"Woi, Morgan si tukang ojek ngapain kuliah. Udah sana lanjut ngojek!!"
Sebuah suara dari belakang menyentak Morgan yang masih duduk di kursi motornya. Sebuah mobil mewah berjalan melewatinya.“Udahlah, kamu itu percuma kuliah Morgan. Ujung-ujungnya ya ngojek lagi pekerjaanmu, hahaha!”Pengemudi yang duduk di belakang membuka jendela mobil ikut menertawai kondisi Morgan. Hingga bersahut-sahutan melontarkan kalimat yang tak pantas untuk didengar.Itu adalah Derren, anak dekan yang sangat sombong dan selalu merasa sebagai penguasa di kampus itu.Tak ingin membuang tenaganya untuk menanggapi mereka, Morgan memilih diam dan tetap fokus mengemudi. Andai ada jalan lain, mungkin saat ini ia akan memilih jalan itu untuk menghindari mereka yang tak pernah melewatkan kesempatan untuk menghinanya.“Hahaha! Sampai ketemu di kampus, Pecundang!”Sesampainya di kampus, Morgan menghentikan kendaraannya, di antara deretan sepeda motor lainnya di parkiran kampus.Usai mematikan mesin motornya, pria berusia 21 tahun itu melepas helm lalu menggantungkannya ke spion. Dia merasa lega bisa merasakan hembusan angin segar langsung ke wajahnya setelah melepaskan pelindung kepala yang terasa agak sesak.“Huh, sampai kapan aku harus menjalani hidup seperti ini!”Usai mengganti jaket kerjanya, dia mengenakan jaket hitam yang lebih stylish dan modern. Namun, tak berselang lama, muncul orang-orang yang memandangnya remeh seraya mendecih.“Lagi nunggu penumpang ya bang?” ujar seorang pria sambil meraih jaket Morgan yang diletakkan diatas jok.Kali ini, Derren membawa beberapa anggota gengnya untuk merundung Morgan.“Eh, balikin!” Morgan yang tersentak, segera merebut jaket tersebut. Namun beberapa pria menghentikan aksinya.“Santai aja bro! Jaket ini nggak semahal jaket kita,” sahut yang lain sambil menahan badan Morgan.Morgan mendesus kesal. Dia merasa mereka tidak mengerti betapa menyakitkannya ejekan dan cemoohan mereka.Dengan langkah mantap, dia mendekati mereka dan dengan penuh keberanian, dia berkata, "Heh, jangan macem-macem. Balikin jaketku,” ucap Morgan."Wosss santai bro! Santai,""Tenang aja, kita nggak akan jual jaket tukang ojek kok. Iya nggak?""Dijual juga enggak akan laku bro! Hahaha!"Tawa jahat mereka pecah seketika.Pria yang memegang jaket Morgan memiringkan senyumannya. Kedua matanya menatap Morgan dari ujung rambut sampai ujung sepatu."Kok bisa ya, tukang ojek kuliah disini? Padahal disini kan kampusnya orang elit," ucapnya dengan nada menyepelekan."Halah, paling cuma keberuntungan," sahut yang lain.Morgan cukup sabar menghadapi mereka semua. Ia sudah terbiasa mendapat hinaan dari teman-temannya."Balikin jaketku!" ucap Morgan sambil mengulurkan tangannya."Ambil kalau bisa!" sahut pria yang memegang jaket tersebut sambil melemparnya ke pria lainnya.Morgan berusaha sekuat tenaga untuk mengambil jaketnya dari orang-orang yang merundungnya. Namun, setiap kali jaketnya hendak ia gapai, benda itu selalu berpindah tangan ke tangan satunya. Dan begitu seterusnya.Morgan hanya bisa mendesah kesal mendapatkan perlakuan buruk seperti ini."Kasih bro! Nggak tega aku lihat muka melasnya,"Pria terakhir yang memegang jaket Morgan, segera melempar jaket tersebut ke arah pemiliknya.“Itulah resikonya jadi mahasiswa miskin, Morgan. Hahaha! Makanya enyah aja dari kampus ini!”Tak lama kemudian gerombolan pria itu meninggalkan parkiran. Itupun disertai tawa ejekan serta tatapan sinis.Morgan meratapi bayangan punggung yang semakin jauh dari pandangannya. Dia tidak membiarkan ejekan atau hinaan meruntuhkan kepercayaan dirinya. Dia menyadari bahwa sebagai individu yang kuat dan mandiri, tidak semua orang akan selalu mendukung pilihan hidupnya.Begitu tiba di lab komputer, Morgan datang paling akhir. Hingga menjadi pusat perhatian. Bukan karena paras tampannya, melainkan profesinya sebagai ojek online. Tak bisa dipungkiri, hampir semua mahasiswa maupun dosen sudah mengetahui hal itu. Pada akhirnya, yang terlihat bukan dari keluarga berada, akan menjadi bahan gunjingan. Begitulah kejamnya dunia pertemanan Morgan.Di kelas, ia memilih duduk di kursi paling pojok menghadap PC dan fokus pada teori yang akan dipraktekkan.Tak lama kemudian dosen memasuki ruangan, suasana hening seketika.Sambil mendengarkan penjelasan dosen, Morgan berusaha menahan kantuknya. Tadi malam ia rela tak cukup tidur, mencari cuan demi membayar uang kos bulan ini.Matanya semakin berat dan kepala mulai terasa pusing. Meskipun dosen sedang menjelaskan teori dengan penuh semangat, suaranya seakan jauh dan kabur."Jadi, remote server ini bisa diimplementasikan di perusahaan, sekolah, bahkan antar negara," ucap dosen mulai berkeliling.Namun, matanya tertuju pada seorang mahasiswa yang terlihat tengah tidur."Itu siapa yang tidur?" Biarpun usia dosen itu telah memasuki setengah abad, tapi matanya masih jeli melihat salah satu mahasiswa tidur saat dirinya menjelaskan materi."Morgan, pak!"Dosen itu menggelengkan kepala. Langkahnya sudah pasti menuju meja paling pojok."Kamu pikir ini kos milikmu?! Ayo bangun!" ujar pria paruh baya itu sambil menepuk pundak Morgan.Morgan tersentak dari tidurnya dengan kaget saat merasakan sentuhan di pundaknya. Tatapan matanya masih kabur, dan dia tidak langsung menyadari bahwa dosen yang sedang menjelaskan teori di kelasnya berdiri di sampingnya.“Bentar lagi sampai titik tujuan, pak,” sahut Morgan mengigau dengan spontan, masih terkecoh oleh mimpi yang masih menguasai pikirannya.Tawa pun memecah suasana. Bagaimana tidak, alih-alih segera bangun, Morgan justru memberikan jawaban mencengangkan."Woi ini kampus bukan jalanan," teriak salah satu mahasiswa."Diam semua!" tegas Dosen.Suasana kembali hening.Kali ini dosen membangunkan Morgan dengan cara berbeda."Heh bangun!!" ucapnya dengan nada membentak.Hingga akhirnya kedua mata Morgan terbuka seketika. Bukan hanya matanya, tapi pikirannya berangsur beradaptasi dengan suasana saat ini. Perlahan Morgan menegakkan badannya."Maaf pak," ucapnya begitu menyadari aksinya dipergoki Dosen."Maaf, maaf. Kamu pikir ini hotel? Sehingga kamu bisa tidur seenaknya," maki dosen."Pak, saya benar-benar minta maaf. Saya---""Ah sudah! Sekarang coba praktikkan materi yang saya jelaskan tadi. Bagaimana caranya dua komputer bisa saling tersambung internet pakai metode Remote Server.""Baik pak, akan saya praktekkan," sahut Morgan sambil mengambil kabel UTP.Morgan dengan lihainya memasang kabel UTP ke CPU dibawahnya kemudian ke CPU milik teman sebelahnya. Setelah itu Morgan, mulai mengetikkan kode dan juga mengatur IP di komputer yang menjadi server. Lalu Morgan juga memasukkan IP yang sama di komputer client. Tak sampai 5 menit, kedua komputer saling terkoneksi."Sudah konek pak," ujar Morgan menunjukkan hasil prakteknya.Dosen tersebut dibuat kagum oleh aksi Morgan. Sampai pria paruh baya itu menggelengkan kepala."Saya padahal belum menjelaskan protokol dalam remot server bahkan troublenya juga. Tapi kamu bisa praktek tanpa ada kendala," ucapnya mulai simpati pada Morgan."Sebenarnya tadi saya tidur juga karena saya sudah paham materi ini, Pak," sahut Morgan.Dosen tersebut melirik Morgan dengan sinis. Ia awalnya tak menyangka mahasiswa yang ia tegur justru yang paling memahami materinya.Namun, mendengar jawaban Morgan yang terkesan meremehkan, ia naik darah."Heh, sombong sekali kamu! Jaga attitudemu. Percuma jenius kalau attitude buruk," ucapnya dengan nada memaki."Iya pak maaf," sahut Morgan. Ia sama sekali tak tau kalau hal itu justru membuat dosennya marah.Setelah kelas berakhir, Morgan pun pergi ke parkiran untuk lanjut bekerja sebagai ojek. Seperti biasa, tatapan sinis dan ejekan terlontar dari masing-masing orang yang melihat Morgan berjalan.Begitu tiba di parkiran, Morgan segera naik ke motornya dan berjalan menjauh dari parkiran."Orang-orang disini aneh semua. Mentang-mentang cuma tukang ojek, dibully. Giliran yang kaya dipuji-puji. Lagian apa salahnya sih sama profesi tukang ojek. Pekerjaan halal kok."Tetapi, sekeluarnya dari gerbang kampus, tiba-tiba motornya mogok dan tidak bisa dinyalakan.“Sialan! Enggak abis-abis masalahku sepertinya!” ucapnya kesal.Akhirnya, ia turun dari motornya dan memilih untuk mendorongnya.Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba dia merasa seseorang menyentuh pundaknya. Morgan tersentak dan cepat-cepat berbalik untuk melihat siapa yang menyentuhnya."Siapa kalian?""Tuan muda, ini kami. Jangan khawatir kami akan selalu mengawal anda," jelas salah satu pria yang saat ini berdiri dihadapan Morgan.Morgan mengernyitkan dahi melihat pakaian yang mereka kenakan.Kedua orang itu dibungkus jaket hitam, celana hitam, dan topi hitam, tampil dengan gaya yang begitu stylish. Meskipun wajah mereka sebagian tertutup oleh topi, Morgan merasa tidak asing melihat mereka. Dua pria pria itu tampak terkejut dengan reaksi Morgan. Mereka saling menatap. "Emang kalian siapa? Orang nggak kenal," maki Morgan."Tapi kami mengenal anda. Kami yakin dari motor anda. Bukankah motor ini diberikan oleh tuan Arthur Collim kepada anda, cucu kesayangannya," Morgan mengamati motor miliknya dengan seksama. Hal yang sama juga dilakukan dua pria itu. "Enak aja! Ini motor belinya pakai uangku sendiri," elak Morgan. "Tapi kami yakin anda adalah cucu Tuan Arthur Collim, terlihat jelas dari tanda lahir di telapak tanga anda,"tegas pria itu.'Sialan! Jadi selama ini mereka ngikutin aku,' batin Morgan sambil menggengam telapak tangannya untuk menutupi tanda lahirnya."Kami diberi tugas untuk mencari anda dan memba
Ting~ Sebuah pesan masuk dari rekannya yang bernama Dion dari jurusan Elektro. [Lagi di taman nih. Join sini, aku tungguin] Begitu membaca pesan itu dari panel notifikasinya, Morgan pun segera membalasnya. [Otw] Usai mengirim pesan tersebut Morgan segera memakai helmnya. Rekannya satu ini menjadi harapan terakhir Morgan dalam mencari pinjaman uang.Rekannya itu merupakan ahli kelistrikan yang sering menangani projek desain listrik rumah maupun perusahaan. Karena itulah Morgan tak ragu meminjam uang padanya. Dari segi keakraban dan juga finansial, temannya itu membawa harapan besar bagi Morgan. Melihat Dion, Morgan segera mendekat ke arahnya. Namun, ia menyadari kalau disana ada gengnya Derren. Si anak Dekan yang tak pernah melewatkan kesempatan untuk mengejeknya. Alih-alih meninggalkan tempat itu karena malas menghadapi geng tersebut, Derren justru memanggilnya. "Eh bro! Mau kemana, buru-buru amat," ucap Derren. Hingga akhirnya Morgan pun berbalik badan menghadap mereka. Kin
Satpam dan dua bodyguard itu diam seketika melihat sang majikan menghampiri mereka. Pria paruh baya yang mengenakan jas hitam yang harganya setara dengan gajinya selama setahun. “Morgan, masuk!!” pinta Arthur. Mendengar majikannya mengizinkan gembel itu masuk, baik satpam maupun bodyguard bergidik ketakutan. Kesalahan yang mereka lakukan kali ini pasti tidak akan ditoleransi oleh Arthur Collim.“T-tuan s-s-saya minta maaf-“ ucap satpam dengan nada terbata. Begitu Morgan berdiri dihadapannya, satpam tersebut tak punya cukup keberanian untuk menatap wajah cucu majikannya.“Maaf-maaf, enak banget ngomongnya,” sahut Morgan.Kekesalannya tak bisa dibendung lagi. Ia masih tidak menyangka dianggap gembel di rumahnya sendiri.“S-saya sungguh menyesal tuan. Saya siap menerima hukuman,” Terlihat jelas ketakutan satpam tersebut dari suaranya serta raut wajahnya.“Hajar,” pinta Arthur Collim sambil memberikan isyarat kepada dua bodyguardnya.“Baik tuan,” Dua pria bertubuh kekar itu Bersiap meng
"Ini uangnya pak” Morgan menaruh bungkusan uang di atas meja Robert Jensen. "Semua kerugian laboratorium telah saya bayar lunas," sambung Morgan. Prof. Robert Jensen masih menatapnya dengan datar. Antara kaget dan tak percaya. Begitulah yang dirasakan pria yang usianya mendekati setengah abad itu. "Morgan! Dari mana kau dapat uang ini? Hasil ngrampok ya? Uang palsu kan?!" sahutnya. Morgan merasa geli ketika mendengar komentar Profesor Robert. Tawanya pun tak bisa dibendung begitu saja. Meskipun situasinya serius, ekspresi wajah dosennya yang datar membuatnya tak bisa menahan reaksi spontan. "Pak saya memang miskin, tapi tidak dengan moral dan hati saya," ucap Morgan dengan yakin. "Lalu darimana kau dapat uang sebanyak ini?" tanya Prof. Robert. Dari nadanya terlihat jelas bahwa pria itu menyepelekan Morgan. "Dari tabungan," elak Morgan. Tidak mungkin dia mengatakan bahwa kakeknya yang memberikan uang tersebut. Pasti Robert tak melewatkan kesempatan untuk menertawakan hal itu.
"Mas, silahkan!" Morgan terkejut begitu antrian dibelakangnya justru dilayani dulu. "Kang ojek minggir dulu," ujar Derren. Teman-teman Derren pun menggusurnya sampai barisan paling belakang. Morgan menggelengkan kepala tak habis pikir dengan kelakuan mereka semua. Begitu hinanya pakaian yang ia gunakan hari ini sampai kehilangan hak disini. "Keren bro, btw thanks bro!" Beberapa menit kemudian Derren dan kawan-kawannya menjauh dari kasir. Wajah-wajah riang mereka tak bisa disembunyikan begitu membawa tas berisi kotak jam dari brand terkenal. Begitu juga dengan Derren yang hari ini puas sekali nampaknya menunjukkan kekayaannya. "Woi, buruan bayar. Ngapain disitu? Nggak mampu ya?" Tak cukup puas menghina Morgan, Derren pun tak melewatkan kesempatan untuk menghina Morgan. "Beliin lah, kasihan," sahut yang lain tentunya dengan nada ejekan. "Iya bro, kang ojek mana sanggup," "Ah elah sok melas. Uang hasil judinya kemana? Abis ya buat bayar kerugian lab?""Iya tuh. Mending ngrampo
"Ya gimana nggak viral. Jarang loh sekarang ini mahasiswa yang kuliah sambil kerja," Percakapan awalnya yang hanya sekedar bertukar identitas, kini masih berlanjut. Bedanya hanya mereka berdua saja yang duduk di depan ruko sembari menunggu hujan reda. Sedangkan dua bodyguard tadi, menghilang entah masih memantau dari kejauhan atau pergi begitu saja. "Biasa aja," sahut Morgan. "Menurut kamu biasa aja. Tapi nggak semua orang menilai apa yang kamu lakukan itu biasa," timpal Regina. Sesama penikmat hujan itu rupanya larut dalam suasana yang tenang sore itu. "Lagian, kamu tu udah lama jadi perbincangan dosen, mahasiswa sampai satpam kampus juga," Regina tak hentinya tersenyum menceritakan perspektif orang-orang terhadap sosok Morgan. "Karena tukang ojek?" "Ih enggaklah. Lebih tepatnya karena kamu tu hebat banget, berani eksperimen di lab yang jelas-jelas risikonya fatal," jelas Regina. Morgan mengerutkan dahinya. "Buset beritanya cepet banget kesebar. Padahal---""Ya karena kamu se
"Morgan jemput aku ya," Sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya. Kebetulan pagi itu ponselnya tersambung jaringan wifi kos. "Ni cewek apaan sih, main minta jemput aja," desusnya. Enggan membaca pesan tersebut, tibq-tiba wanita yang sama mengirimkan pesan berupa lokasi suatu tempat. Hasrat kemasalan Morgan semakin menjadi-jadi begitu mengingat nama belakang wanita itu. "Ah malas kali ketemu bapaknya," ujarnya sambil menyalakan mesin motor. Usai tiba di kampus, Morgan melepaskan helmnya. Getaran dari ponselnya, membuatnya acuh karena sudah tau siapa yang menelfon. "Nggak bapaknya, nggak anaknya, ngeselin!!" makinya. Endingnya Morgan pun membuka ponselnya untuk melihat jadwal dan kelas mana yang akan ditempati matkul hari ini. Tak hanya itu Morgan yang merasa iba akhirnya membalas pesan dari wanita itu. [Sorry ya, baru buka hp pas di kampus]pesan terkirim."Jangan sampek ni cewek ngadu ke bapaknya terus bapaknya ngadu ke rektor," ujar Morgan sambil memasukkan ponselnya ke dalam
Aroma khas mie sedaap membangkitkan selera pria yang menghabiskan malamnya didepan laptop. Sesekali pria itu membagi pikirannya untuk mengingat algoritma serta menikmati kuah mie sedaap yang sangat cocok dengan hawa sejuk gerimis yang melanda kota Jakarta. Ya, biarpun memiliki rekening yang jumlahnya tak patut disebut sedikit, rupanya tak mengubah kebiasaan sederhananya. Selama ini secara tak sadar Morgan telah menikmati hidupnya menjadi anak kost. Hingga akhirnya ia terbiasa dengan hal sederhana yang menciptakan kebahagiaan tersendiri. "Lewat jam 12 tugas harus dikumpulkan. Kalau tidak jangan harap lulus matkul saya,"Bila mengingat ocehan dosen satu ini, muncullah beberapa ide untuk membuat professsor berinisial J itu naik darah. Bukankah sangat menyenangkan berdebat dengan pak Jensen? Baru saja Morgan menekan tombol Send pada sebuah situs google form. Dimana jam laptopnya menunjukkan pukul 23.58. "Ini! baru namanya tepat waktu," ucapnya sambil memetikkan jarinya. Beribu alasa