“Di mana sih kamu mas?” Pamela Kandhita Kilmer berkacak pinggang di belakang villa. Lampu-lampu kecil berwarna-warni di taman memantul di selaput matanya. Pamela mengedarkan pandang, nihil. Tidak ada orang yang dia cari. Pamela kembali ke aula. Para penikmat pesta membanjir di situ, membawa gelas-gelas anggur merah bergagang panjang sambil berdansa atau membawa piring makanan di kursi dan meja cantik berhias bunga-bunga dengan perpaduan warna putih dan ungu.Pamela mengerang, hawa perayaan pernikahan itu bercampur dengan kesuraman karena dia tidak menemukan Damian Airlangga atau Sassy di aula villa. Di antara rekan-rekan satu divisi personalia dan general affair, Pamela menanyakan mereka. ”Aku lihat tadi ke atas, lewat pintu samping!” bisik pria berbadan kurus.Sambil menggerutu tidak jelas, bayangan sekertaris sang tunangan yang bertubuh elok dan berambut coklat pucat itu menjajah kewarasannya. Sassy, janda tanpa anak itu!Pamela menarik napas, pertama-tama dia melepas sepatu hak t
Pamela gegas masuk ke dalam villa tanpa menunggu persetujuan dari pemiliknya terlebih dahulu. Masih dengan keadaan panik, Pamela kebingungan mencari tempat bersembunyi.“Aku harus ke mana. Tuhan...”“Sembunyi di belakang meja bar mungkin!” celetuk Ace.Sekonyong-konyong Pamela pergi ke sana lantas meringkuk di bawah sudut meja.Pamela yakin Damian sudah jauh dari radiusnya mengingat betapa sigap Ace membawa motor ATV-nya keluar dari bibir pantai tadi. Namun kenyataan bersama seorang pria asing menambah rasa paniknya seolah ia mengantarkan tubuhnya sendiri untuk dinikmati.Pamela gegas meraih apapun yang ada di atas meja lalu menggenggamnya sebagai sebuah harapan terakhirnya untuk menyelamatkan diri jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Ace mendekatinya seraya menghidupkan lampu bar. Ia berlutut, memandangnya dengan mata penuh pengertian. Ace meneliti sekali lagi kehadiran seorang gadis menyedihkan yang menggelengkan kepala sekarang.“Jangan dekat-dekat, Pak. Jangan!” seru Pamela
Walau sudah larut. Ace sama sekali tidak pulang dari rumah sakit. Ia menunggu kesempatan untuk mengambil sendal nanas milik Natasha walau harus ikut mengurus keberadaan gadis itu. Maka subuh-subuh yang berudara dingin, ia menghampiri Pamela yang terlelap di ruang inap perawatan intensif setelah melewati operasi pada tangannya yang patah. Bergeming di samping ranjang pasien. Ace memandangi Pamela dengan leluasa. Satu persatu keindahan di wajah itu bagaikan kesempurnaan seorang bidadari. Respon itu seakan lumrah terjadi, Pamela Khandita Kilmer berparas campuran, Jawa dan Belanda-Jerman.Wajahnya putih resik, hidungnya tidak begitu mancung tapi indah di pandang. Dan, setiap kali senyumnya mengembang, pipinya terlihat menggemaskan. Terlihat chubby meski tidak berbadan gempal berisi.Ace berdecak kagum. Usia Pamela sedang ranum-ranumnya. Bibir merah muda dengan sisa lipstik merah marun yang tertinggal di sana menggugah keinginan Ace untuk mengusapnya. Lipstik itu mengusik sensualitas bibir
“Tante putri duyung...”“Tante putri duyung...”“Kiu... kiu, kukuruyukkk...” Dengan alis bertaut curiga Pamela mengerang sambil menepis tangan seseorang yang menyentuh hidungnya. “Siapa sih? Jangan ganggu aku lagi, aku ngantuk banget!” protes Pamela dengan suara kusut dan terdistorsi seperti sebuah kaset tua. Matanya masih teramat berat terbuka meski sudah berjam-jam ia terlelap sampai bala bantuan milik Ace datang pukul sembilan pagi. Asih dan Berlian.Mereka berdua tidak punya pilihan lain selain mengikuti permintaan Ace untuk menjadi keluarga palsu Pamela. Asih dan Berlina menyukainya. “Papa, Tante putri duyung boboknya nyenyak sekali. Gak bangun-bangun.” adu Berlian ke Ace yang menunggu di sofa sambil memangku laptop.Ace berhenti sejenak dari aktivitasnya memandangi laptop untuk sekedar mengusap pipi putrinya yang memakai rok tutu merah jambu dan atasan kaus tanpa lengan. Senyum Ace merekah. “Tante putri duyung masih capek. Habis operasi patah tulang dan minum obat tidur. Berl
Ace menutup laptopnya dengan mantap ketika Asih mempergoinya dengan tatapan curiga. Rahangnya mengeras. Celetukan Pamela memicu terbukanya rahasia di depan seorang pengasuh yang menjadi bagian dari perjalanan hidupnya dengan Natasha dan Berlian. Dia sungguh-sungguh mencintai Natasha dan mendekati wanita lain sama saja mengkhianatinya. Hal itu sudah lama Ace jadikan sebagai pekerjaan di divisi hatinya.Ace tahu tadi adalah perbuatan yang tidak gentle, dan ia tidak benar-benar ingin membuatnya malah semakin terlibat dalam masalahnya. Ace cuma reflek, seperti respon otomatis kebanyakan pria yang bertemu Pamela untuk kali pertama.“Pegang-pegang apa sih, Pak?” goda Asih.“Diam!” bentak Ace.Berlian tersentak ketika ayahnya berkata seperti marah untuk pertama kali. Bibirnya bergetar. Berlian mundur, mendekati Pamela seolah meminta perlindungan, padahal kan tangannya patah, satu tangannya di infus. Pamela bisa apa? Wanita itu saja berwajah angkuh setelah membuka rahasia Ace tanpa basa-basi.
Damian menutup pintu mobilnya seraya menarik Sassy dan mendekapnya. Tak akan lama karena dia langsung menyuruh orangnya untuk menanyakan keberadaan Pamela Khandita Kilmer di dalam rumah sakit. Sassy memukul dadanya, “Bisa nggak sih Pamela nanti lagi!” desaknya. “Aku cemburu!” “Bukannya ini sudah risiko jadi pacar kedua?” Damian menyelipkan sehelai rambutnya ke belakang telinga. Isi kepala Sassy harus di isi dengan realita. Kecemburuannya kadang tidak masuk akal. Slalu menuntut lebih seperti lakonnya menjadi perebut milik orang. Ingin berkuasa. “Sabar dulu. Ngerti dong. Pamela bagaimana pun harus aku cari. Dia bisa menghancurkan hidupku. Jadi sebelum dia melakukan itu, aku akan menghancurkannya dulu!” Damian bersitegang dengan waktu, semakin cepat ketemu, semakin baik. Rumah sakit adalah tujuan utama sejak kehilangan Pamela semalam. Dan rumah sakit saat ini adalah rumah sakit ke lima sejak subuh tadi dia mendatangi lembaga pelayanan kesehatan di Bali.“Mungkin Pamela di klinik-klini
Pamela memperhatikan Asih untuk merespon pernyataannya. “Mungkin takdir.” Pamela tersenyum getir. Mungkin begitu, tak dipungkiri apa yang sudah ditakar tidak akan tertukar. Pamela tahu itu, dia tidak akan mengeluh mengapa harus ia yang mengalami kehilangan. Kematian mutlak terjadi kepada setiap nyawa dalam kehidupan. Hanya saja saat-saat seperti ini muncul rasa rindu tanpa peringatan.“Mamaku meninggal karena gagal ginjal. Namanya Joice Elizabeth Kilmer, dan Bali adalah rumah masa kecilku sebelum pindah ke Jakarta.” Pamela mengusap-usap gips tangannya. “Aku masih tahu persis harinya, dan aku sudah mengulang peristiwa itu ribuan kali di kepalaku.”Asih menarik selembar tisu untuk Pamela yang sudah berkaca-kaca matanya.“Setelah kehilangan mama, hidupku hancur.”Selama beberapa detik ruangan itu sunyi. Ace bergeming memandangi Berlian yang mendadak enggan menerima nasi ayam betutu darinya.Berlian menunduk, menarik serat kain rok tutunya yang kecantol paku di pos satpam tadi. Bibirn
“Pamela Kandhita Kilmer?”Ace memandangi Armando yang mengulangi ucapannya di lorong rumah sakit seraya menganggukkan kepala.“Siapa dia, Pak? Calon karyawan baru atau—” Armando–sekertaris Ace yang menyusul secepatnya ke Bali untuk menyokong kegentingan bosnya itu meringis.“Pacar baru ya?” tukasnya tidak segan.Ace memandangi pria bersetelan klasik, kumisan, dan berambut panjang yang di ikat rapi itu dengan sorot mata tajam.Armando langsung tahu, Ace tidak suka dengan candaannya. “Siapa Pamela? Jangan sampai aku jauh-jauh untuk mengurangi urusan nggak penting! Istriku ngambek, ngancam bakal baby blues kalo pulang-pulang gak bawa duit dan oleh-oleh!” Armando ganti memandangi Ace dengan sorot mata tajam. “Ini serius, Pak. Baru kemarin kami keluar dari rumah sakit, harusnya aku hari ini sedang menimangnya bukan datang ke rumah sakit lagi. “Siapa yang sakit? Oh, astaga, buset. Aku paham. Bapak nabrak orang yang bernama Pamela Kandhita Kilmer dan wanita itu minta tanggung jawab?” “Ken