Gadis itu terpaku, matanya menatap dengan perasaan campur aduk. Kakinya berusaha menghindar, tapi cengkeraman wanita itu sangat kuat. Serasa betisnya digenggam erat sampai tulangnya mati rasa.
Bagai diperas oleh tangan-tangan kejam, serasa cairan merah mengucur dari sana. Suara wanita paru baya yang menangis itu semakin lama berubah menjadi jeritan dicampur dengan tawa.
"Bu, anda kenapa?" Keinara mencoba untuk menyadarkan wanita itu dari sujudnya.
Perlahan telapaknya mengusap bahu sang ibu rumah tangga, sentuhannya disambut dengan tawa. Suara seperti retakan terdengar ketika wanita itu menoleh ke wajahnya dengan perlahan. Mata yang memutih dan senyum penuh kekejaman tergambar di wajah hancur wanita itu.
"KAMU TIDAK AKAN PERNAH BISA PERGI!" ucap wanita itu dengan suara berat.
Seketika Keinara mematung, ia mengalihkan pandangan ke arah wanita-wanita yang berkumpul di sana. Raut-raut menyeramkan itu tertangkap oleh matanya, keadaan wanita-wanita itu tak jauh berbeda.
Mereka melototkan mata putihnya sembari menunjukkan gigi-gigi tajam penuh cairan merah. Luka-luka yang berada di sekujur tubuh menjadi tempat bersarang bagi ulat dan belatung membuat gadis pengasuh itu bergidik ngeri.
Gadis itu mencoba menarik kakinya dari cengkeraman tangan berkuku tajam itu, sembari berkomat-kamit berdoa dalam hati. Namun tangan iblis itu begitu kuat memegangi betisnya.
"Kamu tidak akan bisa lari ... Keinara!"
"S-siapa kamu? Siapa kalian?" Sang pengasuh tak kuasa mendengar kata-kata yang tak ia mengerti.
Ia menutup kedua telinganya dengan kuat sambil menangis sembari berusaha melepaskan dari dari cengkeraman wanita yang entah sedang apa. Kini, ibu paru baya itu merangkak menjangkau tubuh Keinara.
Namun, sebelum itu terjadi, gadis itu berhasil melarikan diri. Langkahnya begitu kencang dan gerombolan wanita berwajah aneh itu mengejar. Tanpa sadar dirinya sudah melangkah jauh dari pedesaan, berada di hutan yang amat gelap.
Kegelapan di sana secara tiba-tiba menyelimuti hutan itu, tapi ia berusaha untuk berlari. Suara-suara aneh yang memohon agar gadis itu tidak melupakan seseorang berdengung, menggema di hutan.
"Keinara ... Keinara."
Suara itu terus memanggilnya.
"Siapa kamu? Aku gak tahu siapa kamu?" teriaknya.
Cukup lama gadis pengasuh itu berlari, ia berhenti di sebuah pohon besar yang tumbuh rindang di belakang rumah Vanya. Senyum kebahagiaan di tengah kabut tebal terpancar di wajahnya. Segera ia berlari ke belakang pohon itu.
Namun, bukan rumah keluarga Yura yang ia dapat, melainkan jurang terjal di sebalik pepohonan lebat. Di titik ini, Keinara mulai frustasi, berteriak tanpa henti mencari pertolongan.
"Aku mau pulang! Aku gak mau di sini," tangisnya.
Gadis itu bersandar setelah lelah berteriak, lalu tertelungkup menyembunyikan wajahnya sembari menangis. Merintih di tengah sepinya hutan, tapi terhenti ketika dirinya mendengar bunyi seperti dedaunan kering yang diinjak.
Perlahan, ia menggerakkan kepalanya sedikit hingga menengadah ke arah seseorang yang berhenti di depannya. Lagi-lagi, Keinara harus kehilangan suaranya karena berteriak cukup banyak. Apa yang dilihatnya bukanlah manusia.
"Nggak ... jangan kamu lagi," tangisnya saat melihat sosok pemuda dengan wajah setengah h*ncur.
Perlahan-lahan pandangannya mulai kabur, semua menjadi putih kemudian gelap. Entah berapa lama ia tak sadarkan diri, tapi telinganya seakan mendengar suara Vanya dan kedua orangtua anak asuhnya tengah memanggilnya.
"Kei, kamu gak apa-apa?" Suara Yura berhasil membangunkannya dari alam bawah sadar.
Keinara membuka matanya, melihat semua orang berkumpul menatapnya dengan penuh cemas. Netranya melihat bahwa dirinya berada di ruang tamu, ia juga melihat ibu-ibu parubaya yang berkumpul di kedai sayur mengelilinginya.
"Kei, kamu gak apa-apa 'kan?" tanya Yura dengan raut cemas.
Gadis itu tak dapat mencerna apa yang telah terjadi padanya.
"Ada apa dengan saya?" tanya Keinara parau.
"Kamu tadi kerasukan," jawab Lian.
Mata sayu itu kini membulat pepat setelah mengetahui kenyataan yang begitu berbeda dengan yang dialaminya.
***
Waktu yang sama, di tempat yang berbeda. Vanya bermain seorang diri di halaman depan rumahnya sembari bermain bersama boneka kesayangannya. Sesekali ia menoleh ke arah rimbunan pohon bambu yang tumbuh di samping rumahnya, samar sosok pemuda menatapnya dari kegelapan.
Wajah gadis itu menunduk ketakutan, suara tangisnya yang pelan seraya berharap kakak pengasuhnya pulang dari belanja. Ia mengenal sosok itu dan gadis kecil itu mengetahui sesosok yang menjaganya dari kecil tengah marah karena cemburu.
"Maaf ... maafin aku, Kak Kiyo," gumannya sambil menggegam pasir.
Tak lama sebuah mobil berhenti di depan rumahnya, segera Vanya berlari ke arah mobil itu.
"Mamaaa ... Papaaa!" serunya sambil berlari kecil.
Lian segera memeluk dan menggendong putri tunggalnya, melepas rindu karena begitu lama terpisah. Tangan Yura mengusap rambut Vanya dengan lembut dan tersenyum bahwa anak mungilnya baik-baik saja.
"Kamu baik-baik aja, Sayang?"
"Iya, Ma, Pa."
Yura dan Lian mencoba melirik keadaan rumahnya yang tampak sepi, mereka tak menemukan Keinara menyambutnya.
"Kak Keinara mana, Sayang?"
"Kak Kei lagi belanja, Ma," jawab gadis kecil itu, dibalas anggukan Yura.
Keluarga kecil itu melangkah memasuki rumah, masih terasa hawa dingin yang begitu berbeda. Yura menoleh ke arah pintu ruangan gelap yang terbuka, ia tampak aneh saat melihatnya.
Pintu itu terkunci dari luar, kunci pintu tersebut juga tak tahu dimana rimbanya. Ruangan gelap yang terlupakan, tidak pernah dibuka sejak pemilik awal meninggal. Sang ibu muda berpikir bahwa pengasuhnya-lah yang membukanya.
Beralih dari ruang tamu menuju dapur untuk membuat beberapa minuman hangat. Tangan lembut itu dicucinya di atas wastafel lalu mengambil dua cangkir beserta serbu teh.
Ujung matanya menangkap sosok kakek tua yang berdiri menghadap ke arah pohon itu. Pria tua itu tampak memukul-mukul gundukan tanah di bawah pohon itu menggunakan tongkat kayunya. Sementara Yura memperhatikan kakek tua dengan pakaian serba hitam itu.
Perlahan, sang kakek menoleh ke arahnya. Tatapannya begitu tajam, terlihat mata kirinya mengalami kebutaan. Mereka saling beradu tatap sampai suara mengejutkan membuyarkan semuanya.
"AAAAAAAA ... HAHAHAHA!"
Suara itu terdengar dari luar membuat Yura sangat panik. Kembali ia menoleh ke arah sang kakek tua misterius itu, tapi sosoknya mulai menghilang dengan sekejap.
~***~
***Keadaan Freddy sangat memprihatinkan, beberapa kali ia menghadapi kematian dengan berulang dan selalu selamat meski keadaannya begitu mengerikan. Sekarang pria itu mengurung diri di rumah dengan segala ketidakberdayaannya.Beberapa pelayan yang bekerja di rumahnya perlahan-lahan mengundurkan diri. Semua karyawan juga sama halnya. Mereka meninggalkan Freddy dalam kesendirian dan ketakutan yang sebenarnya adalah ilusi pengelihatannya. Gangguan itu masih terus berlanjut, terlebih arwah suruhannya yang belum tenang menghantuinya. Pria itu tak bisa lari dan juga pergi karena setiap langkah "mereka" akan datang. Kali ini dia mengusir sesuatu yang sebenarnya tak ada. "Pergi! Pergiiii!" Begitu ucapnya.Namun meski sudah berteriak, bayangan itu tetap tak mau pergi. Bayangan ilusi itu terus mengingatkannya pada kesalahan. Freddy mencoba untuk bangun, tapi sayang ia tak bisa melakukannya. Siluet bayangan hitam besar itu kini ada di hadapannya. Tatapan mata merah memandangnya seakan menagi
"Kei, apa yang terjadi pada kamu?" Suara Yura sudah keras, tapi sayang Keinara tak mendengarnya.Dalam waktu yang cukup lama, Yura melihat pengasuh anaknya itu sedang berjuang, bersembunyi dari Kiyo. Mayat-mayat tampak bertebaran, merangkak meraih tubuh gadis itu seakan menunjukkan pada makhluk itu bahwa sang pujaan ada di sana. Wanita itu terduduk melihat pemandangan tak biasa. Ia melihat sendiri Kiyo menemukannya dan Keinara mulai disetubuhi di depan anak mereka. "MAMA!" Suara Vanya membuyarkannya dan Yura segera tersadar."Mama kenapa?" Gadis kecil itu memandangnya dengan penuh rasa cemas. Yura melihat ke sekeliling, suasana kembali seperti semula. Meski begitu, dirinya tetap merasa cemas karena memikirkan Keinara. Pandangan itu seakan menjadi pertanda bahwa sesuatu telah terjadi pada gadis dan bayinya itu. Ia tidak bisa jika harus berdiam saja, wanita itu segera menceritakan pada Ki Jatmika tentang pengelihatannya. *"Ki---""Aku sudah tahu apa yang ingin kamu tanyakan kepada
***Vanya terduduk di teras memandangi langit yang sendu, sedang Yura mencari kayu bakar di halaman belakang. Gadis kecil itu memandang sekitar sambil berharap dirinya bisa pulang. Dari kejauhan seperti ia mendengar suara Keinara yang menjerit, gadis kecil itu menoleh cepat. Ia beranjak untuk mengikuti asal suara itu. "Vanyaaa!" Yura menyadari itu, bergegas dirinya mengikuti sang anak.Suara teriakan Keinara begitu jelas terdengar, Vanya yakin sang pengasuh berada di hutan yang sama. Namun lama mencari dirinya tak menemukannya dan suara itu semakin lama semakin menjauh. Yura segera menarik tangan putrinya dan berlari menjauh dari tempatnya berdiri. "Vanya, apa yang kamu lakukan? Tidak ada Kak Kei di sini, itu hanya ilusi!" Gadis kecil itu menunduk karena menyesal, tapi amarah Yura segera mereda dan bergegas membawa Vanya keluar dari tempat itu. *Keinara masih membeku, ia terduduk berteduh sembari melindungi bayinya dari tangan-tangan dingin yang menyembul keluar dari dalam tanah
"Aku hanya ingin mengulangi masa dimana kita bersama, aku hanya ingin itu! Kamu tidak boleh mengelak!" Keinara memandang Kiyo dengan berkaca-kaca. Sejujurnya, ia masih mencintai pemuda yang telah lama tiada, tapi dia sadar bahwa dunia mereka berbeda. Anak yang ia lahirkan dari benih sesosok hantu biar dirinya yang merawat, tak ingin jika Kiyo yang mengambilnya. Namun bagaimana pun Kiyo sekarang telah menjadi sosok yang kejam, dia harus dihindari. "Tolong kembalikan mereka, Kiyo." "Aku akan mengembalikan mereka jika kamu mau ikut bersamaku."Suatu pilihan yang sangat sulit baginya, tapi dia harus melakukan ini demi menyelamatkan keluarga Vanya. Ia meminta untuk Kiyo menunggunya sampai dirinya siap menjadi pendamping pemuda itu di alam gaib. "Baiklah, aku akan memberimu waktu. Namun kau harus kembali?""Iya, tapi beri aku kebebasan meski hanya sesaat. Aku ingin berkeliling berdua dengan anak kita."Mata binar Keinara membuat Kiyo terdiam, pandangan itu membuatnya teringat kembali p
Lian menoleh ke arah istrinya yang sudah sangat kecewa. Ada bulir menetes dari netranya. "Kamu masih saja seperti dulu." "Sayang, bukan maksudku menyakitimu!" ujar Lian memohon. "Kamu bahkan tidak mau mendengarkan apa yang aku minta dan sekarang kamu tak percaya sama ceritaku."Lian hanya terdiam dan sang istri mulai bertindak. Ia segera membawa Vanya dan akan mencari Keinara lalu membawanya pulang. "Tunggu, Yur!" seru Lian menghalangi Yura. "Biarkan aku pergi!" Wanita itu tetap ingin meninggalkan Lian. Hal yang sama terjadi kembali, pertengkaran Lian dan Yura tiba di tempat dan waktu yang tak tepat. Pria itya sadar apa yang ia lakukan, ia tak bermaksud untuk tak percaya pada Yura."Tunggu sebentar!""Untuk apa, Pa? Sudah kesekian kalinya begini. Sekarang apalagi?!"Suasana mendadak hening menyisakan penyesalan Lian, sedang Yura masih dibara oleh api kemarahan. Dia bersikeras untuk keluar dari rumah bersama Vanya dan mencari keberadaan Keinara meskipun itu mustahil. "Ok, ok, ak
***Gangguan gaib yang membuat Freddy begitu gila, emosinya begitu tak stabil dan penuh dengan halusinasi. Bahkan pagi ini, dia dihantui oleh kejadiannya di masa lalu. Tatapannya begitu takut, tapi ia tak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk merampas rumah itu. Beberapa karyawan yang bekerja untuk merubuhkan rumah itu kini bergerak. Freddy juga tidak hanya merampas rumah untuk diratakan, tapi juga melenyapkan semua keluarga Lian berserta Keinara. Kakinya harus segera melangkah, menemui para karyawannya untuk segera bekerja. Mereka bergegas mendatangi kediaman yang kini dijaga oleh sesuatu yang menyeramkan. Dengan terpincang kakinya, Freddy melangkah menapaki tanah. Sebuah pertanyaan besar selalu berada di sekitar kepala semua orang, apa yang terjadi pada pria kaya yang membuat kakinya berjalan terseok pincang. Sudah banyak dokter yang menanganinya, tapi semua itu sia-sia. Kaki kanannya serasa diremas kuat oleh sebuah tangan besar, rasa dingin di sekitar begitu terasa. Fredd