Hari ini acara ospek dan kegiatan kemahasiswaan sudah dimulai. Aku memiliki jadwal pertemuan dengan organisasi mahasiswa di jam 8 pagi. Letak ruangannya berada di lantai 3, cukup membuat badmood karena harus naik turun tangga. Sambil berkaca pinggang, aku menyiapkan diri untuk menaiki sejumlah anak tangga. Hingga sampai di lantai 3, tetiba saja aku dipaksa ikut tiga orang yang tak dikenal untuk mengikuti mereka ke rooftop gedung.
Kasar sekali mereka menggeretku, hingga kulihat ada dua sosok yang tak asing berdiri di sana memandang penuh amarah. Sementara orang-orang yang menculikku tetiba saja mendorong hingga aku tersungkur. Itu El dan RK tengah tertawa melihatku terjatuh. Lelaki macam apa yang menertawakan perempuan seperti itu?
“Apa yang kauinginkan dari, IO?” tanya El dengan melipat lengannya di perut. Ia ketus sekali pagi itu dengan sesekali membuang wajah.
“Apa yang kalian maksudkan? Terlalu paranoid rasanya kalian berdua,” ucapku tegas sambil berusaha berdiri.
RK kini mendekat. Ia membisikan sesuatu, “Aku tahu kalian saling suka. Hanya saja gap kalian terlalu jauh. Percintaan kalian tidak akan membuat orang tua IO setuju. Kamu tahu dengan istilah pernikahan bisnis? Orang tua IO tidak mungkin menjodohkan anaknya asal-asalan. Jadi, berhentilah memiliki ekspektasi lebih dengan IO.”
Aku menghela napas panjang. “Kalian hanya takut IO tidak lagi bergabung dengan kalian sebagai geng elit di kampus. Poros IO akan berubah di pikiran kalian. Aku tidak terlalu memusingkan terkait jodoh. Jadi untuk apa kalian menculikku seperti ini?”
RK menghela napasnya dalam-dalam sementara El berkaca pinggang. Dengan setengah berbisik, RK kembali melayangkan protesnya. “Kau terlalu naïf. Kau tidak mengerti karena tidak berada di posisi kami. Jadi, tinggalkan IO secepat mungkin. Kami tidak ingin ia terus-terusan mengikutimu. Dan asal kamu tahu, sampai kapanpun orang tuanya tidak akan pernah merestui hubungan kalian.”
Aku tersenyum tipis sambil membuang muka. “Aku selalu percaya dengan garis takdir. Aku juga tidak akan terpengaruh dengan apa yang kalian lakukan. Entah akan seperti apa jalan hidupku ke depannya, yang jelas penentu takdir bukan di tangan kalian,” ujarku sambil berusaha berdiri.
Aku disiram oleh tiga orang yang menculikku barusan. Airnya tentu bukan air bening biasa. Ini lebih ke air kotor campur lumpur berwarna hitam dan bau. Mereka tertawa puas sekali. Dadaku sesak rasanya diperlakukan seperti ini. Tanpa banyak kata, aku langsung berjalan untuk segera turun ke lantai bawah. Hari ini, aku gagal masuk kelas. Mereka meledekku seolah jadi tontonan kepuasan.
Aku jadi pusat perhatian karena dari ujung rambut hingga kaki kotor. Mataku sudah berkaca-kaca sejak tadi dan sembab. Hingga berada di depan gedung fakultas, seseorang memanggil. Ternyata itu IO. Ia datang ke fakultasku dengan air muka yang cukup terkejut.
“Apa yang terjadi? Kamu kenapa? Siapa yang melakukan ini?”
Aku terus berjalan tanpa mempedulikan IO sama sekali. Tangis ini pecah saat menuju parkiran motor. Hal ini membuatku sadar, sekeras apa pun melawan mereka, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku bukan terlahir dari keluarga superpower.
Tetiba saja, IO menarik lengan, yang mana langsung kuhempaskan begitu saja. Aku tidak ingin bertemu siapapun pagi ini, hanya ingin pulang dan meluapkan emosional ini di dalam kamar.
***
Nam pergi ke kampus karena dia ada kegiatan di sana. Sementara seharusnya siang ini aku ada jadwal event kemahasiswaan. Setelah membersihkan diri, rasanya ada keraguan untuk ke kampus kembali. Dio bahkan sudah 20x telepon karena sudah menunggu untuk jaga stan. Kulihat juga IO sudah 33x panggilan. Semuanya tidak kuangkat. Sambil menjernihkan pikiran, aku putar musik metal cukup kencang sambil berteriak-teriak. Biarkan saja, toh tetangga kamar sudah ke kampus semua.
Hingga seseorang mengetuk pintu keras sekali. Kumatikan musik itu sambil membuka daun pintu. Ternyata itu ibu kos dengan air muka yang tegas marah. “Gila kamu, jam segini nyetel musik gak kira-kira!” ucapnya mengomel.
Aku tersenyum kecil sambil menggaruk kepala yang terasa tidak gatal. “Maaf, Bu. Saya hanya sedang kesal sama seseorang.”
Ibu kos itu berkaca pinggang. “Apa orang yang kamu maksud lelaki tampan yang sedang menunggu di depan gerbang kos?”
Aku terkejut. “Hah? Usir dia Bu usir dia please.”
Ibu kos itu tersungging senyum menyeringai. “Hmmm, kamu bertengkar ya sama pacarmu?” ucapnya meledek, yang seketika berubah lagi. “Cepat temui dia!”
Napasku terjeda beberapa detik. Dengan berjalan lunglai, kutemui anak itu di depan gerbang. Air mukanya sangat khawatir. Hingga aku cukup kaget karena wajah IO dipenuhi luka memar. Sudut bibirnya bahkan berdarah. Ia masih sempat tersenyum.
“Cari makan yuk?” ucapnya yang seolah tidak terjadi apa pun.
“Kamu tunggu di sini, aku mau ambil kotak obat,” ucapku dengan nada yang sedikit ketus.
“Jangan lama-lama, aku pegal nunggu di sini. Mana ibu kosmu galak lagi,” protes IO membuatku tersenyum tipis.
Aku setengah berlari menuju kamar. Entah kenapa aku tidak bisa menolak apa yang IO katakan. Meskipun adanya pertentangan, aku benar-benar tidak merasa marah atau kesal padanya. Aku tahu, dia kesepian. Tidak semua orang mengerti dunianya. Tidak semua paham apa yang dia mau.
Di teras indekos khusus tamu, aku mengolesi luka memar di wajah IO menggunakan salep pereda memar. Dia sedikit mengaduh, manja sekali. “Kamu gak nanya kenapa aku memar?”
Aku mendekus sebal. “Tanpa bertanya pun aku tahu kamu berkelahi sama dua sepupumu itu.”
Kulihat IO menatapku dengan dalam. “Maaf atas kelakuan mereka. Aku gak ekspektasi kamu bakal menerima perlakuan seperti itu.”
Tetiba aku teringat sesuatu hal. “IO, apakah orang tuamu keberatan jika kamu dekat dengan seseorang?”
IO tertawa kecil. “Pasti mereka bawa-bawa orang tuaku, ya? Nanti aku bawa kamu ke rumah ya.”
Mendadak aku terdiam mematung. Apa maksudnya? Aku bukan siapa-siapanya IO. Tetiba saja tanganku digeser oleh IO membuat kaget. “Hei, malah melamun. Kamu olesin salep malah ke mata.”
Aku tertawa kecil saat itu. “Maaf.”
***
Kami berada di sebuah kafe burger yang baru saja buka. Lokasinya cukup dekat dari kampus sebenarnya. IO mengajakku makan di situ demi melupakan kejadian tadi pagi. Semenjak di indekos tadi, kami sepakat untuk tidak lagi membahasnya. Hingga saat pesanan tiba, burger itu sudah terbelah dua yang menjadi ciri khasnya. Jadi sebelah potongan itu kuserahkan ke IO. Anak itu protes.
“Makan saja. Aku lagi diet. Aku cewek, gak bagus kalau gendut.”
Anak itu hanya mengembuskan napas sabar. “Tahu gitu tadi pesan satu saja dibagi dua. Cowok pun gak bagus kalau gendut.”
Aku tersenyum tipis. “Kau pernah mendengar jika berpikir membakar 100 kalori tiap jam? Melukis itu memerlukan pemikiran yang matang. Jadi memang asupan itu pas untukmu yang hobi melukis.”
IO tertawa saat itu. “Kau sangat manipulatif ya.”
Dio kembali menghubungi. Aku lupa, seharusnya jadwal siang ini jaga stan. Bahkan panggilan itu membuat IO notice. “Ada apa?”
Aku tertawa kecil sambil menggaruk kepala yang terasa tidak gatal. “Aku lupa jaga stan. Hari ini kan acara himpunan mahasiswa.”
Anak itu malah meraih gawai dan mengangkatnya. Ia berjalan keluar kafe sejenak membuatku panas dingin. Apa yang akan dilakukan IO? Apa yang akan dikatakan anak itu pada Dio? Hingga anak itu muncul, air mukanya entah kenapa menjadi berubah. Senyumnya mendadak hilang. Ia bahkan menyingkirkan makanan dari hadapannya. Apa yang terjadi?
“Apa benar kau sudah dijodohkan dengan seseorang?” tanya IO membuat napasku terjeda beberapa saat.
“Dio mengatakan itu?” tanyaku dengan air muka pasrah.
Ada letupan emosi yang tercipta dari air muka IO. “Ya atau tidak?” tanyanya sedikit galak dan membuatku terkejut.
Aku mengangguk kecil membuat IO kecewa berat. Ia bahkan sampai memalingkan wajahnya. “Kau … kenapa tidak mengatakannya sedari awal?” tanyanya ada sedikit penekanan.
“Apa yang harus aku katakan? Siapa yang menginginkan perjodohan?” jawabku dengan suara yang parau.
IO tetiba saja pergi dengan wajah yang sudah merah. Dia marah besar pagi itu, tanpa memberikanku kesempatan untuk menjelaskan. Di kafe itu, aku ditinggal sendirian. Mengapa menjadi serumit ini? Mataku serasa sembab, dan terisak. Perasaan ini rasanya hancur dalam sekejap.
***
Nam baru saja pulang dari urusannya di kampus. Aku yang saat itu hanya tiduran kini duduk di tepi pembaringan memperhatikan Nam yang sedang beres-beres. Anak itu awalnya cuek, hanya mungkin baru tersadar saat melihatku sembab dengan air muka yang ditekuk.“Kau kenapa sih?” tanya Nam yang saat itu sedang membereskan barang-barang di meja belajar.“IO mencampakkan aku.”Nam menoleh dengan air muka terkejut. “Kok bisa? Gara-gara apa?”Aku menghela napas panjang. “Dio tadi telpon saat di kafe tapi belum sempat aku angkat, jadi IO yang angkat. Entah ada pembicaraan apa di antara mereka. IO akhirnya tahu kalau aku sedang proses dijodohkan.”Nam pun mengumpat Dio secara kasar. “Bisa-bisanya dia ikut campur hubungan orang. Aku labrak orang itu liat saja.”“Nammm!” ucapku menggelengkan kepala. “Aku tidak mau kita terbawa arus masalah baru.”Nam mendengkus sebal. “Kau terlalu baik, ah. Ditindas El pun nerima-nerima aja lagi. Kalau aku udah ditabok itu El.”Telepon kembali berdering. Bapak meman
Malam sebelum prosesi akad dimulai, aku berada di dalam kamar yang sudah dirias. Ibu datang yang sepertinya menguatkanku. Aku memeluknya, erat sekali. Bahkan Ibu menangis pecah malam itu. Tidak ada raut tangis bahagia di wajahnya. Seolah tak rela jika anaknya diperlakukan seperti ini.“Bu ... Aku takut.” Hanya itu yang bisa aku katakan di depannya.Ibu memeluk dengan tangis yang semakin pecah. Ibu segukan dengan punggungku terasa basah. Aku tidak tega melihat Ibu menangis terpukul seperti ini. Hatiku hancur sejadi-jadinya. “Maaf, Nak. Ibu gagal melakukannya. Ibu tidak bisa melawan Bapak. Karena ibu diancam oleh Bapak. Sekarang ibu merasa gagal,” ucap Ibu yang kala itu kelihatan frustrasinya.“Doakan aku ya, Bu. Semoga Allah memberikanku jalan terbaik.”Dengan masih segukan, Ibu mengusap pundakku. “Pasti, Sayang, pasti. Ibu orang pertama yang akan pasang badan jika kamu disakiti orang lain.”Malam itu aku tidur dengan Ibu saling menguatkan. Hingga pagi-pagi sekali, aku dibangunkan untu
Pagi-pagi sekali aku dibangunkan. Ternyata aku berada di lantai dengan tubuh menyender ke pembaringan. El sudah datang, dengan mulut yang lumayan bau teh berdosa. Ia terlihat panik dan memintaku menuruti kemauannya. Aku yang masih belum sadar 100% hanya bisa melongo dengan intruksinya. “Ini sudah jam setengah lima. Sebentar lagi Papa ke sini. Gawat kalau tahu aku ke club. Pokoknya kita harus acting kalau semalam kita sudah malam pertama yang sangat indah, kamu paham?” Aku menggeliat. Kemudian beranjak menuju kamar mandi. Hal ini membuat El protes dan murka. “Aku mau pipis, El. Kamu mau aku pipis di mulutmu?” El terduduk di sudut pembaringan mencoba sabar. Mungkin 3 menit setelah aku dari kamar mandi, cukup kaget melihat kasur yang berantakan. Aku hanya melipat tangan di dada. Satu set pakaian kotorku ia simpan berserakan di lantai. Aku membuang napas panjang. Drama apalagi yang akan kau mainkan? “Kamu mandi dan keramas. Tutupi rambutmu dengan anduk. Jangan lupa juga pakai handuk ba
Namanya Poppy. Ia sedang duduk di pojok depan kursi khusus dosen. Rambutnya pendek ala Demi Moore. Kakinya jenjang dan menjadi kandidat dosen favorit mahasiswa di kampus karena visualnya. Dia mengajar Aljabar dengan kesabaran setipis tisu dibagi dua. Hari ini kelas perdana, sudah ada pre-test yang diberikannya. Di tangannya sudah ada tablet dengan pulpen khusus gadget tersebut dia mainkan.“Tidak ada yang protes saya berikan pre-test. Menjadi mahasiswa harus kritis dalam belajar. Saya berikan soal-soal dasar. Seharusnya kalian mencari tahu dulu materi Aljabar semalam dan berlatih!” tegas Bu Poppy galak.Aku mencoba berpikir sambil menghela napas panjang. Rumusnya lupa-lupa ingat. Beberapa sibuk meradar, membuat Bu Poppy menggebrag mejanya. Semua terdiam hening. Bu Poppy terlalu galak untuk visual yang enak dipandang.Hingga kemudian ia memasang kamera dengan tripod otomatis bisa memutar sendiri. “Ketua kelasnya nanti ketika selesai kumpulkan kertas jawaban dan simpan di meja saya di r
Sorenya, ketika El masih terlelap tidur, tetiba saja ia mengigau. Refleks kupegang keningnya yang ternyata sedang demam. Ia tampak gelisah, dengan bibir yang menggigil. Kukompres keningnya serta bagian leher. Kulihat lehernya ada benjolan. Sepertinya kelenjar getah bening. Ia terlihat kesakitan. Aku cukup kaget karena selama ini El selalu memakai kaos leher panjang atau berkerah.El lemah sekali ia saat itu. Berbanding terbalik dengan kelakuannya saat sebelum mengenalnya lebih jauh. Dengan sedikit menepuk-nepuk pipinya, kubangunkan dia. “El, adakah obat yang bisa kuambilkan?”Dengan nada suara yang berat, anak itu membuka perlahan kelopak matanya. “Ambilkan aku air.”Aku mengambil air yang berada di atas laci yang terletak di samping pembaringan. Air di gelas ini ia taruh sebelum tidur yang katanya sudah menjadi kebiasaan. Sedikit demi sedikit aku mulai memahami karakter anak ini. Dengan cukup berat, aku berusaha sedikit mengangkat tubuhnya yang lemas. Kemudian memberinya air. Ia memi
Lowa menjadi hotel yang dipilih tiga bersaudara itu untuk menjadi tempat magang atau PKL. Hal ini mereka lakukan untuk memenuhi ekspektasi karya tulis yang akan diujikan di sidang proposal dan sidang skripsi nanti. Lokasinya ada di Bali dengan tempat yang sangat strategis. Fasilitasnya juga sangat lengkap. Termasuk hiburan malam. El ditempatkan di bagian kepegawaian, sedangkan IO ditempatkan di bagian keuangan atau finance, sementara RK ditempatkan di bagian pengunjung. Tiga bersaudara ini akan mencari masalah yang harus bisa mereka selesaikan. Membuatkan sebuah aplikasi yang memudahkan pekerjaan mereka. Hari pertama berjalan baik-baik saja. Hingga hari ketiga, El mulai mengacau. Ia dititipkan berbagai map pekerjaan oleh beberapa pekerja. Mungkin sudah tradisi di perusahaan yang membuat EL geram. “Sudahlah kerjakan saja. Agar nanti kamu tidak kaget ketika memasuki dunia kerja. Melamar kerja itu susah. Harus punya keahlian.” Itu yang diucapkan salah satu pegawai yang katanya sudah 10
Seseorang bertepuk tangan saat aku hendak akan mengetuk kamar Nam. Anak itu menaruh rasa iri mendalam setelah tahu aku dekat dengan IO. Aku meremas rambut karena gemas.“Sudah bersuami, masih berduaan dengan IO. Parah kamu Ning. Jangan-jangan kamu memakai pelet ya?” ucap Adel yang sebenarnya malas meladeni.Beberapa anak kos tampak keluar kamar karena mendengar Adel berteriak. “Astaghfirullahaladzim. Kok kamu jahat menyimpulkan seperti itu?”Adel berkaca pinggang tampak kesal. “Gak usah memasang wajah sok polos! Mana ada seorang istri datang ke sini diam-diam bersama lelaki lain?”Pintu kamar Nam terbuka. Hal itu membuat Adel sedikit terdiam. Ia tak sengaja membangunkan macan yang sedang tertidur. “Duh berisik! Banyak cakap kali kau nih, Del! El sama IO kan sepupuan, pasti El gak keberatan kalau IO mengantar Ning ke sini.”Dengan menatap tajam, Adel semakin membenci. “Kau mendukung perselingkuhan di antara mereka?”Nam tertawa kecil. “Kau ini cuma cemburu buta, Del. Lagian selera IO i
Hari itu berbeda dengan hari biasanya. Pak Bobi saat masih bujangan lebih tepatnya memiliki sebuah toko sepeda. Sebagai keturunan Tionghoa, pak Bobi tidak menyangka jika di hari itu akan menjadi kenangan pahit yang tidak tercantum di kalender.Menjelang tengah hari, kerusuhan di mana-mana tiada henti. Ban demi ban dibakar sangat mengerikan. Beberapa warga berkumpul, menjarah toko-toko milik keturunan Tionghoa. Pak Bobi yang mendengar kabar itu segera menutup tokonya. Ia juga pergi ke belakang yang memang rukonya memiliki pintu di belakang.Pintu ruko bagian depan dibuka paksa oleh warga. Pak Bobi ketakutan. Ia kabur dari pintu belakang mencari bantuan. Salah seorang warga menarik lengan Pak Bobi untuk segera masuk ke rumahnya. Di sana ia disembunyikan. Padahal ada anak lelaki dan istrinya yang bisa saja membahayakan mereka. Pintu pun dikunci rapat.“Kau aman di sini. Diamlah jangan gaduh,” bisik lelaki itu.***Dalam keheningan sepanjang jalan. Pak Bobi menceritakan pengalaman pahitny