“Bagus! Ceritain aja semuanya ke keluarga barumu, biar mereka tahu kalau ibumu ini orang yang buruk!”
Hana menunduk. Dikiranya dia akan baik-baik saja karena mengunjungi keluarganya bersama Salwa dan Harris, tapi ibunya selalu punya cara untuk menyudutkannya. Seperti yang terjadi saat ini.“Hana cuma cerita sama Umi Salwa, Bu....”“Sama aja! Ceritain aja semuanya. Gak apa-apa. Ibu kamu kan gak pernah ngajarin yang baik di rumah, jadi mau ngapain aja kamu terserah. Mau jelek-jelekin saya juga terserah,” desis Naira sambil melirik Salwa yang juga sibuk memilih-milih kain.Hana berpura-pura sibuk merasakan tekstur kain di tangannya agar ibunya tidak tahu kalau dia sudah ingin menangis. Sebetulnya dia sudah meminta pada Salwa supaya tetap tinggal di mobil, namun Salwa membujuknya agar mau menemani beberapa menit saja. Dan ibu mertuanya itu tidak membahas hal yang macam-macam, kecuali berkata kalau Hana suka bercerita apa saja padanya. Hal yang langsung membuat emosi Naira naik dan mencecarnya di tempat yang jauh dari Salwa, Harris, dan Rayhan.“Kasihan Arkan punya istri kayak kamu. Entah jadi apa anak-anak kalian nanti dengan ibu yang durhaka begini.”Hana beristighfar pelan. Jika menuruti kata hati, dia ingin sekali menghantam-hantamkan kepalanya ke dinding. Tapi kalau itu bisa membuat ibu mertuanya menangis, maka dia tidak mau.“Mengumpat saja kerjanya!” desis Naira lagi. “Bener-bener gak bisa dididik mulutmu itu!”Kali ini Hana mengatupkan bibir rapat-rapat, menahan diri agar tidak berteriak marah.“Kamu denger gak dinasihati begini?”“Denger, Bu.”“Denger, Bu,” ulang Naira dengan nada mengejek. “Menjawab aja selalu pake emosi.”Hana mengepalkan tangan dan mundur, namun malah menabrak gulungan kain hingga beberapa roll kain bergulingan di lantai. Dengan gugup, diperbaikinya kain-kain tersebut sambil berpura-pura tidak tahu kalau ibunya mengawasi.“Ngapain kamu?’ bentak Naira geram.Hana menggeleng. “Maaf, Hana kepleset.”“Apanya yang kepleset?! Kamu sengaja kan jatuhin kain-kain itu? Kamu marah kan karena dinasihati?”“Enggak, Bu....”“Saya itu tahu isi hatimu. Kamu pikir saya bodoh? Dari ekspresimu aja kelihatan kalau kamu marah.”Hana mengembuskan napas, bertanya di dalam hati tentang apa lagi yang harus dilakukannya. Semua yang dia lakukan tidak pernah benar di mata ibunya.“Dan sekarang kamu menghela-hela napas. Bilang aja kalau kamu marah....”Bahkan mengembuskan napas pun bisa jadi kesalahan.“Hana permisi dulu.”Tanpa menunggu jawaban ibunya, Hana berbalik dan berjalan menuju mobil keluarga mereka. Tidak dihiraukannya sopir yang bertanya mengapa dia kembali tanpa Salwa dan Harris. Hana langsung menutup pintu mobil, lalu meringkuk di jok tengah.Entah berapa lama dia sendirian saat pintu mobil mendadak terbuka. Hana sudah takut duluan kalau itu adalah ibunya yang marah dan menyiapkan diri untuk digeret keluar mobil, namun pintu malah menutup dan sebuah tangan mengusap punggungnya dengan hati-hati.“Kamu baik-baik aja, Nduk?” tanya Salwa khawatir.Meski dia tadi terlihat sibuk, sebetulnya Salwa mendengar semua yang dikatakan Naira pada menantunya ini. Dia juga ingin sekali menampar mulut Naira yang keterlaluan, atau membawa Hana sekalian ke mobil. Tapi Salwa tahu kalau itu sama saja dengan mendatangkan masalah baru, jadi dia mulai berdoa supaya Hana segera menghindar.Hana mengangguk, namun tidak berkata apa-apa. Matanya memejam, memutuskan untuk tidak bicara. Dia tidak mau kelepasan mengeluarkan ucapan menyakitkan untuk mertua maupun sopirnya.Tiba di rumah dua jam kemudian, Hana langsung berbelok menuju ruang makan dan duduk di bangku ujung. Kedua tangannya mencengkeram gelas erat-erat seolah siap melemparnya ke dinding, membuat beberapa khadimah yang tengah bekerja ketakutan. Sambil berbisik-bisik, mereka melirik Hana yang ekspresinya terlihat seakan ingin menggulingkan meja besar di hadapannya.“Mana Mas Arkan?” tanya Keira yang baru tiba.“Mana aku tahu,” balas Hana ketus.Naura tertegun, sementara Keira yang tidak peka malah mendelik.“Biasa aja jawabnya, gak usah pake nada ngajak gelud gitu.”Keira menelan saliva saat Hana membanting gelas ke meja. Matanya berkobar oleh kemarahan, membuat kedua gadis itu mundur karena ngeri.“Ka-kamu kenapa, Han?” tanya Naura gugup.“Kenapa?” balas Hana sambil tertawa ganjil. “Gak sekalian kamu nanya kenapa aku malah ngajak ribut ketika ditanya baik-baik?”“Aku kan cuma nanya Mas Arkan dimana. Kenapa kamu malah nyolot?” tanya Keira sengit.“Emang kamu gak lihat kalau aku baru aja sampai di rumah? Kalau mau tanya, tanya ke Mbak-mbak yang lain. Jangan ke aku!”Salwa yang baru kembali dari kamar langsung mendekat dan melerai pertengkaran mereka.“Sudah, Nduk. Kei, Mas-mu masih di kantor. Hana, ayo ikut Umi ke kamar. Naura, temani kakakmu ya, Nduk,” pinta Salwa lembut.Naura mengangguk. Diusapnya punggung kakak kembarnya sambil mengajak ke luar, disusul Salwa yang meminta Hana untuk mengikutinya di belakang.“Umi tahu kamu marah, Nduk. Tapi jangan dilampiasin ke adek-adekmu,” ucap Salwa saat akhirnya mereka tiba di kamar.Hana menunduk, lalu berbalik dan meninju dinding berkali-kali. Salwa tidak mencegahnya, membiarkan karena tahu kalau Hana sudah terlalu lama memendam emosinya.“Tolol. Tolol. Tolol,” gumam Hana, kali ini sambil memukuli bibirnya. “Harusnya kamu mati aja, dasar beban!”Salwa memejamkan mata, ngeri saat Hana mulai membenturkan kepalanya ke dinding berkali-kali. Digigitnya bibir, lalu bangkit dan menyentuh dahi Hana. Aksi brutal itu seketika berhenti saat Hana menoleh dengan wajah bersimbah darah, sebelum akhirnya setetes air mata jatuh di pipinya.“Maafin Hana, Umi.” Hana berkata sambil mengusap air matanya. “Hana udah berusaha. Tapi Umi denger sendiri apa yang dibilang Ibu tadi. Beristighfar pun dibilang mengumpat, terus Hana harus gimana lagi? Mau marah gak boleh, beristighfar dianggap gak bisa diajarin, gak sengaja nyenggol barang dibilang lagi marah. Kadang ... kadang Hana nanya ke diri sendiri kenapa harus terus hidup dan jadi beban keluarga. Hana udah capek, Umi.”Salwa segera memeluknya, membiarkan Hana menangis di bahunya. Untuk yang kesekian kalinya, dia benar-benar marah kepada besannya tersebut. Dia tidak menyesal mengangkat Hana sebagai menantu meski berasal dari keluarga biasa, namun dia betul-betul tidak suka karena Naira tidak bisa memfilter perkataannya.Saat Hana akhirnya tertidur karena kelelahan, Salwa menatap wajah menantunya yang mengernyit seolah tengah menahan sakit. Sesekali diperbaikinya posisi selimut sambil terus membacakan surat Al Waqiah. Sesekali dia menghela napas panjang, berusaha mengusir ucapan kasar Naira yang didengarnya tadi dari benaknya.“Umi....”Salwa cepat-cepat menggeleng saat Arkan berderap ke arahnya. Arkan memelankan langkah, lalu duduk di dekat kaki Salwa sambil menatap wajah istrinya yang pucat.“Ibu ngomong apa lagi, Mi?” tanya Arkan pelan.Satu tahun menikah, Arkan sudah hafal dengan tabiat ibu mertuanya yang suka memaki-maki Hana. Itu sebabnya dia tidak mengizinkan Hana untuk bertemu keluarganya tanpa dirinya. Kalaupun harus, dia akan mengajak Salwa dan Harris juga agar Naira tidak berani macam-macam.“Banyak, Le.” Sekali lagi Salwa menghela napas. Diusapnya tangan kurus Hana dengan hati-hati dan melanjutkan, “Salah satunya beliau marah karena Hana suka cerita apa aja sama Umi dan dia juga bilang apa jadinya anak-anak kalian nanti kalau Hana masih durhaka begini.”“Keterlaluan!” desis Arkan. Meski sudah berusaha, namun dia tidak bisa menahan kebencian saat mendengar ucapan keji tersebut.“Istighfar, Le,” sahut Salwa. Tangannya yang lain meraih tangan Arkan dan menggenggamnya erat.Arkan menunduk, lalu melirik istrinya yang kali ini berputar posisi. Diulurkannya tangan yang bebas untuk mengusap bulir bening yang mengalir turun di hidungnya. Bahkan dari cerita ibunya saja dia bisa membayangkan sorot benci yang terpancar dari mata Naira setiap kali berbicara dengan Hana. Entah kenapa ibu mertuanya itu tidak pernah berhenti untuk membenci anaknya sendiri.“Arkan benci sama Ibu, Mi.”***“Tolong pergi. Aku lagi pengen sendiri.”“Han....”“Aku gak perlu ngulang berkali-kali, Mas. Tolong biarin aku sendiri dulu.” Hana berkata lirih.Arkan diam, lalu melirik kedua adiknya yang juga datang untuk meminta maaf pada Hana. Keira menatap belakang kepala Hana dengan perasaan campur-aduk, antara ingin menghampirinya atau tetap diam agar tidak dimarahi lagi.“Tapi kamu belum makan, Han. Ayo makan dulu,” bujuk Naura.Hana menggeleng. Arkan menghela napas, memilih mengalah sebelum akhirnya mengajak kedua adiknya keluar kamar. Dia tahu dirinya harus membiarkan Hana untuk sendiri, salah satunya agar tidak mendengar ucapan menyakitkan yang bisa saja dilontarkan dengan tidak sengaja.Di luar kamar, Arkan yang tidak tahan lagi akhirnya menelepon ibu mertuanya.“Dia cerita apa aja ke kamu?” tanya Naira pelan.“Hana gak cerita apa-apa....”“BOHONG! KAMU GAK AKAN MENELEPON KALAU BUKAN ANAK ITU YANG CERITA TENTANG IBUNYA!” teriak Naira. Selama beberapa detik, hanya ada keheningan sampai Naira melanjutkan, “Ibu udah berusaha, Ar. Tapi Hana gak pernah mau dengerin apapun nasihat Ibu.”Arkan mencengkeram ponselnya kuat-kuat.“Ibu yang bohong,” desisnya. “Yang Ibu tahu cuma mencaci maki Hana, menyalahkan dia, dan mengkritik semua yang dia lakukan meski itu hal yang benar. Arkan sampai bingung mikir gimana lagi caranya bikin Hana gak nangis setiap kali pulang dari tempat Ayah.”Keira mengembuskan napas, sementara Naura menunduk. Dia juga tidak suka dengan sikap ibunya Hana yang terlalu kejam terhadap sahabatnya.“Itu karena dia memang salah. Bukannya tugas seorang ibu itu menasihati anaknya kalau salah?” tanya Naira nyolot. “Memang dasar istrimu aja yang gak bisa dinasihati.”“Lalu dia harus gimana supaya Ibu seneng? Dia sudah gak mengumpat lagi, dia sudah gak ngamuk-ngamuk lagi, dan dia juga separah sebelum nikah sama Arkan. Hana harus bersikap gimana lagi supaya Ibu seneng?”Tidak terdengar jawaban. Arkan tertawa kecil, lelah melihat tingkah ibunya yang seperti anak-anak.“Arkan gak suka bilang gini. Tapi jujur, Arkan capek sama sama sikap ibu yang begini.”“Apa Hana memang separah itu, Yah?”Kamar besar itu hening. Mata Hana menatap lurus ke iPad yang terletak di kasur, memperlihatkan wajah Rayhan yang menatapnya tanpa ekspresi.“Percuma dong ya Hana punya orangtua tapi bercerita aja gak boleh,” lanjutnya lagi.Rayhan masih tidak menjawab.Hana mengembuskan napas dan berkata, “Sebetulnya Hana juga lebih suka diam, Yah. Tapi Umi Salwa paham kalau Hana butuh didengar. Beliau juga gak pernah maksa Hana untuk cerita. Jadi dimana salahnya? Hana cuma cerita sama beliau aja.”“Masalahnya kamu cerita soal orangtua kamu, Han....”“Karena emang harus itu yang yang Hana ceritain. Selama ini Hana gak boleh ngomong, gak boleh marah, gak boleh merasa keberatan meski Hana berhak bersuara. Ayah tahu gak sih kalau Hana udah hampir gila karena gak dibolehin ngomong? Setiap kali Hana mau ngomong, langsung disuruh diam. Setiap kali Hana ngajak orang di rumah ngobrol baik-baik, selalu aja Hana yang dimarahin. Lalu ketika sekarang ada orang yang mau dengerin
“Kamu baik-baik aja, Han?”Hana mengangguk. Ponselnya tidak berhenti berdering sejak tadi. Ratusan chat dari Fahmi, Tari, dan Naira bergantian masuk, mendesaknya untuk mengirimkan uang. Denting notifikasi membuat kepalanya semakin berdenyut-denyut, namun Hana tidak berani mematikan ponsel karena tahu kalau keributan akan semakin parah jika dia bersikap begitu.“Mas matiin aja ya HP-nya.” Arkan berkata sambil meraih ponsel tersebut. Hana tidak menjawab, hanya menatap datar sambil memeluk bantalnya.Di depan mereka, Salwa bertanya, “Kamu mau izin aja, Nduk?”Belum jadi Hana menjawab, ponselnya kembali berdering. Arkan melirik dengan ekspresi putus asa, kontras dengan Hana yang menatap lurus ke depan. Di dalam hati, dia memuji kegigihan Naira yang beralih menelepon Arkan ketika tidak diacuhkan olehnya.“Assalamualaikum.” Arkan berkata lebih dulu sambil mengusap dada. Jelas dia kaget dengan hardikan Naira yang langsung mengatai Hana dengan sederet makian mengerikan. “Hana lagi istirahat,
“Aku bisa jalan sendiri.”Arkan tidak menghiraukannya. Setengah menyeret, dibawanya Hana menuju elevator dan menekan tombol angka empat.“Mas kayaknya seneng,” gumam Hana.Arkan menunduk untuk mencium dahi Hana, kemudian berkata, “Mas bakalan jadi ayah. Gimana gak seneng?”Pipi Hana menghangat. Arkan terkekeh, lalu membiarkan Hana masuk lebih dulu. Perawat yang baru keluar tersenyum melihat kemesraan mereka.“Kamu mikirin apa?” tanya Arkan saat lift naik menuju lantai empat.“Perawat tadi,” ucap Hana. “Mungkin dia mikir kalau kita gak tahu malu banget pelukan di ruang publik.”Arkan tertawa.“Biarin aja. Yang penting kita gak mengganggu orang lain.”Hana mengangguk.Tiba di lantai empat, Arkan memperhatikan catatan di tangannya dan menatap ke sekeliling. Disipitkannya mata, lalu menghampiri ruangan yang terletak di ujung koridor.“Dokter Fiona,” gumam Arkan. Dicocokkannya catatan dengan plang yang tertempel di pintu, lalu menjejalkan kertas ke saku kemeja koko dan mengetuk pintu ruang
“Aku ngerasa gak enak karena udah bohongin Keira.”Atas paksaan Arkan, Hana akhirnya mengalah dan tidak ikut turun untuk makan malam. Sebagai gantinya, pria itu membawakan makanannya ke atas dan makan berdua di depan kamar.“Bohong gimana?” tanya Arkan sambil memisahkan daging ikan dari tulangnya.“Karena kita gak ngomong apa-apa. Harusnya kita kasih tahu.” Hana menjulurkan tangan, hendak meraih potongan ikan goreng saat tangan Arkan menampar tangannya.“Jangan dibiasain!” serunya galak.Hana bersungut-sungut, namun tidak membantah lagi dan bersandar ke dinding. Diperhatikannya Arkan yang masih tekun memisahkan lauk.“Nih.” Arkan mengulurkan sendok, lalu mulai makan. Setelah menelan suapan pertamanya, dia berkata, “Biar kita bertiga dulu yang tahu. Yang lain juga bakalan tahu nanti kalau udah lihat perubahan di diri kamu.”“Tapi aku ngerasa berdosa,” ucap Hana sambil menyingkirkan brokolinya.“Kamu tahu pamali gak sih?” tanya Arkan tak senang.“Pamali apa?” tanya Hana polos.“Usia kan
“Anak-anak lain udah pada tanya-tanya kenapa kamu digendong Mas Arkan kemarin.”Hana menaikkan sebelah alis, bertanya geli, “Terus jawabannya?”“Kubilang karena kamu lagi sakit. Eh, emangnya kamu beneran sakit?” tanya Naura penasaran.Hana menggeleng. Disesapnya teh hijau yang sebelumnya dibawakan salah satu khadimah.“Terus kenapa kamu kemarin muntah-muntah? Keracunan?” tanya Naura lagi.Keira yang sejak tadi mengintip ke bawah membalas sinis, “Jangan pura-pura gak tahu, Ra.”“Kok kamu malah ngatain aku?” tanya Naura galak.“Oh, jelas. Kamu masih pura-pura gak tahu kalau sebentar lagi kita mau punya keponakan baru?”Naura melotot, lalu menatap Hana dan bertanya dengan nada bersemangat, “Beneran, Han? Kamu hamil?”Hana mengangguk.“Jangan kasih tahu temen-temen yang lain dulu,” lanjut Hana cepat-cepat. “Biar jadi kejutan.”“Kenapa? Semua orang pastinya bakalan seneng kan?” tanya Naura bingung.“Jangan sekarang.”“Kamu takut ibu kamu tahu?” tebak Keira.Hana mengangguk. Diseruputnya la
“Mas janji bakalan cepet pulang, Han.”Selepas shalat tahajud dan membereskan barang bawaan, Arkan mengajak istrinya untuk duduk di depan jendela. Satu tangannya merangkul pinggang istrinya, sementara matanya tertuju ke halaman asrama yang sepi.“Aku tahu. Mas gak pernah betah di luar rumah lama-lama.”“Kalau gitu jangan sedih,” pinta Arkan. “Nanti Mas yang berat ninggalin kamu.”Hana tersenyum. Ekspresinya terlihat teduh saat berkata, “Aku gak apa-apa, Mas. Serius. Kita kan tetep bisa video-call, bisa kirim voice-note, atau saling ngasih kabar. Yang penting Mas fokus aja sama pekerjaan disana. Jangan khawatirin aku.”Arkan menunduk. Hana terus menatapnya dengan senyum yang tidak pudar sedikitpun. Disunggingkannya senyum kecil dan mengangguk.“Yang penting kamu ingat pesan Mas. Gak boleh keluar asrama. Gak boleh nulis sampai begadang. Gak boleh melamun sendirian. Nanti Mas minta Keira buat nemenin kamu.”Hana mengangguk.“Udah tahu mau dibeliin apa?” tanya Arkan penasaran.“Enggak usa
“Kamu udah makan siang?”Hana mengangguk, satu tangannya menyendok potongan buah yang dibawakan Aisyah.“Vitaminnya udah diminum?”“Udah, Mas. Kok bawel bener sih,” gelak Hana.“Mas khawatir sama kamu, Sayang,” balas Arkan tak mau kalah. “Mas kepikiran siapa yang nyuapin kamu kalau Mas gak di rumah kayak sekarang. Kamu kan males disuruh makan.”“Aku bukan anak kecil, Mas,” balas Hana masam.“Emang anak kecil doang yang disuapin?” tanya Arkan geli. Sambil berkata begitu, tangannya menyuap potongan buah ke mulut dan melambaikan tangan entah pada siapa.Hana mendengus. Mendadak dia muak melihat wajah suaminya, jadi diberikannya ponsel pada Zara dan berkata, “Tolong Mbak Zara yang urusin ya. Aku males lihat mukanya.”Sambil menahan tawa, Zara melambaikan tangan dan berkata, “Maklum, Ar. Bumil pusing dari pagi, jadi kerjanya ngomel terus. Keira aja udah kena marah beberapa kali.”“Oh, kalo yang terakhir itu sih bodo amat.”Aisyah, Zara, Naura, bahkan Hana tidak bisa menahan tawa. Kontras d
“Hana gak apa-apa kan?”Keira dan Naura mengangguk. Aisyah dan Riza bertatapan, begitu juga dengan para khadimah yang lain.“Apa pintu depannya gak ditutup?” tanya Aisyah serius.“Di-ditutup, Ning. Saya sendiri yang nutup karena mau ke kantin.” Latifah menjawab terbata-bata.“Terus kalian tahu siapa yang masuk?” tanya Riza.Keira dan Naura menggeleng.“Tapi dia pake baju hitam-hitam, Mas. Mukanya juga ditutup topi.”Dahi Aisyah berkerut, membuat Naura buru-buru menambahkan, “Topi yang biasa dipake pencuri itu, Mbak. Bolongnya di bagian mata sama mulut doang.”Semua orang berpandangan. Dengan absennya Arkan, mereka begitu takut membayangkan sesuatu yang akan terjadi pada Hana jika tidak ada siapapun di rumah.“Gimana kalau dia masuk lagi, Umi?” rengek Keira. “Kita gak bisa menjamin apa dia gak berani masuk lagi meski tadi Keira udah mukulin kepalanya pake buku tebal.”“Astaghfirullah,” seru Salwa kaget, sementara Keira menyeringai dengan ekspresi bersalah.“Dia narik kepala Hana tadi,