Share

Bab 6: Dia Mengetahuinya

Hari ini acara ospek dan kegiatan kemahasiswaan sudah dimulai. Aku memiliki jadwal pertemuan dengan organisasi mahasiswa di jam 8 pagi. Letak ruangannya berada di lantai 3, cukup membuat badmood karena harus naik turun tangga. Sambil berkaca pinggang, aku menyiapkan diri untuk menaiki sejumlah anak tangga. Hingga sampai di lantai 3, tetiba saja aku dipaksa ikut tiga orang yang tak dikenal untuk mengikuti mereka ke rooftop gedung.

Kasar sekali mereka menggeretku, hingga kulihat ada dua sosok yang tak asing berdiri di sana memandang penuh amarah. Sementara orang-orang yang menculikku tetiba saja mendorong hingga aku tersungkur. Itu El dan RK tengah tertawa melihatku terjatuh. Lelaki macam apa yang menertawakan perempuan seperti itu?

“Apa yang kauinginkan dari, IO?” tanya El dengan melipat lengannya di perut. Ia ketus sekali pagi itu dengan sesekali membuang wajah.

“Apa yang kalian maksudkan? Terlalu paranoid rasanya kalian berdua,” ucapku tegas sambil berusaha berdiri.

RK kini mendekat. Ia membisikan sesuatu, “Aku tahu kalian saling suka. Hanya saja gap kalian terlalu jauh. Percintaan kalian tidak akan membuat orang tua IO setuju. Kamu tahu dengan istilah pernikahan bisnis? Orang tua IO tidak mungkin menjodohkan anaknya asal-asalan. Jadi, berhentilah memiliki ekspektasi lebih dengan IO.”

Aku menghela napas panjang. “Kalian hanya takut IO tidak lagi bergabung dengan kalian sebagai geng elit di kampus. Poros IO akan berubah di pikiran kalian. Aku tidak terlalu memusingkan terkait jodoh. Jadi untuk apa kalian menculikku seperti ini?”

RK menghela napasnya dalam-dalam sementara El berkaca pinggang. Dengan setengah berbisik, RK kembali melayangkan protesnya. “Kau terlalu naïf. Kau tidak mengerti karena tidak berada di posisi kami. Jadi, tinggalkan IO secepat mungkin. Kami tidak ingin ia terus-terusan mengikutimu. Dan asal kamu tahu, sampai kapanpun orang tuanya tidak akan pernah merestui hubungan kalian.”

Aku tersenyum tipis sambil membuang muka. “Aku selalu percaya dengan garis takdir. Aku juga tidak akan terpengaruh dengan apa yang kalian lakukan. Entah akan seperti apa jalan hidupku ke depannya, yang jelas penentu takdir bukan di tangan kalian,” ujarku sambil berusaha berdiri.

Aku disiram oleh tiga orang yang menculikku barusan. Airnya tentu bukan air bening biasa. Ini lebih ke air kotor campur lumpur berwarna hitam dan bau. Mereka tertawa puas sekali. Dadaku sesak rasanya diperlakukan seperti ini. Tanpa banyak kata, aku langsung berjalan untuk segera turun ke lantai bawah. Hari ini, aku gagal masuk kelas. Mereka meledekku seolah jadi tontonan kepuasan.

Aku jadi pusat perhatian karena dari ujung rambut hingga kaki kotor. Mataku sudah berkaca-kaca sejak tadi dan sembab. Hingga berada di depan gedung fakultas, seseorang memanggil. Ternyata itu IO. Ia datang ke fakultasku dengan air muka yang cukup terkejut.

“Apa yang terjadi? Kamu kenapa? Siapa yang melakukan ini?”

Aku terus berjalan tanpa mempedulikan IO sama sekali. Tangis ini pecah saat menuju parkiran motor. Hal ini membuatku sadar, sekeras apa pun melawan mereka, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku bukan terlahir dari keluarga superpower.

Tetiba saja, IO menarik lengan, yang mana langsung kuhempaskan begitu saja. Aku tidak ingin bertemu siapapun pagi ini, hanya ingin pulang dan meluapkan emosional ini di dalam kamar.

***

Nam pergi ke kampus karena dia ada kegiatan di sana. Sementara seharusnya siang ini aku ada jadwal event kemahasiswaan. Setelah membersihkan diri, rasanya ada keraguan untuk ke kampus kembali. Dio bahkan sudah 20x telepon karena sudah menunggu untuk jaga stan. Kulihat juga IO sudah 33x panggilan. Semuanya tidak kuangkat. Sambil menjernihkan pikiran, aku putar musik metal cukup kencang sambil berteriak-teriak. Biarkan saja, toh tetangga kamar sudah ke kampus semua.

Hingga seseorang mengetuk pintu keras sekali. Kumatikan musik itu sambil membuka daun pintu. Ternyata itu ibu kos dengan air muka yang tegas marah. “Gila kamu, jam segini nyetel musik gak kira-kira!” ucapnya mengomel.

Aku tersenyum kecil sambil menggaruk kepala yang terasa tidak gatal. “Maaf, Bu. Saya hanya sedang kesal sama seseorang.”

Ibu kos itu berkaca pinggang. “Apa orang yang kamu maksud lelaki tampan yang sedang menunggu di depan gerbang kos?”

Aku terkejut. “Hah? Usir dia Bu usir dia please.

Ibu kos itu tersungging senyum menyeringai. “Hmmm, kamu bertengkar ya sama pacarmu?” ucapnya meledek, yang seketika berubah lagi. “Cepat temui dia!”

Napasku terjeda beberapa detik. Dengan berjalan lunglai, kutemui anak itu di depan gerbang. Air mukanya sangat khawatir. Hingga aku cukup kaget karena wajah IO dipenuhi luka memar. Sudut bibirnya bahkan berdarah. Ia masih sempat tersenyum.

“Cari makan yuk?” ucapnya yang seolah tidak terjadi apa pun.

“Kamu tunggu di sini, aku mau ambil kotak obat,” ucapku dengan nada yang sedikit ketus.

“Jangan lama-lama, aku pegal nunggu di sini. Mana ibu kosmu galak lagi,” protes IO membuatku tersenyum tipis.

Aku setengah berlari menuju kamar. Entah kenapa aku tidak bisa menolak apa yang IO katakan. Meskipun adanya pertentangan, aku benar-benar tidak merasa marah atau kesal padanya. Aku tahu, dia kesepian. Tidak semua orang mengerti dunianya. Tidak semua paham apa yang dia mau.

Di teras indekos khusus tamu, aku mengolesi luka memar di wajah IO menggunakan salep pereda memar. Dia sedikit mengaduh, manja sekali. “Kamu gak nanya kenapa aku memar?”

Aku mendekus sebal. “Tanpa bertanya pun aku tahu kamu berkelahi sama dua sepupumu itu.”

Kulihat IO menatapku dengan dalam. “Maaf atas kelakuan mereka. Aku gak ekspektasi kamu bakal menerima perlakuan seperti itu.”

Tetiba aku teringat sesuatu hal. “IO, apakah orang tuamu keberatan jika kamu dekat dengan seseorang?”

IO tertawa kecil. “Pasti mereka bawa-bawa orang tuaku, ya? Nanti aku bawa kamu ke rumah ya.”

Mendadak aku terdiam mematung. Apa maksudnya? Aku bukan siapa-siapanya IO. Tetiba saja tanganku digeser oleh IO membuat kaget. “Hei, malah melamun. Kamu olesin salep malah ke mata.”

Aku tertawa kecil saat itu. “Maaf.”

***

Kami berada di sebuah kafe burger yang baru saja buka. Lokasinya cukup dekat dari kampus sebenarnya. IO mengajakku makan di situ demi melupakan kejadian tadi pagi. Semenjak di indekos tadi, kami sepakat untuk tidak lagi membahasnya. Hingga saat pesanan tiba, burger itu sudah terbelah dua yang menjadi ciri khasnya. Jadi sebelah potongan itu kuserahkan ke IO. Anak itu protes.

“Makan saja. Aku lagi diet. Aku cewek, gak bagus kalau gendut.”

Anak itu hanya mengembuskan napas sabar. “Tahu gitu tadi pesan satu saja dibagi dua. Cowok pun gak bagus kalau gendut.”

Aku tersenyum tipis. “Kau pernah mendengar jika berpikir membakar 100 kalori tiap jam? Melukis itu memerlukan pemikiran yang matang. Jadi memang asupan itu pas untukmu yang hobi melukis.”

IO tertawa saat itu. “Kau sangat manipulatif ya.”

Dio kembali menghubungi. Aku lupa, seharusnya jadwal siang ini jaga stan. Bahkan panggilan itu membuat IO notice. “Ada apa?”

Aku tertawa kecil sambil menggaruk kepala yang terasa tidak gatal. “Aku lupa jaga stan. Hari ini kan acara himpunan mahasiswa.”

Anak itu malah meraih gawai dan mengangkatnya. Ia berjalan keluar kafe sejenak membuatku panas dingin. Apa yang akan dilakukan IO? Apa yang akan dikatakan anak itu pada Dio? Hingga anak itu muncul, air mukanya entah kenapa menjadi berubah. Senyumnya mendadak hilang. Ia bahkan menyingkirkan makanan dari hadapannya. Apa yang terjadi?

“Apa benar kau sudah dijodohkan dengan seseorang?” tanya IO membuat napasku terjeda beberapa saat.

“Dio mengatakan itu?” tanyaku dengan air muka pasrah.

Ada letupan emosi yang tercipta dari air muka IO. “Ya atau tidak?” tanyanya sedikit galak dan membuatku terkejut.

Aku mengangguk kecil membuat IO kecewa berat. Ia bahkan sampai memalingkan wajahnya. “Kau … kenapa tidak mengatakannya sedari awal?” tanyanya ada sedikit penekanan.

“Apa yang harus aku katakan? Siapa yang menginginkan perjodohan?” jawabku dengan suara yang parau.

IO tetiba saja pergi dengan wajah yang sudah merah. Dia marah besar pagi itu, tanpa memberikanku kesempatan untuk menjelaskan. Di kafe itu, aku ditinggal sendirian. Mengapa menjadi serumit ini? Mataku serasa sembab, dan terisak. Perasaan ini rasanya hancur dalam sekejap.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status