Luna menatap papan kayu dengan nama “Retno Cahyaningsih” yang tertancap di sebuah makam yang berada tepat di depannya.
Aldi yang sudah lebih dulu mengambil tempat duduk di atas sebuah undakan kecil dari batu memberi isyarat pada Luna untuk duduk di sisinya. “Kita doakan ibuku dulu ya,” ujar Aldi yang mulai membaca ayat suci Al-Quran.
Luna hanya mengangguk pelan dan menatap pria di sampingnya sembari mengingat-ingat ucapan Aldi pada mama mertuanya. Seingatnya, Aldi mengatakan kalau ibunya adalah korban, dan dia tidak mau kalau Luna menjadi korban selanjutnya. Apakah mama mertuanya sudah melakukan kejahatan pada ibu Aldi sampai menyebabkannya meninggal dunia?
Meskipun kepalanya masih dipenuhi tanda tanya, Luna tetap membacakan ayat suci Al-Quran dan mengamini doa-doa yang dipanjatkan Aldi dengan khusyuk.
“Ibu, ini Aldi bu. Hari ini Aldi bawa teman, dia istrinya Reno,” ucap Aldi sembari mencabut beberapa rumput yang berada di atas tanah pemakaman itu.
“Ibu pasti bertanya-tanya kenapa Aldi tidak bawa istri juga? Masa kalah sama adik sendiri?” Sebuah senyum kecil terlihat di wajah dingin Aldi.
Luna segera mematung mendengar kalimat terakhir Aldi. ‘Adik sendiri katanya?’ batin Luna sembari menoleh pada Aldi.
Pria berambut ikal di sampingnya tertawa pelan, seolah dapat mengerti apa yang ada di dalam pikiran Luna. “Reno benar-benar tidak pernah bercerita tentang aku ya? Wah, anak tidak tahu diri itu, padahal dia sudah mengambil semua yang aku miliki, tetapi sekadar mengakui keberadaanku saja dia tidak mau?” Aldi malah balik bertanya. Lebih tepatnya, dia hanya mempertanyakan sikap Reno yang menurutnya benar-benar keterlaluan.
Ucapan Aldi tentu membuat Luna semakin bingung. Wanita itu mengernyitkan alisnya dan menatap Aldi dengan serius, menunggu penjelasan dari pria di sampingnya.
“Ya sudah, biar saya yang jelaskan saja,” ucap Aldi sembari meluruskan kakinya. Pria itu menoleh sekilas pada papan kayu di sampingnya dan kembali tersenyum, seolah meminta ijin pada ibunya untuk menceritakan kisah mereka pada Luna.
“Saya dan Reno itu memang adik kakak kandung, karena lahir dari papa yang sama, meskipun ibu kita berbeda. Mama Reno itu adalah mertuanya Bu Luna sekarang, sementara ibu saya, sudah pergi lebih dulu,” ucap Aldi tenang, tetapi Luna dapat merasakan kegetiran dari suara pria itu.
“Saya, ibu dan papa hidup sebagai keluarga yang utuh. Yah, meskipun tidak bisa dibilang kaya raya, kami hidup cukup dan damai.” Aldi menghentikan ucapannya. Pria itu tampak bersiap untuk mengatakan sesuatu yang lebih besar dan menyakitkan.
“Sampai suatu ketika, papa dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja. Saya kurang tahu alasan jelasnya kenapa. Keluarga kami sempat sedikit goyah, tetapi semua perlahan membaik ketika papa kembali mendapat pekerjaan. Kami pikir semuanya benar-benar sudah selesai, tetapi siapa sangka kalau itu malah menjadi awal kehancuran kami,” ucap Aldi pelan.
“Papa bekerja di perusahaan Mama Reno, dan mereka saling jatuh cinta. Ibu benar-benar terpukul ketika mengetahui kalau wanita hina itu tengah mengandung anak papa. Saya ingat sekali malam itu, papa hampir bersujud di kaki ibu, meminta maaf dan memohon pada ibu untuk bersedia diceraikan. Belakangan saya baru tahu kalau papa melakukan itu demi mendapatkan jabatan tinggi di perusahaan milik selingkuhannya.” Aldi menatap Luna sejenak, mengijinkan wanita itu untuk menanggapi ceritanya.
“Lalu ibu Pak Aldi mengabulkan perceraian itu?” tanya Luna pelan.
Pria berambut ikal di sampingnya menggeleng. “Ibu menolak. Ibu tidak mau melepaskan papa dan berpikir kalau papa hanya sedang keliru, nanti pasti papa kembali pada kami. Sayangnya, keyakinan ibu sama sekali tidak terbukti. Yang terjadi justru sebaliknya, papa mendadak kesetanan dan jadi senang memukuli ibu. Papa mengajukan gugatan cerai, tetapi ibu menolak. Sampai akhirnya, papa memutuskan keluar dari rumah dan tinggal dengan selingkuhan dan anak hina itu di sebuah rumah mewah, meninggalkan kami dalam hidup serba kekurangan.”
Aldi menghela napas panjang. Sebuah kisah paling kelam dalam kehidupannya masih terus berlanjut. “Puncaknya ketika papa mengundang kami datang ke rumah mereka. Saya yang saat itu tidak terbiasa melihat rumah mewah dengan segala keindahannya itu sempat merasa senang. Meskipun sedikit, dalam hati saya juga mengira papa sudah berubah. Saya mengira papa mengijinkan kami tinggal bersama karena rasa bersalahnya, tetapi ternyata saya salah.”
“Papa melakukan itu karena wanita menyebalkan itu membutuhkan pembantu, dan memaksa papa untuk mengundang kami untuk dijadikan babu. Wanita menjijikkan itu memang berniat merendahkan kami.” Berbeda dengan sebelumnya, kali ini kemarahan yang jelas terdengar dalam nada bicara Aldi.
Luna hanya bisa menatap pria di sampingnya dengan rasa iba. Tangannya hampir terangkat untuk mengelus pundak Aldi, tetapi kemudian dia turunkan lagi karena merasa hal itu malah akan membuat mereka canggung.
Tetesan air mata mulai membasahi wajah dingin Aldi. Pria itu meneruskan ceritanya dengan diselingi isakan pelan. Setelah semua hinaan itu, ternyata papanya masih sering melakukan kekerasan karena Ibu Aldi masih tidak mau mengakui perceraian mereka, dan itu membuat papa sering mendapat tekanan dari keluarga Mama Reno yang merupakan keluarga terpandang.
Aldi kecil dipaksa menyaksikan semua kekerasan itu. Bukan hanya dipukul, ditendang. Ibu bahkan pernah disiram air panas dengan sengaja oleh papa dan mama Reno. Keduanya seolah bersekongkol untuk menyiksa ibu. Tidak berhanti sampai situ, kelakuan kasar mereka menurun pada Reno.
Aldi ingat betul bagaimana Reno melemparkan sebuah gelas kaca ke arahnya hanya karena kesal air minum yang disajikan Aldi tidak sesuai keinginanya. Sebuah bekas jahitan di kaki sebelah kiri Aldi menjadi salah satu saksi kekejaman Reno, yang tentunya bukan hanya terjadi sekali itu.
“Saat itu aku bahkan berpikir, kalau kami akan mati di dalam rumah itu. Aku sudah berulang kali meminta ibu untuk keluar, tetapi ibu selalu menolak. Selain karena ibu masih percaya pada papa, ibu juga merasa berat meninggalkan Reno. Ibu selalu khawatir kalau anak itu tidak ada yang menjaga.” Nada suara Aldi sudah benar-benar bergetar.
Pria yang mengenakan kemeja hitam itu menutupi wajahnya yang sudah basah oleh air mata dengan kedua tangannya.
“Sampai satu hari, apa yang paling saya takutkan terjadi. Saya yang baru bangun tidur melihat ibu sudah ditandu oleh beberapa orang dengan tubuh penuh darah. Papa mendatangi saya dan memeluk saya, mengatakan kalau ibu terjatuh dari tangga ketika sedang turun dengan terburu-buru, tetapi saya tidak pernah percaya itu.” Aldi terdiam sejenak.
“Ibu tahu kenapa saya sangat membenci Reno dan keluarganya? Ibu tahu kenapa saya sampai mengatakan kalau orang tua saya hanya ibu saya, saya bahkan tidak sudi mengakui papa sebagai papa kandung saya.” Luna menggeleng pelan sebagai respon dari pertanyaan Aldi.
“Karena saya tahu apa yang sebenarnya terjadi pada ibu hari itu. Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, siapa yang membunuh ibu saya,” ucap Aldi sungguh-sungguh. Luna balik menatap pria itu dengan wajah penuh tanda tanya.
Luna menatap layar ponselnya sembari memasukkan segenggam kacang goreng ke dalam mulutnya. “Perselingkuhan Aktor Terkenal Reno dengan Aktris Pendatang Baru.” Luna membaca judul berita di layar kecil itu dengan nada datar. Tidak ada lagi rasa sedih ataupun kecewa dari sorot matanya, seolah-olah Luna sudah sangat terbiasa dengan berita perselingkuhan itu.Bi Imah yang tengah menyiapkan sarapan mendekat dan membaca berita yang sama dari ponsel Luna. “Jadi mereka tertangkap kamera lagi ya? Apa Pak Reno sengaja melakukan ini?” tanya Bi Imah dengan raut penasaran.Luna menoleh heran demi mendengar pertanyaan asisten rumah tangganya. “Kenapa Mas Reno harus melakukan itu, bi? Memang apa untungnya? Bukankah seharusnya berita seperti ini malah bisa merugikan Mas Reno ya?” Luna justru balas bertanya dengan raut bingung.Wanita paruh baya yang mengenakan celemek kuning itu mengambil kursi di depan Luna dan menghela napas panjang. “Mungkin saja ‘kan Pak Reno sedang tes ombak? Karena kemarin Bu Lun
Reno menatap rumah besar di depannya dengan wajah kesal. Setelah insiden di jalan tadi, dia memutuskan untuk mengemudikan mobil dan mengantar Maria dan Angga pulang lebih dulu. Entah apa yang ada di pikiran manajernya itu sampai-sampai tidak fokus dalam mengemudi dan hampir membahayakan mereka semua.“Luna, semua ini karena kamu! Seandainya sejak awal kamu mendengarku dan mengabaikan Aldi, pasti kehidupanku akan baik-baik saja! Aku dekat dengan Maria juga ‘kan karena kamu yang mulai cari gara-gara dan merepotkanku terus,” geram Reno sambil memukul setir di depannya.“Sebenarnya di mana kamu bersembunyi, Luna? Mungkinkah kamu kembali ke rumah?” tanya Reno pada dirinya sendiri. Upayanya mendatangi kontrakan Luna setelah tayangan klarifikasi itu tidak membuahkan hasil. Meskipun sudah menunggu di depan rumah petak itu sejak siang hingga malam hari, Reno sama sekali tidak melihat Luna. Sepertinya Luna sudah tahu keberadaannya dan berhasil melarikan diri lebih dulu. Tetapi ke mana wanita it
Reno menghentakkan kakinya kencang-kencang setelah menutup pintu coklat di belakangnya. Dia benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan reaksi sinis seperti itu dari salah satu direktur yang biasanya selalu memujanya. Ditambah lagi, sikap sinis itu dia dapatkan tepat di depan Aldi, musuh terbesarnya saat ini."Siapa yang akan menangis katamu? Tentu saja itu adalah kamu, Aldi! Dasar tidak tahu diri!" geram Reno sambil meninju tangannya ke sembarang arah dan berjalan menuju lift di ujung koridor. Berita-berita tentang kekerasan yang dia lakukan pada Luna sudah tersebar luas di berbagai media. Tidak seperti biasanya, manajernya, Angga bahkan mengatakan bahwa dia belum mendapat berita apapun dari agensi mereka tentang upaya membersihkan namanya. Hal itu jelas membuat Reno semakin pusing, ditambah dengan sikap direktur yang tadi dia temui. Mungkinkah saat ini dia tengah dikucilkan? "Kenapa jadi aku yang harus dikucilkan? Padahal Aldi dan Luna yang bersalah. Kalau saja Aldi tidak datang
Brak!Aldi mengangkat kepalanya karena suara pintu kantornya yang mendadak dibuka dengan kencang. Lebih tepatnya, seseorang yang tampak sangat marah membantingnya dan kini menatap lurus pada dirinya.“Setidaknya tunjukkan rasa sopan ketika memasuki tempat orang la—”Grab!Belum sempat Aldi menyelesaikan ucapannya, sebuah tangan kekar telah mencapai dirinya dan kini mencengkram kerah kemeja hitam yang dia kenakan.“Kurang ajar! Katakan di mana Luna sekarang!” ucap Reno dengan mata memerah. Gigi putihnya bahkan bergetar karena menahan emosi.Aldi menatap pria di depannya dengan dingin. Siapa sangka pagi harinya akan dibuka dengan kemarahan Reno yang mendadak datang di kantornya yang sangat tenang.“Setidaknya tunjukkan rasa sopan ketika memasuki tempat orang lain.” Bukannya menjawab perkataan Reno, pria dengan rambut ikal yang kini dikuncir kecil itu justru mengulangi ucapannya sendiri.B
"Saya merasa senang mendengarnya pak. Semoga semua berjalan sesuai rencana, sehingga posisi bapak di agensi itu tidak akan goyah."Luna yang bermaksud mengambilkan air minum dan beberapa snack untuk Bi Imah menghentikan langkahnya tepat di dinding pembatas dapur ketika mendengar suara berat milik Bara. Sebuah nama segera melintas dalam pikiran Luna ketika mendengar kata-kata 'posisi' dan 'agensi'. "Mas Aldi? Mungkinkah Bara bicara dengan Mas Aldi?" tanya Luna pada dirinya sendiri. Seolah tersihir, kedua kakinya bergerak mendekat dan berniat mencuri dengar pembicaraan Bara dan temannya itu. "Baik, pak. Saya mengerti. Saya akan melakukan semua yang bapak minta," ujar Bara dengan mantap. Luna terdiam di sisi lain dapur dan berusaha menahan napas agar Bara tidak merasa terganggu dengan keberadaannya. Sesekali, wanita muda itu mengintip ke dapur dan mendapati Bara yang tengah duduk di meja makan. Mangkuk bakso miliknya yang masih tersisa separuh sama sekali tidak memalingkan perhatian L
Ting Tong! Bara menghentikan Luna dengan tangannya dan beranjak lebih dulu mendekati pintu utama dengan aksen garis putih itu. Sementara di belakangnya, Luna mengekor dengan tatapan curiga. Hampir saja dirinya terlarut dalam rasa penasaran yang mungkin saja menyeretnya dalam bahaya. Bara membuka sedikit ujung gorden demi mengecek siapa yang berada di balik pintu. "Iya, pak. Beliau sudah datang," ujarnya pelan pada lawan bicara di telepon.Luna yang berada tepat di belakangnya menghela napas lega. Artinya, orang yang berada di belakang pintu bukanlah ancaman bagi mereka.Wanita yang mengenakan dress bunga itu mengernyit kecil ketika Bara membisikkan sesuatu melalui telepon. Rasa penasaran tentang siapa yang diajak bicara oleh pria itu mendadak mencuat. Melihat bagaimana Bara sangat waspada ketika mengangkat telepon, Luna jadi menduga-duga kalau lawan bicara aktor muda itu mungkin saja adalah pemilik rumah mewah ini."Mba, bibi yang akan membantu Mba Luna selama di sini sudah datang."
“Bara, apa ini foto pemilik rumah?”Pertanyaan Luna membuat Bara menoleh dan menatapnya dengan wajah pucat. Sebelum Luna datang ke sini, Bara ingat betul dia sudah menyingkirkan semua foto ataupun barang-barang yang bisa menjadi petunjuk tentang pemilik rumah mewah itu, tetapi sepertinya dia melewatkan satu pigura kecil yang kini menjadi perhatian Luna.“Bara? Apa pemilik rumah ini seorang aktor juga sepertimu?” Luna yang merasa semakin bingung setelah melihat ekspresi Bara mencoba mengganti pertanyaannya, tetapi Bara masih terdiam dan kini hanya tersenyum tipis.“Ah, bukan. Pemilik rumah ini memang bukan aktor mba, tetapi saya kenal baik dengannya, hehe. Jadi, Mba Luna tenang saja, Mas Reno tidak akan tahu kalau Mba Luna ada di sini,” jawab Bara dengan senyum terpaksa.Luna mengulum senyum kecil ketika mendengar jawaban lawan bicaranya yang terlihat sangat gugup. Wanita cantik itu menatap foto anak laki-laki kecil dengan rambut ikal itu sekali lagi, sekadar memastikan bahwa foto itu
Luna menatap kosong pada lemari besar yang tampaknya dibuat dari kayu berkualitas tinggi. Warna lemari yang putih tampak selaras dengan ruangan besar yang juga didominasi warna putih dan abu-abu.Sudah sekitar dua puluh menit wanita itu berdiam diri di atas kasur empuk yang dilapisi seprai putih bersih. Luna merasa sedikit sangsi dengan ucapan Bara yang mengatakan kalau rumah ini sangat jarang ditempati, karena seprai yang menyelimuti kasur itu juga terasa sangat bersih dan seperti baru diganti.“Sebenarnya rumah siapa ini? Mungkinkah rumah salah satu aktor terkenal juga? Kenapa Bara tidak mau memberitahuku soal itu?” gerutu Luna sambil melayangkan pandangan pada ruangan yang tampaknya dua kali lipat lebih besar dari kamar yang biasa dia tempati bersama dengan Reno.Luna memijat pelan kepalanya begitu mengingat soal Reno. Entah bagaimana keadaan pria yang sangat temperamental itu. Mungkinkah Reno masih berada di rumah kontrakan Luna, atau dia sudah pulang dan mengamuk di rumah?Helaan
“Hmph!” Luna berusaha menggerakkan tangannya sekuat tenaga, tetapi seseorang yang berada di belakangnya menarik tangan Luna dengan lebih kuat, membuat wanita itu terpaksa berjalan mundur. Luna menduga orang yang membekapnya adalah seorang pria jika dilihat dari ukuran tangan yang jauh lebih besar dari miliknya, ditambah sebuah jam tangan berwarna hitam yang melingkar di tangannya yang terasa tidak asing bagi Luna.Luna membelalakkan mata dan menoleh begitu mengingat siapa yang biasa mengenakan jam tangan hitam itu. Pria yang menariknya mundur mengenakan masker dan kacamata hitam sehingga membuatnya tidak dapat mengenalinya dengan mudah, tetapi Luna merasa sedikit lega ketika menyadari bahwa pria itu mungkin orang yang cukup dekat dengannya.Langkah Luna terasa lebih ringan setelah pria itu melepaskan tangan dan memberi isyarat di atas bibirnya, meminta Luna untuk tidak bicara apapun dan bergegas mengikuti langkahnya yang bergerak menuju sisi lain dari gang sempit itu.Sesuai dengan pe