Nam baru saja pulang dari urusannya di kampus. Aku yang saat itu hanya tiduran kini duduk di tepi pembaringan memperhatikan Nam yang sedang beres-beres. Anak itu awalnya cuek, hanya mungkin baru tersadar saat melihatku sembab dengan air muka yang ditekuk.
“Kau kenapa sih?” tanya Nam yang saat itu sedang membereskan barang-barang di meja belajar.
“IO mencampakkan aku.”
Nam menoleh dengan air muka terkejut. “Kok bisa? Gara-gara apa?”
Aku menghela napas panjang. “Dio tadi telpon saat di kafe tapi belum sempat aku angkat, jadi IO yang angkat. Entah ada pembicaraan apa di antara mereka. IO akhirnya tahu kalau aku sedang proses dijodohkan.”
Nam pun mengumpat Dio secara kasar. “Bisa-bisanya dia ikut campur hubungan orang. Aku labrak orang itu liat saja.”
“Nammm!” ucapku menggelengkan kepala. “Aku tidak mau kita terbawa arus masalah baru.”
Nam mendengkus sebal. “Kau terlalu baik, ah. Ditindas El pun nerima-nerima aja lagi. Kalau aku udah ditabok itu El.”
Telepon kembali berdering. Bapak memanggil membuat suasana hening. Nam yang melihat nama kontak Bapak tertera di ponselku seketika membuang wajahnya. Dengan perlahan aku mengangkatnya. Mencoba memasang hati seluas mungkin.
“Halo, Pak. Assalamualaikum. Ada apa?” ucapku berusaha selembut mungkin.
“Kamu lagi apa, Nak? Bapak cuma mau ngasih tahu jika acara pernikahanmu dengan Aqlan dimajukan ke akhir pekan ini, karena Pak Bobi akan ke luar negeri beberapa pekan ke depan. Jadi, ya, mau gak mau kita ikuti saja maunya. Demi kebaikan bersama. Nanti rabu, kamu Bapak jemput.”
Aku terdiam dengan suara telepon Bapak di mode loudspeaker. Dada rasanya sesak. Mengapa semuanya harus sesuai keinginan Bapak? Selama ini Bapak masih terus nyerocos, memuji calon besannya. Aku memejamkan mata sejenak. Rasanya ingin kabur saja agar perjodohan ini tidak terjadi.
“Kamu kenapa diam? Gak senang ya kalau bapak jodohkan dengan pilihan bapak? Sudah seharusnya kamu berterima kasih karena calon kamu itu orang terpandang dan berpendidikan. Sudah, siap-siap saja. Bila perlu kamu luluran.”
Telepon pun dimatikan. Tangan rasanya masih tremor. Siapa sosok Aqlan?
“Sudah sakit Bapak kau ya. Gada basa-basinya langsung to the point. Pakai gak tanya kau dulu setuju enggak. Kalau aku jadi kau, udah kabur menghilang daripada dijodohkan seperti itu.”
“Aku lebih mengkhawatirkan kondisi IO. Dia pasti terpukul banget,” ucapku membuat Nam mengembuskan napas panjang.
Nam hanya memandang tanpa berkata apa pun.
***
Kegiatan mahasiswa hari kedua dimulai. Akhirnya aku ke kampus meskipun tidak enak hati dan mengganjal atas kejadian kemarin. Saat di stan, kulihat Dio biasa-biasa saja seolah tidak pernah ada dosa yang dia lakukan. Kondisi stan kami tidak terlalu ramai, membuatku lebih memilih untuk membaca.
“Kata ayahku di rumahmu sudah sibuk belanja dan membuat bumbu. Pernikahanmu dimajukan ya?”
Aku mengangkat pundak memberikan isyarat tidak tahu apa pun. Kembali aku membaca yang mungkin membuat anak itu geram karena aku meresponnya tidak nyaman. Temanku satu komunitas lagi saat itu sedang sibuk menata buku-buku di rak.
“Kamu marah ya gegara aku bilang perjodohanmu dengan Aqlan pada IO?”
Lantaran apa yang diucapkan oleh Dio, segera aku menutup buku dan meletakkannya di atas meja secara kasar. Segera aku pergi dari hadapannya. Malas rasanya mengobrol hal-hal perjodohan di pagi yang cerah ini. Hingga tak sengaja kulihat di stan seni, IO sedang melukis. Di sisi lain, Adel sedang mendekati anak itu. Aku hanya menghembuskan napas panjang. Buru-buru pergi dari tempat itu.
Di salah satu lorong dekat ruang kelas, kulihat RK berdiri di salah satu tiang. Ia melihatku dan tetiba saja menghampiri. Omongan pedas apa yang akan dikatakannya? Refleks aku mundur beberapa langkah.
“Apa yang kamu takutkan?”
Aku pun menatap sinis dengan perasaan mengganjal. “Tumben gak sama bosmu?”
RK pun berubah ekspresi saat dikatakan seperti itu. “Eh mulutnya, ya. Aku ingin berbicara empat mata denganmu.”
Mendengar itu aku mendengkus sebal dan bertolak pergi. RK langsung menarik tanganku agar omongannya ditanggapi. “Kau itu, ya. Aku mau ngomong, tapi gak di sini.”
Aku menatap RK dengan malas. “Di sini atau tidak sama sekali.”
RK mengembuskan napas sebalnya. “Oke!” jawab kesal RK kala itu. Ia bahkan sampai menghela napas sejenak dan setengah berbisik. “Kau beneran mau dijodohkan?”
Lagi-lagi pertanyaan itu. Hal ini membuatku geram. “Kau mau meledekku?”
Anak itu berkaca pinggang sambil menatapku penuh kekesalan. “Aku benci mengatakan ini, tapi please batalkan perjodohan itu. Semua ini akan kacau!” ucap RK membuatku mengerutkan kening beberapa lipatan.
“Apa yang dilakukan IO sampai kau frustrasi seperti ini?”
Ada rona kecemasan yang terpancar dari wajah RK. “Dia kemarin nekat nenggak obat penenang tiga biji sampai gak sadar lima jam. Hampir saja dia lewat.”
Aku merutuk diri sendiri. Ini tidak boleh dibiarkan. Aku pun berjalan meninggalkan RK begitu saja.
“Heiii, aku belum selesai. Ada yang lebih gawat dari ini ... hah, terserah,” teriak RK membuatku tak mempedulikannya.
***
Sebuah lukisan terpajang di depan sebuah stan seni rupa. Lukisan itu memiliki background biru safir. Ada sebuah gambar gadis yang sedang duduk murung dengan gambar belakangnya pesta. Tergambarkan kedua lengan gadis ini diikat sebuah rantai hingga membuat mulut gadis itu seperti berteriak.
“Adakah yang melihat IO?” tanyaku pada penjaga stan.
“Oh, udah pulang barusan,” jawab seorang penjaga stan.
Aku mencoba menelponnya, tetapi ditolak. Chat-ku bahkan tidak dibaca dari kemarin. IO marah besar tanpa memberikanku kesempatan berbicara. Dengan berjalan lunglai di bawah terik matahari, aku menuju gedung fakultas untuk menemui Nam. Hingga di sebuah taman, aku melihat IO sedang duduk sambil membaca sebuah buku. Hanya saja, ada Adel yang sedari tadi mengikuti.
Ada rasa kecewa yang berpendar dalam diri hingga bernapas saja, rasanya berat. Aku berjalan kembali menjauhi semuanya. Secepat ini semuanya berubah. Aku ingin menentukan jalan yang dipijak atas kehendak sendiri. Di sepanjang perjalanan menuju ruangan di mana Nam berada, aku terus berpikir, andai bisa memilih dari keluarga yang mana aku dilahirkan. Mungkin, tidak akan seperti ini.
Nam ternyata sudah selesai rapat pertemuan dengan organisasinya. Ia menunggu di depan kelas yang sudah kami janjikan bertemu. “Aku ke wc dulu,” ucapku yang sebenarnya perasaan ini sudah tidak kuat.
Di dalam toilet, aku berteriak-teriak dalam senyap. Aku hanya ingin bahagia. Aku tidak ingin menjadi boneka yang segalanya disetir orang lain. Aku ingin berdiri dengan kaki sendiri. Aku menangis sejadi-jadinya siang itu. Seolah Bapak merebut senyumku selama ini. Perasaan ini dihancurkan oleh cinta pertamaku sendiri.
Setelah sedikit tenang, aku berjalan keluar kamar mandi dengan berusaha menutupi apa yang aku lakukan barusan. Sayup-sayup terdengar Nam sedang mengobrol dengan seseorang. Aku mengendap secara diam-diam.
“Kondisinya dia juga korban perasaan. Tidak ada kebebasan yang pernah ia dapatkan sedari kecil. Ambisi bapaknya terlalu besar. Dia dekat denganmu karena mengalir apa adanya. Bahkan ia pernah tidak diberikan uang jajan selama sebulan saat SMA hanya gara-gara nilainya sedikit turun.”
Belum ada jawaban yang terlontar dari IO pagi itu. Apa yang dilakukan Nam bagiku sangat nekat. Aku terduduk di lantai karena tidak mungkin muncul di hadapan mereka saat ini.
“Memangnya siapa sih yang mau dijodohkan secara paksa begitu? Dia diam-diam menyukaimu IO. Kamu harus berjuang mendapatkannya, jika memang kamu menyukainya juga.”
“Akan aku pikirkan nanti. Kepalaku sedang tidak baik-baik saja. Aku pulang dulu,” ucap IO yang sepertinya ia sedang sakit.
Aku mengintip dari balik tembok lorong. Anak itu, sudah pergi entah kemana. Nam cukup terkejut saat aku muncul secara tiba-tiba. Nam tetaplah Nam. Ia hanya tertawa nyengir seolah tidak terjadi apa pun.
***
Malam sebelum prosesi akad dimulai, aku berada di dalam kamar yang sudah dirias. Ibu datang yang sepertinya menguatkanku. Aku memeluknya, erat sekali. Bahkan Ibu menangis pecah malam itu. Tidak ada raut tangis bahagia di wajahnya. Seolah tak rela jika anaknya diperlakukan seperti ini.“Bu ... Aku takut.” Hanya itu yang bisa aku katakan di depannya.Ibu memeluk dengan tangis yang semakin pecah. Ibu segukan dengan punggungku terasa basah. Aku tidak tega melihat Ibu menangis terpukul seperti ini. Hatiku hancur sejadi-jadinya. “Maaf, Nak. Ibu gagal melakukannya. Ibu tidak bisa melawan Bapak. Karena ibu diancam oleh Bapak. Sekarang ibu merasa gagal,” ucap Ibu yang kala itu kelihatan frustrasinya.“Doakan aku ya, Bu. Semoga Allah memberikanku jalan terbaik.”Dengan masih segukan, Ibu mengusap pundakku. “Pasti, Sayang, pasti. Ibu orang pertama yang akan pasang badan jika kamu disakiti orang lain.”Malam itu aku tidur dengan Ibu saling menguatkan. Hingga pagi-pagi sekali, aku dibangunkan untu
Pagi-pagi sekali aku dibangunkan. Ternyata aku berada di lantai dengan tubuh menyender ke pembaringan. El sudah datang, dengan mulut yang lumayan bau teh berdosa. Ia terlihat panik dan memintaku menuruti kemauannya. Aku yang masih belum sadar 100% hanya bisa melongo dengan intruksinya. “Ini sudah jam setengah lima. Sebentar lagi Papa ke sini. Gawat kalau tahu aku ke club. Pokoknya kita harus acting kalau semalam kita sudah malam pertama yang sangat indah, kamu paham?” Aku menggeliat. Kemudian beranjak menuju kamar mandi. Hal ini membuat El protes dan murka. “Aku mau pipis, El. Kamu mau aku pipis di mulutmu?” El terduduk di sudut pembaringan mencoba sabar. Mungkin 3 menit setelah aku dari kamar mandi, cukup kaget melihat kasur yang berantakan. Aku hanya melipat tangan di dada. Satu set pakaian kotorku ia simpan berserakan di lantai. Aku membuang napas panjang. Drama apalagi yang akan kau mainkan? “Kamu mandi dan keramas. Tutupi rambutmu dengan anduk. Jangan lupa juga pakai handuk ba
Namanya Poppy. Ia sedang duduk di pojok depan kursi khusus dosen. Rambutnya pendek ala Demi Moore. Kakinya jenjang dan menjadi kandidat dosen favorit mahasiswa di kampus karena visualnya. Dia mengajar Aljabar dengan kesabaran setipis tisu dibagi dua. Hari ini kelas perdana, sudah ada pre-test yang diberikannya. Di tangannya sudah ada tablet dengan pulpen khusus gadget tersebut dia mainkan.“Tidak ada yang protes saya berikan pre-test. Menjadi mahasiswa harus kritis dalam belajar. Saya berikan soal-soal dasar. Seharusnya kalian mencari tahu dulu materi Aljabar semalam dan berlatih!” tegas Bu Poppy galak.Aku mencoba berpikir sambil menghela napas panjang. Rumusnya lupa-lupa ingat. Beberapa sibuk meradar, membuat Bu Poppy menggebrag mejanya. Semua terdiam hening. Bu Poppy terlalu galak untuk visual yang enak dipandang.Hingga kemudian ia memasang kamera dengan tripod otomatis bisa memutar sendiri. “Ketua kelasnya nanti ketika selesai kumpulkan kertas jawaban dan simpan di meja saya di r
Sorenya, ketika El masih terlelap tidur, tetiba saja ia mengigau. Refleks kupegang keningnya yang ternyata sedang demam. Ia tampak gelisah, dengan bibir yang menggigil. Kukompres keningnya serta bagian leher. Kulihat lehernya ada benjolan. Sepertinya kelenjar getah bening. Ia terlihat kesakitan. Aku cukup kaget karena selama ini El selalu memakai kaos leher panjang atau berkerah.El lemah sekali ia saat itu. Berbanding terbalik dengan kelakuannya saat sebelum mengenalnya lebih jauh. Dengan sedikit menepuk-nepuk pipinya, kubangunkan dia. “El, adakah obat yang bisa kuambilkan?”Dengan nada suara yang berat, anak itu membuka perlahan kelopak matanya. “Ambilkan aku air.”Aku mengambil air yang berada di atas laci yang terletak di samping pembaringan. Air di gelas ini ia taruh sebelum tidur yang katanya sudah menjadi kebiasaan. Sedikit demi sedikit aku mulai memahami karakter anak ini. Dengan cukup berat, aku berusaha sedikit mengangkat tubuhnya yang lemas. Kemudian memberinya air. Ia memi
Lowa menjadi hotel yang dipilih tiga bersaudara itu untuk menjadi tempat magang atau PKL. Hal ini mereka lakukan untuk memenuhi ekspektasi karya tulis yang akan diujikan di sidang proposal dan sidang skripsi nanti. Lokasinya ada di Bali dengan tempat yang sangat strategis. Fasilitasnya juga sangat lengkap. Termasuk hiburan malam. El ditempatkan di bagian kepegawaian, sedangkan IO ditempatkan di bagian keuangan atau finance, sementara RK ditempatkan di bagian pengunjung. Tiga bersaudara ini akan mencari masalah yang harus bisa mereka selesaikan. Membuatkan sebuah aplikasi yang memudahkan pekerjaan mereka. Hari pertama berjalan baik-baik saja. Hingga hari ketiga, El mulai mengacau. Ia dititipkan berbagai map pekerjaan oleh beberapa pekerja. Mungkin sudah tradisi di perusahaan yang membuat EL geram. “Sudahlah kerjakan saja. Agar nanti kamu tidak kaget ketika memasuki dunia kerja. Melamar kerja itu susah. Harus punya keahlian.” Itu yang diucapkan salah satu pegawai yang katanya sudah 10
Seseorang bertepuk tangan saat aku hendak akan mengetuk kamar Nam. Anak itu menaruh rasa iri mendalam setelah tahu aku dekat dengan IO. Aku meremas rambut karena gemas.“Sudah bersuami, masih berduaan dengan IO. Parah kamu Ning. Jangan-jangan kamu memakai pelet ya?” ucap Adel yang sebenarnya malas meladeni.Beberapa anak kos tampak keluar kamar karena mendengar Adel berteriak. “Astaghfirullahaladzim. Kok kamu jahat menyimpulkan seperti itu?”Adel berkaca pinggang tampak kesal. “Gak usah memasang wajah sok polos! Mana ada seorang istri datang ke sini diam-diam bersama lelaki lain?”Pintu kamar Nam terbuka. Hal itu membuat Adel sedikit terdiam. Ia tak sengaja membangunkan macan yang sedang tertidur. “Duh berisik! Banyak cakap kali kau nih, Del! El sama IO kan sepupuan, pasti El gak keberatan kalau IO mengantar Ning ke sini.”Dengan menatap tajam, Adel semakin membenci. “Kau mendukung perselingkuhan di antara mereka?”Nam tertawa kecil. “Kau ini cuma cemburu buta, Del. Lagian selera IO i
Hari itu berbeda dengan hari biasanya. Pak Bobi saat masih bujangan lebih tepatnya memiliki sebuah toko sepeda. Sebagai keturunan Tionghoa, pak Bobi tidak menyangka jika di hari itu akan menjadi kenangan pahit yang tidak tercantum di kalender.Menjelang tengah hari, kerusuhan di mana-mana tiada henti. Ban demi ban dibakar sangat mengerikan. Beberapa warga berkumpul, menjarah toko-toko milik keturunan Tionghoa. Pak Bobi yang mendengar kabar itu segera menutup tokonya. Ia juga pergi ke belakang yang memang rukonya memiliki pintu di belakang.Pintu ruko bagian depan dibuka paksa oleh warga. Pak Bobi ketakutan. Ia kabur dari pintu belakang mencari bantuan. Salah seorang warga menarik lengan Pak Bobi untuk segera masuk ke rumahnya. Di sana ia disembunyikan. Padahal ada anak lelaki dan istrinya yang bisa saja membahayakan mereka. Pintu pun dikunci rapat.“Kau aman di sini. Diamlah jangan gaduh,” bisik lelaki itu.***Dalam keheningan sepanjang jalan. Pak Bobi menceritakan pengalaman pahitny
Di teras rumah, aku melihat Bapak sedang marah besar. Ia mengacungkan golok ke arah tiga pemuda yang berdiri di depan Bapak. Di sanalah aku melihat puncak kemarahan besar seorang ayah ketika putrinya disakiti. Ibu yang melihat itu uring-uringan. Kulihat El tengah memohon di hadapan Bapak yang sedang murka. Anak itu tengah bersimpuh.“Saya sepakat dengan perjodohan yang diminta ayahmu, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya menyakiti anak saya! Pergi kamu! Saya sendiri yang akan urus perceraian kalian. Tidak sudi saya punya mantu sepertimu!” Golok itu masih saja teracung di hadapan El, RK, dan IO.Di tengah bersimpuh, kulihat El tangannya bergetar. Aku tidak menyangka anak itu bisa sehancur ini mentalnya. RK dan IO pun hanya terdiam tak berkutik. Amarah Bapak tidak main-main saat itu. Bahkan wajah Bapak sampai merah.“Pak tenang, Pak. Kita selesaikan dengan kepala dingin,” tegur Ibu yang kala itu berlari kecil mendekati Bapak.Hal itu membuat amarah Bapak mengendur. Sementara aku berja