Aku keluar dari ruang seni dengan perasaan campur aduk. Tak sengaja mata ini melirik di salah satu titik terdapat El yang sedang meneguk air mineral dengan tatapan mata yang sinis. Sepertinya, ia melihatku mengobrol dengan IO. Ia tidak bereaksi apa pun, bahkan hingga aku turun menuju parkir motor.
Sementara itu di bawah anak tangga, Adel sudah menunggu. Urusannya sudah selesai sehingga ia menungguku di sana. Kami berdua berniat segera pulang karena badan sudah lelah dengan semua drama hari ini. Nam juga sudah sejak tadi chat menginginkan kami secepatnya pulang.
Jarak gedung ke parkiran cukup jauh sehingga kami mengobrol sepanjang perjalanan. Adel bahkan terlalu kepo saat tahu aku sempat berduaan di ruang seni bersama IO. Ia bahkan menyindirku. Aku tahu, Adel ngefans berat dengan IO. Hanya saja, ia tidak memiliki kesempatan untuk bisa bertemu dengan IO.
“Tadi aku cuma ambil tepak saja sebenarnya karena ketinggalan pas praktik bikin topeng. Gak sengaja dia minta ambilkan cat gitu.”
“Ooh ... tapi, kamu senang ‘kan? Apalagi bisa intens berduaan di ruangan sambil ngobrol bareng gitu?” sindir Adel membuatku kurang nyaman.
Aku hanya diam tidak menjawab apa yang dilontarkan oleh Adel. Anak itu bahkan sampai kesal karena sedari tadi aku hanya diam. Entahlah, apa alasanku nanti malam saat pergi dengan IO? Apakah aku terlalu berharap?
“Ning! Motornya bocor. Aduh, mana tambal ban lumayan jauh!” pekik Adel membuatku tersadar dan lumayan panik.
Akhirnya, kami mendorong motor milik Adel itu menuju tambal ban. Hingga mungkin saat beberapa meter kami dorong motor itu, tidak jauh dari kami, tak sengaja kulihat El sedang tertawa terpingkal-pingkal. Aku menarik napas dalam-dalam menahan sabar. Anak ini kalau bercanda sungguh tidak lucu.
***
Aku dan Adele kini sudah di kamar kos sedang melemaskan tubuh. Nam sejak tadi sedang bersih-bersih yang entah kenapa tetiba muntah-muntah lagi. Hal ini membuatku dan Adel saling memandang – menaruh rasa curiga berlebih. Ada rasa kesal di pikiran kami berdua karena sudah dari kemarin kami minta untuk Nam periksa kandungan.
Hingga seseorang mengetuk pintu kamar. Aku tidak terlalu dekat dengannya, tetapi ia menginformasikan satu hal yang membuatku tidak pernah lupa. “Ada IO menunggu kamu Ning di depan.” Begitulah kira-kira yang disampaikan anak itu.
IO menjemputku di sore ini? Apa dia ketiduran? Akantetapi, ada rasa sungkan yang kurasakan saat mengetahui jika IO datang untuk menemuiku. Adel, tetiba saja pamit untuk istirahat di kamarnya. Aura cemburunya benar-benar membuat canggung. Aku menghela napas panjang dan berjalan untuk menemui IO di ruang paviliun khusus tamu. Karena indekos ini khusus putri.
Ada tawa cengengesan yang terlihat saat IO melihatku. “Kamu ... free ‘kan? Aku malas pulang, kebetulan sebentar lagi jadwalku gym. Kamu bawa pakaian ganti saja. Nanti abis gym kita ke exhibition.”
Aku cukup panik sekaligus bahagia. “Kenapa kamu gak telpon dulu, IO? Aku ‘kan bisa mandi dan siap-siap dulu,” ujarku dengan nada sedikit protes.
Khas anak itu adalah tertawa manis. “Ayolah. Di tempat gym ada kamar mandi juga. Bawa saja baju gantinya.”
Aku mengangguk dan meminta IO menunggu sebentar. Kulihat Nam menghampiri IO dengan tatapan yang malas. Sambil menuju ke kamar, samar-samar kudengar Nam bertanya satu hal. “Kamu gak lagi permainkan perasaan temanku ‘kan?”
***
Dalam perjalanan menuju tempat gym, ada satu pertanyaan yang benar-benar menghantuiku sejak di kamar kos. “IO. Dari jutaan wanita di negeri ini, kenapa kamu ngajak aku ke tempat exhibition dan lainnya?”
IO tersenyum khas. “Tidak semua pertanyaan ada jawabannya.”
Aku langsung terdiam tak berkutik. Jawaban dia ternyata susah ditebak. Terlihat ia pun fokus kembali mengendarai Rolls Royce miliknya. Suasana hening tercipta di dalam kabin mobil mewah tersebut. Aku pun sungkan untuk bertanya kembali. Beberapa kali kulirik pakaianku, rasanya terdapat gap yang terlalu jauh di antara kami. Buru-buru aku sadar diri. Tidak mungkin IO menyukaiku. Anak pengusaha 3 perusahaan batu bara masa iya menyukai gadis kalangan bawah. Lagi-lagi aku menghela napas panjang. Gusar rasanya hingga aku memperbaiki posisi duduk berkali-kali.
“Kamu kenapa, Ning? Joknya gak nyaman, ya?” tanya IO sesekali menoleh.
Aku menggeleng kecil. “Kamu gak malu ngajak aku IO?”
Lagi-lagi IO tertawa, renyah sekali sebenarnya. “Apa sih? Malu kenapa? Kamu minder karena jalan sama aku?”
Tetiba aku terdiam, kata-kata IO seperti menegaskan sebuah gap di antara kami berdua. Entah aku seperti kehabisan kata-kata. Lihatlah interior mobil ini, bahkan aku takut celana yang kupakai mengotori jok mobil miliknya. Belum lagi tatapan wanita-wanita di luaran sana, saat tahu aku bersama IO di dalam mobil ini. Entah akan seliar apa pikiran mereka mengenai hal ini.
IO tetiba memegang salah satu bahuku. “Ning, Aku sama denganmu. Aku hanya pemuda biasa yang tidak bisa memilih untuk terlahir dari rahim ibu yang mana. Aku memiliki segudang strugle seperti halnya orang-orang. Aku juga memiliki presure yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.”
“Bukannya kamu tinggal hidup enak ya?”
IO kini berwajah serius. Tidak ada senyum lagi dari raut wajahnya. “Ning, jika terlahir dari kalangan biasa, tugasnya hanya berjuang dan mencapai titik yang lebih tinggi dari orang tuanya. Sedangkan bagi anak-anak yang terlahir dari kalangan atas, presure kami lebih berat. Kami harus bisa mencapai titik yang entah di mana letak titik itu berada. Sebuah pencapaian yang tiada habisnya. Mempertahankan dan terus menaikkan level lebih dari orang tua kami.”
Penjelasan IO membuatku mengatupkan rahang. Aku paham seberapa berat anak-anak yang terlahir dari kalangan atas. Karena tidak ada titik pasti di mana mereka harus berhenti dan puas. Jika tidak begitu, maka harta akan cepat habis. Aku mengembuskan napas panjang. Bersyukur jika aku dilahirkan di kalangan biasa-biasa saja. Setidaknya, itu yang membuatku sedikit lega.
***
Di tempat Gym, aku cukup kaget karena tetiba saja seorang instruktur menggandengku dan memberikan pelatihan olahraga. IO ternyata menyewa pelatih selama aku di gym sore itu. Bahkan aku juga diberikan saran nutrisi apa saja agar memiliki badan yang proporsional.
Di sela-sela latihan, kulirik ke arah IO berada. Dia sedang sibuk mengolah fisiknya di bagian dada. Ada seseorang yang menghampirinya. Setelah dilihat-lihat ternyata itu Arkana. Member dari trio El, IO, dan RK. Jika RK dan IO berada di sini, lantas di mana El? Aku langsung mengembuskan napas. Bisa-bisanya memikirkan anak tengil itu.
Aku kena tegur pelatih itu karena melamun. Mungkin satu jam setelah aku bercucuran keringat barulah pelatih itu memintaku istirahat. Perlahan, aku berjalan mendekati IO dan RK. Sebenarnya aku takut karena merasa tidak pantas. Hanya saja, sejak tadi IO melambaikan tangannya, memintaku menghampirinya.
Ada tatapan tak percaya yang dilihatkan RK saat aku datang. Anak ini badannya lebih besar dibanding El maupun IO. Kulitnya juga lebih putih dengan ras chinese mengalir dalam dirinya. Dia juga tidak kalah dari IO. Digemarin fans dan dari kalangan kaum jetset.
Anak itu tetiba saja memberikan tangannya kepadaku untuk bersalaman. Aku cukup kaget karena dia mau membuka diri denganku. “Kau anak Saintek ya? Kayaknya aku gak pernah lihat kalau nongrong di fakultas ini,” tanya RK dengan air mukanya sedikit berpikir.
IO mengembuskan napasnya. “Kau hanya ngecengin dosen muda atau mahasiswi baju ketat aja.”
RK menatap sinis IO. Kemudian ia seperti menemukan sebuah jawaban dari berpikirnya sejak tadi. “Oh iya dia ini yang sering dibahas El akhir-akhir ini ‘kan IO? Itu anak obsesi banget denganmu Ning.”
Tetiba saja IO terlihat badmood. Air mukanya tidak bisa menyembunyikan ketidak sukaan ketika RK membahas El di depanku. “Kau mandi dulu saja, Ning. Abis ini kita cari makan lalu ke pameran seni.”
RK tersenyum melihat reaksi IO. Aku malah penasaran dengan apa yang diucapkan RK tadi. “Obsesi apa yang kamu maksudkan, RK? Anak tengil itu selalu menindasku.” Aku menaruh rasa curiga mendalam. Hal ini membuat IO sangat tidak nyaman hati.
“Aku mandi duluan ya,” ujar IO pergi begitu saja dengan air muka yang ditekuk.
RK hanya diam dan menghela napas panjang. Kemudian ia mengekor IO menuju kamar mandi. Sepertinya ada sesuatu yang mereka bahas di belakangku. Aku pun berusaha berpikir positif dan berjalan menuju kamar mandi wanita.
***
IO menunjukan taringnya. Ia mulai ngebut saat di tol kota. Sejak kejadian tadi, kami belum berbicara apa pun. Aku bahkan sampai menangis segukan karena takut. Hal ini membuat pedal gas yang ditekan IO mengendur. Tanganku rasanya tremor. Orang pendiam ketika marah rupanya menakutkan. “Maaf IO maaf. Aku tak bermaksud menyakiti perasaanmu,” ucapku yang saat ini rasanya masih segukan. “Kau tahu? Aku bukan sosok El yang bisa dengan mudah mendekati wanita. Bukan juga sosok RK yang bisa tebar pesona. Aku ini sosok yang kaku dan punya dunia sendiri. Kau berbeda Ning saat berada dekat denganku. Kau tidak membahas harta, kau tidak membahas wajah. Kau bisa masuk dalam duniaku.” Aku menelan ludah yang terasa mengering. IO mengungkapkan semuanya. “Tapi, kenapa saat aku mencoba memasuki duniamu, hanya El dan El yang membuatmu seolah penasaran. Apa aku harus berbuat jahat dulu agar kamu penasaran denganku? Apa aku harus menjadi badboy terlebih dahulu?” Aku mengatur napas mengendalikan emosional
Aku baru saja sampai di depan kamar indekos dengan perasaan yang campur aduk. Kepala rasanya berat saat perlahan membuka pintu yang sepertinya Nam belum tidur. Kulihat malam itu masih pukul 21.00 wib, anak itu biasanya masih berkutat dengan pekerjaan sampingannya sebagai freelancer lepas desain grafis. Akantetapi, malam itu berbeda. Aku tidak melihat Nam di dalam kamar. Degup jantung rasanya berdebar kencang setelah melihat tempat tidur acak-acakan. Beberapa barang juga tergeletak di atas lantai dengan kondisi sebagian sudah hancur. Apa yang terjadi? Di mana Nam? Buru-buru aku keluar kamar untuk memastikan keadaan. Salah satu tetangga kos menghampiri dengan air muka yang panik. “Nam dibawa ke rumah sakit setelah mengalami luka fisik. Tadi Adel yang bawa.” Keningku mengerut beberapa lipatan diserta napas yang terjeda. “Apa yang terjadi? Nam kenapa?” “Tadi Frans nekat masuk dan mereka ribut hebat. Nam mengalami luka-luka. Kalau kami tidak secepatnya memanggil satpam mungkin Nam bisa
Hari ini acara ospek dan kegiatan kemahasiswaan sudah dimulai. Aku memiliki jadwal pertemuan dengan organisasi mahasiswa di jam 8 pagi. Letak ruangannya berada di lantai 3, cukup membuat badmood karena harus naik turun tangga. Sambil berkaca pinggang, aku menyiapkan diri untuk menaiki sejumlah anak tangga. Hingga sampai di lantai 3, tetiba saja aku dipaksa ikut tiga orang yang tak dikenal untuk mengikuti mereka ke rooftop gedung.Kasar sekali mereka menggeretku, hingga kulihat ada dua sosok yang tak asing berdiri di sana memandang penuh amarah. Sementara orang-orang yang menculikku tetiba saja mendorong hingga aku tersungkur. Itu El dan RK tengah tertawa melihatku terjatuh. Lelaki macam apa yang menertawakan perempuan seperti itu?“Apa yang kauinginkan dari, IO?” tanya El dengan melipat lengannya di perut. Ia ketus sekali pagi itu dengan sesekali membuang wajah.“Apa yang kalian maksudkan? Terlalu paranoid rasanya kalian berdua,” ucapku tegas sambil berusaha berdiri.RK kini mendekat.
Nam baru saja pulang dari urusannya di kampus. Aku yang saat itu hanya tiduran kini duduk di tepi pembaringan memperhatikan Nam yang sedang beres-beres. Anak itu awalnya cuek, hanya mungkin baru tersadar saat melihatku sembab dengan air muka yang ditekuk.“Kau kenapa sih?” tanya Nam yang saat itu sedang membereskan barang-barang di meja belajar.“IO mencampakkan aku.”Nam menoleh dengan air muka terkejut. “Kok bisa? Gara-gara apa?”Aku menghela napas panjang. “Dio tadi telpon saat di kafe tapi belum sempat aku angkat, jadi IO yang angkat. Entah ada pembicaraan apa di antara mereka. IO akhirnya tahu kalau aku sedang proses dijodohkan.”Nam pun mengumpat Dio secara kasar. “Bisa-bisanya dia ikut campur hubungan orang. Aku labrak orang itu liat saja.”“Nammm!” ucapku menggelengkan kepala. “Aku tidak mau kita terbawa arus masalah baru.”Nam mendengkus sebal. “Kau terlalu baik, ah. Ditindas El pun nerima-nerima aja lagi. Kalau aku udah ditabok itu El.”Telepon kembali berdering. Bapak meman
Malam sebelum prosesi akad dimulai, aku berada di dalam kamar yang sudah dirias. Ibu datang yang sepertinya menguatkanku. Aku memeluknya, erat sekali. Bahkan Ibu menangis pecah malam itu. Tidak ada raut tangis bahagia di wajahnya. Seolah tak rela jika anaknya diperlakukan seperti ini.“Bu ... Aku takut.” Hanya itu yang bisa aku katakan di depannya.Ibu memeluk dengan tangis yang semakin pecah. Ibu segukan dengan punggungku terasa basah. Aku tidak tega melihat Ibu menangis terpukul seperti ini. Hatiku hancur sejadi-jadinya. “Maaf, Nak. Ibu gagal melakukannya. Ibu tidak bisa melawan Bapak. Karena ibu diancam oleh Bapak. Sekarang ibu merasa gagal,” ucap Ibu yang kala itu kelihatan frustrasinya.“Doakan aku ya, Bu. Semoga Allah memberikanku jalan terbaik.”Dengan masih segukan, Ibu mengusap pundakku. “Pasti, Sayang, pasti. Ibu orang pertama yang akan pasang badan jika kamu disakiti orang lain.”Malam itu aku tidur dengan Ibu saling menguatkan. Hingga pagi-pagi sekali, aku dibangunkan untu
Pagi-pagi sekali aku dibangunkan. Ternyata aku berada di lantai dengan tubuh menyender ke pembaringan. El sudah datang, dengan mulut yang lumayan bau teh berdosa. Ia terlihat panik dan memintaku menuruti kemauannya. Aku yang masih belum sadar 100% hanya bisa melongo dengan intruksinya. “Ini sudah jam setengah lima. Sebentar lagi Papa ke sini. Gawat kalau tahu aku ke club. Pokoknya kita harus acting kalau semalam kita sudah malam pertama yang sangat indah, kamu paham?” Aku menggeliat. Kemudian beranjak menuju kamar mandi. Hal ini membuat El protes dan murka. “Aku mau pipis, El. Kamu mau aku pipis di mulutmu?” El terduduk di sudut pembaringan mencoba sabar. Mungkin 3 menit setelah aku dari kamar mandi, cukup kaget melihat kasur yang berantakan. Aku hanya melipat tangan di dada. Satu set pakaian kotorku ia simpan berserakan di lantai. Aku membuang napas panjang. Drama apalagi yang akan kau mainkan? “Kamu mandi dan keramas. Tutupi rambutmu dengan anduk. Jangan lupa juga pakai handuk ba
Namanya Poppy. Ia sedang duduk di pojok depan kursi khusus dosen. Rambutnya pendek ala Demi Moore. Kakinya jenjang dan menjadi kandidat dosen favorit mahasiswa di kampus karena visualnya. Dia mengajar Aljabar dengan kesabaran setipis tisu dibagi dua. Hari ini kelas perdana, sudah ada pre-test yang diberikannya. Di tangannya sudah ada tablet dengan pulpen khusus gadget tersebut dia mainkan.“Tidak ada yang protes saya berikan pre-test. Menjadi mahasiswa harus kritis dalam belajar. Saya berikan soal-soal dasar. Seharusnya kalian mencari tahu dulu materi Aljabar semalam dan berlatih!” tegas Bu Poppy galak.Aku mencoba berpikir sambil menghela napas panjang. Rumusnya lupa-lupa ingat. Beberapa sibuk meradar, membuat Bu Poppy menggebrag mejanya. Semua terdiam hening. Bu Poppy terlalu galak untuk visual yang enak dipandang.Hingga kemudian ia memasang kamera dengan tripod otomatis bisa memutar sendiri. “Ketua kelasnya nanti ketika selesai kumpulkan kertas jawaban dan simpan di meja saya di r
Sorenya, ketika El masih terlelap tidur, tetiba saja ia mengigau. Refleks kupegang keningnya yang ternyata sedang demam. Ia tampak gelisah, dengan bibir yang menggigil. Kukompres keningnya serta bagian leher. Kulihat lehernya ada benjolan. Sepertinya kelenjar getah bening. Ia terlihat kesakitan. Aku cukup kaget karena selama ini El selalu memakai kaos leher panjang atau berkerah.El lemah sekali ia saat itu. Berbanding terbalik dengan kelakuannya saat sebelum mengenalnya lebih jauh. Dengan sedikit menepuk-nepuk pipinya, kubangunkan dia. “El, adakah obat yang bisa kuambilkan?”Dengan nada suara yang berat, anak itu membuka perlahan kelopak matanya. “Ambilkan aku air.”Aku mengambil air yang berada di atas laci yang terletak di samping pembaringan. Air di gelas ini ia taruh sebelum tidur yang katanya sudah menjadi kebiasaan. Sedikit demi sedikit aku mulai memahami karakter anak ini. Dengan cukup berat, aku berusaha sedikit mengangkat tubuhnya yang lemas. Kemudian memberinya air. Ia memi