Sudah jatuh, tertimpa tangga. Ungkapan itu sangat cocok untuk Mirea yang terjerembab karena ternyata masih terlalu sakit untuk digunakan berjalan.Rasa sakitnya mungkin bisa dia tahan, tapi rasa malunya terlalu besar saat ini. Ia bahkan hanya bisa menunduk ketika tangan yang sedikit kekar itu kembali mengangkatnya.“Non Mirea,” ucap Satpam yang tergopoh membuka gerbang. Saat pria itu hendak mengambil Mirea, Noah tampak bergeming.“Biar saya yang antar ke dalam rumah. Tolong antar saya,” ucap Noah yang terlihat tenang menggendong Mirea.Satpam itupun mengangguk dan berjalan di depan Noah. Sementara itu Mirea masih setia menutup mukanya karena sangat malu. Kulitnya yang memang tidak terlalu putih itu, tetap saja memerah seperti kepiting rebus jika ia malu.Baru saja melewati pintu rumah, para pekerja di rumah itu sudah histeris melihat luka-luka di tubuh Mirea. Mereka bahkan melupakan siapa yang menggendong Mirea.“Non Mirea, ya ampun Non. Non Mirea kenapa?! Aduh Non–”Mirea sudah tak m
Tujuh Tahun KemudianShana masuk ke dalam rumah dengan senyum ceria. Ia juga banyak berceloteh. Entah apa saja yang dia ceritakan, kepada teman lelaki yang mengekor di belakangnya. Lelaki nyatanya tidak memprotes apapun. Ia mendengar dengan seksama, sesekali ikut tertawa dengan cerita Shana.“Shan, sama Rain?” tanya Lila yang baru saja keluar dari kamarnya karena mendengar celoteh ceria salah satu anak gadisnya yang kini sudah masuk ke salah satu perguruan tinggi negeri bergengsi di kota metropolitan itu. Jurusannya juga tak main-main, anak gadisnya itu memilih untuk mengambil Teknik Mesin.“Iya, Ma.” Shana segera memeluk Mamanya dan mencium punggung tangannya.“Hai, Tante. Rain kesini lagi. Semoga Tante gak bosen ya,” ucap Rain yang kemudian mencium punggung tangan Lila dengan takzim.“Gak akan pernah bosen. Tante malah seneng. Kalian udah makan?” tanya Lila bersemangat.“Belum, Tante. Rain laper,” ucap Rain tapa berbasa-basi. Pria muda itu tampaknya sudah tak sungkan dengan Lila.“G
Sheena lebih banyak diam setelah kedatangan Rain waktu itu. Ia bahkan lebih banyak mengurung dirinya di kamar. Seperti saat ini, ia lebih memilih untuk duduk dan menatap foto bersama kembarannya ketika kecil. Tak lama, ia memilih untuk menutup foto itu dan membenamkan wajahnya di lututnya yang sudah merapat.“Shen, Lo ngapain?” tanya Shana yang baru saja membuka pintu kamar Sheena tanpa permisi.Sheena tak menjawab. Wanita itu hanya diam, sama sekali tak bersuara.“Shen, Gue mau jalan sama Rain, ayo jalan bertiga. Lo udah lama pengen jalan-jalan ke Kota Tua kan?” ucap Shana yang berjalan mendekat dan kemudian memegang pundak saudara kembarnya. Tak lama gadis itu terkejut karena pundak itu seolah bergetar.“Shen, Lo nangis? Kenapa?” tanya Shana sambil mengguncangkan bahu kembarannya.Sheena dengan kasar menepis tangan Shana. “Lo sengaja kan?”“Sengaja?” tanya Shana bingung. “Sengaja ap–”“Lo– Lo kan saudara Gue Shan. Lo tega sama Gue? Lo tau Gue suka sama Rain. Gue masih berbaik hati s
Sepuluh Tahun KemudianPerempuan berusia tiga puluh dua tahun itu tampak cantik dengan balutan gaun pesta berwarna merah yang menawan. Rambutnya yang panjang tergerai indah. Penampilannya jelas membuat mata pria manapun menatapnya dengan penuh minat. Muda dan Tua, semuanya menatap wanita bernama Shana Rose Adnan itu dengan tatapan kagum.“Nah ini, anak kami paling bungsu. nantinya Shana yang akan ikut mengembangkan bisnis di bidang ini. Dia lulusan Universitas Teknologi Rhein-Westfalen Aachen,” ucap Banyu bangga pada kolega bisnisnya.“Luar biasa, Jerman! Ich freue mich auf die Zusammenarbeit mit Ihnen,” ucap salah seorang kolega Banyu sambil mengulurkan tangannya.Shana pun tersenyum dan membalas jabat tangan itu. “Ja, ich bin auch gespannt darauf. Lasst uns zusammenarbeiten und Großartiges erreichen!”“Anakmu Luar biasa, Banyu,” puji pria yang lain.Dipuji terus menerus membuat Banyu selalu tersenyum. Ia sangat senang, meskipun seorang wanita, anak perempuannya bisa menunjukkan pad
Alila Larasati menatap kosong foto pernikahannya sembari mengusap pelan perutnya yang membuncit. Lila merasa sesak dalam dadanya karena Dimas, sang suami, banyak berubah sejak bekerja di salah satu bengkel besar milik majikan mereka.Pria itu seolah lupa diri dan suka pulang malam. Bahkan, Dimas enggan mengantarkan Lila pergi memeriksakan kandungannya. Sebagai gadis desa yang hanya memiliki ijazah paket C, Lila tak memiliki kecurigaan. Ia fokus menjadi kepala pelayan di Villa milik sang majikan dan mempersiapkan masa depan sang anak nanti. Tapi, mengapa dia merasa Dimas semakin jauh darinya? “La, jangan ngelamun aja. Itu suamimu dateng. Ladenin, Nduk. Nanti dia ngamuk-ngamuk lagi,” ucap salah satu penjaga Villa tempatnya bekerja."Dia baru sampe, Mbok Saimah?"Wanita paruh baya itu mengangguk saja sambil memasang senyumnya. Melihat itu, Lila segera beranjak dari tempat duduknya. Langkahnya terbatas karena membawa bayi tiga puluh minggu di dalam perut dengan badan mungilnya sungguh
Di sisi lain, seorang pria turun dari mobil mewah miliknya. Potongan rambut buzz cut menampilkan kesan rapi dan memancarkan aura seorang pemimpin. Penampilannya makin menarik di tunjang dengan setelan kaos polo berwarna biru tua dan celana putih. Jangan lupakan kacamata hitam yang menutup warna mata hazel si empunya yang juga memiliki tubuh atletis itu. Membuat siapa saja yang melihatnya akan merasa ingin bersandar di bahu pria yang memiliki jambang tipis. Banyu Ocean Adnan memandang vila milik keluarganya yang sudah lama sekali tak ia kunjungi. Terakhir kali mungkin sekitar 8 tahun lalu. Banyu begitu rindu dengan vila yang sangat sejuk tepat berada di bawah kaki gunung yang menghubungkan dua provinsi. Bertahun-tahun berlalu, Banyu merasa bersyukur bahwa lingkungan tempat vila miliknya tidak berubah. Drrt!Ponsel Banyu berdering, membuat pria yang tengah asyik memperhatikan hijaunya pemandangan itu harus mengalihkan tatapannya ke benda pipih yang sudah memunculkan nama pemanggi
“Kamu kenapa gak ngerti sih, La! Ini pelanggan berharga dan aku gak bisa tinggalin bengkel gini aja! Mana aku tahu kalau Sabtu dia bakalan ke bengkel!” teriak Dimas menggema ke seluruh penjuru ruangan. “Tapi kamu udah janji, Mas! Kamu udah janji anterin aku kontrol ke Bidan! Satu hari ini aja, Mas. Tolong, Mas..” ucap Lila yang melemah di akhir kalimatnya. Air mata sudah tidak bisa ia bendung dari sudut mata lentiknya. “Nangis, nangis, nangis aja bisamu!” ucap Dimas dengan lantang. Lila makin menangis tergugu mendengar suara lantang Dimas yang tak mau memelan. Sementara itu, di kamar yang bernuansa warna abu-abu. Banyu masih terlelap dalam tidurnya. Baru kali ini ia bisa tidur semalaman bahkan saat jam baru menunjukkan pukul tujuh malam, Banyu sudah jatuh terlelap. Ia sepertinya terlalu memforsir dirinya, hingga dirinya tidak sadar tertidur hampir dua belas jam. Gorden yang tidak tertutup sempurna berhasil membuat Banyu terbangun. Sinar matahari yang menembus kamar, langsung mene
Banyu sudah siap dengan baju santainya untuk mengecek kondisi bengkel. Hari Sabtu seperti ini bengkel pasti lebih sibuk dari biasanya. Kebanyakan dari orang-orang pasti memanfaatkan hari Sabtu sebagai alternatif untuk memperbaiki kendaraan atau hanya sekedar melakukan servis bulanan. Banyu mengerti bahwa Dimas begitu mencemaskan hari Sabtu, apalagi kedatangan konsumen yang mungkin sangat penting. Tapi, meninggalkan hal itu dan mempercayakannya saja pada montir-montir handal yang dimiliki oleh bengkel juga tak akan masalah. Lagipula sepengelamannya dulu, mengantri dokter tak akan lama. Apalagi jika sudah mendaftar sebelumnya dan datang di waktu yang disarankan oleh bagian pendaftaran. Baru beberapa langkah menuruni anak tangga, matanya sudah tertuju pada Lila dan Mbok Saimah yang duduk di kursi makan. Pikirannya yang tak henti memikirkan nasib Lila disambut dengan penampakan Mbok Saimah yang dengan sabar mengusap pelan bahu Lila. Perempuan kecil bagi Banyu itu terlihat masih menangis