"Nah, Sayang, ini adalah hunian yang aku belikan buat kamu. Untuk istriku tercinta. Taraaa!" Mas Andri membawaku ke sebuah apartemen yang mewah dan megah. Dengan desain baru yang pengerjaannya baru selesai beberapa bulan yang lalu.
Aku amat terkejut. Bukan karena bahagia, tapi karena dia akan berikan apartemen mewah ini tadinya untuk wanita yang kini ikut bersama kami. Jangan harap.
"Ya ampun, Mas. Ini bagus banget. Kamu memang pria yang paaaaling sempurna. Kamu mapan, kamu juga sayang istri." Aku memujinya habis-habisan di depan Maya pula. Karena Maya ikut. Mas Andri yang mengusulkan.
"Gimana? Kamu suka?" tanya Mas Andri sembari melayangkan kedua lengan tanda aku harus mengagumi pemberiannya.
Maya seperti ikut bahagia. Tapi tetap saja, aku melihat tatapan kesal di netranya. Amat lekat. Dia sedang bersandiwara. Pastinya, karena Mas Andri mengiming-imingi aset lebih untuknya.
Kusapu setiap sudut ruangan. Tak ada yang terlewat. Sebuah apartemen mewah dengan desaign modern. Semua benda dan hiasan tertata amat rapi. Sudah komplit. Tinggal di huni saja. Dan aku juga tahu berapa uang yang Mas Andri ambil untuk membeli hunian mewah ini. Dan kini, sudah jatuh lagi ke tanganku.
"Wah, ini lebih dari suka. Apa kamu yakin ini buat aku? Kamu bilang memang surat-suratnya juga atas namaku?" Aku terus memastikan.
"Iya, ini. Ini semua suratnya sudah atas nama kamu. Sengaja aku hadiahkan ini buat kamu." Mas Andri memberiku sebuah dokumen penting. Tentunya memang surat-surat hunian yang kini sedang kami pijak.
Aku menampan semua surat-surat yang Mas Andri berikan. Sebelumya aku sudah tahu dari pihak marketing, kalau hunian ini sudah di atas namakan diriku. Namun aku pura-pura kaget.
"Mas, kamu benar-benar sangat mencintaiku 'kah? Sampai-sampai kamu rela merogoh kocek dengan nilai sebesar ini untukku?" Sambil memeriksa surat-surat aku terus bicara. Biarlah terkesan matrelialistis, toh untuk mengambil hakku.
Mas Andri mendekat. Ia raih tubuhku dan dikecupnya pucuk kening ini di hadapan Maya. "Apa sih yang kamu ragukan dari aku. Yang aku mau, kamu bahagia. Kamu diam di rumah. Kamu gak usah kemana-mana. Paling kamu belanja. Dan aku akan sekuat tenaga mencari nafkah buat kita." Aku mengangguk dan menyambutnya dengan senyum kebahagiaan. Padahal jauh di lubuk hati ini, ingin sekali sekarang aku tendang dia. Tapi, aku masih ingin tahu, apalagi yang ia perbuat. Dan apabila yang telah ia ambil dariku.
Maya terlihat terus mengatur nafas sambil sesekali memberi pujian dan selamat. "Selamat ya, Aurel, kamu dapat hadiah semenarik ini." Maya angkat bicara lagi.
"Iya, makasih. Aku bak putri raja yang selalu kamu spesialkan, Mas. Aku seneng banget." Kupuji lagi Mas Andri supaya ia makin yakin kalau aku terperdaya olehnya.
"Aku ikut seneng." Maya pun menanggapi.
Akhirnya setelah kami berkeliling, melihat-lihat seisi huninan, kami memutuskan untuk kembali. Satu mobil. Aku dan Mas Andri di depan, sedangkan Maya di belakang.
***
Mas Andri dan Maya mengantarku sampai ke depan rumah, karena mereka akan berangkat ke kantor lagi. Dengan bahagianya aku turun dan melambaikan tangan pada mereka. Sambil memegang surat-surat sah hunian mewah tadi itu.
Rudi telah kusumpal mulutnya dengan uang, dan dia kini berpihak padaku. Karena ancaman besar kuutarakan padanya. Hanya ada dua pilihan dan itu bagaikan buah simalakama. Sebelum kutendang ia bersama-sama dengan Mas Andri. Aku masih butuh Rudi. Dan next, akan kusingkirkan mereka, tak mungkin pula aku pekerjakan karyawan semacam Rudi.
"Bu, ada tamu di dalam." Simbok menyambutku dan membuatku kaget kala kuterkekeh dengan sebuah surat-surat yang sudah kuoegang. Aku sudah tahu siapa yang datang.
"Oke," jawabku.
Langsung kedua tumpuan tubuh ini langsung melangkah masuk untuk menghampiri tamu yang diundang. Dia Irlan. Mantan sekretarisku. Dia katanya sudah di pecat sekitar satu minggu yang lalu oleh Mas Andri. Benar-benar sok berkuasa dia.
"Assalamualaikum," sapaku pas masuk. Irlan sudah duduk membungkuk di sofa. Sudah tersedia pula makanan dan minuman kecil di meja.
"Waalaikum salam," jawab Irlan. Ia terperanjat langsung berdiri. "Bu Aurel," sapanya. Aku mengangguk dan langsung duduk. Sebelumnya kuletakkan dokumen tadi berdampingan dengan tas.
"Bu, Ibu panggil saya untuk apa?" tanya Irlan heran.
"Kamu gak kerja lagi di kantor saya?" tanyaku langsung pada inti pembicaraan.
"Sejak beberapa hari yang lalu saya sudah di pecat, Bu, jadi kalau Ini ada urusan tentang kantor, berarti bukan lagi kewenangan saya," jawab Irlan pilu. Dia seusia denganku. Dan dia lumayan sudah bekerja lama.
"Memangnya kenapa?" Aku kembali bertanya.
"Lho, Bu Aurel tidak tahu? Pak Andri tidak cerita?" jawab Irlan penuh keheranan. Aku hanya menggeleng dengan berarti tidak.
"Saya di pecat gara-gara saya dikira sabotase hotel, Bu. Memang saat itu hotel sangat sepi. Dan entah mengapa, ada orang yang jadi saksi kalau saya yang sabotase hotel. Supaya tidak lagi diminati oleh masyarakat, Bu." Irlan menjawab dengan sendu penuh keyakinan. Netra dan hatinya seperti seiring. Tak masing-masing. Aku juga tahu seperti apa Irlan. Dia sangat kredibel dalam bekerja. Bahkan dia bukan tipikal pengkhianat.
"Kok bisa hotel sepi?" tanyaku.
"Saya juga tidak tahu, Bu. Dan memang pengunjung hotel menurun drastis. Banyak isu-isu buruk di hotel Ibu. Dan entah mengapa, katanya saya terbukti sabotase, Bu. Saya tidak tahu apa yang telah saya lakukan. Apa pak Andri tidak bilang pada Ibu?" tanyanya heran. Ia sepertinya tak tahu kalau aku sedang di bohongi suamiku sendiri.
"Enggak, mas Andri gak pernah cerita sama saya." Aku menjawab. "Lalu, kamu terbukti bersalah dan di pecat hari itu juga?" Kembali aku masih penasaran.
"Iya, Bu. Entah ada yang sengaja fitnah saya atau bagaimana. Intinya saya sudah tak bisa berkata apapun lagi. Semua sudah judge saya sebagai pengkhianat. Ada beberapa dari mereka yang tak percaya, tapi apa daya, pak Andri telah pecat saya. Dan kata pak Andri pula, Ibu sudah tahu soal pemecatan saya." Irlan kembali jelaskan dengan sendu. Kasihan sekali dia. Aku tahu Irlan bekerja di kantor demi mencukupi kebutuhan ibu dan adiknya.
"Lalu kenapa kamu tidak hubungi saya dulu?" tanyaku kembali.
"Maaf, Bu. Tapi, saya sudah tahu kalau Ibu juga pecat saya. Jadi untuk apa saya bersikeras meminta kepastian pada Ibu. Toh pak Andri kan suami Ibu. Keputusan pak Andri keputusan Ibu juga." Dengan tatapan sayup Irlan menjelaskan kembali. Memang ini pasti rencana Mas Andri untuk singkirkan Irlan dan masukkan Maya. Karena dia tahu Irlan pasti tak berpihak pada dirinya.
"Oh ya, Bu, kalau Ibu tidak tahu perihal pemecatan saya, jadi pak Andri bohong?" kata Irlan mulai merasakan ada keganjalan. Aku hanya diam.
"Tapi kamu beneran gak sabotase hotel 'kan?" Aku memastikan dengan penuh keyakinan. Lagipula, diri ini pun sudah percaya. Tapi aku harus tetap memastikan.
"Saya pun tidak tahu kapan saya lakukan itu, Bu. Dan menurut saya, iya atau tidaknya sekarang rasanya sudah tak penting. Saya juga sudah di pecat ini," jawab Irlan pilu. Aku melihat dalam batinnya merasakan kekecewaan yang amat mendalam.
"Oh ya, gimana kabar Bu Aurel? Pak Andri bilang Bu Aurel kecelakaan dan dibawa keluar negeri. Kapan Bu Aurel datang? Bu Aurel sudah sembuh?" Irlan mengganti tema. Dia menanyakan perihalku yang tidak kelihatan beberapa hari ke belakang. Jadi benar, semua karyawan tahu aku kecelakaan dan dibawa keluar negeri.
"Oh, em, ya, saya baru pulang kemarin." Aku sengaja bilang ya saja dan bohong supaya Irlan tak berfikir macam-macam.
"Syukurlah, Bu. Kami dari orang kantor waktu itu ingin menjenguk. Namun Ibu katanya sudah dibawa keluar negeri." Irlan kembali mengungkap. Dia tidak tahu kalau Mas Andri itu sedang membohongi mereka. Memperdayaiku.
Kening ini melipat. "Oh ya, apa kamu tahu siapa yang sabotase hotel saya waktu itu? Kalau bukan kamu? Apa kamu menaruh curiga pada seseorang 'kah?" Kembali ke tema awal.
Irlan diam dengan ekspresi berfikir dan mengingat. "Saya tidak tahu sih, Bu. Saya juga tidak cari tahu, karena pas saya di pecat, saya ingin fokus cari kerja lagi saja. Kalau pas hari saya di pecat, sih, pak Andri yang kekeh dan gak mau denger penjelasan saya. Ah saya sudah tak fikirkan siapa, Bu, yang penting saya bisa segera dapat kerjaan untuk menghidupi ibu juga adik saya." Mendengar jawaban Irlan aku makin yakin, kalau Irlan memang di fitnah. Kasihan. Aku harus cari tahu semua ini.
"Em, lalu, kamu dimana sekarang? Maksud saya, kamu kerja dimana?"
"Saya Alhamdulillah sudah kerja lagi, Bu. Kebetulan ada kantor yang sedang cari karyawan. Ya, meskipun hanya karyawan biasa, tapi setidaknya saya sudah bekerja lagi." Jawaban Irlan membuatku iba. Dia seorang pria yang rajin dan baik harus rela di tendang dari perusahaannya tanpa kesalahan yang ia buat.
"Irlan, saya ingin minta bantuan kamu buat usut lagi kasus ini. Kamu bersedia 'kan?" pintaku pada Irlan. Dia menolehku dengan sayup.
"Tapi saya bisa bantu apa, Bu? Lagipula saya tak punya cukup bukti untuk menduga siapapun, yang saya tahu waktu itu hanyalah hotel sepi. Bahkan mereka yang menginap pun tiba-tiba check out. Entah mengapa." Irlan kembali mengungkap.
"Tapi kamu mau bantu 'kan? Tapi saya mohon, suami saya jangan sampai tahu."
Irlan heran. "Lho, kenapa, Bu? Bukannya kita bisa sama-sama cari tahu? Mungkin pak Andri punya ide brilian?" usul Irlan. Seketika raut wajahku sayup.
"Ibu kenapa?" Irlan mungkin heran dengan ekspresi wajah ini. Wajahnya memperlihatkan kerasa ingin tahuan.
"Enggak. Tolong kamu jangan cerita masalah ini pada suami saya. Kamu pasti ngerti 'kan?"
Irlan melipat keningnya. Namun mungkin dia berusaha mengerti. "Iya, Bu, baik. Saya akan bantu Ibu dalam hal ini. Dan saya juga tak akan cerita pada pak Andri. Lagipula saya juga tak pernah lagi berhubungan dengannya." Irlan mengutarakan kesanggupannya. "Sejak saya keluar kantor, saya sama sekali tak pernah bertemu dengan suami Ibu," imbuh Irlan kembali.
"Oke, terima kasih."
***
"Assalamualaikum!" Seseorang terdengar mengucap salam sembari masuk ke dalam rumah. Aku tak asing dengan nada suara juga cengkoknya.
Beberapa detik kemudian.
"Non, ada ibu mertua, Non. Nyonya Lasmi. Dia datang bawa tas besar segala," kata Simbok yang tiba-tiba menghampiri ke sebuah ruangan privisaiku.
"Oh ya?"
"Iyo, Non. Kalau gitu Simbok pamit dulu." Simbok langsung berlalu. Kuanggukkan kepala ini dengan senyuman sinis. Segera bergegas kuhampiri wanita yang selama ini selalu mengomentari keluargaku itu.
"Bu?" sapaku setelah sampai dan melihatnya sudah duduk manis saja di sofa.
"Ibu? Siapa, ya?" Aku pura-pura tak mengingat. Kulihat ya, ibu membawa sebuah tas agak besar, sore-sore seperti ini. Tak ada angin tak ada hujan.
Ia beranjak. "Ya ampun, Aurel. Ini Ibu, Ibu mertua kamu. Masak kamu gak inget Ibu? Apa kata Andri benar? Kamu hanya ingat Andri seorang?" Tuh kan benar, dia datang pasti setelah mendengar keadaanku dari anaknya itu. Hemh, baguslah, biar sekalian kusingkirkan mereka bersama.
Aku masih pura-pura bingung saat melihatnya. "I-Ibu mertua?"
***
___________"Jadi Ibu, Ibu mertua saya?" Mertuaku langsung kaget setengah mati kala kalimat itu muncul dari indra pengecap ini.Kulihat wajahnya syok tapi ada raut gembira. Pastinya, selama ini mereka hidup pas-pasan, sudah kuduga, ada niat menggelitik dibalik kedatangannya.Ia meraih kedua bahuku. "A-Aurel, ini Ibu. Bu Lasmi, Ibu mertua kamu. Kamu beneran gak inget? Ibu dapat kabar dari Andri, dan dia yang suruh Ibu buat datang kesini, dan juga suruh urus kamu," kata ibu mertuaku dengan kebahagaiaan histeris dibalik batinnya. Aku merasakan itu. Walaupun tatapanku polos, tapi ini adalah sebuah tatapan penyelidikan.Kening mengernyit dengan cepat."Aurel, kamu itu menantu Ibu. Kamu di persunting oleh anak Ibu yang tampan dan mapan. Kamu itu harus bangga." Seratus delapan puluh derajat ekspresi ibu mertua berubah. Raut bahagia mulai terpancar.
______"Ja-jadi? Mas Andri sendiri yang sabotase hotel?" Aku terkejut kala melihat semua bukti dan rekaman pembicaraan antara Irlan dengan pengunjung hotel. Mereka menjelaskan ciri-ciri beberapa pria yang sengaja membuat citra hotel menjadi buruk. Bahkan sampai sekarang pun keadaan itu belum pulih. Hotel masih tak seramai awal."Iya, Bu. Ada oknum lain yang sengaja perburuk citra hotel. Dan setelah di selidiki, ternyata pak Andri sendiri yang menyuruh oknum-oknum itu. Saya gak ngerti, Bu, kenapa pak Andri lakukan ini? Bukankah kemajuan hotel juga kemajuan baginya?" kata Irlan menjelaskan. Aku masih syok dan tak percaya, suamiku sendiri malah memperburuk citra perusahaanku sendiri. Padahal selama ini uang yang ia dapat dari hotel kami."Oh ya, Bu. Ini juga ada data hotel yang sepi namun kian mulai ramai. Dan sepertinya perhatian mereka di alihkan kesana. Seperti di sengaja." Irlan kembali memperlihat
"Kami tidak bohong, Bu. Pak Andri yang suruh kami sabotase hotel milik Ibu. Tolong lepaskan kami, Bu." Ringis salah seorang anak buah yang mengaku di suruh Mas Andri. Mereka bertiga. Dua orang dari mereka hanya diam sambil tertunduk."Kalian jawab jujur atau hari ini hari terakhir kalian bernafas. Saya juga sudah tahu keluarga kalian. Jadi sekarang kalian jujur." Mendengar gertakkanku ketiganya makin ketakutan."Sumpah, Bu, sumpah. Kami di suruh pak Andri. Dan, pak Andri sepertinya akan jual aset Ibu ke pemilik hotel dekat hotel Ibu itu."Teg! Jadi benar? Mas Andri yang lakukan itu?"Kalian jangan bohong. Mana mungkin suami saya ingin memperburuk citra hotel saya. Toh itu akan buat dia rugi 'kan?" Aku papas habis semua pertanyaan yang masih di rasa mengganjal. Dan Irlan pun hanya diam menyaksikan."Sumpah, Bu, sumpah. Pak Andri dapat bayaran besar dari pemilik hotel itu. Dan pak Andri juga
****Semalaman Mas Andri terlihat sekali wajahnya kusut. Tak kuberi ia kesempatan untuk kelur rumah bahkan untuk sekedar chatingan bersama si Maya. Pas aku tanya tentang si Maya, dia mengelak kalau Maya bukanlah siapa-siapa. Oke, kuanggukkan saja kepala ini tanda percaya padanya. Tapi kalaupun dia bercakap-cakap dengan Maya, aku sudah pasang alat penyadap suara di setiap sudut."Mas? Mana perhiasan yang kamu pinjamkan ke ibu?" tanyaku segera di pagi-pagi buta setelah aku beres bersolek."Iya, aku ambil dulu." Dia dengan wajah lesu mulai menginjakkan kaki menuju ke arah kamar ibu."Maaf ya, Mas, tapi itu semua perhiasan peninggalan almarhumah mama. Nanti ibu kamu aku beliin lagi yang baru." Aku beri Mas Andri harapan, supaya ia juga bilang pada ibu.Di kamar aku masih melamun menghadap ke depan cermin. Rumah tangga yang selama ini kudo'akan baik-baik
Beberapa ratus meter lagi kami sampai di kantor. Disana aku sudah siapkan semua kejutan untuk Mas Andri dan ibu. Aku harap mereka bahagia. Atau sebaliknya?"Aurel, kamu memang menantu Ibu yang saaaangat baik. Kamu wanita hebat. Dan Ibu bangga atas keputusan kamu ini?" Ibu sedari tadi di jalan tak henti memujiku. Aku tahu bagaimana kegiranganmu, Bu, kala ibu akan dapatkan semua yang kumiliki tanpa susah payah."Iya, Bu. Keputusan Aurel ini sudah bulat. Semua ini demi kebaikan hidup Aurel, Bu. Ibu setuju, kan?""Uh, setuju sekali, Rel. Ibu saaaangat dukung keputusan kamu ini. Ibu akan sangat bangga." Ibu tak henti bersemangat. Bola matanya lagi ibarat menyemburkan lembaran-lembaran uang dolar. Sumringah sekali."Sayang, makasih, kamu memang istri yang terbaik," puji Mas Andri sambil mengelus punggung tanganku dengan lembut. Ia pancarkan pula tatapan kebahagaiaan juga tatapan kemenanga
Hallo, Kakak dari Sabang sampai Merauke. Semoga kalian sehat selalu dan di lancarkan rezekinya selalu. ***"Pak Yudi?" Pengacaraku datang, dan itu sekejap menghilangkan rasa curiga Mas Andri. Karena ia pikir, aku memang akan limpahkan semua kekuasaanku. Dan itu memang lewat Om Yudi."Masuk, Om," ujarku langsung mempersilahkan Om Yudi untuk masuk ke lingkup kami. Ibu dan Mas Andri mulai tenang kembali. Namun pastinya mereka belum mengerti kenapa ada Irlan.Tiba-tiba, setelah Om Yudi, beberapa orang masuk membawa dan menyiapkan peralatan sesuai yang kuminta."Sayang? Ada proyektor segala. Ini, ini kok kayak ada tontonan?" Mas Andri mulai heran kala bagian peralatan mulai bekerja.Kuraba lengan suamiku. "Mas, ini sebuah kejutan dari aku. Sebelum aku umumkan tentang jabatan kamu yang baru, kita semua tonton ini dulu. Em, semacam, e ... du ...
***Alhamdulillah, sekarang citra hotelku sudah kembali membaik. Pengungkapan mereka di media cukup menarik para customer hotel kembali.Lalu, bagaimana nasib Mas Andri, ibu dan Maya?"Aurel, jangan usir kami. Kami sudah tak punya lagi tempat tinggal." Itulah kata-kata terakhir dari ibu mertua. Sambil menangis dan merintih dia terus meminta maaf dariku."Kamu akan terima akibatnya, Aurel!" Mas Andri tadi siang mengancam. Dan kini Maya juga Mas Andri sudah ada di kantor polisi, mereka masih di selidik mengenai obat yang mereka palsukan untukku. Ya, itu terutama. Juga tentang sabotase hotel yang tidak di akui secara keseluruhan oleh Mas Andri.Maaf kalau aku lakukan semua ini untuk kalian. Tapi ini semua tak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa sakit dan kekecewaan yang melanda batin ini. Sampai-sampai aku harus sampai menyaksikannya kalian akan berbuat tak senonoh di hadapanku. Sungguh k
***Hari ini seperti hampa. Setelah pemakaman jenazah Om Yudi, aku masih tak menyangka, perjumpaan kami di sore itu adalah perjumpaan kami yang terakhir.Langkah demi langkah terasa mengambang kala aku mulai meninggalkan area pemakaman. Selamat tinggal, Om. Semoga Om di tempatkan di sisi-Nya yang mulai. Ini seperti mimpi, Om akan secepat ini menyusul mama dan papa.Sampai di dekat mobil milik Om Yudi."Mas Juna, Tania, yang tabah, ya. Semoga almarhum di terima di sisi-Nya. Aku turut berduka. Dan maafkan bila selama ini aku merepotkan papa kalian terus." Isak tangisku kembali muncul kala bicara di hadapan kedua anak Om Yudi. Mereka berdua amat sangat kehilangan, pastinya, lebih dari perasaan yang aku rasakan."Iya. Makasih. Memang sekarang kita hanya harus tabah dan berdo'a." Jawaban Arjuna lumayan mengenakan hati. Aku takut kalau mereka berfikir Om