Share

Bab 7 # Meminta Maaf

Seno—suamiku itu—tersenyum menyambut ancamanku. Ada apa dengannya?

"Tentu saja, Sayang. Jangan ceraikan aku. Aku juga tidak ingin berpisah denganmu," ucap Seno sambil membelai lembut wajahku. Bukankah reaksinya terlihat aneh?

Aku hanya menatap nanar langit-langit rumah sakit yang ada di atasku. Cahaya menyilaukan itu sejenak menepis bayang-bayang menjijikkan perselingkuhan suamiku dengan sekretarisnya.

"Jangan besar kepala. Aku bukannya mengemis cintamu. Aku hanya tidak ingin anak kita besar tanpa orang tua utuh, sepertiku!" Suaraku terdengar tajam, Seno cukup terkejut dengan perubahanku. Ia tampak membelalakkan mata.

Ya. Aku memang tidak pernah semarah ini kepadanya. Aku terbiasa diam dan bersikap acuh tak acuh. Namun, kali ini berbeda. Aku harus bersuara lantang dan memberitahunya bahwa aku bukan lagi wanita bodoh yang haus cinta.

"Kau sangat kejam, Sayang."

Kejam?

Bukankah, Seno yang telah berbuat kejam kepadaku?

Selama ini, aku hanya pasrah menerima nasib pernikahan yang pahit ini, dengan segala konsekuensi yang harus kutanggung.

Aku tidak akan pernah melupakan bahwa ada kehidupan lain yang sedang menanti di dalam diriku ini: bayi kami.

Aku akan bertahan.

Aku harus bertahan.

Demi anak kami.

"Kau ingin makan sesuatu?" tanya Seno sambil melirik ke arah jam tangannya. Ia juga terlihat mengecek ponselnya namun detik kemudian, benda pipih itu kembali dimasukkan ke dalam saku celana.

Ada nama seseorang yang sejak tadi mengganggu pikiranku. Olivia. Wanita selingkuhannya itu.

Apakah, saat ini, wanita itu sedang menghubunginya?

Ah, sudahlah. Aku tidak peduli.

Jika aku bisa menebak, Olivia pasti berdalih untuk melaporkan pekerjaan pada suamiku. Namun, tentu saja hal itu hanya alasan yang dibuat-buat olehnya.

Olivia memang selalu mencari celah kesempatan untuk mendekat ke dalam hidup Seno dan jika memungkinkan, ia akan segera menggantikan posisiku sebagai istri sahnya.

Aku bisa mengerti pikiran liciknya itu.

Tapi, hal itu tidak akan terjadi.

Aku tidak akan membiarkannya.

***

"Sayang?"

Panggilan kedua dari Seno, membuyarkan lamunanku.

"Aku tidak ingin apa-apa. Perawat akan mengantarkan makananku."

Seno menatapku dengan pandangan sendu. Ia pasti tidak mengira bahwa aku akan begitu dingin kepadanya. Ini adalah pembalasan yang setimpal karena dia telah menyia-nyiakan kebaikan hatiku selama ini.

"Aku sudah bersabar menghadapimu, Lara. Tolong, jangan uji kesabaranku lebih dari ini," ucap Seno setengah mengancam.

"Apa?" Aku terbelalak. Apakah sekarang ini, ia sedang mengatakan bahwa harga dirinya sebagai lelaki sedang dipertaruhkan?

"Tolong. Kesabaranku semakin menipis, Lara."

Apakah ia sedang berpikir bahwa aku tidak mungkin bisa mengalahkan egonya? Apakah aku sedang merengek seperti bayi? Tidak. Aku benar-benar tidak ingin berbicara lebih banyak dengannya.

"Apa maksudmu?"

"Aku sudah menyingkirkan egoku sedikit demi sedikit. Tapi kau terus saja ketus kepadaku! Kita damai, okay? Maafkan aku."

"Apa yang kau katakan?"

"Tolong jangan seperti ini, Lara! Aku suamimu! Hormati aku seperti istri yang bijak!" teriak Seno dengan wajah memerah.

Sepertinya, kesabarannya memang sudah habis. Seno. mungkin merasa dipermalukan oleh sikap dinginku yang seolah menganggapnya sebagai sampah.

Bukankah dia memang sampah?

"Kau punya cermin, hah?"

Aku balas berteriak. Aku bukanlah wanita bodoh yang dengan pasrah menerima perselingkuhan suamiku tanpa merasa kecewa.

Cinta suciku telah dikhianati dan saat ini, Seno sedang mengungkit-ungkit perihal istri bijak? Dia bercanda?

"Lara Selene Smith!"

Deg.

Jantungku terasa seperti ditusuk pisau tajam. Perangai Seno jika sedang marah, mirip ayahku yang tak ubahnya lelaki brengsek jenis lain—seperti suamiku itu.

"Hiks…"

Aku mulai menangis. Hatiku terasa perih untuk sekadar mendengar teriakan dari Seno. Padahal, suamiku itu tidak memaki namun entah kenapa, jiwaku merasa terluka.

Aku—seorang anak yang ditelantarkan oleh ayahnya—begitu membenci teriakan nama panjangku. Hal itu mengingatkanku kembali pada pola amarah ayah yang sangat kubenci itu.

"La—lara…"

Mungkin, Seno merasa bersalah karena membuatku yang tadinya marah kini menangis secara tiba-tiba.

"Maaf," kata Seno sambil berlutut di samping ranjangku. Ia kemudian bangkit lalu memelukku yang masih menitikkan air mata.

Seno benar-benar tidak menyangka bahwa aku akan terluka oleh ucapannya. Ya. Aku sangat terluka.

"Permisi."

Seorang perawat membuyarkan ketegangan yang terjadi di antara kami. Ia tampak masuk ke dalam ruangan sambil membawa beberapa botol infus dan juga catatan.

Langkahnya yang tegap dan cepat, menggema di sekitar, menciptakan irama konstan yang ramai terdengar.

"Ya, Sus."

Seno memandang perawat itu sekilas sambil berdiri dari tempat duduknya. Ia lalu mengusap lembut air mataku yang sejak tadi membasahi wajahku.

"Kami akan memeriksa pasien, bisakah Anda menunggu di luar?"

"Tidak! Saya suaminya. Saya akan menunggu di sini."

"Baik, Pak. Asalkan anda bisa menjaga ketertiban," sahut perawat itu sambil memaksakan senyum.

Beberapa waktu lalu aku mendengar ada kehebohan yang diciptakan oleh Seno sehingga para perawat merasa kesal. Mereka sebisa mungkin menghindari konfrontasi dan menjaga situasi yang kondusif bagi pasien yang sedang beristirahat.

Seno memang terkadang tidak bisa mengontrol dirinya. Entah mengapa.

"Ya. Baiklah."

Kulihat, Seno dengan hati-hati bergerak ke sofa yang ada di sudut ruangan untuk memberikan ruang yang cukup bagi tim medis yang akan melakukan pemeriksaan.

Untuk sesaat, aku merasa lega karena pria itu tidak menciptakan kegaduhan lain yang tentu saja membuatku malu.

Entah mengapa dia ingin berada di sekitarku. Padahal, ia biasanya sudah sibuk dengan pekerjaannya di waktu pagi seperti ini.

Apakah, iail ingin memastikan bahwa tim medis dapat bekerja dengan baik dalam mengurusiku? Ah, tidak mungkin. Mengapa Seno mendadak begitu perhatian kepadaku? Bukankah itu hal yang tak lazim?

"Bagus."

Kudengar perawat itu bergumam setelah memeriksa infus dan menuliskan sesuatu pada catatannya.

"Anda sudah membaik, Bu. Syukurlah," ucapnya sambil tersenyum. Katanya, kondisiku terlihat membaik pasca tindakan operasi kemarin.

"Terima kasih," ucapku takzim. Aku juga bersyukur ternyata keadaanku telah membaik.

"Dokter."

Beberapa saat kemudian, seorang dokter bedah datang berkunjung untuk memeriksa keadaanku.

Aku awalnya tidak terlalu memperhatikan siapa dokter yang telah merawatku. Sampai, sebuah suara memanggil kembali memoriku yang ada di masa lalu.

"Bagaimana perasaan Anda, Bu Lara?"

Aku menoleh ke arah suara yang tak asing itu.

Suara itu.

Suara salah satu pria yang tidak ingin kutemui.

"Ka—kau!"

De Lilah

Seru? Kirim gem untuk cerita ini yuk!

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status