Share

Bukan Sembarang Tukang Ojek

"Ini uangnya pak” Morgan menaruh bungkusan uang di atas meja Robert Jensen.

"Semua kerugian laboratorium telah saya bayar lunas," sambung Morgan.

Prof. Robert Jensen masih menatapnya dengan datar. Antara kaget dan tak percaya. Begitulah yang dirasakan pria yang usianya mendekati setengah abad itu.

"Morgan! Dari mana kau dapat uang ini? Hasil ngrampok ya? Uang palsu kan?!" sahutnya.

Morgan merasa geli ketika mendengar komentar Profesor Robert. Tawanya pun tak bisa dibendung begitu saja.

Meskipun situasinya serius, ekspresi wajah dosennya yang datar membuatnya tak bisa menahan reaksi spontan.

"Pak saya memang miskin, tapi tidak dengan moral dan hati saya," ucap Morgan dengan yakin.

"Lalu darimana kau dapat uang sebanyak ini?" tanya Prof. Robert. Dari nadanya terlihat jelas bahwa pria itu menyepelekan Morgan.

"Dari tabungan," elak Morgan.

Tidak mungkin dia mengatakan bahwa kakeknya yang memberikan uang tersebut. Pasti Robert tak melewatkan kesempatan untuk menertawakan hal itu.

"Memangnya berapa tabunganmu? Lagi pula penampilanmu tidak sesuai dengan uangmu," maki Prof Robert.

"Baju yang bapak pakai juga tidak sesuai dengan cicilan yang harus bapak bayar tiap bulan," sahut Morgan.

Braaakk.

Prof. Robert memukul meja hingga membuat semua barang yang ada diatasnya bergetar.

"Jaga ucapanmu," ucapnya sambil mendekatkan jari telunjuknya ke arah Morgan.

Morgan pun diam. Dalam hatinya puas sekali melihat pria paruh baya itu kesal.

"Kalau saya mau, saya bisa membawa masalah ini ke rektor. Biar beliau sendiri yang memutuskan nasib mahasiswa tak punya attitude sepertimu," ancam Prof Robert.

Sedikitpun Morgan tak gentar dengan ancaman tersebut. Justru ia punya rencana baru untuk membalas kelakuan dosen itu.

"Tapi untungnya saya masih punya sedikit rasa iba padamu. Kalau tidak, mungkin hari ini kamu sudah di DO. Sudah sana! Duduk," pungkas Prof Robert.

Sesuai perintah dari dosennya, Morgan pun berdiri lalu mendekati bangku dengan langkah santai.

*

Karena hari ini kelas berakhir Morgan pun memutuskan untuk pulang. Suara klakson dan riuh rendah kendaraan lain menyelimuti telinga Morgan saat ia bergabung dengan arus lalu lintas yang semakin padat. Menyusuri jalanan yang padat, motor kecilnya terjebak dalam antrian yang tak berujung. Panas dari mesin dan aspal seolah menyatu, menciptakan rasa terbakar yang tak tertahankan.

Seperti sebuah oasis yang muncul di kejauhan, dia melihat spanduk besar yang mengiklankan pusat perbelanjaan mewah. Kilauan neon menarik perhatiannya

"Gassslah,"

Dia menggigit bibir bawahnya dan memutuskan untuk menyusuri trotoar dengan motor sampai ke pusat perbelanjaan tersebut. Setidaknya, mungkin ada tempat yang lebih nyaman untuk melepaskan panas dan kelelahan sebelum melanjutkan perjalanan pulang.

Setibanya di parkiran Mall, Morgan menghentikan motornya. Baru saja melepas helm, tiba-tiba,

"Heeeeeiii, kang ojek ngapain kesini,"

Seorang pria menepuk pundaknya dengan keras hingga membuatnya tersentak.

Begitu berbalik badan Morgan baru tau kalau geng yang biasa menghinanya menemuinya di mall. Entah untuk apa.

Yang membuat Morgan malas meladeni mereka adalah karena ketua gengnya merupakan anak Dekan, yaitu Derren. Morgan enggan sekali berurusan dengan mereka.

"Eh bro! Tukang ojek gini-gini juga bisa bayar kerugian lab loh," sahut yang lain.

"Yok’i bro. Ngomong-ngomong abis ngrampok dimana? Utang bank di mana? Atau abis---"

"Heh jaga mulut kalian ya!" bentak Morgan.

Ia tak terima dengan apa yang mereka ucapkan.

"Wosss wosss santai bro. Kita cuma heran aja. Tukang ojek kok bisa sih dapet uang secepat itu. Emang orang tuamu punya sawah berapa petak haha,"

"Orang tuaku nggak punya sawah dan aset apapun. Asal kalian tau ya, aku lahir dari keluarga baik-baik," tegas Morgan.

"Alah baik apanya. Baik tampangnya doang? Dompet gimana?"

Derren tak tinggal diam. Dia mendekati Morgan. Dari lagaknya yang super angkuh bukan lagi mengajak duel melainkan berhasrat menantang Morgan.

"Sekali-kali nongkrong sama kita lah. Bayar kerugian lab aja sanggup kok," ujar Derren membuat semua anggota gengnya diam seketika.

"Loh loh Derren tapi kan---"

"Kapan lagi coba nongkrong sama kang ojek eh maksudnya sama kang Morgan," potong Derren.

Gelak tawa hampir mengejek suasana serius.

"Aku ada urusan," Morgan mengambil helmnya, hendak bergegas pulang karena dia sungguh enggan meladeni mereka semua.

Namun Derren justru menghentikannya.

"Eh bro! Sekali ajalah. Berani nggak? Masa gitu doang nggak berani," bujuk Derren disertai ejekan.

"Mau narik penumpang bang, udah lepasin kasian," ejek yang lain.

Tak tanggung-tanggung gelak tawa jahat pun mengalahkan panasnya kota Jakarta yang membakar hati Morgan.

Tatapan Derren yang terlihat menyepelekan, membuat Morgan terpancing.

"Ayok,"

"Nah gitu dong," sahut Derren dengan antusiasnya.

Kini Derren beserta gengnya membawa Morgan keliling mall. Tiba saatnya Derren beraksi dengan menggiring Morgan ke sebuah toko jam.

Memang, berbeda dengan tempat lainnya, interiornya didesain khusus bagi orang-orang elite saja. Mereka paling tidak menyimpan uang 1 miliar rupiah di rekeningnya.

"Pilih yang kalian suka, aku yang bayar," ucap Derren pada teman-temannya.

Tal butuh waktu lama teman-temannya berpencar mencari jam yang mereka sukai.

Kini fokus Derren tertuju Morgan yang terlihat berani mendekati stand jam dengan harga fantastis.

"Minimal dibeli lah, jangan diliatin aja," ucap Derren. Beberapa detik kemudian dia berlalu melanjutkan langkahnya.

Morgan benar-benar dibuat kesal setiap kali didekatnya. "Hoby banget bikin orang kesel," desusnya dalam hati.

Kini giliran Morgan yang menghampiri pria angkuh itu. Kebetulan si Derren sedang melihat jam dari brand terkenal dengan harga cukup fantastis.

"Rolex Daytona. Keren sih tak kayaknya kemahalan bagi anak Dekan," ucap Morgan.

Derren pun meletakkan kotak jam yang semula ia pegang, kembali pada tempatnya. "Emang kang ojek kayak kamu mampu beli jam ini? Jangan mimpi deh," sahut Derren.

Morgan memiringkan senyumannya. Sementara tangan kirinya meraih kotak tersebut dan membawanya ke kasir.

Hal itu membuat Derren tercengang. Karena tak percaya begitu saja, ia mengikuti langkah Morgan.

Setelah tiba di kasir, kehadiran Morgan sudah pasti menjadi pusat perhatian. Sebab orang-orang di sana begitu elegan, sedangkan dia sangat kumuh. Beberapa dari mereka mencibirnya.

"Apa nggak salah nih, gembel masuk sini," ucap seorang perempuan.

"Pengemis sekarang pada pinter-pinter yak. Tau tempat," sambung temannya. Kedua perempuan itu mengipas-ngipas sambil tangan lainnya menutupi hidung.

Namun cibiran mereka tidak berlangsung lama karena Morgan menatap mereka dengan tajam, bikin kedua perempuan itu ketakutan.

Setelah menghadapi kedua perempuan tadi, Morgan pastinya masih harus berhadapan dengan manusia-manusia reseh lainnya. Utamanya para petugas kasir tak seorangpun mau melayaninya karena penampilannya yang kumuh. la diover kesana-kemari.

Hingga akhirnya ada petugas kasir yang mau melayaninya.

"Cash atau debit mas?" tanya wanita itu sambil menunjukkan harga jam tersebut yang mencapai angka 500 juta.

"Debit," sahut Morgan sambil mengeluarkan dompetnya.

"Mohon maaf mas, bisa dicek lagi barangnya. Karena barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan. Jam ini sudah menjadi langganan Profesor dan---"

"Mbak saya tau saya bukan Profesor. Mata saya juga masih sehat kok buat baca harga jamnya," potong Morgan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bambang Heriyanto Sumsel
its a good story
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status