Bab 6 Rasa Aman
Aldi mengulurkan tangan ketika Luna mencoba untuk berdiri dari bednya. Sebuah senyum kecil terbentuk di wajah dinginnya.
“Terima kasih,” ucap Luna sembari menggenggam tangan Aldi dan mulai berjalan pelan melewati rentetan bed yang berada di IGD.
Luna melirik pelan pada tangannya yang bertaut dengan Aldi. Pria berambut ikal itu hanya berjalan dengan tatapan lurus ke depan, tetapi Luna tahu betul kalau Aldi berusaha menyelaraskan langkahnya agar Luna merasa nyaman. Tanpa sadar, Luna menarik ujung bibirnya sembari menundukkan kepala.
“Tunggu di sini ya, biar saya carikan taksi dulu,” ucap Aldi sesampainya mereka di depan ruang IGD.
Luna mengangguk pelan dan menempati kursi kosong di samping seorang ibu hamil yang menyambutnya dengan senyum ramah.
“Pengantin baru ya mba?” Luna menoleh kaget demi mendengar celetukan ibu hamil di sampingnya.
Wanita berambut sebahu itu menggelengkan kepala dan tersenyum canggung. “Ah, bukan bu, dia bukan suami saya,” jawab Luna sembari tertawa kecil.
“Oh, masih calon ya mba? Syukurlah mba kalau calon suaminya sebaik itu. Semoga saja setelah menikah juga tetap baik ya mba, jangan seperti suami saya.” Tatapan ibu hamil itu berubah nanar. Luna terdiam sejenak dan mengelus pelan tangan wanita di sampingnya.
“Yah, begitulah mba, namanya hubungan pernikahan. Siapa yang menyangka kalau suami saya malah selingkuh di kehamilan pertama saya? Katanya sudah terlalu lama menunggu saya hamil, jadi dia malah sudah mau punya anak dari selingkuhannya,” ucap ibu hamil itu dengan mata berkaca-kaca.
Luna terkesiap dan ganti menggenggam tangan wanita yang baru dikenalnya itu. Ucapan singkat dari wanita di sampingnya sudah cukup menggambarkan penderitaannya. Luna sedikit melirik pada perut ibu hamil itu yang memang tampak belum terlalu besar.
“Meskipun orang tua dan keluarga saya melarang keras, saya tetap ingin menceraikannya mba. Untuk apa saya mendengarkan mereka kalau mereka saja tidak peduli dengan saya? Katanya saya disuruh introspeksi diri, mungkin saya kurang nurut sama suami, kurang bisa membahagiakan suami. Kalau begitu saya kapan bahagianya mba? Suami mikirin saya saja enggak, buat apa saya pertahankan dia?” Nada suara wanita itu bergetar, dibarengi butiran putih yang jatuh dari manik hitamnya.
Deg! Luna merasa tertampar dengan ucapan wanita itu. Apa yang dikatakan oleh wanita itu terasa sangat mirip dengan cerita dirinya, tetapi bedanya, Luna masih belum seberani itu untuk mengambil keputusan berpisah dengan Reno.
Sebuah mobil berwarna silver berhenti tepat di depan tempat duduk dan mengalihkan perhatian mereka. Sosok Aldi yang segera turun membuat wanita di samping Luna melepaskan genggaman tangan mereka dan tersenyum ramah pada Luna. “Hati-hati ya, mba. Semoga mba sehat dan bahagia selalu,” ucap wanita itu sembari menepuk pelan tangan Luna.
Luna tersenyum kecil dan berusaha keras menahan air mata yang hendak turun dari manik hitamnya. “Ibu juga semoga sehat terus ya,” ucapnya pelan.
Aldi tersenyum pada ibu hamil itu sebelum membantu Luna untuk memasuki mobil. Pria itu menyadari tetesan air mata mulai membasahi wajah Luna begitu dia menaiki mobil.
“Bu Luna tidak apa-apa? Atau mau langsung pulang saja?” tanya Reno setengah berbisik. Pria berwajah dingin itu meletakkan bantal kecil yang entah didapat dari mana di antara dirinya dan Luna, sembari memberi isyarat pada Luna untuk menyangga tangannya yang masih lemas di atas bantal itu.
Luna menggeleng pelan. “Tidak apa-apa, pak. Jangan pulang dulu, yang ada malah makin hancur saya,” jawab Luna sembari terkekeh pelan.
Luna sudah dapat membayangkan apa yang mungkin terjadi saat dia pulang. Dia yakin suaminya pasti sudah tahu tentang apa yang terjadi di rumah sakit.
Mama mertuanya pasti membesar-besarkan perlakuan Aldi kepadanya dan Reno yang sangat mudah tersulut emosi akan percaya begitu saja dengan ucapan mamanya. Kalau sudah begitu, siapa yang akan jadi sasaran emosi Reno? Tentu saja Luna. Ditambah Luna juga tidak mau melibatkan Aldi terlalu dalam pada masalah rumah tangganya.
Aldi menyodorkan botol air mineral pada Luna sembari menatap wanita itu dengan tatapan tulus. Sebuah tatapan yang membuat Luna tidak lagi mampu menahan air matanya. Kali ini, Luna membiarkan dirinya menangis sesenggukan di depan pria asing yang baru ditemuinya beberapa jam yang lalu.
Aldi menepuk pelan supir taksi di depannya dan memberi isyarat untuk memaklumi keadaan Luna. Pria berambut ikal itu kembali memundurkan tubuhnya dan menatap Luna tanpa mengatakan apapun, membiarkan wanita yang juga merupakan adik iparnya itu menumpahkan semua tangisnya. Aldi yakin, Luna pasti tidak punya banyak kesempatan untuk menangis seperti ini. Mengingat ceritanya tentang bagaimana dia diminta untuk terus memperbaiki diri dan menerima Reno apa adanya dibandingkan melawan atas kekerasan yang didapat, Aldi paham mengapa Luna menjadi begitu rapuh, tetapi juga dipaksa terlihat kuat.
Luna mengusap wajahnya yang basah karena air mata begitu mereka sudah setengah perjalanan. Wanita itu tersenyum kecil menatap Aldi dan meminum air mineral yang tadi diberikan Aldi.
“Maaf ya, pak, saya malah jadi menangis begini,” ucap Luna sembari mengambil tissu yang disodorkan Aldi.
Aldi hanya menganggukkan kepala dan balas tersenyum kecil. Kalau saja dia tidak menahan diri, Aldi pasti sudah memeluk Luna dan menenangkannya.
“Sudah lama sekali saya bisa menangis seperti ini. Biasanya meskipun saya merasa sangat sakit, saya tidak bisa menangis karena itu akan membuat Mas Reno lebih marah lagi,” ujar Luna sembari tersenyum nanar.
“Ibu tadi cerita sama saya, pak. Cerita mirip sekali dengan apa yang saya alami, tapi ibu itu memilih untuk menggugat cerai suaminya. Dia hebat sekali ya,” ucap Luna akhirnya menceritakan apa yang dibicarakan olehnya dengan ibu hamil itu.
Aldi mengangguk paham. Luna pasti merasa dirinya sangat lemah dan kalah. Dalam hati kecilnya, Luna pasti berharap dia punya keberanian yang sama dengan wanita itu.
‘Kalau begitu biar saya bantu supaya Bu Luna berani menggugat Reno juga,’ batin Aldi sembari menatap Luna. Beberapa jam saja berada di dekat Luna sudah membuat Aldi semakin yakin untuk membebaskan Luna dari Reno.
Luna menunduk dan menatap kedua tangannya. Di balik rasa sedih dan air mata yang dia tumpahkan, hari ini dia juga mendapat satu ingatan kecil yang membuatnya merasa jauh lebih hangat. Genggaman tangan Aldi ketika membantunya turun dari bed membangkitkan rasa aman di dalam hati Luna.
Luna tidak dapat membohongi perasaannya yang terasa jauh lebih tenang di samping Aldi. Wajah dingin pria itu tidak membuatnya takut ataupun terintimidasi, berbeda dengan wajah kalem Reno yang justru selalu membuat Luna merasa resah dan ketakutan.
Mobil silver itu berhenti tepat di depan sebuah pemakaman. Luna menoleh pada Aldi yang tampak tenang dan hendak membuka pintu mobil.
“Bapak mengajak saya ke pemakaman?” Pertanyaan Luna hanya dijawab anggukan singkat oleh Aldi.
Luna menatap layar ponselnya sembari memasukkan segenggam kacang goreng ke dalam mulutnya. “Perselingkuhan Aktor Terkenal Reno dengan Aktris Pendatang Baru.” Luna membaca judul berita di layar kecil itu dengan nada datar. Tidak ada lagi rasa sedih ataupun kecewa dari sorot matanya, seolah-olah Luna sudah sangat terbiasa dengan berita perselingkuhan itu.Bi Imah yang tengah menyiapkan sarapan mendekat dan membaca berita yang sama dari ponsel Luna. “Jadi mereka tertangkap kamera lagi ya? Apa Pak Reno sengaja melakukan ini?” tanya Bi Imah dengan raut penasaran.Luna menoleh heran demi mendengar pertanyaan asisten rumah tangganya. “Kenapa Mas Reno harus melakukan itu, bi? Memang apa untungnya? Bukankah seharusnya berita seperti ini malah bisa merugikan Mas Reno ya?” Luna justru balas bertanya dengan raut bingung.Wanita paruh baya yang mengenakan celemek kuning itu mengambil kursi di depan Luna dan menghela napas panjang. “Mungkin saja ‘kan Pak Reno sedang tes ombak? Karena kemarin Bu Lun
Reno menatap rumah besar di depannya dengan wajah kesal. Setelah insiden di jalan tadi, dia memutuskan untuk mengemudikan mobil dan mengantar Maria dan Angga pulang lebih dulu. Entah apa yang ada di pikiran manajernya itu sampai-sampai tidak fokus dalam mengemudi dan hampir membahayakan mereka semua.“Luna, semua ini karena kamu! Seandainya sejak awal kamu mendengarku dan mengabaikan Aldi, pasti kehidupanku akan baik-baik saja! Aku dekat dengan Maria juga ‘kan karena kamu yang mulai cari gara-gara dan merepotkanku terus,” geram Reno sambil memukul setir di depannya.“Sebenarnya di mana kamu bersembunyi, Luna? Mungkinkah kamu kembali ke rumah?” tanya Reno pada dirinya sendiri. Upayanya mendatangi kontrakan Luna setelah tayangan klarifikasi itu tidak membuahkan hasil. Meskipun sudah menunggu di depan rumah petak itu sejak siang hingga malam hari, Reno sama sekali tidak melihat Luna. Sepertinya Luna sudah tahu keberadaannya dan berhasil melarikan diri lebih dulu. Tetapi ke mana wanita it
Reno menghentakkan kakinya kencang-kencang setelah menutup pintu coklat di belakangnya. Dia benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan reaksi sinis seperti itu dari salah satu direktur yang biasanya selalu memujanya. Ditambah lagi, sikap sinis itu dia dapatkan tepat di depan Aldi, musuh terbesarnya saat ini."Siapa yang akan menangis katamu? Tentu saja itu adalah kamu, Aldi! Dasar tidak tahu diri!" geram Reno sambil meninju tangannya ke sembarang arah dan berjalan menuju lift di ujung koridor. Berita-berita tentang kekerasan yang dia lakukan pada Luna sudah tersebar luas di berbagai media. Tidak seperti biasanya, manajernya, Angga bahkan mengatakan bahwa dia belum mendapat berita apapun dari agensi mereka tentang upaya membersihkan namanya. Hal itu jelas membuat Reno semakin pusing, ditambah dengan sikap direktur yang tadi dia temui. Mungkinkah saat ini dia tengah dikucilkan? "Kenapa jadi aku yang harus dikucilkan? Padahal Aldi dan Luna yang bersalah. Kalau saja Aldi tidak datang
Brak!Aldi mengangkat kepalanya karena suara pintu kantornya yang mendadak dibuka dengan kencang. Lebih tepatnya, seseorang yang tampak sangat marah membantingnya dan kini menatap lurus pada dirinya.“Setidaknya tunjukkan rasa sopan ketika memasuki tempat orang la—”Grab!Belum sempat Aldi menyelesaikan ucapannya, sebuah tangan kekar telah mencapai dirinya dan kini mencengkram kerah kemeja hitam yang dia kenakan.“Kurang ajar! Katakan di mana Luna sekarang!” ucap Reno dengan mata memerah. Gigi putihnya bahkan bergetar karena menahan emosi.Aldi menatap pria di depannya dengan dingin. Siapa sangka pagi harinya akan dibuka dengan kemarahan Reno yang mendadak datang di kantornya yang sangat tenang.“Setidaknya tunjukkan rasa sopan ketika memasuki tempat orang lain.” Bukannya menjawab perkataan Reno, pria dengan rambut ikal yang kini dikuncir kecil itu justru mengulangi ucapannya sendiri.B
"Saya merasa senang mendengarnya pak. Semoga semua berjalan sesuai rencana, sehingga posisi bapak di agensi itu tidak akan goyah."Luna yang bermaksud mengambilkan air minum dan beberapa snack untuk Bi Imah menghentikan langkahnya tepat di dinding pembatas dapur ketika mendengar suara berat milik Bara. Sebuah nama segera melintas dalam pikiran Luna ketika mendengar kata-kata 'posisi' dan 'agensi'. "Mas Aldi? Mungkinkah Bara bicara dengan Mas Aldi?" tanya Luna pada dirinya sendiri. Seolah tersihir, kedua kakinya bergerak mendekat dan berniat mencuri dengar pembicaraan Bara dan temannya itu. "Baik, pak. Saya mengerti. Saya akan melakukan semua yang bapak minta," ujar Bara dengan mantap. Luna terdiam di sisi lain dapur dan berusaha menahan napas agar Bara tidak merasa terganggu dengan keberadaannya. Sesekali, wanita muda itu mengintip ke dapur dan mendapati Bara yang tengah duduk di meja makan. Mangkuk bakso miliknya yang masih tersisa separuh sama sekali tidak memalingkan perhatian L
Ting Tong! Bara menghentikan Luna dengan tangannya dan beranjak lebih dulu mendekati pintu utama dengan aksen garis putih itu. Sementara di belakangnya, Luna mengekor dengan tatapan curiga. Hampir saja dirinya terlarut dalam rasa penasaran yang mungkin saja menyeretnya dalam bahaya. Bara membuka sedikit ujung gorden demi mengecek siapa yang berada di balik pintu. "Iya, pak. Beliau sudah datang," ujarnya pelan pada lawan bicara di telepon.Luna yang berada tepat di belakangnya menghela napas lega. Artinya, orang yang berada di belakang pintu bukanlah ancaman bagi mereka.Wanita yang mengenakan dress bunga itu mengernyit kecil ketika Bara membisikkan sesuatu melalui telepon. Rasa penasaran tentang siapa yang diajak bicara oleh pria itu mendadak mencuat. Melihat bagaimana Bara sangat waspada ketika mengangkat telepon, Luna jadi menduga-duga kalau lawan bicara aktor muda itu mungkin saja adalah pemilik rumah mewah ini."Mba, bibi yang akan membantu Mba Luna selama di sini sudah datang."