Share

Bab 6 # Seseorang Dari Masa Lalu

-PoV Lara-

Batas antara kenyataan dan khayalan menjadi kabur ketika kau baru saja menjalani operasi yang begitu lama. Dalam kebencian yang tertanam setelah kembali bertemu dengan Olivia, ingatanku mulai berputar ke masa ketika kami masih menjadi mahasiswa.

Waktu itu, belasan tahun silam, aku baru saja pindah ke Kampus Triguna yang ada di Jakarta, setelah menjalani kehidupan bersama bibiku di Surabaya. Sepeninggalan ibu dan ayahku, aku dijemput bibi dari Indonesia dan diasuh di kota pahlawan itu. Lumayan sulit juga beradaptasi di sana, terutama jika wajahmu sangat berbeda dengan anak-anak pada umumnya.

Banyak yang bilang bahwa aku cantik, meski aku selalu merasa, wajahku biasa saja. Di kampung halamanku, wajah sepertiku malah terbilang eksotis karena perpaduan dari ras kaukasoid dan ras asia. Tidak ada batas antara wajah cantik kaukasoid dengan cantik ala asia. Kami cukup menghargai perbedaan, berbeda dengan di Indonesia.

Aku cukup senang disebut cantik, tapi banyak juga yang merundungku karena dibilang sok cantik. Mereka bahkan mengolok-olok ‘bule kampung’ dan semacamnya, apalagi ketika mengetahui bahwa aku anak yatim piatu.

Ketika usiaku sudah beranjak remaja, tidak jarang anak laki-laki yang mendekatiku dan ingin menjalin hubungan denganku. Aku menolak mereka semua karena fokus pada studiku. Dari situlah, perundungan yang kualami semakin menjadi-jadi. Sampai pada akhirnya, paman memindahkan aku dari sekolah dan mencarikan guru pribadi karena perundungan itu berujung pada upaya pemerkosaan. Aku hampir kehilangan kesucian di usia yang sangat belia.

***

"Lara, ikut pemilihan Ratu Kampus, yuk!" ajak ketua angkatan kepadaku kala itu.

“Ratu Kampus?” aku bertanya. Aku tidak pernah mendengar hal semacam ini sebelumnya.

“Iya, anak-anak cantik sepertimu akan diadisi untuk menjadi mahasiswi tercantik di kampus ini.”

“Ehm, nggak deh. Aku tidak tertarik,” tolakku halus.

“Ayolah, hanya kamu mahasiswi tercantik di sini. Jurusan kita harus menang. Ini adalah bagian dari program sukses ketua Bem Sastra, plis ya!” 

Aku bingung. Apakah aku harus mengiakan atau tetap menolaknya? Aku memiliki ketakutan dengan kecantikan, setelah hampir menjadi korban pemerkosaan. Bagiku, wajah dan tubuh ini hanyalah rancangan Tuhan. Aku berpikir tidak ada yang istimewa dari ini semua.

“Heh! Kemarin katanya aku yang harus ikut, kok sekarang berubah lagi?” Seorang wanita dengan baju kuning dan rok mini denim, tiba-tiba menginterupsi pembicaraan kami.

“Eh! Olivia!” seru Ketua Angkatan itu sambil tertawa canggung. “Semakin banyak kandidat, semakin tinggi potensi untuk menang, kan?” 

“Dasar nggak setia! Aku udah daftar, lho, tadi!” 

“Kan, nggak pa-pa? Siapapun dari kalian yang menang, akan mengharumkan nama seluruh jurusan!”

“Maaf, aku tidak ikut saja,” putusku, namun, Ketua Angkatan bergeming. 

“Aku janji akan membantumu mengerjakan tugas sastra indonesia, beneran deh! Kamu nggak tahu, kan? Mata kuliah itu banyak yang gagal? Apalagi, kamu dulunya lahir dan besar di Kanada. Yakin, nggak butuh?”

Aku menelan ludah. Benar perkataannya. Mata kuliah itu sungguh susah. Aku juga ingin mencari bantuan, tapi belum menemukan kepada siapa. 

“Janji?”

“Janji!”

“Baiklah.” 

Aku akhirnya mengiakan ajakannya dan sejak saat itulah, hubunganku dengan Olivia bermula. Hubungan buruk, tentu saja.

***

Setelah terpilih menjadi Ratu Kampus, hubunganku dengan Olivia semakin serupa bukit dan jurang. Menurut rumor yang ada, aku merebut posisinya sebagai pemenang 'Ratu Kampus'. Aku juga dituduh mengambil hati lelaki paling keren yang menjadi incaran Olivia.

Lelaki itu tentu saja bukan Seno. Lelaki itu adalah kakak kelas yang kutolak cintanya. Aku tidak suka berpacaran ketika kuliah. Tentu saja, sebelum Seno hadir dalam hidupku, dulu.

“Eh, lihat … sainganmu, tuh!”

Permusuhan kami menjadi legenda di jurusan sastra 2008. Sejak aku menjadi pemenang Ratu Kampus, Olivia menjadi terobsesi untuk menyaingiku dalam segala hal. Terutama, penampilan. Olivia tidak secerdas aku. IPK-nya selalu 2,5 saja. Tapi, Olivia pandai mencari teman dan mempengaruhi mereka. Aku … dikucilkan.

***

"Lara…"

Aku mulai dapat membuka mata setelah beberapa waktu aku tidak sadarkan diri. Lamat-lamat, kudengar seseorang memanggilku.

Suara itu. Suara suamiku. Aku hanya berkedip, tanpa menghiraukan panggilan Seno. aku sangat ingin menghindarinya.

"Lara… maafkan aku," ucap Seno sambil mengecup punggung tanganku. Aku dapat merasakan bibirnya menyentuhku dan aku sangat jijik.

"Lara ..." Ia memanggilku lagi. Kudengar suaranya bergetar. Apakah, pria itu akhirnya cukup menyesali perbuatannya?

"Ehm ..."

Aku hanya menggeram. Rasanya, suaraku sulit keluar. Seno tampak tersenyum kemudian semakin mendekat ke arah wajahku.

"Sayang," panggilnya lagi, kali ini, suaranya terdengar dekat dengan telingaku. Aku merinding.

"Kau pasti syok, ya? Aku pastikan, Olivia tidak akan pernah ke rumah kita lagi, ya?" Seno terus mengoceh dan menghadirkan nama wanita yang tidak ingin kudengar namanya.

"Olivia itu—"

"Stop."

Akhirnya, aku dapat berbicara. "Jangan membicarakannya lagi. Aku muak!"

"Maaf…"

Seno kembali mengelus kepalaku meski aku tak ingin. Namun aku tak bisa mengelak karena masih terlalu lemah.

Selang dan kabel-kabel masih terhubung pada tubuhku. Bunyi monitor dan juga penjagaan khusus dari tim dokter turut menemani proses penyembuhanku. Aku seperti tawanan yang tidak bebas kemana-mana.

"Hari apa ini?" tanyaku, mencoba menghitung seberapa lama aku telah tidak sadarkan diri.

"Ini hari Jum'at, Sayang. Kenapa?"

"Di mana Bi Yani?"

"Bi Yani… Ehm…"

"Jangan bilang kau memecatnya!"

Aku berusaha duduk dengan amarah yang kutahan. Kalau saja, Seno berani memecat pelayan kesayanganku. Maka, aku akan membuat perhitungan dengannya.

"Bi Yani sedang istirahat. Dia di rumah. Tenanglah. Okay?" ucapnya.

"Kau berbohong!"

"Sumpah! Aku tidak berbohong. Sabar ya … nanti bisa dicek kalau kita pulang, Okay?"

Aku mencoba membaca air muka Seno yang tampaknya tidak mengalami perubahan atau pun terlihat gugup. Sepertinya ia berbicara jujur.

"Baiklah…" Aku mempercayainya. Aku juga tidak ingin menguras energi dengan bertengkar dengan suamiku ini.

"Aku minta maaf, Sayang. Aku khilaf. Ini tidak akan terjadi lagi," ucap Seno, merujuk pada insiden perselingkuhannya.

Tentu saja, permintaan maaf itu sudah yang kesekian kalinya, namun kali ini berbeda. Aku tidak lagi menduga-duga. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa ia telah melakukan hubungan suami-istri dengan selingkuhannya. Hati istri mana yang tak sskit karenanya.

"Sudahlah, Seno. Aku tidak peduli."

Aku membuang muka. Aku bahkan jijik tatkala melihat wajah suamiku. Aku bisa mengingat kembali bagaimana rupa Seno dan Olivia yang sedang berada di puncak kenikmatan berdua, tanpa mempedulikan lokasi mereka.

Bos dan sekretaris binal itu sama sekali tidak peduli dengan desas-desus atau pun saksi mata yang mungkin melihat persetubuhan mereka.

Seno dan Olivia bahkan tidak sungkan menampakkan kemesraan di ruang kerja, yang seharusnya penuh dengan formalitas dan juga profesionalitas, bukan hanya nafsu semata.

Aku benar-benar tidak habis pikir. Namun, aku tidak ingin pusing lagi. Bagiku, Seno tak ubahnya patung batu yang kusimpan di kediaman.

Aku tidak perlu banyak bicara dengannya. Aku hanya perlu bersamanya saja supaya jika anak kami lahir, ia tidak kebingungan karena Ayah dan Ibunya ada bersamanya.

"Aku tidak akan menceraikanmu! Ingat itu!"

De Lilah

Seru? Kirim gem dong untuk cerita ini. makasih!

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status