Share

Kisah Kelam yang Terkuak

Luna menatap papan kayu dengan nama “Retno Cahyaningsih” yang tertancap di sebuah makam yang berada tepat di depannya.

Aldi yang sudah lebih dulu mengambil tempat duduk di atas sebuah undakan kecil dari batu memberi isyarat pada Luna untuk duduk di sisinya. “Kita doakan ibuku dulu ya,” ujar Aldi yang mulai membaca ayat suci Al-Quran.

Luna hanya mengangguk pelan dan menatap pria di sampingnya sembari mengingat-ingat ucapan Aldi pada mama mertuanya. Seingatnya, Aldi mengatakan kalau ibunya adalah korban, dan dia tidak mau kalau Luna menjadi korban selanjutnya. Apakah mama mertuanya sudah melakukan kejahatan pada ibu Aldi sampai menyebabkannya meninggal dunia?

Meskipun kepalanya masih dipenuhi tanda tanya, Luna tetap membacakan ayat suci Al-Quran dan mengamini doa-doa yang dipanjatkan Aldi dengan khusyuk.

“Ibu, ini Aldi bu. Hari ini Aldi bawa teman, dia istrinya Reno,” ucap Aldi sembari mencabut beberapa rumput yang berada di atas tanah pemakaman itu.

“Ibu pasti bertanya-tanya kenapa Aldi tidak bawa istri juga? Masa kalah sama adik sendiri?” Sebuah senyum kecil terlihat di wajah dingin Aldi.

Luna segera mematung mendengar kalimat terakhir Aldi. ‘Adik sendiri katanya?’ batin Luna sembari menoleh pada Aldi.

Pria berambut ikal di sampingnya tertawa pelan, seolah dapat mengerti apa yang ada di dalam pikiran Luna. “Reno benar-benar tidak pernah bercerita tentang aku ya? Wah, anak tidak tahu diri itu, padahal dia sudah mengambil semua yang aku miliki, tetapi sekadar mengakui keberadaanku saja dia tidak mau?” Aldi malah balik bertanya. Lebih tepatnya, dia hanya mempertanyakan sikap Reno yang menurutnya benar-benar keterlaluan.

Ucapan Aldi tentu membuat Luna semakin bingung. Wanita itu mengernyitkan alisnya dan menatap Aldi dengan serius, menunggu penjelasan dari pria di sampingnya.

“Ya sudah, biar saya yang jelaskan saja,” ucap Aldi sembari meluruskan kakinya. Pria itu menoleh sekilas pada papan kayu di sampingnya dan kembali tersenyum, seolah meminta ijin pada ibunya untuk menceritakan kisah mereka pada Luna.

“Saya dan Reno itu memang adik kakak kandung, karena lahir dari papa yang sama, meskipun ibu kita berbeda. Mama Reno itu adalah mertuanya Bu Luna sekarang, sementara ibu saya, sudah pergi lebih dulu,” ucap Aldi tenang, tetapi Luna dapat merasakan kegetiran dari suara pria itu.

“Saya, ibu dan papa hidup sebagai keluarga yang utuh. Yah, meskipun tidak bisa dibilang kaya raya, kami hidup cukup dan damai.” Aldi menghentikan ucapannya. Pria itu tampak bersiap untuk mengatakan sesuatu yang lebih besar dan menyakitkan.

“Sampai suatu ketika, papa dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja. Saya kurang tahu alasan jelasnya kenapa. Keluarga kami sempat sedikit goyah, tetapi semua perlahan membaik ketika papa kembali mendapat pekerjaan. Kami pikir semuanya benar-benar sudah selesai, tetapi siapa sangka kalau itu malah menjadi awal kehancuran kami,” ucap Aldi pelan.

“Papa bekerja di perusahaan Mama Reno, dan mereka saling jatuh cinta. Ibu benar-benar terpukul ketika mengetahui kalau wanita hina itu tengah mengandung anak papa. Saya ingat sekali malam itu, papa hampir bersujud di kaki ibu, meminta maaf dan memohon pada ibu untuk bersedia diceraikan. Belakangan saya baru tahu kalau papa melakukan itu demi mendapatkan jabatan tinggi di perusahaan milik selingkuhannya.” Aldi menatap Luna sejenak, mengijinkan wanita itu untuk menanggapi ceritanya.

“Lalu ibu Pak Aldi mengabulkan perceraian itu?” tanya Luna pelan.

Pria berambut ikal di sampingnya menggeleng. “Ibu menolak. Ibu tidak mau melepaskan papa dan berpikir kalau papa hanya sedang keliru, nanti pasti papa kembali pada kami. Sayangnya, keyakinan ibu sama sekali tidak terbukti. Yang terjadi justru sebaliknya, papa mendadak kesetanan dan jadi senang memukuli ibu. Papa mengajukan gugatan cerai, tetapi ibu menolak. Sampai akhirnya, papa memutuskan keluar dari rumah dan tinggal dengan selingkuhan dan anak hina itu di sebuah rumah mewah, meninggalkan kami dalam hidup serba kekurangan.”

Aldi menghela napas panjang. Sebuah kisah paling kelam dalam kehidupannya masih terus berlanjut. “Puncaknya ketika papa mengundang kami datang ke rumah mereka. Saya yang saat itu tidak terbiasa melihat rumah mewah dengan segala keindahannya itu sempat merasa senang. Meskipun sedikit, dalam hati saya juga mengira papa sudah berubah. Saya mengira papa mengijinkan kami tinggal bersama karena rasa bersalahnya, tetapi ternyata saya salah.”

“Papa melakukan itu karena wanita menyebalkan itu membutuhkan pembantu, dan memaksa papa untuk mengundang kami untuk dijadikan babu. Wanita menjijikkan itu memang berniat merendahkan kami.” Berbeda dengan sebelumnya, kali ini kemarahan yang jelas terdengar dalam nada bicara Aldi.

Luna hanya bisa menatap pria di sampingnya dengan rasa iba. Tangannya hampir terangkat untuk mengelus pundak Aldi, tetapi kemudian dia turunkan lagi karena merasa hal itu malah akan membuat mereka canggung.

Tetesan air mata mulai membasahi wajah dingin Aldi. Pria itu meneruskan ceritanya dengan diselingi isakan pelan. Setelah semua hinaan itu, ternyata papanya masih sering melakukan kekerasan karena Ibu Aldi masih tidak mau mengakui perceraian mereka, dan itu membuat papa sering mendapat tekanan dari keluarga Mama Reno yang merupakan keluarga terpandang.

Aldi kecil dipaksa menyaksikan semua kekerasan itu. Bukan hanya dipukul, ditendang. Ibu bahkan pernah disiram air panas dengan sengaja oleh papa dan mama Reno. Keduanya seolah bersekongkol untuk menyiksa ibu. Tidak berhanti sampai situ, kelakuan kasar mereka menurun pada Reno.

Aldi ingat betul bagaimana Reno melemparkan sebuah gelas kaca ke arahnya hanya karena kesal air minum yang disajikan Aldi tidak sesuai keinginanya. Sebuah bekas jahitan di kaki sebelah kiri Aldi menjadi salah satu saksi kekejaman Reno, yang tentunya bukan hanya terjadi sekali itu.

“Saat itu aku bahkan berpikir, kalau kami akan mati di dalam rumah itu. Aku sudah berulang kali meminta ibu untuk keluar, tetapi ibu selalu menolak. Selain karena ibu masih percaya pada papa, ibu juga merasa berat meninggalkan Reno. Ibu selalu khawatir kalau anak itu tidak ada yang menjaga.” Nada suara Aldi sudah benar-benar bergetar.

Pria yang mengenakan kemeja hitam itu menutupi wajahnya yang sudah basah oleh air mata dengan kedua tangannya.

“Sampai satu hari, apa yang paling saya takutkan terjadi. Saya yang baru bangun tidur melihat ibu sudah ditandu oleh beberapa orang dengan tubuh penuh darah. Papa mendatangi saya dan memeluk saya, mengatakan kalau ibu terjatuh dari tangga ketika sedang turun dengan terburu-buru, tetapi saya tidak pernah percaya itu.” Aldi terdiam sejenak.

“Ibu tahu kenapa saya sangat membenci Reno dan keluarganya? Ibu tahu kenapa saya sampai mengatakan kalau orang tua saya hanya ibu saya, saya bahkan tidak sudi mengakui papa sebagai papa kandung saya.” Luna menggeleng pelan sebagai respon dari pertanyaan Aldi.

“Karena saya tahu apa yang sebenarnya terjadi pada ibu hari itu. Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, siapa yang membunuh ibu saya,” ucap Aldi sungguh-sungguh. Luna balik menatap pria itu dengan wajah penuh tanda tanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status