Share

Bab 2: Hari Neraka

“Huwekkkk ... huwekkk.” Terdengar suara Nam sedang muntah dari dalam kamar mandi mengkhawatirkan.

“Nam, kamu baik-baik saja?” tanyaku setengah berteriak.

Nam belum menjawab. Ia masih muntah-muntah tidak karuan. “Aku baik-baik saja kok. Lemas dikit gak ngaruh!” teriak Nam dari dalam kamar mandi.

Aku yang saat itu sedang bersama Adel duduk di atas pembaringan saling memandang. Adel itu tetangga kamar di indekos yang kami tempati. Karena khawatir, secara diam-diam, aku meminta Adel membelikan testpack ke apotek terdekat. Aku bukan suuzon, hanya saja feeling ini kuat jika Nam bukan masuk angin. Adel pun keluar kamar mengikuti intruksi untuk membeli testpack.

Hingga saat Nam keluar kamar mandi, ia tampak lemah dan pucat sekali malam itu. Jalannya begitu tertatih. Ia merebahkan diri di pembaringannya. Tangannya langsung menarik selimut untuk menutupi semua tubuhnya.

Aku bahkan sampai mencari bubur di orderan online. Lumayan lama menunggu. Hingga bubur itu tiba, buru-buru aku menyuapi Nam agar tidak terlalu lemah. Sejak siang pulang dari kafe itu, ia enggan makan dan hanya ingin tidur. Satu sendok pun sulit sekali ia telan. Ia juga sensitif mencium bau-bauan. Terutama parfum, akan muntah jika menciumnya. Aku cukup kesulitan mengurus Nam.

“Ning, kalau aku hamil beneran gimana? Aku kepikiran terus,” ucap Nam tetiba mengagetkanku.

“Kamu tenang dulu jangan stres. Kalau itu sampai terjadi, minta pertanggung jawaban sama bapaknya lah.”

Nam menatapku dengan penuh arti. “Frans sudah semingguan susah dihubungi. Aku tanya teman kosnya pun ia belum kembali dari kampungnya. Jadi aku harus gimana?’ tanya Nam nada bicaranya naik turun.

Aku menghela napas panjang. “Kamu tahu alamat rumah Frans?”

Nam menggeleng. Aku merebahkan diri di pembaringan. Hingga kemudian Adel mengetuk pintu dari luar. Refleks aku turun dari kasur dan menghampiri anak itu. Ketika daun pintu dibuka, anak itu masuk dengan air muka yang terlihat cemas. Ia pun langsung menghampiri Nam sambil menenteng keresek hitam berisi testpack.

Akhirnya Nam berdiri menuju kamar mandi dengan sedikit sempoyongan. Aku menghampirinya untuk jaga-jaga. Hingga mungkin lima menit ia baru keluar dari toilet tersebut dengan air muka dipenuhi air mata. Wajahnya benar-benar sembab. Aku dan Adel setengah berlari merebut testpack yang dipegang oleh Nam.

Aku dan Adel langsung lemas. Kami bertiga terduduk di atas lantai hanya saling memandang. Ini sungguh rumit. Bagaimana meminta tanggung jawab kepada Frans?

“Frans gak ikut organisasi apa pun. Ia juga mahasiswa kupu-kupu. Dunianya nge-band dan juga nongkrong di beberapa tempat. Anak tongkrongan gitu,” celetuk Adele membuat Nam sedikit tidak terima.

“Dia nge-band karena mencari uang tambahan. Dia bukan anak mama yang hanya minta uang. Sejak SMA bahkan ia sudah tidak minta uang jajan. Aku tidak percaya kalau dia kabur karena kejadian ini. Aku khawatir dia sakit di kampung dan belum bisa kembali ke kota. Kampungnya susah sinyal.”

Aku menutup mata sejenak mendengarkan keluhan semua ini. Kemudian aku berusaha melerai mereka yang mulai berdebat. Hingga suara dering telepon membuyarkan semuanya. Buru-buru Adel angkat dan keluar kamar. Pintu kamar pun bahkan tidak ditutup kembali olehnya.

“Kamu tahu gak sih berita terbaru dari Adel?” ucap Nam yang saat itu setengah berbisik mulai menyebarkan bahan gibahan. Refleks aku mengangkat kedua bahu.

“Orang tuanya sedang proses bercerai, katanya sih bapaknya kegoda gadis seumuran Adel. Kemarin dia curhat gitu,” bisik Nam yang membuatku sadar jika curhat ke dia, bisa sampai ujung pintu kos sana tersebar.

***

Esok paginya, ketika aku ada sedikit urusan di kampus, tetiba saja Bapak telpon. Dari ujung gawainya itu, ada suara tegas yang disampaikan Bapak. Aku yang masih di dalam kamar sedikit mematung atas apa yang Bapak sampaikan. Nam yang semula tertidur pun tetiba terbangun mendengar suaraku yang naik turun.

“Bapak punya hutang besar ke Pak Bobi 12 juta demi kelancaran usaha Bapak yang sempat menurun. Namun, karena income yang didapat masih merintis jadinya bapak sulit bayar, tumbuhlah bunga perbulannya. Hingga Bapak harus membayar 22 juta. Bapak cukup stres dengan hal ini.”

Dengan sedikit penekanan, aku lumayan memendam kesal selama ini. “Dan Bapak menjadikanku sebagai alat pembayaran hutang?” ujarku sambil menahan sedih memandang langit-langit kamar.

“Bapak tidak punya pilihan lain, Nak. Ketika Pak Bobi ke rumah, ketika kamu menyuguhi dia selayaknya tamu. Ia bilang bahwa dia menyukai sikap kamu. Dia ingin menjodohkanmu dengan anaknya. Jika Bapak berhasil, maka semua hutang itu akan dianggap lunas. Bapak mohon kamu pikirkan baik-baik, Nak!”

Menikah dengan laki-laki yang aku tidak kenal dan tukang jajan? Bagaimana jika lelaki itu beneran punya penyakit k*lamin seperti yang dikatakan Ibu? Bapak bilang tidak ada pilihan lain? Sudah 21 tahun aku berusaha menjaga kehormatan, tapi Bapak menukarnya dengan dalih tidak ada jalan keluar lain? Kututup sambungan telpon itu tanpa memberikan jawaban apa pun.

Nam yang sejak tadi menguping hanya terdiam dan beranjak turun dari pembaringannya. Ia pun duduk di dekatku serta mengusap punggung. “Dunia terkadang kejam ya, dan terkadang di luar ekspektasi kita.”

***

Sore itu saat masih di kampus, aku naik ke lantai tiga ruang seni. Ada beberapa barangku yang tertinggal di sana. Ruang itu dikhususkan untuk pertunjukkan seni rupa. Kebanyakan sih mahasiswa lebih menyukai melukis. Ada juga yang membuat topeng, atau patung dari kayu. Apa saja asalkan seni rupa. Ketika masuk, tak sengaja aku melihat Arion sedang melukis.

Dia menjadi salah satu kawanan El yang katanya anak pengusaha Batu Bara. Orang-orang lebih akrab menyapanya IO dibandingkan nama Arion. Dengan menumpangkan kaki kanannya, ia sibuk melukis. Pembawaannya tenang sekali. Karena ragu, buru-buru aku mengambil kotak pensil yang tertinggal di salah satu laci tersebut. Aku bahkan enggan menatapnya, ingin segera keluar.

“Bisakah kauambilkan cat merah di salah satu rak, Ning?” pintanya yang membuat jalanku terhenti sejenak.

Dia tidak salah meminta? Aku menoleh memastikan kembali jika ia memanggil namaku. Lantas, ia malah tertawa kecil, manis sekali.

“Kau melihat apa, Ning? Jika keberatan aku akan ambil sendiri,” tuturnya dengan lembut kala itu.

Aku berjalan menuju salah satu rak dan mencari cat lukis berwarna merah. Ternyata ada, segera kudekati anak itu dengan setengah ragu. Salah satu tangannya menggenggam cat tersebut saat tahu aku sudah di dekatnya. Ia menatapku dari jarak dekat. Poninya sedikit belah pinggir. Keningnya lumayan jenong.

“Kau tidak bisu ‘kan, Ning?” tanya IO membuatku gelagapan.

“Kenapa kamu di sini sendirian? Gak sama El?” tanyaku yang malah membuatnya tertawa geli.

Dia menatapku kembali sambil tersenyum, berhasil membuatku tersipu malu dengan pipi merekah. “Ya, masa aku kemana-mana ngikutin El terus, Ning? Aku bukan pacarnya, maupun penjaganya. Aku suka di sini. Duniaku.”

Aku terdiam beberapa saat. Mulai berjanji pada diri sendiri untuk berhenti membicarakan anak tengil itu. “Lukisanmu bagus, IO. Kamu menyukai Surealis, ya?”

IO menoleh kembali dengan mengerutkan kening beberapa lipatan. “Kau mengetahui aliran seni, ya?”

Aku mengangguk kecil. “Sedikit. Aku belum sehebat kamu, IO. Apa nama lukisanmu?”

The Lost Crown.” Anak itu kembali ke dunianya – melukis Surealis. Entah sudah berapa lama aku berdiri mematung memperhatikan anak ini melukis. Detail demi detail ia buat sungguh mengagumkan. Hingga mungkin IO tersadar, jika sedari tadi aku berada di belakangnya. Sepertinya ia mulai terusik.

“Omong-omong, kenapa kamu sering berantem dengan El? Ada masalah apa di antara kalian?”

Aku mengernyitkan kening sambil menghela napas panjang. Kuceritakan awal mula aku marah pada El saat di parkiran itu. Bagaimana aku bisa sampai merobek baju mahalnya. Hingga berlanjut kami saling menyerang.

IO seketika tertawa. Tangannya dipenuhi cat lukis yang belum dibersihkan. Rambutnya diikat ke belakang. Dia real definisi seniman. “Kau mengesankan, Ning. Tidak semua wanita seberani dirimu.”

Aku menghela napas sejenak. “Kau pandai memuji orang.”

Anak itu tertawa lagi. Berbeda sekali jika ia di samping El yang lebih sering diam mengamati sekitar. IO kembali ke dunianya melukis Surealis. Hal itu membuatku sedikit membatin. Hanya saja, aku lebih baik menemui Adel. “IO, aku pulang ya.”

“Ning …,” panggil IO membuatku menoleh sejenak. “Nanti malam, kamu free?” Seketika ia menodongku dengan satu pertanyaan mendebarkan.

Aku mengangguk pelan. Ia pun tersenyum tipis. “Temani aku ke acara Art Exhibition, yuk. Sekalian makan malam juga. Nanti aku jemput, ya,” ucapnya kembali melukis seolah tanpa dosa mengajak tanpa melihat perasaanku yang dag-dig-dug.

Tangan mendadak tremor. “Oke!” jawabku singkat yang bahkan suaranya nyaris tak terdengar karena gugup.

IO menoleh kembali dengan air muka polosnya. “Aku minta nomormu dong. Biar gampang jemputnya.” Semesta berasa terhenti saat itu juga.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status