Lila menyambut hari dengan ceria. Jarinya yang lentik menari indah diatas keyboard. Dia begitu fokus dengan pekerjaannya, berharap hasil laporan yang dikerjakannya bisa memenuhi kepuasan dirinya juga timnya.
Meski baru dua hari bekerja, Lila berusaha keras untuk memantik semangat dalam dirinya agar ia bisa bertahan lama di pekerjaannya saat ini. Pekerjaan yang sepertinya hanya bisa jadi angan-angannya dulu.
Terlalu fokus membuat Lila tidak menyadari bahwa ada Arletta, teman satu timnya yang memandang Lila dengan senyum merekah. Ia sangat senang dengan semangat Lila yang begitu membara untuk berusaha belajar dengan baik di tim R&D.
Kasak-kusuk yang terdengar di luaran sana tentang Lila yang katanya ibu bos dari perusahaan dalam satu gedung yang sama, tidak membuat mereka memperlakukan Lila secara khusus. Merek
Sudah hampir setengah hari ini Banyu melamun. Semenjak kedatangan Elle tadi pagi, ia terus memutar banyak memori dalam otaknya. Ada pergulatan batin antara hati dan pikirannya. Bukan, permasalahannya bukan Meira. Tapi anak yang bersama Meira yang disebutkan Elle. Sepupunya itu membuat Banyu menerka-nerka, seperti apa anak yang katanya mirip dengannya. Apakah benar begitu mirip itu dengan dirinya saat ia masih sekolah dasar? Terpenting dari itu semua, bagaimana jika anak itu benar anaknya? Hatinya bimbang, apakah dirinya bisa menerima anak itu? Dahulu kehadiran pria kecil itu memang sangat dinantikan oleh Banyu. Perasaan yang tak sempat disalurkan itu pun sepenuhnya ia salurkan kepada Raga. Sekian lama Banyu berkutat dengan pemikiran itu, tiba-tiba Banyu teringat tent
Saat rapat telah usai, Lila segera berkemas dan mengekor anggota timnya berharap bisa menghindari Dimas. Tapi, belum sempat Lila keluar dari ruangan itu, tangannya sudah dicekal oleh Dimas.Tentu saja Lila berjengit kaget, ia menghempaskan dengan kasar tangan Dimas. Teman-teman Lila yang mendengar suara pekikan Lila segera berhenti dan mendapati Lila menatap tak suka pada Dimas."Kenapa, La?" tanya Ruben yang langsung mundur ke dekat Lila.Lila merasa tak enak kepada rekan-rekannya yang lain. Ia takut akan terjadi kesalahpahaman disana. Perempuan itu akhirnya hanya tersenyum tipis seolah ingin mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja."Gak apa-apa, Kak. Aku kaget aja, ternyata Pak Dimas ini-- anu-- mau ngingetin aku karena gak fokus. Aku mau kejedot pintu. Untung Pak Dima
Lila memasuki ruang kerja Banyu setelah ia mengetuk pintu dan dipersilahkan masuk. Senyum Banyu mengembang melihat pujaan hatinya datang saat makan siang. Tapi itu hanya sesaat, karena wajah Lila yang ternyata tampak sendu dan Banyu tak tahu penyebabnya. "Hei, kenapa? Kok mukanya ditekuk?" tanya Banyu yang kemudian beranjak dari tempat duduknya. Ia mendekat dan merentangkan tangannya untuk mempersilahkan perempuan kesayangannya masuk dalam dekapannya. Banyu ingin sedikit meredakan kegundahan hati Lila. Tanpa penolakan, wanita itu masuk dalam dekap hangat Banyu. Ia menyandarkan kepalanya ke dada Banyu. Sambil mendengar detak jantung yang tak beraturan setiap kali Lila berada di posisi ini. Entah mengapa hal itu bisa menenangkan segala kegelisahan hati Lila. "Mas udah
Seorang pria paruh baya dengan setelan jas sedang berdiri tegap memandang jalanan di luar lobby yang cukup padat. Sesekali ia melirik jam tangannya seolah diburu waktu. Tiba-tiba seorang wanita dengan pakaian kantor yang rapi menyapanya. Wanita itu tersenyum ramah pada pria yang ternyata suaminya. Tak lama, suara langkah kaki terburu seorang laki-laki tampan dengan cambang tipis yang menggandeng wanita dengan sepatu berhak membuat seisi lobby menatap kagum dengan wanita muda yang memakai bodycon dress ditutup dengan blazer. Padu padan pakaiannya membuatnya sangat cantik, apalagi dengan rambut panjang yang tergerai dan terlihat halus karena mengikuti gerakan badan pemiliknya. pemandangan yang cukup langka itu menampilkan pemilik gedung dan istrinya yang merupakan arsitek terkenal, juga anak lelakinya yang mengurus usaha hampir separuh bisnis yang berada di ged
Lila sedang berjalan menuju ruangan kerjanya saat tiba-tiba seseorang menariknya menuju ke arah tangga darurat. Tangan yang cukup kuat itu membuat Lila tidak bisa melepaskan cengkraman tangannya. Kejadian itu terlalu cepat dan kini Lila sudah berada di depan tangga dengan nafas terengah. Saat ia melihat wajah Dimas, Lila menjadi jengah. “Apalagi sekarang? Mau apa?” ucap Lila kesal. “Soal Raga–” “Kita gak harus sembunyi-sembunyi kayak gini kan buat ngomongin Raga. Kamu bikin situasinya kacau, Mas. Orang yang gak tahu bakal salah paham ngeliat aku sama kamu sembunyi-sembunyi kayak gini!” potong Lila dengan omelan panjang. Dimas tak menjawab omelan itu. Ia terlihat tak mendengarkan dengan wajah serius miliknya. Pria itu nam
Suara ketukan membuat Banyu menghentikan gerakan tangannya. Setelah mempersilahkan masuk, ternyata wajah sekretarisnya yang muncul dari balik pintu. Padahal ia sudah sangat merindukan Lila saat ini. Ia kira, dirinya akan melihat Lila kali ini. “Pak, maaf. Ada tamu.Belum bikin janji, tapi katanya penting,” ucap sekretaris yang sudah menemani Banyu kurang lebih empat tahun berada di kantor ini. “Atas nama siapa?” “Ibu Meira dan anaknya. nama anaknya Bara, Pak.” Banyu tercenung untuk sesaat. Bara. Nama anak lelaki yang sempat dirinya dan Meira diskusikan. Bayu dan Meira adalah kepanjangan dari nama Bara. Kenapa wanita itu datang dengan membawa anak bernama Bara? Apakah nama itu tetap diberikan pada bayi yang dikandungnya wa
Banyu membuka sedikit pintu kamar Lila tanpa permisi. Ia tak masuk, hanya mengintip dan melihat apa yang dilakukan oleh Raga dan Lila di dalam kamar itu. Hati Banyu menghangat saat melihat Lila sedang mencium lembut kening Raga. Lalu menyelimuti malaikat kecil itu agar merasa nyaman. Setelahnya, mata Lila dan Banyu beradu. Wanita itu kemudian memberikan isyarat jika Banyu bisa masuk ke dalam kamarnya jika ingin. Banyu pun mengangguk. Ia berjalan mendekat dengan perlahan. Sesampainya di samping Raga, ia mencium kening Raga dan tampak membisikkan sesuatu. Lucunya Raga yang terlihat tertidur pulas malah mengangguk saja. Lila hanya bisa tersenyum memandang bayi kecil dengan orang yang sudah dianggap sebagai ayahnya sendiri oleh anaknya. Mereka terlihat begitu dekat dan tak terpisahkan.
Lila termenung di depan kaca jendela pantry tempat kerjanya. Matanya menatap kosong gedung-gedung dan jalanan yang mulai padat karena jam sibuk di kota metropolitan itu. Pikiran Lila sudah jauh berkelana. Apalagi mengingat cerita Banyu tentang Meira. Ia tahu calon suaminya itu hanya bersimpati, tapi ada rasa takut jika calon suaminya itu tiba-tiba meninggalkannya. Entahlah, rasanya trauma masa lalu masih membekas. Ia sangat takut jika pria itu menjalin hubungan di belakangnya, sama dengan apa yang dilakukan mantan suaminya dulu. “Nggak, Lila! Dia bukan Mas Dimas. Dia Mas Banyu!” ucap Lila sambil menggelengkan kepalanya keras. Ia menarik nafas dalam untuk menenangkan hatinya. “La?” sapa Theo yang membuat Lila segera menoleh ke s