Dea tidak sepenuhnya yakin dengan ucapan Bian. Namun ia hanya mengangguk pasrah. Gadis itu sudah cukup lelah jika harus bertengkar terus dengan suaminya.Bian pun dengan perlahan melangkah pergi hingga tak terlihat lagi di pandangan Dea. Gadis itu menatap lurus ke depan. Pikirannya tidak bisa fokus padahal ia butuh banyak istirahat demi menjaga janin yang sedang dikandungnya."Apa benar semua yang dikatakan Kak Bian? Apa benar dia tidak selingkuh?" lirih Dea seorang diri.Dea merasakan kesepian. Ia butuh seseorang untuk berbagi kesedihannya. Namun nyatanya sang mama sibuk sendiri."Apa sebaiknya Dea ke rumah Mama? Dea penasaran Mama sedang sibuk apa. Kenapa tidak ada waktu buat Dea?" Gadis itu mencoba mengirim pesan kepada Amelia. Sesungguhnya ia rindu suasana rumah wanita paruh baya itu. Dea juga rindu masakan mamanya.Sementara Bian bergegas menemui Ricky. Lelaki itu sudah berada di depan apartemen milik Bian yang ditempati Annisa."Bagaimana Ricky?" tanya Bian penasaran. Ia tidak s
"Mohon maaf, untuk janin yang dikandung Ibu Dea tidak bisa diselamatkan."Amelia merasa syok. Baru saja ia kehilangan calon bayinya, sekarang dia juga harus kehilangan calon cucunya."Bagaimana ini, Mas? Aku kasihan sama Dea. Bagaimana kita harus menyampaikannya?" tanya Amelia kepada Reza.Lelaki itu menarik nafas dalam. Sejujurnya ia juga menginginkan seorang cucu meski tidak tahu apakah diterima Dea sebagai kakek atau tidak."Sudahlah, Mel. Aku yakin Dea anak yang kuat. Ini sudah menjadi jalannya. Sebaiknya kita segera masuk untuk menjenguk anak kita."Reza merangkul Amelia. Mengajaknya masuk ke ruangan Dea sedang dirawat. Gadis itu masih terbaring lemah."Dea, Sayang. Kamu sudah sadar, Nak?" lirih Amelia menghampiri putrinya. Ia membelai rambut Dea dengan penuh kasih sayang. "Dea, mama minta maaf, ya? Menyembunyikan semua ini darimu.""Dea pikir Mama masih bersama Om Lukman. Mama masih cinta sama Papa?" tanya Dea menyelidik."Kamu nggak usah pikirin itu dulu, Dea. Kamu harus fokus
Bian membuka perlahan pintu ruangan Dea. Gadis itu masih terbaring lemah di ranjangnya. Sementara Amelia tidak ada di tempat itu.Dengan perlahan Dea mulai membuka kedua matanya saat menyadari ada yang masuk dan berjalan ke arahnya."Dea ... maafkan aku," lirih Bian berucap.Dea menatap Bian dengan wajah kesalnya. Rasanya ia ingin menjabak rambut lelaki itu dengan kasar."Harusnya Kakak tidak perlu pulang. Urus saja wanita itu." Dea mengalihkan pandangannya."Dea, kakak benar-benar menyesal. Kenapa kamu harus meninggalkan rumah sendirian? Bagaimana ceritanya bisa seperti ini?" Bian semakin mendekat. Lalu menggenggam tangan istrinya."Dea capek, Kak. Dea ingin berhenti saja."Bian menggeleng cepat. "Tidak, Dea. Kakak tidak akan pernah melepaskanmu."Pintu ruangan terbuka. Menampilkan sosok Amelia dengan Reza. Mereka berdua melangkah pelan menghampiri Dea.Bian melirik penuh rasa penasaran. Ia tidak paham mengapa Amelia datang bersama dengan mantan suaminya."Bian, boleh mama bicara sebe
"Kenapa? Aku suamimu, Dea. Dan selamanya akan jadi suami kamu," lirih Bian seraya merapat ke arah istrinya."Perjanjian kontrak satu tahun. Kakak harus ingat. Dan sekarang Dea sudah tidak mengandung anak Kakak."Bian mendekatkan wajahnya. Sehingga Dea bisa merasakan hembusan nafasnya."Itu hanya sebuah sandiwara. Agar kamu menyetujuinya." Bian memegang dagu Dea. Menghunuskan tatapan dalam seperti mata pisau yang sangat tajam. "Yang harus kamu tahu adalah rasa cintaku yang sangat besar sejak dulu."Dea tak bisa berkata-kata lagi. Ia seakan terhipnotis oleh semua ucapan Bian. Gadis itu memejamkan kedua matanya saat merasakan bibirnya sudah kembali menyatu dengan bibir sang suami.Amelia yang baru saja selesai dari kamar mandi merasa bingung saat kesulitan membuka pintu ruangan Dea."Kenapa pintunya dikunci?" Amelia berteriak sambil mengetuk pintu. "Dea, apakah kamu baik-baik saja?"Dea segera mendorong tubuh Bian. Ia kebingungan di tempatnya."Kak Bian, lepaskan! Bukakan pintu untuk Mama
Sebenarnya Bian belum mengantuk. Hatinya masih merasa risau. Ia kepikiran dengan ucapan Ricky. Jika sampai Annisa tidak mau makan sama sekali, maka akan terjadi hal buruk kepada janin yang dikandungnya. Sudah pasti Bian ikut merasa bersalah."Kakak mikirin apa, sih?" tanya Dea lagi.Bian tahu jika Dea menyadari sikap ganjilnya. Namun ia belum mampu untuk berterus terang tentang semua hal kepada Dea. Meski hal itu yang sangat diinginkan oleh istrinya."Tidak ada. Kakak akan tidur di sampingmu," jawab Bian tidak punya pilihan lain.Lelaki itu memilih untuk menemani Dea terlebih dahulu. Ia menunggu hingga istrinya tertidur. Sebagai seorang lelaki yang bertanggung jawab, tentu Bian ingin Annisa segera menikah dengan pria lain. Dan buka dirinya.Namun nyatanya hingga Dea memejamkan matanya, Bian justru ikut tertidur bersama sang istri hingga pagi. Ia lupa dengan niatnya yang hendak pergi ke apartemen.Lelaki tampan itu terbangun dengan keadaan terkejut. Ia melihat jam di dinding yang sudah
Dea segera pergi ke toilet. Kebiasaan yang selalu ia lakukan sebelum bekerja dan setelah jam istirahat kantor selesai.Dea sengaja masuk ke kamar mandi yang berada di ruangan sang CEO. Karena sebenarnya tadi ia tidak merasa ingin kencing.Setelah selesai, Dea hendak keluar dari kamar mandi. Namun tiba-tiba saja Bian sudah berada di depannya dan ikut masuk ke dalam kamar mandi."Kak Bian, apa-apaan sih?" Dea kembali memprotes."Siapa yang menyuruhmu masuk ke ruangan atasan tanpa ijin? Walau bagaimanapun kamu adalah sekretarisku, Dea. Kamu harus bersikap sopan." CEO tampan itu telah mengunci tubuh istrinya. Jemarinya membelai setiap area wajah milik Dea.Tubuh Dea meremang seketika. Hal yang selalu ia takutkan saat bersama Bian adalah rasa ingin disentuh lebih jauh dan lebih dalam."Kenapa Dea? Kamu menikmatinya 'kan?" lirih Bian menggoda."Hentikan, Kak Bian! Sudah waktunya kita bekerja."Dea menginjak kaki Bian dengan sangat kuat. Kemudian berlari ke luar dan segera duduk di kursi ker
Dea mengangguk pasti. Ia tidak mau Naomi dan Bagas curiga. Setelah memastikan mereka berdua telah kembali ke kantor, Dea menyelidiki apakah benar David punya hubungan spesial dengan Mawar.Gadis itu pergi ke tempat yang dibilang oleh Naomi. Ia melihat David sudah hendak kembali ke kantor, tetapi sendirian.Dea mengikuti lelaki itu hingga ke kantor. Dan berhenti di tempat parkir."David, tunggu!" teriak Dea mencoba menahan kepergian David.David menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak menyangka jika Dea akan menemuinya. Bukankah selama ini gadis itu cuek dan tidak peduli kepadanya?"Dea? Ada apa? Ada masalah?" tanya David bangga. Ia tidak paham mengapa Dea datang di saat dirinya sudah memiliki seorang kekasih.Dea terdiam sejenak. Sesungguhnya gadis itu merasa risau dengan pertanyaan yang hendak ia utarakan."Apa benar kamu berpacaran dengan Mawar?" tanyanya kemudian. Kali ini Dea memberanikan diri untuk menanyakan hal yang sesungguhnya.David pun mengangguk yakin. Ia menyangka jika Dea ce
Bian menggendong Dea di belakang punggungnya. Ia dapat mendengar rintihan istrinya."Maafkan Dea, Kak Bian.""Sudahlah. Kakak tidak benar-benar marah kepadamu. Kakak hanya cemburu.""Benarkah itu?" lirih Dea kemudian."Iya, kakak serius. Jangan coba-coba dekat-dekat lagi dengan David. Kakak bisa memecatnya."Dea tersenyum kecil. Ia hanya mengangguk meski Bian tidak bisa melihat pergerakannya di belakang.Lelaki tampan itu segera membawa Dea masuk ke mobilnya. Ia takut jika istrinya sering sakit."Besok kita periksa ke dokter, ya? Kamu tidak perlu bekerja dulu. Kakak bisa handle semuanya.""Dea tidak apa-apa kok, Kak. Dea hanya kecapekan saja mungkin.""Jangan keras jepala. Kamu tadi makan sama David?" tanya Bian penasaran.Dea menggeleng pelan. "Dea makan sama Naomi dan Bagas saja. Mereka memberikan ini." Gadis itu menunjukkan undangan yang tadi diberikan oleh Naomi."Iya, kakak sudah tahu soal itu. Kita akan ke sana bersama-sama. Aku tidak akan membiarkan kamu berangkat seorang diri.