“Assalamu’alaikum, Han. Bunâ.” Alina melambaikan tangan, kemudian kembali menunduk menekuni sesuatu.“Wa’alaikumsalam. Apa kabar, Mbak?” tanya Hana ramah.“Terkurung di rumah, jelas gak baik-baik aja.” Alina membalas masam. Wanita itu kali ini mengarahkan wajah pada kamera, satu tangannya tengah memeluk mangkuk sementara tangan yang lain mengaduk sesuatu.“Sakit lagi?” tanya Hana khawatir. Alina dan kata ‘sakit' bukanlah hal yang luar biasa, mengingat kalau wanita itu pernah mengalami kejadian mengerikan di masa lalunya. “Mas Fauzan mana?”“Kerja dong. Kamu sendiri kenapa malah nyantai kayak istri sultan gitu? Libur?” celetuk Alina asal.Hana terbahak, lantas menjawab, “Aku libur. Cuti sampai bulan depan.”“Oh, sakit juga?” tanya Alina prihatin.Hana tidak menjawab dan kembali melahap mangganya.“Mana Arkan?” tanyanya penasaran.“Ke Rembang.”Di layar, Alina menyipitkan mata dan berkata, “Biasanya kamu ikut. Mbak gak lupa lho kalau kamu hobi update story lagi nemenin Arkan kemana aja.
“Harusnya Mas ngabarin kalau mau pulang, biar aku bisa siap-siap,” rajuk Hana saat Arkan tiba-tiba muncul di depan kamar dengan nampan berisi makanan.Arkan tertawa, lalu masuk dan meletakkan nampan di meja nakas. Hana yang baru bangun tidur siang menyandarkan punggung dan menatap suaminya dengan mata mengantuk.“Kamu sudah shalat dzuhur?” tanya Arkan.Hana mengangguk. Tubuhnya baru akan maju untuk memeluk Arkan saat pria itu mendadak mundur.“Udah gak mau dipeluk lagi?” tanya Hana sedih.Arkan tersenyum. “Mas belum mandi, Sayang. Tunggu dulu ya. Kamu bisa makan dulu, habis itu Mas mau ngobrol.”Ditatapnya Arkan yang keluar, lalu melirik ke makananya. Aroma ikan goreng membuatnya keroncongan, tapi mendadak dia malas untuk makan. ‘Aku pengen disuapin Mas Arkan,’ batinnya.“Kok gak dimakan?” tanya Arkan saat kembali ke kamar. Diletakkannya travel bag dan ransel di bawah ranjang, kemudian melepas kemeja koko dan sarung, menyisakan kaus oblong juga celana pendek selutut di baliknya.“Aku
“Kamu keterlaluan, Han.”Hana menunduk, kedua tangannya memuntir ujung jilbab instan yang dia kenakan. Sorot mata Arkan yang terluka membuat hatinya terasa ikut ditusuk.“Aku gak mau bikin Mas khawatir.” Hana berbisik pelan.“Kamu pikir Mas gak ikut khawatir setelah denger kabar ini? Gimana kalau kemarin terjadi apa-apa sama kamu?”Hana menggigit bibir. Musnah sudah kemesraan mereka beberapa jam terakhir. Tadi setelah Ashar, Arkan-nya turun untuk membuatkan tahu bakso yang dia minta. Dia sendiri tetap duduk di atas karena tidak diizinkan ikut turun. Tak diduga, Keira yang baru pulang langsung mengadu kalau ada seseorang yang memasuki rumah dan mencari Hana malam sebelumnya.Arkan bangkit dan menghela napas dengan kasar. Di pinggir ranjang, Hana menunduk. Sedih karena sudah membuat Arkan kecewa.“Seharusnya kamu ngomong.” Arkan mendesis terluka.“Aku gak mau bikin Mas kepikiran.” Hana membalas tak mau kalah.Pria bertubuh tinggi itu seketika berbalik dan mencengkeram kedua bahu Hana.“
“Mas beliin ini buat kamu.” Selepas shalat Isya', Arkan akhirnya membongkar travel bag dan mengulurkan kantong kertas besar yang ikut tercecer di bawah ranjang.Berhadapan di karpet, Hana menerima bungkusan dari tangan Arkan dengan tangan gemetar. Senyumnya terkulum, terharu karena hadiah yang diberikan suaminya benar-benar di luar dugaan.“Ini mahal banget, Mas.” Hana berkata dengan suara bergetar.Tangan Arkan terhenti. Dengan lembut, ditariknya kotak tersebut dan mengeluarkan isinya. Lantas pria itu berjalan ke belakang Hana dan memasangkan benda tersebut di lehernya dengan hati-hati.“Mas kan kerja buat kamu,” bisik Arkan lembut. Dibenamkannya kepala ke leher istrinya sambil memejamkan mata. Hidungnya terus mencium aroma lotus yang menguar dari tubuh Hana dengan rakus, salah satu aroma yang paling disukainya di dunia ini.Hana memejamkan mata, membiarkan kedua lengan Arkan melingkar di dadanya. Hatinya tak berhenti mengucap syukur karena Allah memberinya suami sebaik Arkan.“Kita
“Apa dia nunggu Keira?” gumam Hana.Arkan menoleh, kebingungan melintasi wajahnya.“Mas tahu kan mereka dekat?” tanya Hana memastikan.Arkan mengangguk. Dia salah satu orang yang menjadi saksi seberapa dekatnya persahabatan antara Keira dan Ivan. Dia bahkan masih ingat saat-saat dulu ketika mereka semua berkunjung ke Solo dan Keira bersama sahabatnya itu telaten mengurus anak-anak Alina dan adik Ivan.“Apa Mas juga tahu kalau Keira suka sama Ivan?” tanya Hana lagi.Satu alis Arkan terangkat. Dia memang tahu Ivan dan Keira berteman sejak kecil, tapi tidak pernah berpikir sampai ke sana dimana adiknya menyukai sahabatnya sendiri.“Mas Arkan?”“Mas gak tahu, Han. Mas tahunya mereka akrab.” Arkan menjawab terbata-bata.Hana mengerucutkan bibir. Kalau begini, jangankan Arkan, dirinya sendiri pun tidak tahu harus bereaksi bagaimana lagi.“Tapi Mas udah ada lihat tanda-tandanya dari tahun lalu sih,” ungkap Arkan kemudian.Hana menunggu dengan sabar di sebelahnya.“Mas pernah mergokin Ivan no
“Kamu mau sesuatu?”Hana yang bersandar di tempat tidur menggeleng. Tubuhnya lemas luar biasa setelah muntah-muntah karena mencium aroma masakan yang menguar hingga ke seluruh penjuru rumah. Di depannya, Arkan menyodorkan segelas air hangat sebelum memijat kakinya.“Hari ini Mas ada acara?” tanya Hana. Suaranya terdengar serak.Arkan menggeleng. Ditunjuknya laptop di sofa dan berkata, “Mas harus lanjutin laporan buat besok.”Hana mengangguk. Didongakkannya kepala, menahan pusing yang menyerang kepalanya.“Kamu baik-baik aja?” tanya Arkan khawatir.Hana baru akan menggeleng saat ponselnya bergetar. Arkan menatap benda pipih itu sejenak, lalu meraihnya dan membaca nama penelepon.“Fahmi, Han.”Hana mengerjapkan mata.“Mas aja yang angkat,” ucapnya pelan. Ditekuknya kedua lutut dan membenamkan kepala.Arkan menimbang sejenak, kemudian bangkit dan keluar kamar. Tiba di balkon, disentuhnya ikon telepon berwarna hijau dan menempelkan ponsel di telinga.“Halo. Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikums
“Sisi lain Mas Arkan yang baru aku tahu tuh ternyata bucin ya.”Arkan yang tengah menyendok keripik ke dalam plastik menoleh. Tak jauh darinya, Keira asyik melihat-lihat berbagai kotak kaca yang berisi makanan beraneka macam. Tatapan Arkan turun ke tangannya yang berisi berbagai macam makanan.“Ini bukan bucin, Kei,” balas Arkan. “Nanti kalau kamu udah nikah dan pengen sesuatu, kamu pasti bakalan minta suamimu buat beliin apapun yang kamu mau ke luar.”Keira mencibir. “Masa sih?”“Mas yakin sih, kamu bakalan minta macam-macam ke Ivan nanti. Kamu kan manja.”Pipi Keira merah padam seketika. Dibalikkannya badan, membiarkan Arkan sibuk dengan belanjaannya.Saat dia berbalik lagi, gadis itu dibuat kaget dengan makanan yang menumpuk di nampan.“Mas lapar atau udah seminggu gak makan?” ejek Keira.“Buat persediaan Hana di atas, biar dia gak nekat turun karena lapar pas gak ada orang di rumah,” balas Arkan cuek. “Kamu mau beli sesuatu gak?”“Beli apa?” tanya Keira balik.Arkan mengembuskan n
“Mas kok lama?” protes Hana begitu dia tiba di lantai tiga. Kali ini, istrinya berkumpul bersama Aisyah, Zara, dan Salwa yang sibuk mengobrol.Arkan meletakkan toples berisi kerupuk ikan di depan Hana sambil berkata, “Mas beliin banyak jajanan buat kamu, jadi maaf ya kalo lama.”“Mas beli apa aja?” tanya Hana sebelum menyeruput teh-nya.“Ya banyak pokoknya. Mas simpan di kamar semua, jadi kamu gak perlu turun kalo pas semua orang lagi ngaji.”Hana mengangguk. Dibukanya toples, mengucapkan bismillah, kemudian mulai melahapnya pelan-pelan.“Umi lagi nulis apa?” tanya Arkan.Salwa mendongak, menjawab lembut, “Daftar penerima bantuan buat anak yatim tahun ini.”Arkan berusaha mengintip, namun bahunya ditampar pelan oleh Zara.“Mau tahu aja,” ejeknya.Arkan mencibir, lalu menatap istrinya yang sibuk membaca buku fiqih sambil makan. Dehaman iseng Zara membuat Arkan menoleh.“Mbak iri?” tanya Arkan.Zara menggeleng, tampangnya terlihat polos luar biasa. Salwa dan Aisyah mengulum senyum, seme