Share

Bab 5: Sahabatku Menjadi Tempat Uneg-Uneg

Aku baru saja sampai di depan kamar indekos dengan perasaan yang campur aduk. Kepala rasanya berat saat perlahan membuka pintu yang sepertinya Nam belum tidur. Kulihat malam itu masih pukul 21.00 wib, anak itu biasanya masih berkutat dengan pekerjaan sampingannya sebagai freelancer lepas desain grafis. Akantetapi, malam itu berbeda. Aku tidak melihat Nam di dalam kamar.

Degup jantung rasanya berdebar kencang setelah melihat tempat tidur acak-acakan. Beberapa barang juga tergeletak di atas lantai dengan kondisi sebagian sudah hancur. Apa yang terjadi? Di mana Nam? Buru-buru aku keluar kamar untuk memastikan keadaan. Salah satu tetangga kos menghampiri dengan air muka yang panik.

“Nam dibawa ke rumah sakit setelah mengalami luka fisik. Tadi Adel yang bawa.”

Keningku mengerut beberapa lipatan diserta napas yang terjeda. “Apa yang terjadi? Nam kenapa?”

“Tadi Frans nekat masuk dan mereka ribut hebat. Nam mengalami luka-luka. Kalau kami tidak secepatnya memanggil satpam mungkin Nam bisa lewat.”

Aku segera berlari menuju rumah sakit. Berulang kali mencoba telepon Nam, tetapi tak kunjung diangkat. Bahkan sampai di depan gerbang kos pun belum ada informasi lagi. Buru-buru aku memesan ojek online. Hingga aku tersadar, ada sebuah Rolls Royce terparkir tidak jauh dari indekos. Seperti sedang mengawasi. Aku mencoba berpura-pura tidak melihatnya. Mobil itu juga hanya terdiam di tempat.

Mungkin lima menit aku menunggu motor pesanan datang. Perjalanan menuju rumah sakit lumayan jauh sebenarnya. Hingga di tengah perjalanan, abang ojolnya pun berujar setengah berteriak, “Mbak, kita diikuti mobil itu sedari tadi.”

Aku menoleh ke belakang. IO mengikuti dari belakang dengan kecepatan rendah. Apa yang diinginkan anak itu?

“Gak apa, Bang, lanjut aja.”

Sesampainya di rumah sakit, aku setengah berlari menuju ruang gawat darurat. Namun, kuurungkan untuk langsung menuju IGD. Aku tahu IO masih mengikuti. Diam-diam aku bersembunyi. Benar saja, anak itu berada di salah  satu keramaian dengan pandangannya meradar. Dia pun menelepon yang jelas suara dering ponselku berbunyi kencang. Aku menghela napas panjang. Oke, aku temui anak itu.

“Kenapa kau menguntitku?”

IO sedikit gelagapan. “Aku hanya memastikan kamu pulang dengan aman. Tadi gak sengaja lihat kamu pergi buru-buru, jadi aku putuskan mengikuti jejakmu.”

Aku mendengkus sebal. “Terserah kamulah. Aku mau menemui Nam.”

“Hei, Nam kenapa?” tanya IO tetiba bingung.

Aku berbalik badan menoleh ke arahnya. “Satu hal yang harus kamu ingat, jangan pernah kasar sama cewek. Jadilah laki-laki sebenarnya.”

IO mengatupkan rahang. “Aku akan ingat nasihatmu dan mari jenguk anak itu.”

***

Aku berjalan di IGD rumah sakit kota dengan pandangan meradar karena khawatir Nam dirawat di salah satu bangsal. IO mengekor, sejak tadi tidak banyak bicara. Hingga mungkin setelah anak itu inisiatif bertanya ke salah satu perawat jaga, ditunjukanlah letak Nam merebahkan tubuhnya di sebelah mana. Ternyata Nam di salah satu bangsal ruangan pojok. Kulihat dia sudah bersiap pulang. Sepertinya tidak memerlukan penanganan medis inap.

Matanya terbuka lebar saat aku masuk menemuinya. Kami berpelukan, Nam bahkan segukan. Aku mengelus punggungnya lembut. Dia bahkan tidak mengatakan apa pun sejauh ini. Hanya menangis, meluapkan kekesalan yang membendung dalam dirinya. Aku paham, Nam tidak akan bercerita langsung. Ia hanya ingin menumpahkan tangisannya. Ia hanya butuh sosok untuk meluapkan emosionalnya.

“Kita pulang, yuk. Kamu butuh istirahat. Tubuhmu membutuhkan rileksasi.”

Nam pun setengah berbisik. “Kalian udah jadian?”

“Nam!” tegurku sedikit menghela napas. “Kita pulang, ya.”

“Apa nanti naik mobil pacarmu?” ucap Nam sungguh memalukan.

“Nam! Kita naik taksi aja,” tegasku yang membuat IO mengernyitkan kening beberapa lipatan.

IO langsung mengajukan protes. “Lho, cuma kalian bertiga ‘kan? Muatlah di mobilku juga. Aku antar kalian pulang.”

Nam gembira bukan main. Hanya saja kulihat Adel sedari tadi hanya terdiam. Aku menggigit bibir dan menghela napas panjang. Dia berubah semenjak IO menjemputku di kos. Prasangka buruk ini tak bisa lepas dari pikiranku.

Ketika di dalam mobil Rolls Royce phantom dengan interior yang bikin menganga, mobil pun melaju kencang menuju tujuan. Ku menoleh ke arah belakang, terlihat Nam tidak mau diam. Ia sedari tadi tertawa kecil kegirangan. Jiwa inner child-nya muncul. Aku menghela napas panjang, mencoba sabar melihat Nam bersikap seperti itu.

 “Beda banget ya mobil mewah dengan mobil biasa. Ini empuk banget joknya. Berapa duit kira-kira mobil ini, Io? 500 juta ada?” tanya Nam otomatis membuatku sedikit tersenyum lebar.

“Iya ada,” jawab Arion sambil menoleh ke arahku tersenyum simpul.

“Wah murah juga ya. Kirain di atas satu miliar. Gak nyangka harga segitu bisa semegah ini.” Hal itu justru membuat Adel mentoyor kepala Nam.

Dengan air muka kesal, Adel berceletuk, “Mana ada mobil Rolls Royce 500 juta. Mobil ini 20 Milyaran.”

Tawa Nam hilang. Ia berasa mengkerut ketika Adel menegurnya. Sementara Arion berusaha membesarkan hati Nam. “Gak sampai segitu kok. Aku gak sekaya itu Nam.”

***

Di atas kasur menjelang istirahat, aku dan Nam melakukan pillow talk. Sambil memandang langit-langit kamar, kami berusaha mengutarakan uneg-uneg yang diterima beberapa hari ke belakang. Suara kami rendah agar tidak mengudara terlalu jauh.

“Kamu benar, Ning. Menjaga kesucian itu penting. Kalau sudah seperti ini aku yang menanggung getahnya. Frans sudah tidak ada harapan. Dia bahkan mengaku dijodohkan dengan orang lain oleh orang tuanya. Terus aku bagaimana? Apa yang harus kukatakan ke keluargaku sendiri?”

Aku sedikit membenarkan bantal yang kurang nyaman. “Aku bahkan tertarik menelusuri asal usul keluarga Frans. Mungkin kita bisa berkunjung ke rumahnya.”

Mendengar itu, Nam langsung terbangun. “Gilak, apa yang bisa aku buktikan agar keluarga Frans percaya? Hamil saja baru 2 bulan, udah gitu mau dijodohkan. Lengkap sudah kebahagiaannya.”

Ada helaan napas panjang yang kurasakan. “Nanti kita pastikan jika Frans bisa bertanggung jawab.”

Nam mengangguk perlahan. “Jadi hubunganmu dengan IO sudah sejauh mana?”

Aku kembali menghela napas panjang. “Rumit. Ada Gap paling serius di antara kami berdua. Udah gitu Bapak juga menjodohkanku dengan anak dari sahabatnya. Karena berasal dari orang terpandang.”

Nam mengernyitkan kening beberapa lipatan. “Kau sudah bertemu dengan orangnya?” tanya Nam yang membuatku menggelengkan kepala. Hal itu membuat Nam menghela napas panjang.

“Ibu tidak merestui karena anak itu ‘suka jajan’ katanya sih. Masa iya aku berjodoh dengan pemuda tidak sehat begitu.”

Anak itu refleks menggeplak tenganku karena kaget. “Apa yang ada di pikiran bapakmu itu? Dijodohkan kok dengan modelan begitu. Nanti kau tertular gimana? Ih enggak ... enggak ... enggak,” ucap Nam nyerocos.

Aku menghela napas dalam-dalam. “Kadang aku berpikir untuk menghilang sejenak agar tidak dijodohkan, hanya saja bagaimana dengan keberlangsungan kuliahku? Aku belum bisa bekerja dalam waktu dadakan.”

“Kamu ajak IO ke rumah. Tunjukkan ke bapakmu kalau kamu sudah punya pacar yang mapan. IO anak orang kaya ‘kan?”

Aku mendengkus sebal, menjitak Nam. “Kami tidak ada hubungan apa pun.”

Nam tertawa cekikikan. “IO menyukaimu, Ning. Aku amati matanya tidak pernah terlepas dari pandanganmu. Semestanya ada di dirimu. Hanya mungkin belum berani mengutarakan perasaannya.”

Aku menggeleng. “Aku tidak mau terlalu berekspektasi tinggi. Mungkin hanya sebatas kagum. Entahlah.”

Nam tetiba saja mencubit pipiku cukup gemas. “Kalian sama-sama suka, tapi masih meraba perasaan satu sama lain.”

***

Aaf

Hai semuanya. Semoga suka ya dengan ceritanya

| Like

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status