Banyu mengendarai mobil dengan santai. Membelah jalanan kota Surakarta yang begitu padat di siang hari. Ruas jalan searahnya bahkan tidak kalah macet saat jam kantor seperti ini. Kata siapa kemacetan hanya milik Ibukota Negara? Di beberapa sudut kota ini juga tidak kalah macet, apalagi jika saat jam masuk dan pulang sekolah.
Banyu sesekali tersenyum tipis sambil bersenandung lirih. Situasi yang kini ia alami, sempat pernah ia idam-idamkan. Ia memiliki bayangan mengantarkan istrinya dan Ibunya secara bersamaan ke suatu tempat. Mungkin rasanya akan semenyenangkan ini. Banyu hanya bisa berharap didalam hatinya, jika suatu saat nanti ia akan memiliki istri seperti Lila yang mau bersama keluarganya. Bukannya malah memisahkannya dengan keluarganya.
Walaupun di kasus-kasus tertentu ada Ibu mertua yang sangat merasa anak lelakinya akan selamanya menjadi miliknya, ia ya
Diani duduk di ruang makan dan melihat Banyu datang dengan Dimas. Wanita itu segera berdiri dan menyambut keduanya.“Gimana urusan kantor? Selesai?” tanya Diani pada Banyu.Banyu yang berhenti melangkah membuat Dimas yang semenjak tadi mengekor juga ikut berhenti. Dimas sedikit terkejut melihat Nyonya besarnya sudah berada di rumah itu. Ia merasa selalu tidak tahu menahu tentang kedatangan siapapun di rumah ini. Ia menjadi asing dengan posisinya.“Iya, Bu. Untung ada Dimas. Dia tadi yang bantu untuk klaim asuransi dan urusan di rumah sakit,” ucap Banyu yang kemudian menepuk pundak pria yang setahun lebih tua darinya itu.“Banyu ke kamar dulu ya, Bu. Mau mandi dulu,” ucap Banyu sambil menunjukkan beberapa noda darah.
Lila tak menyadari, keduanya sudah tahu apa yang ada dipikiran Lila. Tapi, Ibu dan anak yang kini sedang berdiri berdampingan itu tetap meyakini bahwa Lila akan secepatnya mereka bawa ke Jakarta.Setelah berpamitan beberapa kali, akhirnya Diani pergi dengan mobilnya. Meninggalkan pelataran vila mewah miliknya.Sementara itu Lila, Banyu dan Saimah kembali masuk ke dalam rumah. Saimah kembali membereskan dapur, sedangkan Banyu duduk untuk makan beberapa makanan yang terhidang di depannya. Rasanya ia masih lapar walaupun tadi sudah sarapan bersama dengan Ibunya.Lila yang sedang membereskan meja makan setelah sarapan tadi dengan cekatan mengangkat piring-piring yang telah selesai digunakan. Tanpa ia sadari, Banyu membantunya untuk mendekatkan beberapa piring dan gelas kotor pada Lila.
Lila nampak gelisah dengan sesekali melihat keluar jendela untuk memastikan suaminya sudah kembali. Sudah pukul delapan malam dan suaminya belum juga datang. Ini pertama kalinya Dimas telat setelah beberapa hari ini selalu pulang tepat waktu karena pulang bersama Banyu. Lila takut ada sesuatu yang terjadi sehingga pria itu belum juga sampai di rumah. “La?” sapa Banyu yang berdiri tepat di belakang Lila. Lila yang kaget langsung menghadap ke belakang dan tidak menyangka Banyu begitu dekat. Ia hampir terjungkal, namun Banyu dengan cepat menangkapnya. Wajah Banyu dan Lila begitu dekat, membuat Banyu bisa melihat wajah mulus tanpa cela milik Lila. Mereka bisa merasakan sapuan nafas satu sama lain, hingga akhirnya Banyu menahan nafasnya karena sadar apa yang mereka lakukan.
Lila terjaga dari tidurnya dan menatap sekelilingnya. Ternyata ia tidak berada di kamarnya. Ranjang tempatnya tidur lebih luas dan ruangan itu tentu lebih tertata rapi dari kamarnya yang dipenuhi beberapa barang menumpuk. Sebagian besar barang itu adalah milik Dimas. Lila mencoba duduk dengan menyandarkan bahunya pada headboard ranjang. Kepalanya menengadah menatap langit-langit kamar. Ia mengingat kembali bagaimana malam tadi membuat dirinya begitu putus asa. Ia kira rumah tangga yang ia bangun akan berakhir dengan indah. Walaupun ia tahu hidup tidak akan selamanya indah, tapi Lila yakin Dimas yang dulu ia kenal begitu meyakinkan memberikannya dunia yang ia impikan. Bukan kemewahan duniawi yang Lila kejar dalam pernikahannya, tapi kasih sayang seorang laki-laki seperti bagaimana Kakeknya menyayangi dirinya dan melindunginya. Melihat semua kelakuan Dimas tadi
Banyu baru saja datang dari bengkel saat melihat Lila sedang menatap bunga di hadapannya dengan tatapan kosong. Walaupun bunga-bunga yang mekar bersamaan itu menambah kesan indah di halaman vila, nyatanya hati si pemilik kebun yang menanam dan merawatnya sepertinya tak terlalu suka dengan keadaan tanamannya.Usaha yang dilakukan Lila terasa seperti sia-sia saat melihat dengan hampa tanaman yang basah dengan rintikan hujan kecil sore itu. Tanaman Hortensia yang tumbuh subur dengan warna biru dan ungu. Tanaman bunga sepatu juga bunga kertas berwarna putih menyemarakkan tampilan rumah itu. Tangan-tangan ajaib Lila mampu membuat rumah ini tampak asri dan segar. Tapi sepertinya, Lila tak cukup mampu menghidupkan kebahagiaan dalam hatinya.Banyu duduk di sebelah Lila. Mereka dibatasi dengan meja kecil di antara mereka. Lila masih tenang dengan kedatangan Banyu.
Banyu baru saja datang dan seperti biasanya, ia memilih untuk berkeliling bengkel untuk melihat kegiatan para pekerja di pagi hari.Saat akan melangkah menuju gudang, Banyu menemukan Ahmad, pekerjanya dari Jakarta itu nampak sedang gusar. Kedua pegawai di depannya hanya bisa menunduk tanpa berani melihat ke arah Ahmad.Banyu mendekat dengan tenang, membuat tiga orang yang berdiri di depan gudang tak menyadari keberadaan Banyu."Lain kali, jangan sampai kalian ninggalin gudang gitu aja! Ngerti?! Kalau sampai Mas Banyu tahu, kita juga tamat! Lain kali jangan mau kalau disuruh keluar! Ngerti gak?!" ucap Ahmad dengan suara pelan tapi menekan.Kedua orang itu mengangguk, namun kemudian mereka membeku ketika melihat Banyu berdiri tepat di belakang Ahmad
Lila menatap nanar struk-struk belanjaan di tangannya. Struk yang ia dapatkan dari beberapa kantong Dimas dengan jumlah yang tak sedikit. Lila tak bisa menyembunyikan wajah kecewanya.Ia sudah membukanya satu persatu. Lila tak percaya suaminya membeli semua barang yang ada di struk itu. Kemana larinya semua barang yang Dimas beli? Kenapa ia tak pernah mendapatkannya? Bahkan ada nota pembelian pakaian dalam di sana.Lila terdiam untuk beberapa saat. Jika barang-barang itu tak sampai padanya, maka siapa yang mendapatkan barang-barang itu? Jika suaminya bisa menghabiskan uangnya untuk barang-barang itu, kenapa Lila tidak mendapatkan sepeserpun uang Dimas? Jika memang waktu itu alasan Dimas adalah Lila punya uangnya sendiri, bagaimana dengan bayi mereka? Kenapa harus orang lain yang sangat peduli dengan bayinya?Saat Li
Lila mencium bau desinfektan yang menyengat. Bau yang sangat ia hafal akhir-akhir ini. Memasuki minggu-minggu akhir, Lila menyadari bahwa dia lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah sakit. Tentu saja Lila sudah tidak kaget lagi saat ia bangun dan mendapati dirinya terbaring di ranjang rumah sakit dengan infus yang sudah menusuk punggung tangannya yang putih bersih.Lila melihat ke arah perutnya yang terus bergerak seolah gelisah. Tangan Lila terulur dan mengusap pelan perutnya. Ia seolah tahu bahwa bayinya sedang tak nyaman dalam perutnya. Hanya itu yang mau Lila lakukan. Ia enggan bersuara untuk bayinya di dalam sana.“La?”Banyu mendekat dengan senyuman yang terlihat lega. Pria itu memencet tombol untuk memanggil dokter. Kemudian mengalihkan perhatiannya sepenuhnya pada Lila. Tangannya mengusap pel