Share

Bab 7: Marahnya Orang Pendiam

Nam baru saja pulang dari urusannya di kampus. Aku yang saat itu hanya tiduran kini duduk di tepi pembaringan memperhatikan Nam yang sedang beres-beres. Anak itu awalnya cuek, hanya mungkin baru tersadar saat melihatku sembab dengan air muka yang ditekuk.

“Kau kenapa sih?” tanya Nam yang saat itu sedang membereskan barang-barang di meja belajar.

“IO mencampakkan aku.”

Nam menoleh dengan air muka terkejut. “Kok bisa? Gara-gara apa?”

Aku menghela napas panjang. “Dio tadi telpon saat di kafe tapi belum sempat aku angkat, jadi IO yang angkat. Entah ada pembicaraan apa di antara mereka. IO akhirnya tahu kalau aku sedang proses dijodohkan.”

Nam pun mengumpat Dio secara kasar. “Bisa-bisanya dia ikut campur hubungan orang. Aku labrak orang itu liat saja.”

“Nammm!” ucapku menggelengkan kepala. “Aku tidak mau kita terbawa arus masalah baru.”

Nam mendengkus sebal. “Kau terlalu baik, ah. Ditindas El pun nerima-nerima aja lagi. Kalau aku udah ditabok itu El.”

Telepon kembali berdering. Bapak memanggil membuat suasana hening. Nam yang melihat nama kontak Bapak tertera di ponselku seketika membuang wajahnya. Dengan perlahan aku mengangkatnya. Mencoba memasang hati seluas mungkin.

“Halo, Pak. Assalamualaikum. Ada apa?” ucapku berusaha selembut mungkin.

“Kamu lagi apa, Nak? Bapak cuma mau ngasih tahu jika acara pernikahanmu dengan Aqlan dimajukan ke akhir pekan ini, karena Pak Bobi akan ke luar negeri beberapa pekan ke depan. Jadi, ya, mau gak mau kita ikuti saja maunya. Demi kebaikan bersama. Nanti rabu, kamu Bapak jemput.”

Aku terdiam dengan suara telepon Bapak di mode loudspeaker. Dada rasanya sesak. Mengapa semuanya harus sesuai keinginan Bapak? Selama ini Bapak masih terus nyerocos, memuji calon besannya. Aku memejamkan mata sejenak. Rasanya ingin kabur saja agar perjodohan ini tidak terjadi.

“Kamu kenapa diam? Gak senang ya kalau bapak jodohkan dengan pilihan bapak? Sudah seharusnya kamu berterima kasih karena calon kamu itu orang terpandang dan berpendidikan. Sudah, siap-siap saja. Bila perlu kamu luluran.”

Telepon pun dimatikan. Tangan rasanya masih tremor. Siapa sosok Aqlan?

“Sudah sakit Bapak kau ya. Gada basa-basinya langsung to the point. Pakai gak tanya kau dulu setuju enggak. Kalau aku jadi kau, udah kabur menghilang daripada dijodohkan seperti itu.”

“Aku lebih mengkhawatirkan kondisi IO. Dia pasti terpukul banget,” ucapku membuat Nam mengembuskan napas panjang.

Nam hanya memandang tanpa berkata apa pun.

***

Kegiatan mahasiswa hari kedua dimulai. Akhirnya aku ke kampus meskipun tidak enak hati dan mengganjal atas kejadian kemarin. Saat di stan, kulihat Dio biasa-biasa saja seolah tidak pernah ada dosa yang dia lakukan. Kondisi stan kami tidak terlalu ramai, membuatku lebih memilih untuk membaca.

“Kata ayahku di rumahmu sudah sibuk belanja dan membuat bumbu. Pernikahanmu dimajukan ya?”

Aku mengangkat pundak memberikan isyarat tidak tahu apa pun. Kembali aku membaca yang mungkin membuat anak itu geram karena aku meresponnya tidak nyaman. Temanku satu komunitas lagi saat itu sedang sibuk menata buku-buku di rak.

“Kamu marah ya gegara aku bilang perjodohanmu dengan Aqlan pada IO?”

Lantaran apa yang diucapkan oleh Dio, segera aku menutup buku dan meletakkannya di atas meja secara kasar. Segera aku pergi dari hadapannya. Malas rasanya mengobrol hal-hal perjodohan di pagi yang cerah ini. Hingga tak sengaja kulihat di stan seni, IO sedang melukis. Di sisi lain, Adel sedang mendekati anak itu. Aku hanya menghembuskan napas panjang. Buru-buru pergi dari tempat itu.

Di salah satu lorong dekat ruang kelas, kulihat RK berdiri di salah satu tiang. Ia melihatku dan tetiba saja menghampiri. Omongan pedas apa yang akan dikatakannya? Refleks aku mundur beberapa langkah.

“Apa yang kamu takutkan?”

Aku pun menatap sinis dengan perasaan mengganjal. “Tumben gak sama bosmu?”

RK pun berubah ekspresi saat dikatakan seperti itu. “Eh mulutnya, ya. Aku ingin berbicara empat mata denganmu.”

Mendengar itu aku mendengkus sebal dan bertolak pergi. RK langsung menarik tanganku agar omongannya ditanggapi. “Kau itu, ya. Aku mau ngomong, tapi gak di sini.”

Aku menatap RK dengan malas. “Di sini atau tidak sama sekali.”

RK mengembuskan napas sebalnya. “Oke!” jawab kesal RK kala itu. Ia bahkan sampai menghela napas sejenak dan setengah berbisik. “Kau beneran mau dijodohkan?”

Lagi-lagi pertanyaan itu. Hal ini membuatku geram. “Kau mau meledekku?”

Anak itu berkaca pinggang sambil menatapku penuh kekesalan. “Aku benci mengatakan ini, tapi please batalkan perjodohan itu. Semua ini akan kacau!” ucap RK membuatku mengerutkan kening beberapa lipatan.

“Apa yang dilakukan IO sampai kau frustrasi seperti ini?”

Ada rona kecemasan yang terpancar dari wajah RK. “Dia kemarin nekat nenggak obat penenang tiga biji sampai gak sadar lima jam. Hampir saja dia lewat.”

Aku merutuk diri sendiri. Ini tidak boleh dibiarkan. Aku pun berjalan meninggalkan RK begitu saja.

“Heiii, aku belum selesai. Ada yang lebih gawat dari ini ... hah, terserah,” teriak RK membuatku tak mempedulikannya.

***

Sebuah lukisan terpajang di depan sebuah stan seni rupa. Lukisan itu memiliki background biru safir. Ada sebuah gambar gadis yang sedang duduk murung dengan gambar belakangnya pesta. Tergambarkan kedua lengan gadis ini diikat sebuah rantai hingga membuat mulut gadis itu seperti berteriak.

“Adakah yang melihat IO?” tanyaku pada penjaga stan.

“Oh, udah pulang barusan,” jawab seorang penjaga stan.

Aku mencoba menelponnya, tetapi ditolak. Chat-ku bahkan tidak dibaca dari kemarin. IO marah besar tanpa memberikanku kesempatan berbicara. Dengan berjalan lunglai di bawah terik matahari, aku menuju gedung fakultas untuk menemui Nam. Hingga di sebuah taman, aku melihat IO sedang duduk sambil membaca sebuah buku. Hanya saja, ada Adel yang sedari tadi mengikuti.

Ada rasa kecewa yang berpendar dalam diri hingga bernapas saja, rasanya berat. Aku berjalan kembali menjauhi semuanya. Secepat ini semuanya berubah. Aku ingin menentukan jalan yang dipijak atas kehendak sendiri. Di sepanjang perjalanan menuju ruangan di mana Nam berada, aku terus berpikir, andai bisa memilih dari keluarga yang mana aku dilahirkan. Mungkin, tidak akan seperti ini.

Nam ternyata sudah selesai rapat pertemuan dengan organisasinya. Ia menunggu di depan kelas yang sudah kami janjikan bertemu. “Aku ke wc dulu,” ucapku yang sebenarnya perasaan ini sudah tidak kuat.

Di dalam toilet, aku berteriak-teriak dalam senyap. Aku hanya ingin bahagia. Aku tidak ingin menjadi boneka yang segalanya disetir orang lain. Aku ingin berdiri dengan kaki sendiri. Aku menangis sejadi-jadinya siang itu. Seolah Bapak merebut senyumku selama ini. Perasaan ini dihancurkan oleh cinta pertamaku sendiri.

Setelah sedikit tenang, aku berjalan keluar kamar mandi dengan berusaha menutupi apa yang aku lakukan barusan. Sayup-sayup terdengar Nam sedang mengobrol dengan seseorang. Aku mengendap secara diam-diam.

“Kondisinya dia juga korban perasaan. Tidak ada kebebasan yang pernah ia dapatkan sedari kecil. Ambisi bapaknya terlalu besar. Dia dekat denganmu karena mengalir apa adanya. Bahkan ia pernah tidak diberikan uang jajan selama sebulan saat SMA hanya gara-gara nilainya sedikit turun.”

Belum ada jawaban yang terlontar dari IO pagi itu. Apa yang dilakukan Nam bagiku sangat nekat. Aku terduduk di lantai karena tidak mungkin muncul di hadapan mereka saat ini.

“Memangnya siapa sih yang mau dijodohkan secara paksa begitu? Dia diam-diam menyukaimu IO. Kamu harus berjuang mendapatkannya, jika memang kamu menyukainya juga.”

“Akan aku pikirkan nanti. Kepalaku sedang tidak baik-baik saja. Aku pulang dulu,” ucap IO yang sepertinya ia sedang sakit.

Aku mengintip dari balik tembok lorong. Anak itu, sudah pergi entah kemana. Nam cukup terkejut saat aku muncul secara tiba-tiba. Nam tetaplah Nam. Ia hanya tertawa nyengir seolah tidak terjadi apa pun.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status