Share

Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua
Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua
Author: Nabila Rindra

Serba Salah

“Bagus! Ceritain aja semuanya ke keluarga barumu, biar mereka tahu kalau ibumu ini orang yang buruk!”

Hana menunduk. Dikiranya dia akan baik-baik saja karena mengunjungi keluarganya bersama Salwa dan Harris, tapi ibunya selalu punya cara untuk menyudutkannya. Seperti yang terjadi saat ini.

“Hana cuma cerita sama Umi Salwa, Bu....”

“Sama aja! Ceritain aja semuanya. Gak apa-apa. Ibu kamu kan gak pernah ngajarin yang baik di rumah, jadi mau ngapain aja kamu terserah. Mau jelek-jelekin saya juga terserah,” desis Naira sambil melirik Salwa yang juga sibuk memilih-milih kain.

Hana berpura-pura sibuk merasakan tekstur kain di tangannya agar ibunya tidak tahu kalau dia sudah ingin menangis. Sebetulnya dia sudah meminta pada Salwa supaya tetap tinggal di mobil, namun Salwa membujuknya agar mau menemani beberapa menit saja. Dan ibu mertuanya itu tidak membahas hal yang macam-macam, kecuali berkata kalau Hana suka bercerita apa saja padanya. Hal yang langsung membuat emosi Naira naik dan mencecarnya di tempat yang jauh dari Salwa, Harris, dan Rayhan.

“Kasihan Arkan punya istri kayak kamu. Entah jadi apa anak-anak kalian nanti dengan ibu yang durhaka begini.”

Hana beristighfar pelan. Jika menuruti kata hati, dia ingin sekali menghantam-hantamkan kepalanya ke dinding. Tapi kalau itu bisa membuat ibu mertuanya menangis, maka dia tidak mau.

“Mengumpat saja kerjanya!” desis Naira lagi. “Bener-bener gak bisa dididik mulutmu itu!”

Kali ini Hana mengatupkan bibir rapat-rapat, menahan diri agar tidak berteriak marah.

“Kamu denger gak dinasihati begini?”

“Denger, Bu.”

“Denger, Bu,” ulang Naira dengan nada mengejek. “Menjawab aja selalu pake emosi.”

Hana mengepalkan tangan dan mundur, namun malah menabrak gulungan kain hingga beberapa roll kain bergulingan di lantai. Dengan gugup, diperbaikinya kain-kain tersebut sambil berpura-pura tidak tahu kalau ibunya mengawasi.

“Ngapain kamu?’ bentak Naira geram.

Hana menggeleng. “Maaf, Hana kepleset.”

“Apanya yang kepleset?! Kamu sengaja kan jatuhin kain-kain itu? Kamu marah kan karena dinasihati?”

“Enggak, Bu....”

“Saya itu tahu isi hatimu. Kamu pikir saya bodoh? Dari ekspresimu aja kelihatan kalau kamu marah.”

Hana mengembuskan napas, bertanya di dalam hati tentang apa lagi yang harus dilakukannya. Semua yang dia lakukan tidak pernah benar di mata ibunya.

“Dan sekarang kamu menghela-hela napas. Bilang aja kalau kamu marah....”

Bahkan mengembuskan napas pun bisa jadi kesalahan.

“Hana permisi dulu.”

Tanpa menunggu jawaban ibunya, Hana berbalik dan berjalan menuju mobil keluarga mereka. Tidak dihiraukannya sopir yang bertanya mengapa dia kembali tanpa Salwa dan Harris. Hana langsung menutup pintu mobil, lalu meringkuk di jok tengah.

Entah berapa lama dia sendirian saat pintu mobil mendadak terbuka. Hana sudah takut duluan kalau itu adalah ibunya yang marah dan menyiapkan diri untuk digeret keluar mobil, namun pintu malah menutup dan sebuah tangan mengusap punggungnya dengan hati-hati.

“Kamu baik-baik aja, Nduk?” tanya Salwa khawatir.

Meski dia tadi terlihat sibuk, sebetulnya Salwa mendengar semua yang dikatakan Naira pada menantunya ini. Dia juga ingin sekali menampar mulut Naira yang keterlaluan, atau membawa Hana sekalian ke mobil. Tapi Salwa tahu kalau itu sama saja dengan mendatangkan masalah baru, jadi dia mulai berdoa supaya Hana segera menghindar.

Hana mengangguk, namun tidak berkata apa-apa. Matanya memejam, memutuskan untuk tidak bicara. Dia tidak mau kelepasan mengeluarkan ucapan menyakitkan untuk mertua maupun sopirnya.

Tiba di rumah dua jam kemudian, Hana langsung berbelok menuju ruang makan dan duduk di bangku ujung. Kedua tangannya mencengkeram gelas erat-erat seolah siap melemparnya ke dinding, membuat beberapa khadimah yang tengah bekerja ketakutan. Sambil berbisik-bisik, mereka melirik Hana yang ekspresinya terlihat seakan ingin menggulingkan meja besar di hadapannya.

“Mana Mas Arkan?” tanya Keira yang baru tiba.

“Mana aku tahu,” balas Hana ketus.

Naura tertegun, sementara Keira yang tidak peka malah mendelik.

“Biasa aja jawabnya, gak usah pake nada ngajak gelud gitu.”

Keira menelan saliva saat Hana membanting gelas ke meja. Matanya berkobar oleh kemarahan, membuat kedua gadis itu mundur karena ngeri.

“Ka-kamu kenapa, Han?” tanya Naura gugup.

“Kenapa?” balas Hana sambil tertawa ganjil. “Gak sekalian kamu nanya kenapa aku malah ngajak ribut ketika ditanya baik-baik?”

“Aku kan cuma nanya Mas Arkan dimana. Kenapa kamu malah nyolot?” tanya Keira sengit.

“Emang kamu gak lihat kalau aku baru aja sampai di rumah? Kalau mau tanya, tanya ke Mbak-mbak yang lain. Jangan ke aku!”

Salwa yang baru kembali dari kamar langsung mendekat dan melerai pertengkaran mereka.

“Sudah, Nduk. Kei, Mas-mu masih di kantor. Hana, ayo ikut Umi ke kamar. Naura, temani kakakmu ya, Nduk,” pinta Salwa lembut.

Naura mengangguk. Diusapnya punggung kakak kembarnya sambil mengajak ke luar, disusul Salwa yang meminta Hana untuk mengikutinya di belakang.

“Umi tahu kamu marah, Nduk. Tapi jangan dilampiasin ke adek-adekmu,” ucap Salwa saat akhirnya mereka tiba di kamar.

Hana menunduk, lalu berbalik dan meninju dinding berkali-kali. Salwa tidak mencegahnya, membiarkan karena tahu kalau Hana sudah terlalu lama memendam emosinya.

“Tolol. Tolol. Tolol,” gumam Hana, kali ini sambil memukuli bibirnya. “Harusnya kamu mati aja, dasar beban!”

Salwa memejamkan mata, ngeri saat Hana mulai membenturkan kepalanya ke dinding berkali-kali. Digigitnya bibir, lalu bangkit dan menyentuh dahi Hana. Aksi brutal itu seketika berhenti saat Hana menoleh dengan wajah bersimbah darah, sebelum akhirnya setetes air mata jatuh di pipinya.

“Maafin Hana, Umi.” Hana berkata sambil mengusap air matanya. “Hana udah berusaha. Tapi Umi denger sendiri apa yang dibilang Ibu tadi. Beristighfar pun dibilang mengumpat, terus Hana harus gimana lagi? Mau marah gak boleh, beristighfar dianggap gak bisa diajarin, gak sengaja nyenggol barang dibilang lagi marah. Kadang ... kadang Hana nanya ke diri sendiri kenapa harus terus hidup dan jadi beban keluarga. Hana udah capek, Umi.”

Salwa segera memeluknya, membiarkan Hana menangis di bahunya. Untuk yang kesekian kalinya, dia benar-benar marah kepada besannya tersebut. Dia tidak menyesal mengangkat Hana sebagai menantu meski berasal dari keluarga biasa, namun dia betul-betul tidak suka karena Naira tidak bisa memfilter perkataannya.

Saat Hana akhirnya tertidur karena kelelahan, Salwa menatap wajah menantunya yang mengernyit seolah tengah menahan sakit. Sesekali diperbaikinya posisi selimut sambil terus membacakan surat Al Waqiah. Sesekali dia menghela napas panjang, berusaha mengusir ucapan kasar Naira yang didengarnya tadi dari benaknya.

“Umi....”

Salwa cepat-cepat menggeleng saat Arkan berderap ke arahnya. Arkan memelankan langkah, lalu duduk di dekat kaki Salwa sambil menatap wajah istrinya yang pucat.

“Ibu ngomong apa lagi, Mi?” tanya Arkan pelan.

Satu tahun menikah, Arkan sudah hafal dengan tabiat ibu mertuanya yang suka memaki-maki Hana. Itu sebabnya dia tidak mengizinkan Hana untuk bertemu keluarganya tanpa dirinya. Kalaupun harus, dia akan mengajak Salwa dan Harris juga agar Naira tidak berani macam-macam.

“Banyak, Le.” Sekali lagi Salwa menghela napas. Diusapnya tangan kurus Hana dengan hati-hati dan melanjutkan, “Salah satunya beliau marah karena Hana suka cerita apa aja sama Umi dan dia juga bilang apa jadinya anak-anak kalian nanti kalau Hana masih durhaka begini.”

“Keterlaluan!” desis Arkan. Meski sudah berusaha, namun dia tidak bisa menahan kebencian saat mendengar ucapan keji tersebut.

“Istighfar, Le,” sahut Salwa. Tangannya yang lain meraih tangan Arkan dan menggenggamnya erat.

Arkan menunduk, lalu melirik istrinya yang kali ini berputar posisi. Diulurkannya tangan yang bebas untuk mengusap bulir bening yang mengalir turun di hidungnya. Bahkan dari cerita ibunya saja dia bisa membayangkan sorot benci yang terpancar dari mata Naira setiap kali berbicara dengan Hana. Entah kenapa ibu mertuanya itu tidak pernah berhenti untuk membenci anaknya sendiri.

“Arkan benci sama Ibu, Mi.”

***

“Tolong pergi. Aku lagi pengen sendiri.”

“Han....”

“Aku gak perlu ngulang berkali-kali, Mas. Tolong biarin aku sendiri dulu.” Hana berkata lirih.

Arkan diam, lalu melirik kedua adiknya yang juga datang untuk meminta maaf pada Hana. Keira menatap belakang kepala Hana dengan perasaan campur-aduk, antara ingin menghampirinya atau tetap diam agar tidak dimarahi lagi.

“Tapi kamu belum makan, Han. Ayo makan dulu,” bujuk Naura.

Hana menggeleng. Arkan menghela napas, memilih mengalah sebelum akhirnya mengajak kedua adiknya keluar kamar. Dia tahu dirinya harus membiarkan Hana untuk sendiri, salah satunya agar tidak mendengar ucapan menyakitkan yang bisa saja dilontarkan dengan tidak sengaja.

Di luar kamar, Arkan yang tidak tahan lagi akhirnya menelepon ibu mertuanya.

“Dia cerita apa aja ke kamu?” tanya Naira pelan.

“Hana gak cerita apa-apa....”

“BOHONG! KAMU GAK AKAN MENELEPON KALAU BUKAN ANAK ITU YANG CERITA TENTANG IBUNYA!” teriak Naira. Selama beberapa detik, hanya ada keheningan sampai Naira melanjutkan, “Ibu udah berusaha, Ar. Tapi Hana gak pernah mau dengerin apapun nasihat Ibu.”

Arkan mencengkeram ponselnya kuat-kuat.

“Ibu yang bohong,” desisnya. “Yang Ibu tahu cuma mencaci maki Hana, menyalahkan dia, dan mengkritik semua yang dia lakukan meski itu hal yang benar. Arkan sampai bingung mikir gimana lagi caranya bikin Hana gak nangis setiap kali pulang dari tempat Ayah.”

Keira mengembuskan napas, sementara Naura menunduk. Dia juga tidak suka dengan sikap ibunya Hana yang terlalu kejam terhadap sahabatnya.

“Itu karena dia memang salah. Bukannya tugas seorang ibu itu menasihati anaknya kalau salah?” tanya Naira nyolot. “Memang dasar istrimu aja yang gak bisa dinasihati.”

“Lalu dia harus gimana supaya Ibu seneng? Dia sudah gak mengumpat lagi, dia sudah gak ngamuk-ngamuk lagi, dan dia juga separah sebelum nikah sama Arkan. Hana harus bersikap gimana lagi supaya Ibu seneng?”

Tidak terdengar jawaban. Arkan tertawa kecil, lelah melihat tingkah ibunya yang seperti anak-anak.

“Arkan gak suka bilang gini. Tapi jujur, Arkan capek sama sama sikap ibu yang begini.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status