Share

BAB 7

Hari mungkin sudah sangat malam. Namun aku tak tahu jam berapa ini. Aku sedang menggendong Melina yang terlihat sudah mulai mengantuk. Sementara Nurul sejak tadi sudah tidur sambil menahan lapar. Aku benar-benar menyesal karena tadi tak sempat mengambil makanan dari dapur.

Keadaan rumah terasa sangat sepi. Redy belum pulang sejak tadi dua orang yang kutebak adalah temannya menjemput.

Saat tadi siang ada yang datang ke sini, aku tak berani bersuara, apalagi berteriak. Awalnya ku pikir akan meminta pertolongan dengan membuat suara bising. Namun setelah menimbang lagi, hal itu sangat berisiko. Bagaimanapun, aku tak tahu siapa yang datang. Bisa saja mereka adalah komplotan Redy. Kalau aku berbuat macam-macam, aku takut nyawaku dan anak-anakku terancam.

Aku akan berpikir sendiri bagaimana caranya agar bisa keluar dari masalah ini. Aku akan tetap pada rencana semula, yaitu mendekati Redy, mendapatkan kepercayaannya dan membalas dendam.

“Ma, lapar. Nurul boleh makan biskuitnya sekeping lagi?” suara Nurul mengagetkanku.

“Kamu udah bangun, Rul?”

“Nggak bisa tidur nyenyak Ma. Lapar.” Katanya sambil mengusap perut.

“Maaf ya Rul, tadi Mama benar-benar lupa mau bawa nasi. Ada orang yang tiba-tiba datang waktu Mama lagi kerja. Kalau mau makan biskuitnya ambil aja,” kataku.

“Nggak apa Ma. Bukan salah Mama. Aku ambil ya biskuitnya?”

Aku mengangguk dan tersenyum. Tak lama kudengar suara langkah kaki mendekat. Sepertinya Redy sudah datang.

“Keluarlah!” Redy memerintah begitu pintu terbuka.

Aku berdiri dan berjalan mendekatinya. Ia langsung menutup dan mengunci pintu. Kuikuti dia dari belakang dan kami berhenti di dekat meja makan.

“Bawa semua makanan ini ke kamar,” katanya, membuatku terkejut. Tak percaya dengan apa yang kudengar.

“Kenapa Bang?” tanyaku agak takut. Makanan yang tadi pagi kumasak ini masih banyak. Kenapa dia memberikan semua untukku? Apa ada tujuan tertentu? Atau makanan ini sudah diracuni?

“Bawa aja semua. Jangan banyak tanya. Aku udah makan tadi di luar. Dan sekarang aku mau pergi, ada urusan. Dari pada ini semua basi dan dibuang, lebih baik kau makan. Atau kau lebih memilih untuk membuang semua makanan ini?”

Aku menggeleng cepat. Ini rezeki nomplok bagiku hari ini. Tanpa membuang waktu cepat kubawa semuanya dan masuk ke dalam kamar hanya dengan sekali jalan.

“Bang Redy... Makasih,” kataku, saat ia hendak menutup pintu. Ia terlihat senang mendengar ucapan terima kasih dariku yang mungkin terdengar tulus di telinganya.

***

Aku mencoret dinding kamar yang berwarna putih ini dengan sebuah paku. Sudah ada sebanyak 43 tanda garis, artinya aku dan anak-anakku sudah disekap selama sebulan lebih, hampir dua bulan.

Redy mulai melunak pada kami. Tak ada lagi penyiksaan seperti pertama dulu. Kami pun mulai bisa makan dengan baik sejak aku menawarkan diri untuk memasak dan membersihkan rumahnya.

Aku sudah membaca situasi sekitar. Sepertinya tak akan mudah untuk melarikan diri dari sini. Selain karena semua jendela yang dipaku luar dalam, tempat ini juga sangat sepi dan dikelilingi hutan yang mengerikan. Aku tak akan bisa kabur di siang hari, karena Redy hampir tak pernah keluar sebelum gelap. Sementara aku takut kalau melarikan diri di malam hari. Kegelapan malam dan kemungkinan adanya ular atau binatang buas yang lain membuatku berpikir seribu kali untuk membawa kedua anakku.

Satu-satunya jalan, aku harus mencari pertolongan orang lain ataupun kami harus pindah dari sini. Tapi aku masih belum memikirkan bagaimana caranya.

“Ma, kayaknya Om itu datang lagi,” kata Nurul, membuyarkan segala pikiran yang sejak tadi datang silih berganti dalam kepalaku.

Aku memasang telinga. Memang benar, terdengar suara langkah yang mendekat. Redy pasti datang untuk menyuruhku memasak. Maka aku pun bersiap, karena ini adalah hal yang rutin kulakukan sejak beberapa hari yang lalu.

“Hari ini masak apa Ma?” tanya Nurul setengah berbisik.

“Ada deh, kejutan,” godaku. Nurul tersenyum senang. Dia bilang, sejak aku diizinkan untuk memasak, hal yang paling ditunggunya setiap hari adalah saat aku kembali dan membawa sepiring nasi beserta lauk dan sayurnya.

Begitu Redy membuka pintu aku sudah berada di dekatnya. Jadi tanpa perlu banyak bicara aku langsung keluar dan menuju dapur, menjalankan tugasku setiap hari. Memasak dan membersihkan rumah.

“Bang, aku nggak boleh nyuci baju Abang yang kotor?” tanyaku.

“Nggak usah. Aku udah bilang, aku nggak suka bajuku dipegang orang,” katanya dingin.

“Tapi, kulihat baju Abang udah banyak yang kotor. Dan kayaknya Abang belum sempat nyucinya. Nanti Abang nggak punya baju bersih,” kataku lagi, sok peduli. Padahal aku hanya berusaha menarik perhatiannya.

Dia menatapku dengan pandangan aneh. Rambutnya yang semakin panjang dengan jambang yang agak lebat membuat wajahnya terlihat menakutkan. Aku jadi menyesal bicara seperti tadi. Takut dia marah karena aku terlalu cerewet.

“Kerjaanmu udah selesai semua?” tanyanya.

Aku mengangguk. “Udah Bang.”

“Udah nyapu ngepel dan beresin dapur?”

“Udah semua Bang.”

Dia diam sejenak. Kemudian berdiri dan berkata,” ikut aku!”

Aku mengekor langkahnya yang lumayan cepat. Dia membawaku pada satu kamar terkunci yang belum pernah kumasuki. Aku gemetar. Kamar ini gelap dan dingin sekali. Kenapa dia mengajakku ke sini? Jangan-jangan dia mau melecehkanku lagi? Ah, aku harus gimana?

“Ayo masuk sini!” bentaknya mengagetkanku. Mau tak mau aku masuk, meski dengan lutut yang agak gemetaran.

Dia menghidupkan lampu. Kulihat ia berdiri di dekat tumpukan benda yang kukenal. Itu adalah tiga buah tas yang kemarin kupakai saat lari dari rumah!

“Pilihlah!” perintahnya. Tapi aku tak mengerti apa yang dia maksud. Memangnya apa yang harus kupilih?

“Maksud Abang...?”

“Pilih beberapa barang yang ada di dalam tiga tas milikmu ini. Yang penting aja, jangan semua.”

Aku mengangguk. Cepat kuambil beberapa helai pakaian yang bagus dan nyaman milikku. Tak lupa kubawakan untuk Nurul dan Melina. Aku begitu antusias dan senang. Namun sebuah barang kecil yang kemudian kutemukan di antara lipatan baju membuat tubuhku seketika membeku. Mataku panas karena mendadak terasa ada cairan yang sama sekali tak kutahu akan keluar begitu saja.

“Kenapa diam?” tanya Redy. “Kalau udah, cepat kembali ke kamar!”

“Boleh kubawa barang ini Bang?” tanyaku dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Sebuah robot Ultraman kesayangan Andra kutunjukkan padanya.

Redy diam. Melarang tidak, mengiyakan juga tidak.

“Kumohon...” pintaku dengan susah payah menahan tangis.

Belum sempat Redy menjawab, seseorang terdengar memanggil namanya. Kali ini suara perempuan. Redy tampak panik.

“Tunggu di sini dan jangan keluar. Mengerti?!”

Aku mengangguk. Tapi dalam hati aku tak mau berjanji.

“Lagi apa kamu? Tumben rumahmu rapi?” suara perempuan yang waktu itu terdengar lagi. Iya, aku yakin itu pasti dia.

“Kamu ngapain ke sini nggak bilang-bilang?! Harusnya kamu nelfon dulu!” suara Redy terdengar gusar.

“Kenapa? Kamu nggak suka kalau aku datang? Udah nggak mau duit, kamu?”

“Bukan gitu. Kamu seharusnya bilang dulu kalau mau ke sini. Jangan mendadak.”

“Aku ke sini mendadak karena mau kasi kabar baik tahu!”

“Apa?”

“Pernikahan aku dan Edar udah ditentukan. Nggak lama lagi.”

Aku terbelalak begitu mendengarnya. Tidak bisa! Tak bisa seperti ini. Aku akan keluar sekarang dan melihat siapa wanita itu. Setelah mengumpulkan keberanian, aku melangkah keluar, tak peduli meski nanti Redy marah dan menghajarku. Namun saat aku sampai di dekat mereka, sosok wanita yang kulihat di depanku membuat aku hampir tak percaya.

“Ella?!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status