Share

Bab 4: Gap paling Serius

IO menunjukan taringnya. Ia mulai ngebut saat di tol kota. Sejak kejadian tadi, kami belum berbicara apa pun. Aku bahkan sampai menangis segukan karena takut. Hal ini membuat pedal gas yang ditekan IO mengendur. Tanganku rasanya tremor. Orang pendiam ketika marah rupanya menakutkan.

“Maaf IO maaf. Aku tak bermaksud menyakiti perasaanmu,” ucapku yang saat ini rasanya masih segukan.

“Kau tahu? Aku bukan sosok El yang bisa dengan mudah mendekati wanita. Bukan juga sosok RK yang bisa tebar pesona. Aku ini sosok yang kaku dan punya dunia sendiri. Kau berbeda Ning saat berada dekat denganku. Kau tidak membahas harta, kau tidak membahas wajah. Kau bisa masuk dalam duniaku.”

Aku menelan ludah yang terasa mengering. IO mengungkapkan semuanya.

“Tapi, kenapa saat aku mencoba memasuki duniamu, hanya El dan El yang membuatmu seolah penasaran. Apa aku harus berbuat jahat dulu agar kamu penasaran denganku? Apa aku harus menjadi badboy terlebih dahulu?”

Aku mengatur napas mengendalikan emosional. “IO ... IO,” panggilku dengan suara lembut. “Kau memiliki value lebih yang gak dimiliki lelaki lain. Kau tidak harus menjadi yang lain, IO. Kau hanya terkena trigered RK.”

IO sedikit tenang. “Oke, berhenti membahas El atau RK. Aku hanya ingin menikmati malam ini, hanya kita berdua. Aku ingin lebih mengenalmu.”

“Oke, karena itu maumu, malam ini kita makan di warung pecel lele,” celetukku yang membuat IO sangat shock.

Ia bahkan mengulang pertanyaan yang sama. “Kamu yakin itu higienies?”

Aku tertawa jahat saat itu, puas merasa menang. “Bukankah kau sendiri yang bilang ingin mencoba masuk duniaku? Mulailah dari hal dasar.”

Ada helaan napas panjang dari IO yang mulai cemas. “Kita cari parkiran yang enak buat bisa makan itu.”

***

Kami akhirnya mendapatkan tempat duduk setelah cukup sabar mengantre karena pengunjung ramai. IO awalnya tampak tidak nyaman saat duduk dengan suasana yang gerah. Ia juga cukup geli saat melihat minyak untuk menggoreng lauknya sudah hitam. Ia tidak banyak bicara, hanya saja matanya tidak bisa berbohong.

Aku memesan beberapa lauk dan yang terpenting petai. Ketika makanan sudah siap, pelan-pelan ia melahap apa yang disajikan. Ia hanya tersenyum tanpa banyak bicara. Anak itu malah lebih lahap dari yang awalnya risih.

“Kamu doyan petai?” tanyaku yang sudah jelas ia menggeleng.

Aku mengambil secuil daging, lalu diaduk dengan nasi, dioles sambal dan ditumpangi petai. Kucomot olahan itu untuk disuapkan ke mulut IO. “Cobain!” tegasku yang malah membuat IO sedikit bengong.

Ia pun membuka mulutnya. Suapan itu akhirnya ia kunyah dengan sunggingan senyum tanpa banyak bicara. Tanpa sadar, keringat sudah membanjiri kening anak itu. Segera kuambil tisu yang tersedia di meja. Refleks aku mengelap keningnya membuat anak itu menatap tanpa berkedip sedikit pun. Aku pun jadi gerogi dan salah tingkah.

Buru-buru aku melanjutkan makan. Pikiran pun melayang. Kemanakah perasaan ini berlabuh? Bapak menjodohkanku dengan Aqlan, tapi kenapa aku mulai menyelami perasaan IO terlalu dalam? Aku merasa aman ketika di dekatnya. Buru-buru aku menghempaskan pikiran itu. Aku terlalu geer. Memangnya aku siapa? IO beda kelas. Gap di antara kami sangatlah serius.

“Kamu kenapa melamun?” tanya IO terlihat was-was.

“IO, apa kamu bahagia aku ajak makan di sini? Aku merasa bersalah mengajakmu makan di sini.”

IO tersenyum dengan bibirnya merah karena sambal. “Kau mengajarkanku satu hal, Ning. Sebuah rasa tidak mesti berasal dari tempat yang ditinggikan. Sebuah rasa bisa didapat di mana pun. Sebuah rasa bukan dirancang, tapi soal kecocokan.”

Aku menyunggingkan senyum. Entah kenapa rasanya semakin dalam perasaan ini kepadanya. Seolah tidak ada gap yang menghadang begitu jauhnya.

***

Akhirnya kami memasuki pameran. Ternyata ini lebih ke memasuki dunianya IO. Banyak sekali lukisan-lukisan terkenal dipajang. Bahkan kata IO jika beberapa pelukis dunia memajangkan karyanya di sini. Kulihat mata IO takjub sekali. Satu demi satu kami amati lukisan tersebut. Ada satu lukisan sederhana, tetapi penuh makna. Di sana tergambar penari wanita Bali dengan mata berwarna biru. Sangat elegan.

“Aku penasaran inspirasi pelukis ini dari sosok penari siapa? Untuk seseorang asal Indonesia bermata biru itu jarang. Kecuali suku di Buton diberi anugerah bermata biru. Sama dengan lukisan ini. Kulit tan, mata biru, senyum yang mengekspresikan emosional yang melekat. So talented for this visual. Pasti pelukis ini tidak bisa melupakan sosok penari itu,” ucapku mengamati lukisan yang menurutku menarik.

IO menoleh dan menangguk takjub. “Pengamatanmu menarik juga. Jarang ada orang yang mau menikmati setiap karya lukisan.”

Aku tersenyum kecil. “Aku hanya menikmati setiap seni yang ditampilkan.”

Seseorang datang, mengenakan kemeja kuning corak hitam. Di belakangnya ada seorang wanita memakai gaun malam yang terlihat mahal. Mereka bergandengan tangan dengan air muka lelaki itu menatapku dari ujung rambut hingga kaki. Itu El mungkin bersama kekasihnya. Dia kini berdiri tepat di depan IO.

Ada sunggingan tawa kecil yang dilontarkan El pada IO. “Standarmu, IO. Gap di antara kalian terlalu jauh. Kau ini ...,” ucap El terjeda sejenak. “Kau selalu enggan aku bawa ke club. Di sana banyak gadis high class. Gak malu-maluin.”

“El! Gak lucu!” bentak IO mencoba sabar.

Aku mengepalkan telapak tangan. El masih saja merendahkanku di malam itu. “Apa yang kaulihat dari gadis ini? Di mana sisi menariknya dia?” ujar El dengan sedikit membunyikan giginya. Ia juga setengah berbisik. “Kabarnya dia seorang gold digger!”

“Dia memiliki high value yang gak dimiliki cewekmu, El. Dia bisa masuk dalam duniaku yang gak bisa dipahami gadis lain,” tegas IO mencoba membuat situasi kondusif. Hanya saja, mulut El sangat berbisa.

El tersenyum menyeringai saat itu membuat kami menekan kesabaran. “Bahkan kabar terbaru mengatakan, dia pernah tidur dengan salah satu dosen demi mendapatkan nilai terbaik.”

El pun menunjukkan foto candid saat aku baru saja keluar dari rumah salah satu dosen. Mataku berkaca-kaca sambil mencoba mengatur napas dan emosional. Di saat itu IO malah menatapku seolah memastikan obrolan yang disampaikan oleh El. Entah kenapa aku benci tatapan itu. Apa maksud IO menatap seperti itu?

Ada tawa puas yang dilontarkan El malam itu. “Dia gak bisa jawab. Berarti kabar itu benar adanya ‘kan?”

Amarah memuncak dan tak bisa dibendung. Hal itu membuatku refleks menunjuk wajah El. “Kau sangat keterlaluan, El.  Semoga Tuhan mencabut kenikmatanmu dalam setiap hubungan yang kamu jalin dengan siapa pun!”

El berubah ekspresi jadi terdiam. Aku pergi dari hadapan mereka dengan sayup-sayup terdengar wanita itu protes. “El, kamu sungguh keterlaluan.’

“Ninggggg,” panggil IO yang berusaha mengejarku.

Beberapa kali aku hempaskan lengan lelaki itu yang berusaha menahan aku pergi. Hingga mungkin saat berada di parkiran, kami mulai berbicara serius. Perkataan busuk El tadi benar-benar menyayat hati. Aku tidak menyangka mulutnya sekotor itu.

“Apalagi? Kamu mau memastikan foto itu? Ya, itu fotoku setelah dari rumah dosen. Gila ya kalau sampai kamu berpikir aneh-aneh,” bentakku sambil mendorong tubuh IO. Ia bergeser beberapa langkah.

“Aku bahkan tidak mengatakan seperti itu,” ucap IO mencoba menenangkan.

Dada rasanya sesak, dengan suara bergetar. “Mulutmu memang tidak mengatakan apa-apa, tapi tatapan matamu tadi membuatku kecewa, IO. Bisa-bisanya kamu percaya dengan omongannya. Aku memang miskin, IO, tapi bukan berarti bisa seenaknya diinjak-injak seperti itu. Aku benci tatapanmu tadi, IO.”

IO gelagapan melihatku meluapkan emosional di malam itu. Kulihat, kedua mata IO sembab malam itu. Suaranya bahkan bergetar dengan mata yang sudah berkaca-kaca. “Apa yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahan tadi? Maaf Ning. Aku gak bermaksud seperti itu.”

“Capek, IO, ketika menjadi pusat perhatian. Kita bahkan tidak memiliki hubungan spesial, tapi orang-orang sudah men-judge berlebihan. Gap di antara kita paling serius.”

Ada air muka tampak khawatir dari IO malam itu. “Gap hanya diciptakan oleh pemikiran orang lain. Aku ini sama Ning. Please. Berikan aku kesempatan. Jika kamu keberatan dengan semua yang orang tuaku miliki, oke, aku akan tinggalkan itu semua dan memulai kehidupan yang baru. Aku serius, Ning.”

Aku memejamkan mata sejenak. Rasanya, menghirup napas saja terasa sesak. Terlebih mendengar nada bicara IO yang sampai bergetar seperti itu. Setelah aku membuka mata kembali, ternyata ada air mata menetes di pipi lelaki itu. Hal itu membuatku sadar, lelaki tidak akan sembaran menangis kecuali perasaannya terguncang.

“Tetaplah menjadi IO yang aku kenal. Aku tidak ingin melihat IO berubah hanya gara-gara aku. Biarkan aku menenangkan diri beberapa hari ke depan. Aku belum siap bertemu dua sepupumu itu.”

“Ning ...,” panggil IO dengan suara yang lirih.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status