“Ibu gak suka perjodohan ini!” tegas Ibu di tengah hening menikmati makan malam. Sementara Bapak yang sedang lahap kini tersulut.
“Ibu cuma parno dan lebay!” celetuk Bapak membuatku cukup kaget.
Ibu meletakkan sendok ke piring secara keras, dengan air muka yang kesal dan tatapan penuh arti menatap suaminya itu. Aku tak pernah melihat Ibu semarah ini sebelumnya. Sementara Bapak mulai terusik.
“Apa yang perlu dikhawatirkan? Bening akan dinikahkan dari kalangan terhormat. Harusnya kita bangga bisa berbesanan dengan keluarga terpandang. Harga diri kita naik kelas. Ibu gak ingin dipandang terhormat orang-orang? Kita cuma pedagang pasar yang dipandang sebelah mata, Bu!”
Ibu mengernyitkan kening beberapa lipatan. “Bapak haus dipuji orang! Biarkan Bening tahu cerita sebenarnya, Pak. Mumpung dia di sini, dia harus tahu semuanya!” pinta Ibu mendesak Bapak dengan galak.
“Kamu sudah membaca CV taaruf yang bapak berikan kemarin, Nak?” tanya Bapak membuatku menghela napas panjang.
“Hanya sebagian. Aku tidak sempat membacanya.” Hati kecilku berontak, seolah ketidakadilan ini harus diberantas.
Ibu menoleh dengan air mukanya yang tegas. “Dia tidak menyukai perjodohan ini, Pak! Begitu pun Ibu!” ucapnya ada jeda napas panjang. “Lagi pula ini bukan zaman Siti Nurbaya. Dia berhak mendapatkan pemuda yang lebih baik, Pak! Bagaimana nanti kalau anak kita kena penyakit?”
“Bu ...!” tegur Bapak membuat kedua mataku terbelalak.
Aku pun membenarkan anak rambut sambil mendengarkan teka-teki ini. “Penyakit apa maksud Ibu?”
Ibu menepak meja makan menahan kesal. “Dia putri kita satu-satunya, Pak! Aku mau cucu-cucu yang sehat seperti Bagas dan istrinya. Kok Bapak tega sih menjodohkan Bening dengan pemuda itu?” jelas Ibu membuatku tertampar kenyataan.
“Ibu hanya paranoid. Lelaki itu rutin cek berkala. Justru Bapak berharap Bening bisa mengubah pemuda itu ke jalan yang benar. Membuatnya insyaf. Bapak dan Pak Bobi sepakat menjadikan pernikahan ini sebagai jalan untuk menyadarkan anak itu.”
Aku membanting sendok dan garpu ke piring lumayan keras. “Cukup! Jadi maksud Bapak, pemuda itu suka jajan di luar? Gampang banget Bapak menyerahkan laki-laki yang sama sekali Bening gak kenal untuk Bening didik. Orang tuanya aja gak bisa didik dia, apa kabar Bening anak baru dalam hidupnya? Sadar, Pak!” tegasku pergi ngeloyor.
Sayup-sayup terdengar jika Ibu berbicara lagi. “Uang bisa kita cari sama-sama, Pak. Tapi jangan korbankan anak kita, demi masa depannya.”
***
Besok paginya aku memutuskan untuk kembali ke Ibu Kota meskipun kampus masih beberapa hari lagi dalam proses perkuliahan. Beberapa anak juga sudah kembali ke indekos mereka, termasuk Namira – teman sekamarku. Dia membawa banyak oleh-oleh dari kampung halamannya di Sumut. Kami beda jurusan.
Namun, hari itu kulihat Namira pucat sekali. Mungkin perjalanan jauh membuat dirinya jetlag dan masuk angin. Aku mengerok punggungnya dengan koin di dalam kamar. Karena kurasa masuk angin juga setelah sejak datang muntah-muntah.
“Dengar-dengar kau dijodohkan ya, Ning? Wah selamat ya bentar lagi nikah.”
Aku menyelidik dan sedikit mengerok punggungnya kasar. Ia mengaduh. “Kamu itu ya, aku aja malas bahas perjodohan itu. Sudah hampir dua minggu rumah rasanya hampa gegara kejadian ini. Aku kabur ke sini menenangkan diri malah digodain.”
Namira terkekeh. “Eh, kamu gak nyari tahu siapa calon suamimu? Fokus mulu ngoding sih. Laravel lah, dikit-dikit algoritma lah. Nongkrong dikit dong ah gaul.”
Aku menjitak kepala anak itu karena dirasa tidaklah sopan. “Aku kuliah modal beasiswa, Nam. Otomatis IPK-ku gak boleh anjlok.”
Anak itu tersenyum. “Aku juga sering nongkrong, dan bahkan saat awal liburan saja, kami pergi ke Bajo buat liburan. Buktinya IPK-ku aja masih 3.5.”
Tetiba aku mengernyitkan kening. “Kamu ke Bajo hanya berdua sama Frans?” ujarku menghela napas sejenak, membuat Namira menoleh sejenak. “Nam, kamu pasti tahu apa yang aku pikirkan sekarang. Segera cek!”
Namira buru-buru duduk dengan selimut membalut tubuhnya yang sedang dikerok. “Ning, please jangan katakan sesuatu. Aku takut!”
***
Hari itu aku ke kampus untuk mendapatkan acc dari wali dosen sebagai kontrak mata kuliah yang akan diampu satu semester ke depan. Sambil memarkirkan motor, kulihat sebuah mobil porsche mewah melejit datang ke sebuah parkir khusus yang cukup luas. Sudah ada dua mobil mewah di sana terparkir sejak tadi. Selama ini memang selalu ada mobil elit yang terparkir di sana, tetapi aku tidak mengetahui pemiliknya. Mungkin saja dosen atau dekan fakultas.
Pagi itu juga aku sedikit tidak mood karena Nam mengurung dirinya di kamar. Semenjak aku menyuruhnya cek tespack, ia mengamuk dan enggan memakai alat itu. Seharusnya pagi ini kami daftar ulang, tetapi batal karena anak itu merajuk. Hingga tak sengaja seseorang menyenggolku. Ia tampak buru-buru kala itu.
Ia menatapku dan kemudian mengambil dompetnya yang bermerk itu. Ia keluarkan lima lembar uang merah gambar Soekarno-Hatta, dan memaksaku untuk menggenggam uang tersebut. “Pergilah makan enak, agar kamu tidak menjajakan diri malam ini!” tukasnya yang kemudian diiringi tawa terbahak-bahak ngeloyor.
Aku meremas uang itu dan setengah berlari mengejarnya. Dengan cepat, kutarik kemeja yang desainya ramai dengan tulisan versace hingga kancingnya copot. Ia menggeram dan menoleh dengan tatapan wajah yang seram. “Kamu tahu dengan aksi konyolmu ini merugikan orang lain. Dengan kamu menjajakan diri setiap malam selama sebulan pun belum tentu bisa lunasi harga baju ini,” gerutunya malah membuatku terkekeh senyum.
Aku melempar uang pemberian lelaki itu ke wajahnya. “Bawa ke tukang jahit, selesai!” tukasku merasa puas.
Dengan senyum kecut, anak itu tertawa menyeringai. Seram. “$1.735 kamu bilang ke tukang jahit? Who the hell are you?”
“Itu sudah sebanding dengan mulutmu yang sampah!” jawabku ngeloyor meninggalkannya.
***
Nam memintaku untuk datang ke Kafe bersama tiga orang temannya. Syukurlah dia sekarang sudah mau keluar rumah. Sepanjang menunggu acc dosen tadi, aku terus kepikiran Nam. Akhirnya aku berangkat dengan cukup terburu-buru karena katanya mereka sudah menunggu lama. Sayangnya kota macet siang itu ditambah lampu merah yang cukup lama. Hingga akhirnya aku sampai di Kafe yang dimaksud.
Pelan-pelan pandanganku meradar mencari keberadaan mereka. Rupanya mereka sedang asyik swafoto dan bahkan joget bareng di depan kamera yang terpasang tripod. Aku tersenyum simpul dan berlari mendekati mereka. Buru-buru aku masuk ke depan dan duduk jongkok agar bisa ikut berkreasi dengan mereka. Namun, salah satu anak entah kenapa malah terlihat badmood dan pergi begitu saja dari tempat. Salah satu anak yang lain pun melakukan hal yang sama. Aku bingung sendiri dan menelan ludah yang terasa kelu. Aku merasakan, dan membaca situasinya. Akhirnya aku memilih untuk menjauh. Sayangnya, Nam mengejarku. Mungkin karena merasa tidak enak hati. Saat itu aku menoleh dan berusaha menahan diri.
“Nam, kamu memang temanku, tapi aku tidak bisa masuk ke dalam circle teman-temanmu. Aku pergi dulu,” ucapku yang sebenarnya menahan sedih.
“Ning, maaf banget ya. Aku gak nyangka bakal begini. Tadinya tuh kusangka mereka akan lebih fun aja gitu kalau bareng kamu. Padahal tadi mereka izinkan aku ngajak kamu.”
“Sampai bertemu di kos ya. Aku mau istirahat,” ucapku menahan diri dan tetap berusaha tersenyum.
Aku bermaksud berjalan pulang seorang diri. Sampai kejadian tak disangka menimpaku. Seseorang menumpahkan kari tepat di bajuku. Dan beberapa orang yang duduk di kafe itu tertawa terbahak-bahak. Aku menatap pelakunya yang sedang tersenyum. Cewek postur tinggi yang sepertinya berdarah campuran luar. Air mukanya mengekspresikan ledekan dan merendahkan. Mulutnya samar-samar tercium bau alkohol. Ia juga terlihat setengah mabuk. Entah sudah berapa sloki teh berdosa yang ia teguk hari itu. Meskipun kafe itu tidak menyediakan teh berdosa.
“Itu pembalasanku karena kamu sudah merobek baju milik El. Kurang ajar sekali kamu beraninya melakukan itu!” ujarnya yang sepertinya kesal karena pujaannya aku balas siang tadi.
Ini kenapa dua-duanya gak punya adab ya? Aku menghela napas panjang dan segera berlalu tak mempedulikan hinaan dan caciannya. Dari belakang Nam berlari mendekat. Ia memberikan sapu tangannya dan segera mengajakku pulang. Hingga saat di depan kafe itu, munculah tiga mobil mewah baru saja parkir.
Porsche hijau, Mercy Merah, dan Rolls Royce hitam terpajang di sana. Dari ketiga keluarlah tiga pria yang dieluh-eluhkan gadis-gadis yang sedang berada di kafe itu. Outfit yang dipakai ketiganya pun bukanlah sembarangan. Belum lagi clutch bag yang mereka tenteng sungguh bermerk. Prada, Dior, Gucci, ah entah merk apa itu. Sepertinya aku baru saja menjadi perbincangan hangat karena mengganggu salah satu di antara mereka.
Seseorang tertawa keras. “Inikah caramu menarik pelanggan?”
Aku menoleh dengan mendengkus sebal menahan sabar. Terlebih Nam menggenggam erat tanganku menenangkan. Dua orang kawannya berlalu masuk ke dalam kafe. Sedangkan anak yang disebut namanya El itu, baru saja menoleh dan berniat menyusul kawan-kawannya. Di saat itulah pandanganku meradar.
Jika kalian menyebut aku lemah, kalian salah! Karena saat itu juga kurebut es teh manis yang dijinjing salah seorang pengunjung yang minumannya di-cup. Dengan setengah berlari, kulemparkan es teh itu tepat di tekuk lehernya. Es teh itu membasahi tubuhnya dalam sekejap. Semua memandang ini. Dua temannya menoleh dan tertawa keras. Aku menggebug gong perang saat itu juga!
***
“Huwekkkk ... huwekkk.” Terdengar suara Nam sedang muntah dari dalam kamar mandi mengkhawatirkan. “Nam, kamu baik-baik saja?” tanyaku setengah berteriak. Nam belum menjawab. Ia masih muntah-muntah tidak karuan. “Aku baik-baik saja kok. Lemas dikit gak ngaruh!” teriak Nam dari dalam kamar mandi. Aku yang saat itu sedang bersama Adel duduk di atas pembaringan saling memandang. Adel itu tetangga kamar di indekos yang kami tempati. Karena khawatir, secara diam-diam, aku meminta Adel membelikan testpack ke apotek terdekat. Aku bukan suuzon, hanya saja feeling ini kuat jika Nam bukan masuk angin. Adel pun keluar kamar mengikuti intruksi untuk membeli testpack. Hingga saat Nam keluar kamar mandi, ia tampak lemah dan pucat sekali malam itu. Jalannya begitu tertatih. Ia merebahkan diri di pembaringannya. Tangannya langsung menarik selimut untuk menutupi semua tubuhnya. Aku bahkan sampai mencari bubur di orderan online. Lumayan lama menunggu. Hingga bubur itu tiba, buru-buru aku menyuapi N
Aku keluar dari ruang seni dengan perasaan campur aduk. Tak sengaja mata ini melirik di salah satu titik terdapat El yang sedang meneguk air mineral dengan tatapan mata yang sinis. Sepertinya, ia melihatku mengobrol dengan IO. Ia tidak bereaksi apa pun, bahkan hingga aku turun menuju parkir motor. Sementara itu di bawah anak tangga, Adel sudah menunggu. Urusannya sudah selesai sehingga ia menungguku di sana. Kami berdua berniat segera pulang karena badan sudah lelah dengan semua drama hari ini. Nam juga sudah sejak tadi chat menginginkan kami secepatnya pulang. Jarak gedung ke parkiran cukup jauh sehingga kami mengobrol sepanjang perjalanan. Adel bahkan terlalu kepo saat tahu aku sempat berduaan di ruang seni bersama IO. Ia bahkan menyindirku. Aku tahu, Adel ngefans berat dengan IO. Hanya saja, ia tidak memiliki kesempatan untuk bisa bertemu dengan IO. “Tadi aku cuma ambil tepak saja sebenarnya karena ketinggalan pas praktik bikin topeng. Gak sengaja dia minta ambilkan cat gitu.”
IO menunjukan taringnya. Ia mulai ngebut saat di tol kota. Sejak kejadian tadi, kami belum berbicara apa pun. Aku bahkan sampai menangis segukan karena takut. Hal ini membuat pedal gas yang ditekan IO mengendur. Tanganku rasanya tremor. Orang pendiam ketika marah rupanya menakutkan. “Maaf IO maaf. Aku tak bermaksud menyakiti perasaanmu,” ucapku yang saat ini rasanya masih segukan. “Kau tahu? Aku bukan sosok El yang bisa dengan mudah mendekati wanita. Bukan juga sosok RK yang bisa tebar pesona. Aku ini sosok yang kaku dan punya dunia sendiri. Kau berbeda Ning saat berada dekat denganku. Kau tidak membahas harta, kau tidak membahas wajah. Kau bisa masuk dalam duniaku.” Aku menelan ludah yang terasa mengering. IO mengungkapkan semuanya. “Tapi, kenapa saat aku mencoba memasuki duniamu, hanya El dan El yang membuatmu seolah penasaran. Apa aku harus berbuat jahat dulu agar kamu penasaran denganku? Apa aku harus menjadi badboy terlebih dahulu?” Aku mengatur napas mengendalikan emosional
Aku baru saja sampai di depan kamar indekos dengan perasaan yang campur aduk. Kepala rasanya berat saat perlahan membuka pintu yang sepertinya Nam belum tidur. Kulihat malam itu masih pukul 21.00 wib, anak itu biasanya masih berkutat dengan pekerjaan sampingannya sebagai freelancer lepas desain grafis. Akantetapi, malam itu berbeda. Aku tidak melihat Nam di dalam kamar. Degup jantung rasanya berdebar kencang setelah melihat tempat tidur acak-acakan. Beberapa barang juga tergeletak di atas lantai dengan kondisi sebagian sudah hancur. Apa yang terjadi? Di mana Nam? Buru-buru aku keluar kamar untuk memastikan keadaan. Salah satu tetangga kos menghampiri dengan air muka yang panik. “Nam dibawa ke rumah sakit setelah mengalami luka fisik. Tadi Adel yang bawa.” Keningku mengerut beberapa lipatan diserta napas yang terjeda. “Apa yang terjadi? Nam kenapa?” “Tadi Frans nekat masuk dan mereka ribut hebat. Nam mengalami luka-luka. Kalau kami tidak secepatnya memanggil satpam mungkin Nam bisa
Hari ini acara ospek dan kegiatan kemahasiswaan sudah dimulai. Aku memiliki jadwal pertemuan dengan organisasi mahasiswa di jam 8 pagi. Letak ruangannya berada di lantai 3, cukup membuat badmood karena harus naik turun tangga. Sambil berkaca pinggang, aku menyiapkan diri untuk menaiki sejumlah anak tangga. Hingga sampai di lantai 3, tetiba saja aku dipaksa ikut tiga orang yang tak dikenal untuk mengikuti mereka ke rooftop gedung.Kasar sekali mereka menggeretku, hingga kulihat ada dua sosok yang tak asing berdiri di sana memandang penuh amarah. Sementara orang-orang yang menculikku tetiba saja mendorong hingga aku tersungkur. Itu El dan RK tengah tertawa melihatku terjatuh. Lelaki macam apa yang menertawakan perempuan seperti itu?“Apa yang kauinginkan dari, IO?” tanya El dengan melipat lengannya di perut. Ia ketus sekali pagi itu dengan sesekali membuang wajah.“Apa yang kalian maksudkan? Terlalu paranoid rasanya kalian berdua,” ucapku tegas sambil berusaha berdiri.RK kini mendekat.
Nam baru saja pulang dari urusannya di kampus. Aku yang saat itu hanya tiduran kini duduk di tepi pembaringan memperhatikan Nam yang sedang beres-beres. Anak itu awalnya cuek, hanya mungkin baru tersadar saat melihatku sembab dengan air muka yang ditekuk.“Kau kenapa sih?” tanya Nam yang saat itu sedang membereskan barang-barang di meja belajar.“IO mencampakkan aku.”Nam menoleh dengan air muka terkejut. “Kok bisa? Gara-gara apa?”Aku menghela napas panjang. “Dio tadi telpon saat di kafe tapi belum sempat aku angkat, jadi IO yang angkat. Entah ada pembicaraan apa di antara mereka. IO akhirnya tahu kalau aku sedang proses dijodohkan.”Nam pun mengumpat Dio secara kasar. “Bisa-bisanya dia ikut campur hubungan orang. Aku labrak orang itu liat saja.”“Nammm!” ucapku menggelengkan kepala. “Aku tidak mau kita terbawa arus masalah baru.”Nam mendengkus sebal. “Kau terlalu baik, ah. Ditindas El pun nerima-nerima aja lagi. Kalau aku udah ditabok itu El.”Telepon kembali berdering. Bapak meman
Malam sebelum prosesi akad dimulai, aku berada di dalam kamar yang sudah dirias. Ibu datang yang sepertinya menguatkanku. Aku memeluknya, erat sekali. Bahkan Ibu menangis pecah malam itu. Tidak ada raut tangis bahagia di wajahnya. Seolah tak rela jika anaknya diperlakukan seperti ini.“Bu ... Aku takut.” Hanya itu yang bisa aku katakan di depannya.Ibu memeluk dengan tangis yang semakin pecah. Ibu segukan dengan punggungku terasa basah. Aku tidak tega melihat Ibu menangis terpukul seperti ini. Hatiku hancur sejadi-jadinya. “Maaf, Nak. Ibu gagal melakukannya. Ibu tidak bisa melawan Bapak. Karena ibu diancam oleh Bapak. Sekarang ibu merasa gagal,” ucap Ibu yang kala itu kelihatan frustrasinya.“Doakan aku ya, Bu. Semoga Allah memberikanku jalan terbaik.”Dengan masih segukan, Ibu mengusap pundakku. “Pasti, Sayang, pasti. Ibu orang pertama yang akan pasang badan jika kamu disakiti orang lain.”Malam itu aku tidur dengan Ibu saling menguatkan. Hingga pagi-pagi sekali, aku dibangunkan untu
Pagi-pagi sekali aku dibangunkan. Ternyata aku berada di lantai dengan tubuh menyender ke pembaringan. El sudah datang, dengan mulut yang lumayan bau teh berdosa. Ia terlihat panik dan memintaku menuruti kemauannya. Aku yang masih belum sadar 100% hanya bisa melongo dengan intruksinya. “Ini sudah jam setengah lima. Sebentar lagi Papa ke sini. Gawat kalau tahu aku ke club. Pokoknya kita harus acting kalau semalam kita sudah malam pertama yang sangat indah, kamu paham?” Aku menggeliat. Kemudian beranjak menuju kamar mandi. Hal ini membuat El protes dan murka. “Aku mau pipis, El. Kamu mau aku pipis di mulutmu?” El terduduk di sudut pembaringan mencoba sabar. Mungkin 3 menit setelah aku dari kamar mandi, cukup kaget melihat kasur yang berantakan. Aku hanya melipat tangan di dada. Satu set pakaian kotorku ia simpan berserakan di lantai. Aku membuang napas panjang. Drama apalagi yang akan kau mainkan? “Kamu mandi dan keramas. Tutupi rambutmu dengan anduk. Jangan lupa juga pakai handuk ba