Share

Disiksa Suami, Dicintai Presdir Baik Hati
Disiksa Suami, Dicintai Presdir Baik Hati
Penulis: Dini Aulia

Keributan di Ruang Tunggu

WARNING! Bab ini mengandung adegan kekerasan!

BRAK!

Hentakan pintu yang terdengar cukup keras membuat wanita berambut sebahu yang setengah terlelap itu membelalakkan mata. Manik hitamnya menangkap wajah tampan yang tampak dipenuhi emosi mendekat ke arahnya.

“Aku tidak percaya kamu masih bisa tidur dengan nyaman padahal suamimu baru saja dihina habis-habisan di depan banyak orang, Luna,” ujar pria tampan yang tengah menyeringai tajam itu dengan suara sepelan mungkin.

Luna segera mengeratkan jaket hitamnya begitu menyadari apa yang akan terjadi pada dirinya. “Maaf Mas Reno, aku tidak mengerti maksud mas,” jawab Luna dengan nada memelas. 

PLAK!

Benar saja, sebuah tamparan keras mengenai wajah cantiknya. Luna menatap pria di depannya dengan ekspresi linglung. Kesadarannya bahkan belum benar-benar pulih, tetapi Reno sudah melampiaskan emosi kepadanya.

“Biar kuberitahu apa yang baru saja terjadi. Aktor pendatang baru itu menghinaku dengan mengatakan di depan semua orang kalau bukan karena ayahmu yang seorang sutradara, aku tidak akan menjadi aktor terkenal seperti sekarang.” Reno menarik rambut Luna dan meletakkan bibirnya sedekat mungkin dengan telinga istrinya.

“Kamu dan ayahmu pasti sudah tahu tabiat buruk aktor bau kencur itu ‘kan? Tetapi kalian tetap menjadikannya lawan mainku. Apa ada alasan lain selain kalian memang sengaja ingin mempermalukanku?” tanya Reno sembari berbisik tepat di telinga Luna.

Luna menggeleng pelan. Sebelah tangannya mengelus pelan pipinya yang memerah dan terasa sangat linu. “Maaf mas, aku yakin ayah tidak memiliki niat seperti itu. Ayah pasti tidak menyangka semua itu akan terjadi. Mana mungkin ayah berniat menghina menantunya sendiri,” bantah Luna dengan suara bergetar.

Meskipun kejadian seperti ini bukan hal baru baginya, tetapi Luna tidak pernah terbiasa menerima perlakuan kasar dari Reno. Pria yang sudah menjadi suaminya selama beberapa tahun belakangan memang seringkali menjadikannya tempat pelampiasan ketika emosinya sedang memuncak.

“Mana mungkin ayah berniat menghina menantunya.” Reno menirukan kalimat Luna dengan nada mengejek. Pria itu bahkan tertawa cukup keras setelah mengatakannya.

“Apa aku harus menegur ayahmu juga, Luna? Hm? Bagaimana menurutmu? Haruskah aku melakukan hal yang sama padanya?” tanya Reno sembari mencengkram dagu istrinya dengan kuat, membuat Luna hanya bisa mengerang kesakitan.

“Berhentilah mengerang seperti itu, aku tidak akan ragu menghancurkan kamu dan ayahmu kalau sampai ada orang lain yang mendengar keributan ini,” ancam Reno tepat di telinga Luna.

DUK!

Sebuah tendangan dilayangkan Reno di kaki sebelah kanan Luna tepat setelah dia melepaskan cengkramannya dengan sangat cepat. Luna yang tidak siap akan gerakan mendadak Reno sontak terhuyung dan terjatuh.

Luna hanya meringis pelan demi menahan rasa sakit yang segera merasuki tubuhnya. Tetesan air mata mengalir begitu saja dari manik hitamnya.

“Ma-af, mas. Aku benar-benar minta maaf. Setelah ini, aku akan bicara dengan ayah dan memastikan hal seperti ini tidak akan terulang lagi,” ucap Luna dengan suara bergetar. Wanita itu menangkupkan kedua tangannya dan bersimpuh di hadapan Reno.

‘Kenapa kamu tega sekali, mas? Kenapa kamu tidak bisa memperlakukanku dengan baik?’ batin Luna sembari menatap wajah suaminya dengan tatapan nanar. Semua orang mengenal pria di depannya sebagai seorang aktor besar dengan sifat lembut dan sangat penyayang, terutama kepada Luna sebagai istrinya. Namun, sosok Reno yang saat ini menarik tangannya berbeda jauh dengan apa yang selama ini ditampilkan di layar kaca.

“Ah, aku benar-benar kesal, Luna. Apa yang harus aku lakukan untuk meredakan emosiku?” tanya Reno sembari memaksa Luna berdiri. Meskipun kali ini gerakannya lebih pelan, tetapi tubuh Luna yang sudah terlanjur lemas kembali terjatuh.

“Kamu tahu apa yang selalu aku dengar tentangmu?” Reno sedikit meninggikan nada suaranya, memberi isyarat pada wanita itu untuk menatap dirinya.

“Orang-orang selalu bilang kalau aku beruntung karena memilikimu sebagai istriku. Kamu adalah istri yang sangat pengertian, baik, setia, sabar.” Reno menghentikan ucapannya sejenak dan menatap wajah Luna yang kini dipenuhi luka.

“Yah, mereka tidak sepenuhnya salah. Meskipun aku terpaksa menikahimu karena utang budi papa terhadap ayahmu, nyatanya kamu tidak terlalu mengecewakan. Kamu benar-benar bisa menenangkanku setiap kali aku emosi.” Sebuah seringai menyeramkan kembali muncul di wajah Reno.

Luna yang melihat itu berusaha menjauh, tetapi tubuhnya yang terlalu lemah dan dipenuhi rasa sakit seolah menolak. Wanita itu hanya menggeleng pelan sembari menangkupkan kedua tangannya.

“Apa sebenarnya salahku, mas? Sudah bertahun-tahun kamu memperlakukanku seperti ini dan aku selalu diam! Aku tidak pernah membuka mulutku di depan media! Tidak bisakah sekali saja kamu menghargai aku dan keluargaku?” Nada suara wanita itu bergetar hebat. Meskipun Luna tahu perkataannya bisa membuat amarah Reno semakin memuncak, tetapi dia juga tidak tahan terus menerus diperlakukan seperti itu oleh suaminya sendiri. 

“Kesalahanmu? Ah, apa perlu aku sebutkan kesalahanmu secara keseluruhan? Singkatnya, kesalahan terbesarmu adalah menerima pernikahan ini,” Reno menunjuk Luna dengan mata melebar. Nada bicara pria itu juga semakin tinggi. Sepertinya Reno sudah lupa dengan kekhawatirannya kalau sampai ada orang lain yang mendengar keributan mereka.

Luna menundukkan kepala dan membiarkan butiran air mata terus membasahi pipinya. Kalau saja saat itu Reno sudah menunjukkan sikap kasarnya sekali saja, Luna tentu akan menolak pernikahan ini. Tetapi saat itu, dalam setiap pertemuan sebelum mereka menikah, Reno selalu menatapnya dengan penuh cinta. Pria itu datang ke dalam hidupnya dan berlagak seolah hendak memberikan kehidupan baru yang penuh keindahan.

“Kalau saja aku tahu semuanya akan menjadi seperti ini, aku pasti akan menolaknya, mas,” gumam Luna sangat pelan. Untuk yang satu itu, Luna juga setuju dengan Reno. Kesalahan terbesarnya adalah membiarkan pernikahan ini terjadi.

“Kamu harus mengingat hari ini dengan sangat baik, Luna. Beritahu ayahmu untuk menjadi sutradara yang baik dan lebih pintar dalam memilih lawan main untukku. Kalau sampai ini terjadi lagi, aku tidak bisa menjamin keselamatanmu,” ucap Reno sama sekali tidak mempedulikan gumaman Luna.

Luna hanya mengangguk pelan mendengar ancaman suaminya. Seperti yang dikatakan Reno, Luna tidak pernah lupa hari-hari di mana Reno menyakitinya, bahkan untuk alasan sepele seperti lawan mainnya yang terlambat datang dan membuat mood Reno menjadi buruk.

Reno menundukkan tubuhnya dan menyentuh wajah Luna perlahan. Sebelah tangannya mengusap pelan darah yang mengalir dari ujung bibir sang istri.

Tok. Tok.

Suara ketukan pintu membuat Reno segera berdiri dan memberi isyarat pada Luna untuk bersembunyi. Dengan sisa tenaganya, Luna berusaha meraih ujung meja dan bersembunyi di pojok ruangan. Sementara Reno mengusap darah Luna yang berada di ujung jarinya dengan tisu dan tersenyum lebar sembari membuka pintu kayu di depannya.

“Selamat siang, Pak Reno.” Seorang pria dengan rambut ikal yang tampak tidak asing berdiri di depannya. Sebuah senyum kecil terlihat di wajahnya.

Reno mematung sejenak begitu menyadari siapa yang ada di depannya. “Sebentar, apa aku tidak salah lihat?” Reno mengucek matanya pelan dan tertawa kencang.

“Wah, lihat siapa yang ada di depanku! Ada apa? Apa kamu perlu bantuanku? Bagaimana rasanya hidup di jalanan?” tanya Reno sembari melanjutkan tawanya.

Pria dengan wajah dingin di depannya sama sekali tidak bergeming setelah mendengar rentetan pertanyaan Reno. “Maaf, saya hanya memastikan kalau tidak ada masalah yang terjadi di sini,” ujarnya pelan. Tatapan matanya mengarah pada ponsel hitam yang berada di genggamannya, seolah memberikan ancaman secara tidak langsung pada Reno.

Reno mendecih pelan dan segera menarik kerah kemeja hitam yang dikenakan pria itu dan membawanya menjauh dari ruang tunggu. “Kamu berniat mengancamku, hah? Sebegitu sulitkah hidupmu sampai harus melakukan hal sehina ini?” tanya Reno setengah berbisik.

“Setidaknya balaslah sapaanku dulu. Sifat aroganmu memang tidak akan pernah berubah.” Pria berambut ikal itu melepaskan cengkraman tangan Reno dan tersenyum kecil.

“Katakan, apa yang membawamu ke sini, Kak Aldi?” tanya Reno dengan seringai mengerikan di wajahnya. Tubuh kekarnya mendorong Aldi merapat pada tembok di belakang mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status