Share

BAB 5

“Tunggu Mama di sini ya. Mama nggak lama kok,” kataku pada Nurul dan Melina. “Jaga adikmu ya Rul. Mama keluar sebentar.”

Nurul menahan tanganku. Ada kecemasan yang terlihat di wajahnya. “Ma, jangan pergi dari sini tanpa kami ya,” katanya, membuatku hampir menitikkan air mata. Tak mungkin aku akan meninggalkan mereka. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.

“Cepat!” kata Redy.

Aku berdiri dan cepat melangkah mendekatinya. Jangan sampai karena gerakku yang lambat membuat Redy berubah pikiran dan tak jadi membiarkan aku memasak. Ini satu-satunya kesempatanku untuk keluar dari kamar ini, membaca keadaan sekitar sambil menyusun rencana untuk kabur dan membalas dendam.

“Ingat ya, kalau ada yang datang ke rumah ini kau cepat-cepat masuk lagi ke kamar. Kalau nggak, anakmu kuhajar lagi,” ancamnya.

“Iya Bang.” Kataku patuh.

Redy membawaku ke dapur. Aku sempat terperangah melihat keadaan tempat memasak yang terlihat sangat kacau dan berantakan.

“Ngapain bengong?! Nggak pernah lihat dapur berantakan?” bentaknya mengagetkanku.

“Maaf Bang.” Kataku sambil membungkuk beberapa kali. Kembali aku dibuat bingung. Apa dulu yang harus dikerjakan? Memasak atau berkemas? Kalau memasak, pakai apa? Hampir tak ada alat memasak yang bersih. Piring, mangkuk, gelas dan sendok semua sudah turun dari tempatnya. Bahkan untuk melangkah mendekat ke meja kompor saja aku kesulitan karena di lantai banyak sampah dan barang kotor.

Kalau aku berkemas dulu, bukankah tadi saat Redy datang ia menyuruhku untuk memasak karena dia sudah lapar? Ah, aku jadi merasa makin sulit untuk memutuskan.

“Kalau nggak mau kerja, balik aja sana ke kamar!” katanya galak.

Cepat kuperbaiki posisiku. Dengan sigap kupilih beberapa alat masak yang akan kupakai. Setelah itu aku mencucinya. Biarlah, aku akan memasak dulu, baru berkemas.

Aku mulai memasak nasi. Kulihat Redy menarik kursi dan duduk di pojok ruangan sambil melihat aku bekerja. Ah, sial. Gimana mau memperhatikan keadaan sekitar kalau diperhatikan terus seperti ini?

“Mau masak sayur apa Bang?” tanyaku.

“Lihat di kulkas. Pilih aja mana yang masih bisa dimasak. Aku udah lama nggak belanja,” katanya dengan nada malas.

Kulangkahkan kakiku menuju kulkas. Saat pintu kulkas terbuka, aku kembali bengong. Isinya hampir kosong melompong. Mau masak apa ini? Masak angin? Mau bikin menu gaib? Aku jadi kesal sendiri. Tapi karena aku sadar Redy sedang memperhatikanku, maka tetap saja aku membuka-buka isi kulkas dua pintu ini. Untungnya aku mendapatkan seikat sawi yang daunnya sudah hampir menguning semua, terbungkus dalam sebuah kantong plastik hitam. Aku juga mendapat sebutir telur dan sebungkus ikan teri. Cukuplah. Toh, ini cuma untuk dia makan sendiri.

“Bikin kuah yang banyak. Aku nggak bisa makan kalau nggak pakai kuah.” Katanya dengan nada memerintah. Aku hanya mengangguk.

Aku memasak sambil berkemas. Selain agar cepat selesai dan istirahat, juga agar aku bisa mengalihkan perhatianku dari penciuman yang menyiksa ini. Bau telur dan ikan teri goreng serta harumnya bau bawang saat aku menumis sayur membuat aku hampir kehilangan kewarasanku, aku hampir saja menitikkan air liur. Bau makanan layak yang sudah lama tak pernah kurasakan lagi. Ingin rasanya aku mengambil semua masuk ke piring dan memakan habis. Tapi tentu saja tak mungkin bisa kulakukan.

Setelah selesai masak, ku atur semua di atas meja makan, setelah sebelumnya kurapikan meja itu. Tanpa bicara Redy melahap masakanku. Sementara aku tinggalkan dia untuk melanjutkan berkemas dapur.

“Di dapur udah kubersihkan Bang. Apa ruangan yang lain juga mau dirapikan?” tanyaku padanya yang kini sedang menaikkan satu kakinya ke atas kursi. Ia tampak kekenyangan. Kulihat sekilas hanya tinggal kuah sayur dan sedikit ikan teri goreng, sementara telur habis tak bersisa.

“Nggak usah! Besok-besok aja. Aku mau pergi. Kalau kamu di luar kamar nanti kamu kabur,” katanya. Membuatku menahan kecewa dalam hati. Padahal niatku melihat ruangan lain di rumah ini agar aku bisa mencari celah untuk melarikan diri.

Ku paksa tersenyum. Lagi-lagi aku harus bersabar dan menahan diri.

“Aku masuk dulu Bang kalau gitu,” kataku. Aku langsung berbalik karena aku yakin ia akan mengikutiku di belakang. Ia pasti akan memastikan aku masuk kamar dan kemudian menguncinya dari luar.

“Hei...” panggilannya membuat langkahku terhenti.

“Ya Bang, kenapa?” tanyaku.

Ia berdiri dan memandangku dengan tatapan yang tak kumengerti. “Ambillah sepiring nasi, dan bawa apa yang tersisa di meja ini.”

Kalimatnya membuatku sangat senang dan tak henti mengucap syukur dalam hati.

***

Meski hanya sepiring dibagi bertiga, makanan yang kubawa masuk ke kamar cukup untuk membuat kenyang perut kami untuk hari ini. Walau cuma dengan hanya kuah sayur dan ikan teri, tak mengurangi rasa nikmatnya makan setelah tak pernah lagi memasukkan nasi ke dalam perut selama beberapa minggu terakhir.

Aku sampai menangis setelah makan. Terharu karena akhirnya aku bisa memakan makanan yang layak. Aku juga bahagia melihat Nurul dan Melina yang akhirnya bisa memakan nasi setelah sekian lama.

“Makasih ya Ma, masakan Mama enak,” puji Nurul.

Aku hanya tersenyum. Kuambil beberapa butir nasi yang menempel di sekitar mulut Melina, dan kumakan. Tak boleh mubazir makanan kan? Apalagi di saat seperti ini. Sebutir nasi pun sangat berharga sekarang.

“Ma, abis makan nasi, nggak boleh makan biskuitnya lagi?” tanya Nurul.

“Boleh,” kataku, “Tapi satu keping aja ya.”

Nurul mengangguk paham. Terlihat wajahnya yang sumringah.

“Nanti malam kita makan pakai nasi lagi Ma?” tanyanya lagi.

Aku sempat terdiam berpikir. “Mama juga belum tahu. Tergantung sama Om itu, kalau dia nyuruh Mama masak, semoga aja kita dikasi nasi lagi,” jawabku.

Baru saja kami hendak melanjutkan percakapan, terdengar suara ribut-ribut dari luar. Redy terdengar marah-marah dan memaki pada seorang perempuan. Apakah perempuan yang kemarin pernah datang ke sini?

Kutempelkan telingaku di dinding. Kutajamkan pendengaran, berharap dapat menangkap apa yang sedang mereka bicarakan.

“Jangan terlalu banyak mengeluh, Redy. Tugasmu hanya menahan mereka sampai aku bisa mendapatkan Edar.”

Degg!

Jantungku berdegup saat kudengar nama Mas Edar disebut. Apa terkurungnya aku di sini ada sangkut pautnya dengan suamiku?

“Berapa lama? Kalau terlalu lama aku takut keburu ketahuan warga.”

“Tapi ini daerah sepi. Jarang ada yang datang ke sini kan?”

“Jarang bukan berarti nggak ada! Mana kita tahu nanti ada yang nggak sengaja lewat daerah ini, trus dengar mereka teriak. Aku nggak mau dipenjara tahu nggak!”

“Nggak akan ada yang dipenjara. Heran, kemarin-kemarin kamu nggak pernah protes. Kenapa sekarang kamu jadi nggak sabaran banget?”

“Aku nggak bisa tidur nyenyak lagi sejak anaknya yang laki-laki mati. Kamu sih nggak ngerasain, La!

La? Aku menerka-nerka nama perempuan yang baru saja disebut Redy. Siapa ya? Apa aku kenal?

“Ya salah kamu sendiri itu. Aku nggak nyuruh kamu bunuh. Cuma menahan mereka aja.”

“Lagian kenapa pake ditahan sih? Tinggal buat mereka cerai aja kan bisa.”

“Nggak sesederhana itu, Redy. Mereka punya anak kan? Biarpun aku berhasil nikah sama dia, tapi anaknya masih ada, ya hartanya tetap jatuh ke tangan anak-anaknya dong. Sia-sia aku berjuang.”

Mereka sempat terdiam.

“Oke, sekarang aku mau tanya,” kudengar Redy kembali angkat bicara. “Setelah kamu berhasil nikah sama suaminya, dan tugasku selesai, mereka akan bebas. Lalu gimana kalau mereka lapor polisi?”

“Siapa bilang mereka bebas? Setelah aku sudah pasti menjadi istri Edar, mereka harus dilenyapkan!”

Aku terkejut dan hampir teriak mendengar kalimat terakhir wanita itu, namun cepat kututup mulut, jangan sampai mereka tahu aku mendengar semuanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status