“Huwekkkk ... huwekkk.” Terdengar suara Nam sedang muntah dari dalam kamar mandi mengkhawatirkan.
“Nam, kamu baik-baik saja?” tanyaku setengah berteriak.
Nam belum menjawab. Ia masih muntah-muntah tidak karuan. “Aku baik-baik saja kok. Lemas dikit gak ngaruh!” teriak Nam dari dalam kamar mandi.
Aku yang saat itu sedang bersama Adel duduk di atas pembaringan saling memandang. Adel itu tetangga kamar di indekos yang kami tempati. Karena khawatir, secara diam-diam, aku meminta Adel membelikan testpack ke apotek terdekat. Aku bukan suuzon, hanya saja feeling ini kuat jika Nam bukan masuk angin. Adel pun keluar kamar mengikuti intruksi untuk membeli testpack.
Hingga saat Nam keluar kamar mandi, ia tampak lemah dan pucat sekali malam itu. Jalannya begitu tertatih. Ia merebahkan diri di pembaringannya. Tangannya langsung menarik selimut untuk menutupi semua tubuhnya.
Aku bahkan sampai mencari bubur di orderan online. Lumayan lama menunggu. Hingga bubur itu tiba, buru-buru aku menyuapi Nam agar tidak terlalu lemah. Sejak siang pulang dari kafe itu, ia enggan makan dan hanya ingin tidur. Satu sendok pun sulit sekali ia telan. Ia juga sensitif mencium bau-bauan. Terutama parfum, akan muntah jika menciumnya. Aku cukup kesulitan mengurus Nam.
“Ning, kalau aku hamil beneran gimana? Aku kepikiran terus,” ucap Nam tetiba mengagetkanku.
“Kamu tenang dulu jangan stres. Kalau itu sampai terjadi, minta pertanggung jawaban sama bapaknya lah.”
Nam menatapku dengan penuh arti. “Frans sudah semingguan susah dihubungi. Aku tanya teman kosnya pun ia belum kembali dari kampungnya. Jadi aku harus gimana?’ tanya Nam nada bicaranya naik turun.
Aku menghela napas panjang. “Kamu tahu alamat rumah Frans?”
Nam menggeleng. Aku merebahkan diri di pembaringan. Hingga kemudian Adel mengetuk pintu dari luar. Refleks aku turun dari kasur dan menghampiri anak itu. Ketika daun pintu dibuka, anak itu masuk dengan air muka yang terlihat cemas. Ia pun langsung menghampiri Nam sambil menenteng keresek hitam berisi testpack.
Akhirnya Nam berdiri menuju kamar mandi dengan sedikit sempoyongan. Aku menghampirinya untuk jaga-jaga. Hingga mungkin lima menit ia baru keluar dari toilet tersebut dengan air muka dipenuhi air mata. Wajahnya benar-benar sembab. Aku dan Adel setengah berlari merebut testpack yang dipegang oleh Nam.
Aku dan Adel langsung lemas. Kami bertiga terduduk di atas lantai hanya saling memandang. Ini sungguh rumit. Bagaimana meminta tanggung jawab kepada Frans?
“Frans gak ikut organisasi apa pun. Ia juga mahasiswa kupu-kupu. Dunianya nge-band dan juga nongkrong di beberapa tempat. Anak tongkrongan gitu,” celetuk Adele membuat Nam sedikit tidak terima.
“Dia nge-band karena mencari uang tambahan. Dia bukan anak mama yang hanya minta uang. Sejak SMA bahkan ia sudah tidak minta uang jajan. Aku tidak percaya kalau dia kabur karena kejadian ini. Aku khawatir dia sakit di kampung dan belum bisa kembali ke kota. Kampungnya susah sinyal.”
Aku menutup mata sejenak mendengarkan keluhan semua ini. Kemudian aku berusaha melerai mereka yang mulai berdebat. Hingga suara dering telepon membuyarkan semuanya. Buru-buru Adel angkat dan keluar kamar. Pintu kamar pun bahkan tidak ditutup kembali olehnya.
“Kamu tahu gak sih berita terbaru dari Adel?” ucap Nam yang saat itu setengah berbisik mulai menyebarkan bahan gibahan. Refleks aku mengangkat kedua bahu.
“Orang tuanya sedang proses bercerai, katanya sih bapaknya kegoda gadis seumuran Adel. Kemarin dia curhat gitu,” bisik Nam yang membuatku sadar jika curhat ke dia, bisa sampai ujung pintu kos sana tersebar.
***
Esok paginya, ketika aku ada sedikit urusan di kampus, tetiba saja Bapak telpon. Dari ujung gawainya itu, ada suara tegas yang disampaikan Bapak. Aku yang masih di dalam kamar sedikit mematung atas apa yang Bapak sampaikan. Nam yang semula tertidur pun tetiba terbangun mendengar suaraku yang naik turun.
“Bapak punya hutang besar ke Pak Bobi 12 juta demi kelancaran usaha Bapak yang sempat menurun. Namun, karena income yang didapat masih merintis jadinya bapak sulit bayar, tumbuhlah bunga perbulannya. Hingga Bapak harus membayar 22 juta. Bapak cukup stres dengan hal ini.”
Dengan sedikit penekanan, aku lumayan memendam kesal selama ini. “Dan Bapak menjadikanku sebagai alat pembayaran hutang?” ujarku sambil menahan sedih memandang langit-langit kamar.
“Bapak tidak punya pilihan lain, Nak. Ketika Pak Bobi ke rumah, ketika kamu menyuguhi dia selayaknya tamu. Ia bilang bahwa dia menyukai sikap kamu. Dia ingin menjodohkanmu dengan anaknya. Jika Bapak berhasil, maka semua hutang itu akan dianggap lunas. Bapak mohon kamu pikirkan baik-baik, Nak!”
Menikah dengan laki-laki yang aku tidak kenal dan tukang jajan? Bagaimana jika lelaki itu beneran punya penyakit k*lamin seperti yang dikatakan Ibu? Bapak bilang tidak ada pilihan lain? Sudah 21 tahun aku berusaha menjaga kehormatan, tapi Bapak menukarnya dengan dalih tidak ada jalan keluar lain? Kututup sambungan telpon itu tanpa memberikan jawaban apa pun.
Nam yang sejak tadi menguping hanya terdiam dan beranjak turun dari pembaringannya. Ia pun duduk di dekatku serta mengusap punggung. “Dunia terkadang kejam ya, dan terkadang di luar ekspektasi kita.”
***
Sore itu saat masih di kampus, aku naik ke lantai tiga ruang seni. Ada beberapa barangku yang tertinggal di sana. Ruang itu dikhususkan untuk pertunjukkan seni rupa. Kebanyakan sih mahasiswa lebih menyukai melukis. Ada juga yang membuat topeng, atau patung dari kayu. Apa saja asalkan seni rupa. Ketika masuk, tak sengaja aku melihat Arion sedang melukis.
Dia menjadi salah satu kawanan El yang katanya anak pengusaha Batu Bara. Orang-orang lebih akrab menyapanya IO dibandingkan nama Arion. Dengan menumpangkan kaki kanannya, ia sibuk melukis. Pembawaannya tenang sekali. Karena ragu, buru-buru aku mengambil kotak pensil yang tertinggal di salah satu laci tersebut. Aku bahkan enggan menatapnya, ingin segera keluar.
“Bisakah kauambilkan cat merah di salah satu rak, Ning?” pintanya yang membuat jalanku terhenti sejenak.
Dia tidak salah meminta? Aku menoleh memastikan kembali jika ia memanggil namaku. Lantas, ia malah tertawa kecil, manis sekali.
“Kau melihat apa, Ning? Jika keberatan aku akan ambil sendiri,” tuturnya dengan lembut kala itu.
Aku berjalan menuju salah satu rak dan mencari cat lukis berwarna merah. Ternyata ada, segera kudekati anak itu dengan setengah ragu. Salah satu tangannya menggenggam cat tersebut saat tahu aku sudah di dekatnya. Ia menatapku dari jarak dekat. Poninya sedikit belah pinggir. Keningnya lumayan jenong.
“Kau tidak bisu ‘kan, Ning?” tanya IO membuatku gelagapan.
“Kenapa kamu di sini sendirian? Gak sama El?” tanyaku yang malah membuatnya tertawa geli.
Dia menatapku kembali sambil tersenyum, berhasil membuatku tersipu malu dengan pipi merekah. “Ya, masa aku kemana-mana ngikutin El terus, Ning? Aku bukan pacarnya, maupun penjaganya. Aku suka di sini. Duniaku.”
Aku terdiam beberapa saat. Mulai berjanji pada diri sendiri untuk berhenti membicarakan anak tengil itu. “Lukisanmu bagus, IO. Kamu menyukai Surealis, ya?”
IO menoleh kembali dengan mengerutkan kening beberapa lipatan. “Kau mengetahui aliran seni, ya?”
Aku mengangguk kecil. “Sedikit. Aku belum sehebat kamu, IO. Apa nama lukisanmu?”
“The Lost Crown.” Anak itu kembali ke dunianya – melukis Surealis. Entah sudah berapa lama aku berdiri mematung memperhatikan anak ini melukis. Detail demi detail ia buat sungguh mengagumkan. Hingga mungkin IO tersadar, jika sedari tadi aku berada di belakangnya. Sepertinya ia mulai terusik.
“Omong-omong, kenapa kamu sering berantem dengan El? Ada masalah apa di antara kalian?”
Aku mengernyitkan kening sambil menghela napas panjang. Kuceritakan awal mula aku marah pada El saat di parkiran itu. Bagaimana aku bisa sampai merobek baju mahalnya. Hingga berlanjut kami saling menyerang.
IO seketika tertawa. Tangannya dipenuhi cat lukis yang belum dibersihkan. Rambutnya diikat ke belakang. Dia real definisi seniman. “Kau mengesankan, Ning. Tidak semua wanita seberani dirimu.”
Aku menghela napas sejenak. “Kau pandai memuji orang.”
Anak itu tertawa lagi. Berbeda sekali jika ia di samping El yang lebih sering diam mengamati sekitar. IO kembali ke dunianya melukis Surealis. Hal itu membuatku sedikit membatin. Hanya saja, aku lebih baik menemui Adel. “IO, aku pulang ya.”
“Ning …,” panggil IO membuatku menoleh sejenak. “Nanti malam, kamu free?” Seketika ia menodongku dengan satu pertanyaan mendebarkan.
Aku mengangguk pelan. Ia pun tersenyum tipis. “Temani aku ke acara Art Exhibition, yuk. Sekalian makan malam juga. Nanti aku jemput, ya,” ucapnya kembali melukis seolah tanpa dosa mengajak tanpa melihat perasaanku yang dag-dig-dug.
Tangan mendadak tremor. “Oke!” jawabku singkat yang bahkan suaranya nyaris tak terdengar karena gugup.
IO menoleh kembali dengan air muka polosnya. “Aku minta nomormu dong. Biar gampang jemputnya.” Semesta berasa terhenti saat itu juga.
***
Aku keluar dari ruang seni dengan perasaan campur aduk. Tak sengaja mata ini melirik di salah satu titik terdapat El yang sedang meneguk air mineral dengan tatapan mata yang sinis. Sepertinya, ia melihatku mengobrol dengan IO. Ia tidak bereaksi apa pun, bahkan hingga aku turun menuju parkir motor. Sementara itu di bawah anak tangga, Adel sudah menunggu. Urusannya sudah selesai sehingga ia menungguku di sana. Kami berdua berniat segera pulang karena badan sudah lelah dengan semua drama hari ini. Nam juga sudah sejak tadi chat menginginkan kami secepatnya pulang. Jarak gedung ke parkiran cukup jauh sehingga kami mengobrol sepanjang perjalanan. Adel bahkan terlalu kepo saat tahu aku sempat berduaan di ruang seni bersama IO. Ia bahkan menyindirku. Aku tahu, Adel ngefans berat dengan IO. Hanya saja, ia tidak memiliki kesempatan untuk bisa bertemu dengan IO. “Tadi aku cuma ambil tepak saja sebenarnya karena ketinggalan pas praktik bikin topeng. Gak sengaja dia minta ambilkan cat gitu.”
IO menunjukan taringnya. Ia mulai ngebut saat di tol kota. Sejak kejadian tadi, kami belum berbicara apa pun. Aku bahkan sampai menangis segukan karena takut. Hal ini membuat pedal gas yang ditekan IO mengendur. Tanganku rasanya tremor. Orang pendiam ketika marah rupanya menakutkan. “Maaf IO maaf. Aku tak bermaksud menyakiti perasaanmu,” ucapku yang saat ini rasanya masih segukan. “Kau tahu? Aku bukan sosok El yang bisa dengan mudah mendekati wanita. Bukan juga sosok RK yang bisa tebar pesona. Aku ini sosok yang kaku dan punya dunia sendiri. Kau berbeda Ning saat berada dekat denganku. Kau tidak membahas harta, kau tidak membahas wajah. Kau bisa masuk dalam duniaku.” Aku menelan ludah yang terasa mengering. IO mengungkapkan semuanya. “Tapi, kenapa saat aku mencoba memasuki duniamu, hanya El dan El yang membuatmu seolah penasaran. Apa aku harus berbuat jahat dulu agar kamu penasaran denganku? Apa aku harus menjadi badboy terlebih dahulu?” Aku mengatur napas mengendalikan emosional
Aku baru saja sampai di depan kamar indekos dengan perasaan yang campur aduk. Kepala rasanya berat saat perlahan membuka pintu yang sepertinya Nam belum tidur. Kulihat malam itu masih pukul 21.00 wib, anak itu biasanya masih berkutat dengan pekerjaan sampingannya sebagai freelancer lepas desain grafis. Akantetapi, malam itu berbeda. Aku tidak melihat Nam di dalam kamar. Degup jantung rasanya berdebar kencang setelah melihat tempat tidur acak-acakan. Beberapa barang juga tergeletak di atas lantai dengan kondisi sebagian sudah hancur. Apa yang terjadi? Di mana Nam? Buru-buru aku keluar kamar untuk memastikan keadaan. Salah satu tetangga kos menghampiri dengan air muka yang panik. “Nam dibawa ke rumah sakit setelah mengalami luka fisik. Tadi Adel yang bawa.” Keningku mengerut beberapa lipatan diserta napas yang terjeda. “Apa yang terjadi? Nam kenapa?” “Tadi Frans nekat masuk dan mereka ribut hebat. Nam mengalami luka-luka. Kalau kami tidak secepatnya memanggil satpam mungkin Nam bisa
Hari ini acara ospek dan kegiatan kemahasiswaan sudah dimulai. Aku memiliki jadwal pertemuan dengan organisasi mahasiswa di jam 8 pagi. Letak ruangannya berada di lantai 3, cukup membuat badmood karena harus naik turun tangga. Sambil berkaca pinggang, aku menyiapkan diri untuk menaiki sejumlah anak tangga. Hingga sampai di lantai 3, tetiba saja aku dipaksa ikut tiga orang yang tak dikenal untuk mengikuti mereka ke rooftop gedung.Kasar sekali mereka menggeretku, hingga kulihat ada dua sosok yang tak asing berdiri di sana memandang penuh amarah. Sementara orang-orang yang menculikku tetiba saja mendorong hingga aku tersungkur. Itu El dan RK tengah tertawa melihatku terjatuh. Lelaki macam apa yang menertawakan perempuan seperti itu?“Apa yang kauinginkan dari, IO?” tanya El dengan melipat lengannya di perut. Ia ketus sekali pagi itu dengan sesekali membuang wajah.“Apa yang kalian maksudkan? Terlalu paranoid rasanya kalian berdua,” ucapku tegas sambil berusaha berdiri.RK kini mendekat.
Nam baru saja pulang dari urusannya di kampus. Aku yang saat itu hanya tiduran kini duduk di tepi pembaringan memperhatikan Nam yang sedang beres-beres. Anak itu awalnya cuek, hanya mungkin baru tersadar saat melihatku sembab dengan air muka yang ditekuk.“Kau kenapa sih?” tanya Nam yang saat itu sedang membereskan barang-barang di meja belajar.“IO mencampakkan aku.”Nam menoleh dengan air muka terkejut. “Kok bisa? Gara-gara apa?”Aku menghela napas panjang. “Dio tadi telpon saat di kafe tapi belum sempat aku angkat, jadi IO yang angkat. Entah ada pembicaraan apa di antara mereka. IO akhirnya tahu kalau aku sedang proses dijodohkan.”Nam pun mengumpat Dio secara kasar. “Bisa-bisanya dia ikut campur hubungan orang. Aku labrak orang itu liat saja.”“Nammm!” ucapku menggelengkan kepala. “Aku tidak mau kita terbawa arus masalah baru.”Nam mendengkus sebal. “Kau terlalu baik, ah. Ditindas El pun nerima-nerima aja lagi. Kalau aku udah ditabok itu El.”Telepon kembali berdering. Bapak meman
Malam sebelum prosesi akad dimulai, aku berada di dalam kamar yang sudah dirias. Ibu datang yang sepertinya menguatkanku. Aku memeluknya, erat sekali. Bahkan Ibu menangis pecah malam itu. Tidak ada raut tangis bahagia di wajahnya. Seolah tak rela jika anaknya diperlakukan seperti ini.“Bu ... Aku takut.” Hanya itu yang bisa aku katakan di depannya.Ibu memeluk dengan tangis yang semakin pecah. Ibu segukan dengan punggungku terasa basah. Aku tidak tega melihat Ibu menangis terpukul seperti ini. Hatiku hancur sejadi-jadinya. “Maaf, Nak. Ibu gagal melakukannya. Ibu tidak bisa melawan Bapak. Karena ibu diancam oleh Bapak. Sekarang ibu merasa gagal,” ucap Ibu yang kala itu kelihatan frustrasinya.“Doakan aku ya, Bu. Semoga Allah memberikanku jalan terbaik.”Dengan masih segukan, Ibu mengusap pundakku. “Pasti, Sayang, pasti. Ibu orang pertama yang akan pasang badan jika kamu disakiti orang lain.”Malam itu aku tidur dengan Ibu saling menguatkan. Hingga pagi-pagi sekali, aku dibangunkan untu
Pagi-pagi sekali aku dibangunkan. Ternyata aku berada di lantai dengan tubuh menyender ke pembaringan. El sudah datang, dengan mulut yang lumayan bau teh berdosa. Ia terlihat panik dan memintaku menuruti kemauannya. Aku yang masih belum sadar 100% hanya bisa melongo dengan intruksinya. “Ini sudah jam setengah lima. Sebentar lagi Papa ke sini. Gawat kalau tahu aku ke club. Pokoknya kita harus acting kalau semalam kita sudah malam pertama yang sangat indah, kamu paham?” Aku menggeliat. Kemudian beranjak menuju kamar mandi. Hal ini membuat El protes dan murka. “Aku mau pipis, El. Kamu mau aku pipis di mulutmu?” El terduduk di sudut pembaringan mencoba sabar. Mungkin 3 menit setelah aku dari kamar mandi, cukup kaget melihat kasur yang berantakan. Aku hanya melipat tangan di dada. Satu set pakaian kotorku ia simpan berserakan di lantai. Aku membuang napas panjang. Drama apalagi yang akan kau mainkan? “Kamu mandi dan keramas. Tutupi rambutmu dengan anduk. Jangan lupa juga pakai handuk ba
Namanya Poppy. Ia sedang duduk di pojok depan kursi khusus dosen. Rambutnya pendek ala Demi Moore. Kakinya jenjang dan menjadi kandidat dosen favorit mahasiswa di kampus karena visualnya. Dia mengajar Aljabar dengan kesabaran setipis tisu dibagi dua. Hari ini kelas perdana, sudah ada pre-test yang diberikannya. Di tangannya sudah ada tablet dengan pulpen khusus gadget tersebut dia mainkan.“Tidak ada yang protes saya berikan pre-test. Menjadi mahasiswa harus kritis dalam belajar. Saya berikan soal-soal dasar. Seharusnya kalian mencari tahu dulu materi Aljabar semalam dan berlatih!” tegas Bu Poppy galak.Aku mencoba berpikir sambil menghela napas panjang. Rumusnya lupa-lupa ingat. Beberapa sibuk meradar, membuat Bu Poppy menggebrag mejanya. Semua terdiam hening. Bu Poppy terlalu galak untuk visual yang enak dipandang.Hingga kemudian ia memasang kamera dengan tripod otomatis bisa memutar sendiri. “Ketua kelasnya nanti ketika selesai kumpulkan kertas jawaban dan simpan di meja saya di r