

"P-Pak, Andri, ada hubungan spesial dengan Maya, Bu. Tapi tolong, Bu, jangan pecat saya," pinta mohonnya. Dia memasang wajah iba. Pintar sekali dia mengambil hati, tapi aku tak bod*h.

"Kamu tahu darimana?" tanyaku pura-pura kaget lagi.

"Saya sering lihat pak Andri berduaan dengan Maya, Bu. Bahkan mereka pulang pergi barengan," jelas Rudi lagi. Dasar, atas dasar apa dulu aku masukkan si Rudi ke kantor? Aku fikir dia pria berdedikasi tinggi. Tapi dia sekarang pasti berpihak padaku. Biarkan saja, lumayan, sebelum benar-benar kutendang. Aku butuh orang-orang seperti ini.

"Jadi? Suami saya ada main dengan wanita bernama Maya itu?" Aku pura-pura panik.

Krek. Suara pintu membuka.

"Aurel?" sapa kejut seorang pria dari arah belakang. Ya, dia suamiku, Mas Andri. Dia datang hanya sendiri. Eh, pas aku balikan badan dan menunggu beberapa detik, Maya muncul. Tak tahu malu sekali mereka.

"Mas?" Jawabku juga menyapanya.

Mas Andri pasti heran melihatku berada di ruangan Rudi, apalagi Rudi terlihat ketakutan.

"Sayang, kamu kok disini? Kamu memangnya ingat kantor aku disini?" Mas Andri bertanya perihal ingatanku tentang alamat kantor. Pasti dia panik.

"Mas, ini bukan zaman batu yang gagap teknologi. Aku tanya sama simbok, lalu aku searching alamat ini di g****e." Aku menjawab tanpa emosi.

"Tapi, ngapain kamu ada di ruangan ini? Ruangan aku bukan disini," katanya. Sok tahu. Rudi heran mendengar perkataan Mas Andri. Apa dia tak tahu perihal aku lupa ingatan? Atau bagaimana?

"Aku tadi cek bagian keuangan, kali saja ada yang korup di kantor kamu. Tapi enggak, kok. Ternyata baik-baik saja," jawabku manis. Rudi hanya diam. Ada Maya pula yang memperhatikan.

"Maya? Kalian datang bersama?" Aku pura-pura kaget. Wajah Maya sedikit pucat.

"Em, i-iya, tadi ada meeting," jawab Maya. Ekspresi yang meragukan. Dia belum pintar berakting.

"Oh," jawabku. "Aku fikir kalian darimana."

"Ayok, kita keluar," pinta Mas Andri padaku. 

"Tunggu, Mas." Mereka bertiga terkejut.

"Enggak, aku lihat kok kamu kayak ada hubungan dengan Maya?" tanyaku. Mas Andri dan Maya terkejut setengah mati.

"Sa-sayang? Kok kamu bicara seperti itu? Kita sahabat lho, dan kamu sejak dulu yang memperkenalkan Maya padaku." Mas Andri nampak menjelaskan.

"Oh, gitu. Ya sudah, kita bicara di luar ya, Mas." Aku balik meminta.

"Rudi, saya keluar dulu. Maaf kalau tadi saya banyak meminta." Rudi hanya diam mendengar pinta maafku itu. Hanya anggukkan saja yang kulihat. Sepertinya dia amat ketakutan. Karena di akhir tatapanku sengaja mengancamnya.

Kini aku dan Mas Andri sudah ada diluar ruangan Rudi. Langsung kupeluk suamiku itu. Lalu kuberi senyuman yang indah. Di hadapan Maya. Karena ia amat ngintil. Bagai nasi sebiji saja.

Mas Andri mungkin kaget saat kupeluk. "Sayang? A-ada apa?" Ia bertanya. Kini perlahan dia mulai membalas pelukanku. Susah sekali. Untuk memelukku saja harus di dramatisir.

Maya memperhatikan. Ada raut cemburu dan kesal di pendam dalam-dalam.

"Maya, baiknya kamu pergi saja. Aku dan Mas Andri akan bicara di ruangan kami," kataku menyuruh Maya pergi. Wanita itu lumayan kaget.

"I-iya," jawabnya.

"Sayang, kamu kayak sama siapa saja. Maya kan sudah dekat sejak lama dengan kita," kata Mas Andri. Ada saja alasannya. 

"Iya, aku sih belum ingat betul. Tapi pasti iya. Ya sudah, aku bicara disini saja 'deh," jawabku masih dalam pelukannya. Pasti si Maya terbakar api cemburu. Terlihat sekali. Namun apa daya, dia hanyalah berstatus sahabatku. Gayanya, wih, pasti Mas Andri yang belikan semua pakaian dan sepatu mewah itu. Pakai uang hasil dari hotelku ini. Tasnya pula. Gaji si Maya dalam waktu lima bulan pun belum cukup untuk bayar benda tersebut.

"Sayang? Kamu kok seneng banget?" ujar Mas Andri. Ia raih tubuhku untuk di hadapkan langsung dengannya.

"Mas, makasih banget. Aku tahu, kamu akan belikan hunian mewah buat aku. Ini brosurnya 'kan? Dan kata Rudi juga, kamu memang akan berikan hadiah spesial ini untukku. Makasih ya, Mas." Aku tak beri ia celah untuk berkata bukan. Langsung kuperlihatkan saja brosur hunian mewah itu. Biar dia puas.

Mas Andri dan Maya super kaget. Tapi laki-laki yang telah membohongiku itu berusaha menyembunyikan kekagetannya. Sedangkan Maya, dia membuang pandangan, pasti dia kesal dengan apa yang aku katakan.

"Lho, ka-kamu? Kamu dapat ini darimana?" tanya Mas Andri. Dia terlihat bingung, ingin bilang tidak, tapi bagaimana?

"Aku tahu kok, Mas. Aku sudah hubungi marketingnya. Dan mereka bilang, kamu memang memesan hunian ini, bahkan kamu sudah bayar DP." Aku memang sudah hubungi pihak marketing dari hunian yang akan dibeli Mas Andri untuk mereka. 

Maya terlihat makin terkejut. Apalagi Mas Andri. "Ka-kamu sudah hubungi mar-ke-tingnya?" tanyanya super gagap. Habis kamu, Mas. Baru mau melangkah, eh malah mginjek duri. Ngulang, lagi.

"Makasih ya, Mas. Kamu pria terhebat dan terbaik bagi aku. Apalagi pihak marketing bilang, apartemen itu bakalan atas namaku sendiri, Aurel, benar 'kan? Katanya akan di atas namai wanita yang kamu cintai. Makasih ya, Mas, kamu so sweet banget." Aku kembali memeluknya.

Mereka makin kaget. Si Maya kesal dan kulihat emosinya menggulung. Wajahnya memerah namun hanya bisa diam. Sengaja aku panas-panasi dia.

"Ehm! Sa, sayang. A-aku memang mau buat kejutan buat kamu. Sebagai rasa syukur aku karena kamu sudah pulih ingatannya. Eh, ketahuan lebih dulu," dalihnya. Manis dan meyakinkan. Ah, bisa saja kamu, Mas.

Sepertinya amarah Maya makin melonta-lonta kala Mas Andri malah menjawab demikian. Dia memasang wajah merah dan gugup. "A-aku keluar dulu. Gak enak malah lihatin kemesraan kalian. Aku kayak nyamuk," kata si Maya tanpa berani menoleh kami.

"Lho, May, bukannya kita sering seperti ini? Aduh, maaf ya kalau kamu jadi gak enak. Mas Andri, sih!" Aku pura-pura tak enak hati.

"I-iya, gak apa-apa." Maya nampak akan pergi. Namun kucegah dulu sejenak. "Eh, May, semoga kamu juga bisa dapatkan suami seperti Mas Andri, ya. Baik, perhatian. Kamu cepat nikah, ya?" Aku pura-pura manis. Maya hanya mengangguk sambil memendam emosi. Kulihat pula wajah Mas Andri amat tak karuan. Pasti ia merasa telah membuat Maya kecewa.

Maya pergi.

"Jadi gimana, Mas? Lebih baik, kita lihat hunian itu, yuk! Aku seneng banget." Aku terus menerus terlihat bahagia. Padahal hati ini murka, bersikap seperti barusan hanya supaya asetku balik lagi. Dan aku yakin, Mas Andri akan berikan hunian itu untukku. Atas namaku. 

"Iya, nanti kita cek kesana," jawabnya.

"Oke. Oh ya, Mas, toilet dimana? Aku kan masih lupa. Aku kok kayak sakit perut," ujarku pura-pura. Aku tahu, setelah ini Mas Andri akan temui Maya.

"Eh iya, kamu tinggal lurus, belok kanan, lurus lagi. Disana nanti ada tulisannya," jawab mas Andri. Pasti dia menyuruhku ke sana supaya agak lama di jalannya. Toh aku tahu, di ruanganku ada toilet juga. Tinggal balik badan saja. Masuk dan kuhampiri lah toilet.

"Oh ya, aku ke toilet dulu ya, Mas. Tapi agak lama. Ya!" ujarku. Ia mengangguk dengan raut kebingungan. Aku pun segera pergi.

Beberapa detik berlalu. Kuintip Mas Andri dan benar saja, dia sedang bicara dengan Maya.

"May, kamu jangan marah. Selama Aurel hilang ingatan, dia tak akan tahu apapun." Mas Andri bicara dengan nada pelan.

"Iya, tapi apartemen itu buat aku 'kan? Kok kamu malah bilang hadiah untuknya?" ketus Maya. Haha. Mamp*s kamu, May.

"Eh, sayang denger." 

Deg. Tetap saja pas Mas Andri ucapkan kata Sayang, rasa cemburu ini muncul, tapi biarlah, perlahan akan kubuang rasa ini.

Mas Andri pegangi kedua lengan Maya. "Sayang, justru, dengan aku berikan Aurel apartemen, semakin bagus dong. Berarti, tingkat kepercayaan Aurel perihal suami baik sama aku itu makin meningkat. Kalau dia sudah percaya, ia tak akan bertingkah. Dan aku, aku akan bebas sedikit demi sedikit keruk asetnya." Mas Andri makin keterlaluan. Dia benar-benar bermuka dua. Seperti aku? Ya, tapi berbeda tujuan.

"Tapi?" Maya masih ketus.

"Shut!" Kini Mas Andri dekatkan jari telunjuknya pada bibir Maya yang bergincu amat pekat itu. Maya terbuai dan diam.

"Gak ada tapi-tapian, setelah aku berhasil berikan apartemen atas namanya, aku akan semakin di percaya. Dan kita, kita akan bebas disini. Nikmati hartanya. Kamu mau 'kan?" Maya manggut-manggut dengan wajah sok manis. Pwuih! Awas kalian. Lihat saja. Sebentar lagi, setelah aku yakin semua uangku telah kembali, kalian siap-siap angkat kaki. Tidur di kolong jembatan.

"Hem, ya sudah. Nanti aku akan ganti lagi obat si Aurel, biar ingatannya malah makin rusak. Yang kemarin kayaknya belum bereaksi banget." 

Deg! Jadi benar. Maya sudah ganti resep obat dari dokter. Huwh, untung saja kurekam percakapan mereka.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Muda Wamah
sebagai wanita q sangat menyayangkan.kl wanita dah mau menggoda atau tergoda dgan suami org pasti wanita GK baik dan pasti bikin hancur.knp bnyk laki2 lebih memilih wanita yg GK baik KL ada wanita yg istimewa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status