“Ma, kira-kira hari ini kita makan nasi lagi nggak ya?” tanya Nurul dengan nada penuh harap.
“Semoga aja ya, Sayang,” jawabku. “Semoga aja nanti Mama disuruh masak lagi.”“Kok semalam Mama nggak disuruh masak ya? Emangnya Om itu nggak makan malam?” tanyanya penasaran. Kasihan anakku. Mungkin semalam ia berharap bisa makan dengan nasi lagi. Tapi setelah wanita misterius itu pergi, Redy belum ada datang ke kamar ini sampai sekarang. Jadi terpaksa kami makan malam dengan biskuit.“Mungkin dia beli makanan di luar, Rul. Lagi pula dia kayaknya belum sepenuhnya bisa percaya sama Mama untuk keluar dari kamar ini,” kataku.Nurul memonyongkan bibir. Aku tertawa kecil melihatnya. “Sabar ya Rul. Nanti juga lama-lama kita akan keluar dari sini,” hiburku.“Kapan Ma?”“Mama nggak tahu sayang, tapi Mama akan terus berusaha. Mama cuma minta, jangan terlalu sering ngomongin soal keluar dari sini ya. Biar ini jadi rahasia kita aja,” kataku. Aku takut Nurul keceplosan dan Redy tahu niatku yang hendak melarikan diri. Itu bisa saja merusak rencana kaburku. Apalagi semalam kudengar mereka punya niat untuk melenyapkan kami.“Ma, gimana kalau...”“Ssstt...” aku memotong kalimat Nurul saat mendengar suara langkah kaki yang mendekat.Seperti biasa, hanya Redy yang selalu muncul setiap kali pintu itu terbuka. Tampaknya hari ini dia bangun lebih awal dari biasa. Mata dan wajahnya terlihat lebih segar.“Ayo keluar. Masak dan berkemas. Hari ini kerjaanmu lebih banyak,” katanya.Aku mengangguk dan bersiap. Kucium Nurul dan Melina sebelum pergi melangkah keluar kamar.Pekerjaan dimulai dengan memasak. Hari ini aku memasak beberapa menu. Sepertinya Redy baru saja habis belanja. Ada ikan, ayam, tahu, tempe dan beberapa sayuran hijau.“Ini untuk stok makanan beberapa hari. Aku hanya akan belanja setiap hari Minggu dan Rabu. Kau atur, jangan sampai sebelum waktunya aku belanja, stok sayur dan lauknya sudah habis.”Aku mengangguk. “Iya Bang.”“Kau hanya kuberi kesempatan untuk keluar kamar setiap pagi. Hanya untuk memasak dan berkemas. Setelah selesai masak kau boleh membawa sepiring nasi serta sedikit sayur dan lauk. Yang penting masih ada makanan yang bisa kumakan untuk siang dan sore. Paham?” titahnya.Aku mengangguk dengan senang. Sesuai harapan, aku bisa mendapat makanan dengan membantunya memasak dan berkemas. Nurul pasti bahagia.Kini aku memilah dan membagi stok makanan yang baru dibeli Redy. Membuat food preparation bukanlah sebuah hal yang sulit buat seorang ibu rumah tangga yang punya tiga orang anak sepertiku. Ditambah lagi selama menjadi istri Mas Edar, aku dituntut untuk harus pandai berhemat karena sifat suamiku yang sangat pelit. Ia hanya memberiku jatah kurang lebih 20 ribu per hari untuk belanja.Aku sedang mencuci beras dan mengukur air dengan jari tanganku, saat Redy mendekat dan melihat dengan antusias apa yang sedang kukerjakan.“Kenapa Bang?” tanyaku.“Bisa ajarkan aku masak nasi? Setiap aku memasak nasi kadang terlalu lembek dan kadang masih mentah.” Katanya, membuatku hampir menghamburkan tawa. Oh, jadi nasi yang selama ini diberikan padaku dalam keadaan yang kadang masih mentah itu, dia sendiri yang masak?“Pakai jari Bang, segini airnya kalau berasnya setengah kilo,” ajarku.“Kalau aku masak nasi, kenapa cepat basi ya?”“Tempatnya Abang cuci nggak tiap mau masak yang baru?”Dia menggeleng. “Aku malas.” Jawabnya, dengan sangat singkat dan jujur.“Mmm... Pantesan. Kalau masak baru, pakai tempat nasi sebelumnya dan nggak dicuci, nasi akan cepat basi,” kataku. “Kalau Abang nyuci berasnya nggak bersih juga bisa buat cepat basi.”Redy tampak mengangguk paham. Ia langsung pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Sementara aku tersenyum dengan sedikit menyeringai. Tak ku sangka, mendekatinya bisa semudah ini.Redy duduk di ruang tamu. Tak seperti kemarin yang menungguiku sambil bekerja. Untuk sementara, aku hanya bisa melihat keadaan sekitar. Aku masih belum berani untuk mengambil alat atau senjata yang bisa digunakan untuk melarikan diri nantinya. Aku tak mau gegabah dan mengambil risiko, nyawa anak-anakku bisa berada dalam bahaya kalau aku salah melangkah.Aku akan mengambil hatinya, membuat Redy mempercayaiku. Selain punya tujuan untuk kabur dari sini, aku juga ingin mencari informasi tentang siapa dalang dari penyekapan ini. Selain bebas, aku juga ingin balas dendam.Dengan cekatan aku mengerjakan tugasku. Sambil memasak aku merapikan dapur dan mencuci barang-barang yang kotor. Rasa senang membuat aku begitu bersemangat untuk menyelesaikan semua dan membawakan makanan ke kamar untuk anak-anakku.“Aku boleh membersihkan ruangan lain Bang?” tanyaku, saat aku selesai masak dan ia bersiap untuk makan.“Iya, bersihkan dua kamar di depan,” perintahnya.Tak perlu berlama-lama aku langsung menuju ke tempat yang dimaksud. Aku sempat membuang napas, melihat keadaan kamar yang belum dibersihkan saja sudah membuat aku letih hanya dengan memandangnya. Kamar ini luar biasa kotor dan pengap. Seperti kamar tempatku disekap, jendela kamar ini tak ada yang terbuka. Saat ku cek, ternyata dipaku luar dalam. Mungkin agar aku tak bisa melarikan diri.Banyak baju kotor berserakan di lantai. Kupungut dan kukumpulkan dalam satu tempat besar. Setelah aku menyapu ruangan, kubawa baju-baju kotor itu ke belakang.“Mau apa kamu?” tanya Redy saat melihatku mulai merendam baju-baju itu.“Aku mau cuci baju Bang,” kataku.“Tugasmu cuma masak dan membersihkan rumah. Aku tak suka pakaianku dipegang orang lain,” katanya.Aku sempat terdiam. “Maaf Bang, tapi udah terlanjur kurendam pakai sabun. Kalau nggak langsung dicuci dan dijemur, nanti bajunya bau apek,” kataku.“Hah, ya udah. Kali ini aja.”Aku kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan mencuci baju. Namun tak lama Redy datang mendekatiku dengan terburu-buru.“Ayo cepat, masuk lagi ke kamar. Ada yang datang!” katanya sambil menarik paksa tanganku.“Tapi Bang, ini belum selesai.”“Udah biarin. Masuk aja, kalau nggak ku hajar kamu!” ancamnya.Aku kecewa sekali. Padahal aku ingin tahu siapa yang datang. Kalau yang datang adalah perempuan itu, ini adalah kesempatanku untuk mengetahui siapa otak penyekapan mengerikan yang menimpaku.Aku semakin merasa kecewa saat masuk ke kamar dan Redy mengunci pintunya. Aku baru sadar, belum sempat mengambil makanan di dapur yang tadi kumasak. Untuk kumakan bersama dengan anak-anakku.“Redy, tumben jam segini udah bangun? Rumahmu juga rapi, dan sepertinya kau sudah masak.”Itu suara lelaki. Dan sepertinya tak hanya satu orang. Apa aku menjerit saja, meminta pertolongan?“Ke mana kau saat kami menghilang? Kenapa kau justru menikah lagi, sementara di tempat lain aku dan anak-anakmu sedang mengalami beragam siksaan menyakitkan?”“Kau sendiri yang kabur dari rumah dengan membawa anak-anak! Kau lari dengan laki-laki lain.” Mas Edar menyanggah omonganku, tak mau disalahkan sendiri.“Aku kabur karena sudah tak tahan dengan sifatmu yang pelit. Apalagi kau malah selingkuh di belakangku. Sekarang aku tanya, apakah ada usahamu mencari kami ketika aku lari dari rumah? Adakah niatmu mencari tahu di mana keberadaan kami, meski itu hanya untuk memastikan alasanku pergi darimu? Tidak ada! Kau justru sepertinya sangat senang ketika aku dan ketiga anakmu menghilang! Seolah memang itulah yang kau harapkan, agar bisa melanjutkan hubunganmu dengan Ella dan menikahinya! Iya kan?!” Mas Edar diam, tak menjawab. Sepertinya memang apa yang aku tuduhkan semua benar adanya.“Aku pikir kau pasti akan kembali,” ujarnya lemah.“Bohong! Kalau kau pikir aku akan kembali, tak m
PoV Laras“Laras, kau ke sini?” Aku hanya tersenyum menyeringai ketika Redy tampak terkejut melihat kedatanganku. Sekilas kulihat keadaan di balik jeruji tempat ia sekarang meringkuk siang dan malam.Keadaannya begitu kotor. Dengan lantai berdebu dan hanya ada lembaran koran yang mungkin ia gunakan sebagai alas duduk dan tidur. Redy hanya sendiri di dalam ruangan kecil ini, tak ada narapidana lain yang kulihat.“Tentu saja aku harus ke sini. Aku harus memastikan kalau berita gembira dari Bang Yunan kalau kau telah ditangkap polisi itu benar adanya,” ujarku dingin.“Jadi Yunan yang telah membantumu kabur? Sudah kuduga.” Redy tertawa sekilas. “Bagaimana rasanya, Redy? Dikurung di sebuah tempat sempit, dengan ruang gerak yang sangat terbatas? Aku tak tahu apakah kau mendapatkan penyiksaan atau tidak, tapi aku harap kau dikurung di sini, jauh lebih lama dari saat kau mengurung aku dan anak-anakku.”“Aku memang pantas mendapatkannya, Laras. Aku sadar akan hal itu. Hanya saja seben
PoV Author “Bagaimana sekarang?” Yunan yang sedang mengelap darah di tangannya dengan menggunakan saputangan bertanya pada Laras. Wanita itu tampak menatap dingin ke arah tubuh Ella yang sudah tak bernyawa. Keadaan mayat wanita yang telah menikah dengan suaminya itu terlihat mengerikan, wajahnya dipenuhi darah. Sepertinya Yunan benar-benar meluapkan emosinya dengan memakai seluruh tenaga untuk menghajar bagian wajah Ella. Lelaki itu seakan tak peduli, bahwa yang dipukulinya adalah seorang wanita. Rasa dendam membuatnya gelap mata. “Kita keluar dulu. Tak lama lagi Mas Edar pasti pulang. Kita tunggu sambil bersiap menelepon polisi. Tapi sebelum itu, pastikan kalau tak ada jejak kita yang tertinggal. Sebisa mungkin semua bukti hanya menjurus pada Mas Edar.” “Kita buang ke mana barang bukti ini?” Yunan menunjukkan sebuah hiasan di kamar terbuat dari besi yang tadi ia gunakan juga untuk memukul Ella. “Tak perlu dibuang. Biarkan saja di sini.” “Tapi bukankah ada sidik jariku? Kita bis
“Mau ke mana kau, Ella? Bukankah kau sudah hidup enak di sini setelah menikah dengan orang kaya? Kenapa sepertinya kau mau melarikan diri lagi? Sudah dapat mangsa baru?”“Yunan, bagaimana kau bisa berada di sini?” aku benar-benar takut, sampai suaraku bergetar.“Tentu saja bisa, karena aku pernah bersumpah akan menemukanmu bagaimanapun caranya.”Aku meneguk ludah. Apakah kini tamat riwayatku?“Aku--- akan membayar hutangku padamu. Aku punya uangnya meski belum cukup. Tapi akan aku berikan semua padamu, Yunan. Tapi tolong jangan bunuh aku. Berikan aku kesempatan untuk mencari sisanya.” Aku memohon, semoga saja dia mau menurutiku. “Membayar hutang dan membunuhmu itu adalah dua hal yang berbeda Ella. Meski kau membayar lunas hutangmu dan menambahkan bunganya, kau akan tetap kuhabisi.” Yunan menyeringai, aku ngeri melihatnya.“Kenapa seperti itu? Bukankah kau mengejarku karena hutang? Kalau sudah dibayar, seharusnya kau tak perlu memperlakukanku dengan buruk.”“Lalu bagaimana deng
“Mereka tak pernah ke sini Redy. Aku yakin, karena tak ada sedikit pun tanda-tanda kalau pernah ada yang datang semalam.” Aku semakin panik saat tahu tak ada siapa-siapa di makam Andra. Bisa dilihat dari rumput tinggi yang berdiri tegak. Kalau memang Laras datang ke sini bersama anak-anaknya, maka sudah pasti semua semak belukar itu akan rebah karena diinjak.“Aku juga tak tahu, Ella.” Redy menggaruk kepala, membuatku geram.“Ini semua gara-gara kamu!” aku memukul tangannya dengan keras.“Kamu kenapa sih?!” Redy mengelus lengannya yang sudah pasti terasa sakit akibat pukulanku tadi.“Lihat apa yang kamu lakukan! Mereka kabur dan kita tak bisa menangkapnya lagi. Mereka tak mungkin datang ke sini malam-malam. Laras tak akan berani membawa dua anaknya melewati semak dan pohon-pohon mengerikan di hutan ini. Sekarang, kita mau cari ke mana lagi?”“Ya mana aku tahu! Jangan hanya menyalahkan aku. Mereka sudah lari sejak semalam. Bisa jadi sekarang sudah ada d
“Apa yang terjadi Redy? Ke mana mereka semua?!”Aku berjalan menyusuri rumah Redy dalam keadaan panik sambil membuka satu persatu pintu kamar yang ada. Merasa tak ada tanda-tanda Laras dan kedua anaknya di dalam, aku berlari keluar, melihat sekeliling. Redy yang juga terlihat panik, langsung mengitari rumah. “Mereka nggak ada.” Nafas Redy terengah-engah begitu ia kembali. “Aku rasa mereka kabur dari semalam.” Tebaknya.“Kamu gimana sih, kok malah ninggalin mereka?! Aku kan bayar kamu buat jagain biar nggak lari! Bisa-bisanya kamu malah biarkan mereka sendirian!” Aku benar-benar marah. Padahal hari ini aku sudah siap menghabisi Laras dan kedua anaknya, baru kemudian kabur dengan membawa tabungan hasil dari kerja kerasku selama ini.Tapi saat aku sampai di rumah Redy pagi ini, mereka sudah tak ada. Bahkan, Redy juga baru tiba ketika aku datang. Kami terkejut saat melihat pintu depan dan pintu kamar tempat Laras dikurung sudah rusak, terbuka lebar.“Ibuku datang, Ella! Nggak mung