Share

Disiakan Suami, Dicintai Sepupunya
Disiakan Suami, Dicintai Sepupunya
Penulis: Aaf

Bab 1: Perjodohan dan Lelaki Bedebah

“Ibu gak suka perjodohan ini!” tegas Ibu di tengah hening menikmati makan malam. Sementara Bapak yang sedang lahap kini tersulut.

“Ibu cuma parno dan lebay!” celetuk Bapak membuatku cukup kaget.

Ibu meletakkan sendok ke piring secara keras, dengan air muka yang kesal dan tatapan penuh arti menatap suaminya itu. Aku tak pernah melihat Ibu semarah ini sebelumnya. Sementara Bapak mulai terusik.

“Apa yang perlu dikhawatirkan? Bening akan dinikahkan dari kalangan terhormat. Harusnya kita bangga bisa berbesanan dengan keluarga terpandang. Harga diri kita naik kelas. Ibu gak ingin dipandang terhormat orang-orang? Kita cuma pedagang pasar yang dipandang sebelah mata, Bu!”

Ibu mengernyitkan kening beberapa lipatan. “Bapak haus dipuji orang! Biarkan Bening tahu cerita sebenarnya, Pak. Mumpung dia di sini, dia harus tahu semuanya!” pinta Ibu mendesak Bapak dengan galak.

“Kamu sudah membaca CV taaruf yang bapak berikan kemarin, Nak?” tanya Bapak membuatku menghela napas panjang.

“Hanya sebagian. Aku tidak sempat membacanya.” Hati kecilku berontak, seolah ketidakadilan ini harus diberantas.

Ibu menoleh dengan air mukanya yang tegas. “Dia tidak menyukai perjodohan ini, Pak! Begitu pun Ibu!” ucapnya ada jeda napas panjang. “Lagi pula ini bukan zaman Siti Nurbaya. Dia berhak mendapatkan pemuda yang lebih baik, Pak! Bagaimana nanti kalau anak kita kena penyakit?”

“Bu ...!” tegur Bapak membuat kedua mataku terbelalak.

Aku pun membenarkan anak rambut sambil mendengarkan teka-teki ini. “Penyakit apa maksud Ibu?”

Ibu menepak meja makan menahan kesal. “Dia putri kita satu-satunya, Pak! Aku mau cucu-cucu yang sehat seperti Bagas dan istrinya. Kok Bapak tega sih menjodohkan Bening dengan pemuda itu?” jelas Ibu membuatku tertampar kenyataan.

“Ibu hanya paranoid. Lelaki itu rutin cek berkala. Justru Bapak berharap Bening bisa mengubah pemuda itu ke jalan yang benar. Membuatnya insyaf. Bapak dan Pak Bobi sepakat menjadikan pernikahan ini sebagai jalan untuk menyadarkan anak itu.”

Aku membanting sendok dan garpu ke piring lumayan keras. “Cukup! Jadi maksud Bapak, pemuda itu suka jajan di luar? Gampang banget Bapak menyerahkan laki-laki yang sama sekali Bening gak kenal untuk Bening didik. Orang tuanya aja gak bisa didik dia, apa kabar Bening anak baru dalam hidupnya? Sadar, Pak!” tegasku pergi ngeloyor.

Sayup-sayup terdengar jika Ibu berbicara lagi. “Uang bisa kita cari sama-sama, Pak. Tapi jangan korbankan anak kita, demi masa depannya.”

***

Besok paginya aku memutuskan untuk kembali ke Ibu Kota meskipun kampus masih beberapa hari lagi dalam proses perkuliahan. Beberapa anak juga sudah kembali ke indekos mereka, termasuk Namira – teman sekamarku. Dia membawa banyak oleh-oleh dari kampung halamannya di Sumut. Kami beda jurusan.

Namun, hari itu kulihat Namira pucat sekali. Mungkin perjalanan jauh membuat dirinya jetlag dan masuk angin. Aku mengerok punggungnya dengan koin di dalam kamar. Karena kurasa masuk angin juga setelah sejak datang muntah-muntah.

“Dengar-dengar kau dijodohkan ya, Ning? Wah selamat ya bentar lagi nikah.”

Aku menyelidik dan sedikit mengerok punggungnya kasar. Ia mengaduh. “Kamu itu ya, aku aja malas bahas perjodohan itu. Sudah hampir dua minggu rumah rasanya hampa gegara kejadian ini. Aku kabur ke sini menenangkan diri malah digodain.”

Namira terkekeh. “Eh, kamu gak nyari tahu siapa calon suamimu? Fokus mulu ngoding sih. Laravel lah, dikit-dikit algoritma lah. Nongkrong dikit dong ah gaul.”

Aku menjitak kepala anak itu karena dirasa tidaklah sopan. “Aku kuliah modal beasiswa, Nam. Otomatis IPK-ku gak boleh anjlok.”

Anak itu tersenyum. “Aku juga sering nongkrong, dan bahkan saat awal liburan saja, kami pergi ke Bajo buat liburan. Buktinya IPK-ku aja masih 3.5.”

Tetiba aku mengernyitkan kening. “Kamu ke Bajo hanya berdua sama Frans?” ujarku menghela napas sejenak, membuat Namira menoleh sejenak. “Nam, kamu pasti tahu apa yang aku pikirkan sekarang. Segera cek!”

Namira buru-buru duduk dengan selimut membalut tubuhnya yang sedang dikerok. “Ning, please jangan katakan sesuatu. Aku takut!”

***

Hari itu aku ke kampus untuk mendapatkan acc dari wali dosen sebagai kontrak mata kuliah yang akan diampu satu semester ke depan. Sambil memarkirkan motor, kulihat sebuah mobil porsche mewah melejit datang ke sebuah parkir khusus yang cukup luas. Sudah ada dua mobil mewah di sana terparkir sejak tadi. Selama ini memang selalu ada mobil elit yang terparkir di sana, tetapi aku tidak mengetahui pemiliknya. Mungkin saja dosen atau dekan fakultas.

Pagi itu juga aku sedikit tidak mood karena Nam mengurung dirinya di kamar. Semenjak aku menyuruhnya cek tespack, ia mengamuk dan enggan memakai alat itu. Seharusnya pagi ini kami daftar ulang, tetapi batal karena anak itu merajuk. Hingga tak sengaja seseorang menyenggolku. Ia tampak buru-buru kala itu.

Ia menatapku dan kemudian mengambil dompetnya yang bermerk itu. Ia keluarkan lima lembar uang merah gambar Soekarno-Hatta, dan memaksaku untuk menggenggam uang tersebut. “Pergilah makan enak, agar kamu tidak menjajakan diri malam ini!” tukasnya yang kemudian diiringi tawa terbahak-bahak ngeloyor.

Aku meremas uang itu dan setengah berlari mengejarnya. Dengan cepat, kutarik kemeja yang desainya ramai dengan tulisan versace hingga kancingnya copot. Ia menggeram dan menoleh dengan tatapan wajah yang seram. “Kamu tahu dengan aksi konyolmu ini merugikan orang lain. Dengan kamu menjajakan diri setiap malam selama sebulan pun belum tentu bisa lunasi harga baju ini,” gerutunya malah membuatku terkekeh senyum.

Aku melempar uang pemberian lelaki itu ke wajahnya. “Bawa ke tukang jahit, selesai!” tukasku merasa puas.

Dengan senyum kecut, anak itu tertawa menyeringai. Seram. “$1.735 kamu bilang ke tukang jahit? Who the hell are you?”

“Itu sudah sebanding dengan mulutmu yang sampah!” jawabku ngeloyor meninggalkannya.

***

Nam memintaku untuk datang ke Kafe bersama tiga orang temannya. Syukurlah dia sekarang sudah mau keluar rumah. Sepanjang menunggu acc dosen tadi, aku terus kepikiran Nam. Akhirnya aku berangkat dengan cukup terburu-buru karena katanya mereka sudah menunggu lama. Sayangnya kota macet siang itu ditambah lampu merah yang cukup lama. Hingga akhirnya aku sampai di Kafe yang dimaksud.

Pelan-pelan pandanganku meradar mencari keberadaan mereka. Rupanya mereka sedang asyik swafoto dan bahkan joget bareng di depan kamera yang terpasang tripod. Aku tersenyum simpul dan berlari mendekati mereka. Buru-buru aku masuk ke depan dan duduk jongkok agar bisa ikut berkreasi dengan mereka. Namun, salah satu anak entah kenapa malah terlihat badmood dan pergi begitu saja dari tempat. Salah satu anak yang lain pun melakukan hal yang sama. Aku bingung sendiri dan menelan ludah yang terasa kelu. Aku merasakan, dan membaca situasinya. Akhirnya aku memilih untuk menjauh. Sayangnya, Nam mengejarku. Mungkin karena merasa tidak enak hati. Saat itu aku menoleh dan berusaha menahan diri.

“Nam, kamu memang temanku, tapi aku tidak bisa masuk ke dalam circle teman-temanmu. Aku pergi dulu,” ucapku yang sebenarnya menahan sedih.

“Ning, maaf banget ya. Aku gak nyangka bakal begini. Tadinya tuh kusangka mereka akan lebih fun aja gitu kalau bareng kamu. Padahal tadi mereka izinkan aku ngajak kamu.”

“Sampai bertemu di kos ya. Aku mau istirahat,” ucapku menahan diri dan tetap berusaha tersenyum.

Aku bermaksud berjalan pulang seorang diri. Sampai kejadian tak disangka menimpaku. Seseorang menumpahkan kari tepat di bajuku. Dan beberapa orang yang duduk di kafe itu tertawa terbahak-bahak. Aku menatap pelakunya yang sedang tersenyum. Cewek postur tinggi yang sepertinya berdarah campuran luar. Air mukanya mengekspresikan ledekan dan merendahkan. Mulutnya samar-samar tercium bau alkohol. Ia juga terlihat setengah mabuk. Entah sudah berapa sloki teh berdosa yang ia teguk hari itu. Meskipun kafe itu tidak menyediakan teh berdosa.

“Itu pembalasanku karena kamu sudah merobek baju milik El. Kurang ajar sekali kamu beraninya melakukan itu!” ujarnya yang sepertinya kesal karena pujaannya aku balas siang tadi.

Ini kenapa dua-duanya gak punya adab ya? Aku menghela napas panjang dan segera berlalu tak mempedulikan hinaan dan caciannya. Dari belakang Nam berlari mendekat. Ia memberikan sapu tangannya dan segera mengajakku pulang. Hingga saat di depan kafe itu, munculah tiga mobil mewah baru saja parkir.

Porsche hijau, Mercy Merah, dan Rolls Royce hitam terpajang di sana. Dari ketiga keluarlah tiga pria yang dieluh-eluhkan gadis-gadis yang sedang berada di kafe itu. Outfit yang dipakai ketiganya pun bukanlah sembarangan. Belum lagi clutch bag yang mereka tenteng sungguh bermerk. Prada, Dior, Gucci, ah entah merk apa itu. Sepertinya aku baru saja menjadi perbincangan hangat karena mengganggu salah satu di antara mereka.

Seseorang tertawa keras. “Inikah caramu menarik pelanggan?”

Aku menoleh dengan mendengkus sebal menahan sabar. Terlebih Nam menggenggam erat tanganku menenangkan. Dua orang kawannya berlalu masuk ke dalam kafe. Sedangkan anak yang disebut namanya El itu, baru saja menoleh dan berniat menyusul kawan-kawannya. Di saat itulah pandanganku meradar.

Jika kalian menyebut aku lemah, kalian salah! Karena saat itu juga kurebut es teh manis yang dijinjing salah seorang pengunjung yang minumannya di-cup. Dengan setengah berlari, kulemparkan es teh itu tepat di tekuk lehernya. Es teh itu membasahi tubuhnya dalam sekejap. Semua memandang ini. Dua temannya menoleh dan tertawa keras. Aku menggebug gong perang saat itu juga!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status