Share

Bab 8: Perjodohan yang Dingin

Malam sebelum prosesi akad dimulai, aku berada di dalam kamar yang sudah dirias. Ibu datang yang sepertinya menguatkanku. Aku memeluknya, erat sekali. Bahkan Ibu menangis pecah malam itu. Tidak ada raut tangis bahagia di wajahnya. Seolah tak rela jika anaknya diperlakukan seperti ini.

“Bu ... Aku takut.” Hanya itu yang bisa aku katakan di depannya.

Ibu memeluk dengan tangis yang semakin pecah. Ibu segukan dengan punggungku terasa basah. Aku tidak tega melihat Ibu menangis terpukul seperti ini. Hatiku hancur sejadi-jadinya. “Maaf, Nak. Ibu gagal melakukannya. Ibu tidak bisa melawan Bapak. Karena ibu diancam oleh Bapak. Sekarang ibu merasa gagal,” ucap Ibu yang kala itu kelihatan frustrasinya.

“Doakan aku ya, Bu. Semoga Allah memberikanku jalan terbaik.”

Dengan masih segukan, Ibu mengusap pundakku. “Pasti, Sayang, pasti. Ibu orang pertama yang akan pasang badan jika kamu disakiti orang lain.”

Malam itu aku tidur dengan Ibu saling menguatkan. Hingga pagi-pagi sekali, aku dibangunkan untuk rias tapi tidak tebal. Aku memang request untuk tidak rias tebal. Malas sekali jika harus seperti orang-orang yang bangun jam 3 pagi hanya untuk rias berat. Acara pernikahan itu tidak dibuat secara mewah. Awalnya Bapak menolak, karena tidak ingin melihat anaknya kucel saat acara penting itu. Aku tidak peduli.

Sebelum akad, aku dan Aqlan dipertemukan dengan beberapa saksi. Bodohnya aku tidak membaca cv secara lengkap. Hingga saat kami berada di ruangan yang sama, kami saling menatap tidak percaya.

“Bedebah, kenapa Papa tidak bilang perempuan itu dia?” protes Aqlan dengan nada suaranya yang lantang.

Aku hanya melongo tak percaya. “El? Selama ini yang Bapak maksud El?”

Pak Bobi tampak tersenyum. “Wah ternyata kalian sudah saling kenal? Baguslah kalau begitu.”

Kulihat istrinya Pak Bobi menatap dengan side eyes. Air mukanya tidak welcome. Sementara El protes, “Paah! Ini gak lucu!”

Kulihat ada IO tengah duduk di belakang di samping RK. Ia hanya menunduk sejak awal datang. Ia enggan menatap siapa pun sepanjang acara. Sementara RK hanya tersenyum getir. Aku juga meminta Nam datang, ia duduk paling belakang tanpa ada senyuman sama sekali.

“Langsung saja Pak Penghulu,” ucap Pak Bobi tampak tidak sabar mengadakan pernikahan ini.

Penghulu itu hanya mengangguk pelan. Kulihat El frustrasi bukan main. Bapak juga sudah siap menjadi wali nikah dalam pernikahan ini. Bapak menjabat tangan El begitu erat. “Saudara Aqlan El Harith, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri saya Bening Candramaya Syarif dengan mas kawin perhiasan sepuluh gram dan uang senilai 40 juta rupiah dibayar tunai ...,” ucap Bapak penuh semangat.

El hanya terdiam dengan gerak tubuh yang gusar. Air muka Pak Bobi sangat kecewa membuat El buru-buru menunduk. “Maaf-maaf saya belum hapal.”

Penghulu itu memberikan secarik kertas untuk El baca saat akad kedua nanti. Aku yang berada di samping El saat itu hanya bisa menatap kosong. El diberikan pengarahan terlebih dahulu oleh penghulu. Anak itu mendadak sangat stres. Hingga El ditenangkan terlebih sebelum lanjut melaksanakan akad.

Bapak mengulang ucapannya untuk menikahkanku dengan El. Namun, El telat membaca akad tersebut. Membuat Bapak dan Pak Bobi gusar karena sudah dua kali gagal semua. Ada raut muka marah yang terlihat dari Pak Bobi membuat El hanya menunduk. Aku tahu dia sangat tertekan. Penghulu memberikan waktu terlebih dahulu untuk membuat El tenang.

Kulihat wajah El tampak pucat tak seperti biasanya. Bibirnya bergetar dengan sorot mata yang bingung. Kami dihadapkan dengan penekanan yang luar biasa. Hingga beberapa saat setelah El sudah mulai tenang, penghulu memberikan pengarahan. Hanya tersisa satu kesempatan atau diulang lagi besok. El hanya mengangguk pelan.

Akhirnya dimulai kembali. Bapak kembali melaksanakan tugasnya. Hingga saat Bapak mengucapkan kata tunai. “Saya terima nikah dan kawinnya Bening Candramaya Syarif Binti Agus Syarif untuk diri saya dengan mas kawin tersebut tunai,” ucap El lantang membuatku ketar-ketir tidak percaya.

Aku melongo. Serius El membacakan akad dengan lancar? Kulihat IO pergi begitu saja entah kemana. Aku menatap tubuh jangkung itu hingga menghilang dari pandangan. Hingga Bapak memanggilku. Meminta menunjukkan buku nikah untuk difoto. Aku istri dari bedebah ini sekarang?

***

Malam itu aku berada di apartement milik El. Sejak tadi, kami hanya diam tanpa banyak komentar. Suasana canggung tercipta begitu saja. Aku yang sedang duduk di kursi makan hanya fokus ke gawai sejak tadi. El sekarang malah uring-uringan.

“Aku tidak menyukaimu. Pasti kamu berharap ada malam pertama ‘kan? Jangan harap! Aku tidak menyukaimu!”

Aku hanya menghela napas panjang. Kembali fokus pada gawai yang dimainkan.

“Heh, aku ngomong denganmu!” bentak El merasa tidak digubris omongannya.

Mendengar itu, aku menatap El. “Ya terus? Itu sudah menjadi hakmu, El. Sedari awal pernikahan ini, hanya paksaan ‘kan?”

Ada hembusan napas kencang dari anak itu sekarang. “Tapi di depan Papa kita harus pura-pura romantis.”

Aku bergidik. Kemudian pergi dari hadapan anak itu. Hal itu membuat El geram bukan main. “Kau menghinaku?” bentak El menyusul.

Kemudian aku menoleh dengan rasa lelah yang hinggap. “Bisakah kau menyelesaikan masalah dengan kepala dingin? Kau udah dewasa. Bicaralah baik-baik.”

El pun mendengkus sebal. Ia pergi ke kamar berganti pakaian. Ia juga mengambil kunci mobil yang sepertinya akan pergi. Aku sempat bertanya saat itu, tapi dijawab ketus oleh El. Menyebalkan memang. Anak itu akan ke club malam.

Aku menelpon Nam malam itu juga. Rupanya anak itu baru rebahan setelah perjalanan lumayan jauh dari rumahku ke indekos. Ada tawa meledek yang terlontar dari anak itu membuatku geram.

“Ngapain malam pertama nelpon? Mau pamer?” ucap Nam dengan gelak tawa terdengar.

Aku protes dengan nada sewot. “Ih apaan sih. Tuh anak juga sekarang lagi pergi ke club malam. Ih aku belum terbiasa di apartemen sendirian.”

“Eh busyet sakit jiwa itu anak. Malah kabur dugem. Lah terus kamu telpon aku biar gak sepi gitu?”

Kami pun membicarakan banyak hal disertai gelak tawa. Bahkan aku menelpon sambil berjalan-jalan di sekitar kamar. Hingga tanganku refleks menarik laci samping tempat tidur yang biasa dipakai El untuk menyimpan barang-barangnya. Ada sejumlah obat dalam botol berwarna putih. Salah satu botol bertuliskan Evafirenz 600 miligram. Aku tahu obat ini. Ini salah satu jenis obat ARV atau antiretroviral. Sebuah obat yang digunakan untuk menurunkan perkembangbiakkan virus HIV.

Aku lemas bukan main. Jadi benar yang dikatakan Ibu waktu itu? El pengidap HIV oleh karena itu dia dijodohkan. Bagaimana jika aku tertular? Aku menyenderkan tubuh ke kasur sambil menenangkan diri. Ini seperti bom waktu, siap atau tidak risiko tertular pasti ada.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status