Share

3. Hilang

“Ah, baik saya ke sana sekarang!” ucap Atira sambil terus berpikir bagaimana dengan Davin.

“Masuklah! Biar ibu hubungi Danu untuk jemputkan Davin.”

Atira mengangguk tanpa menolak tawaran bantuan dari bu RT. Danu adalah anak pertama bu RT yang kini bekerja di balai desa.

Saat memasuki ruangan penghubung, Atira diminta untuk mencuci tangan dan mengenakan pakaian khusus pengunjung pasien di ruang ICU.

Setelah itu, Atira dibawa masuk ke tempat dimana brankar bu Asih diletakkan.

“Mohon maaf, dari tadi pasien mengigau memanggil-manggil nama Bayu. Dokter menyarankan agar keluarga pasien diminta untuk menemani bu Asih guna memberikan rangsangan dengan harapan agar pasien segera sadar.” Perawat itu menjelaskan dengan cukup rinci, hanya saja hati Atira yang kini bertambah hancur saat mendengarkan penjelasannya. Ibu mertuanya terus memanggil nama Bayu.

“Bagaimana, Bu? Bisa menghadirkan Bayu?” tanya perawat itu lagi.

“Emmhh, gimana ya Sus? Dari tadi saya sudah coba hubungi mas Bayu tapi enggak nyambung.” Ada air mata yang berusaha meringsek keluar, namun berhasil Atira tahan.

“Kalau begitu, cobalah oleh ibu sebagai anaknya untuk mengajaknya berbicara. Saya tinggal dulu!” ucap suster itu lagi. Atira hanya mengangguk setuju.

Atira duduk di sebuah kursi plastik yang disiapkan. Ia pun mengelus lembut lengan bu Asih.

“Bu, ini Tira Bu. Tolong bangun! Jangan membuat Tira semakin takut sendirian. Ibu kuat dan harus kuat! Tira sendirian Bu!” ucap Atira sambil terisak.

Atira mengusap lembut punggung tangan bu Asih. Sebenarnya ia bukan sekedar menguatkan bu Asih, lebih dari itu, justru ia berusaha menguatkan dirinya sendiri.

“Bu, Tira sayang sama Ibu. Hanya Ibu, keluarga Atira saat ini. Tira takut kalau mas Bayu menceraikan Tira, ibu ikut pergi menjauh. Ibu, jangan tinggalin Tira! Tira sayang sama ibu!” ungkap Atira dengan air mata yang telah menganak sungai.

“Bu, coba dibacakan ayat-ayat suci kepada pasien!” ucap suster sambil memeriksa kembali lembar anamnesa yang tadi ditulis bersama dokter.

“Iya, Sus. Nanti saya coba. Tapi, bolehkah sekarang saya pulang dulu? Saya harus jemput anak saya dari sekolah.” Pikiran Atira terus mengingat keadaan anaknya saat ini, anak itu pasti sudah bubar.

“Oh, tidak ada yang menggantikan Bu?” tanya suster itu lagi.

“Tadi bu RT bilang mau minta tolong anaknya buat jemputkan, tapi enggak tahu kenapa hati saya enggak tenang.”

“Baik, silakan Bu. Hanya saja saya minta ibu cepat kembali, atau keluarganya yang lain. Kondisi pasien sangat lemah.”

“Baik, sus!” ucap Atira dengan cepat. Ia pun segera berdiri setelah mengelus lembut punggung tangan ibunya. “Tira pamit sebentar, Bu. Mau jemput Davin dulu. Besok Davin mau izin dulu sekolahnya, mau Tira titip sama bu Retno sekalian sama Daffa. Ibu cepat sembuh ya, biar kita cepat sama-sama lagi.”

Ucapan terakhir Atira membuat ia meringis sendiri. Bisakah mereka masih sama-sama dengan status yang berbeda? Ditambah lagi ada perempuan lain yang tadi mengangkat telepon mas Bayu.

Atira menghembuskan nafasnya dalam-dalam. “Tira pamit Bu,” ucapnya seraya mengecup lembut kening bu Asih. Setelah mengucapkan salam, Atira pun bangkit dari kursi.

Sesaat sebelum ia keluar dari ruangan tempat bu Asih dirawat, Atira berbalik dan menatap bu Asih dengan lekat. “Selamat tinggal, Bu!” air matanya mengalir deras sejalan dengan arah langkahnya yang kini kian menjauh.

***

Atira segera memacu kuda besi butut miliknya. Pikirannya terus menjejaki keadaan Davin yang mungkin sudah sendirian di sekolah.

“Tira, maaf anak ibu enggak bisa dihubungi dari tadi. Mau ngabarin kamu enggak boleh masuk ke dalam sama suster. Tadi ibu mau pergi jemput Davin sendiri, tapi dompet ibu ketinggalan, enggak ada ongkos. Jadi ibu masuk lagi.”

Ucapan bu RT saat ia baru keluar dari ruangan tempat bu Asih dirawat terus terngiang-ngiang. Atira betul-betul khawatir dengan Davin. Meskipun dia anak lelaki, tapi usianya baru 7 tahun dan baru masuk SD dua bulan ini. Setiap hari selalu ia yang mengantar jemput Davin.

Tiiinnn...

Gubrakk!

“Aduh!”

Atira meringis saat ia baru menyadari jika dirinya berada di tepi jalan dalam keadaan terjatuh dari motornya.

“Awww... “ ia mencoba menggeser motornya yang sedikit menghimpit kaki kirinya.

“Enggak apa-apa, Mbak?” tanya seorang lelaki sambil membantu mengembalikan posisi motor Atira sebagaimana mestinya.

“Ya.” Atira segera berdiri dan menepuk-nepuk celananya yang kotor karena terkena tanah. Ia jatuh ke sisi jalanan yang tak teraspal.

“Mbak nya terluka!” ucap lelaki yang mengurungkan niatnya untuk memarahi Atira. Lelaki bermobil sedan mewah itu terhalangi jalannya oleh Atira yang sedang melamun, menjalankan motor ke kanan dan ke kiri tanpa fokus. Sebenarnya lelaki itu sudah mengklakson Atira sampai dua kali, tapi pikiran Atira sedang tak berada di sana.

“Maafin saya, Pak!” ucap Atira yang menyadari kesalahannya.

“Enggak apa-apa. Tapi, mbaknya terluka!” tunjuk sang lelaki pada betis kiri Atira yang tertutup celana. Dari celana itu nampak merembas darah segar.

“Enggak apa-apa. Sekali lagi saya minta maaf, pak!” ucap Atira mengulangi permintaan maafnya.

“Mbak!” panggil lelaki itu saat melihat Atira buru-buru naik lagi ke motornya.

“Maaf Pak, saya buru-buru!” ucap Atira seraya menancap gas.

Dari kaca spion, Atira sempat melihat lelaki tadi terdiam di tempat sambil memandanginya yang semakin menjauh. Tak apa ia terluka, masih bisa diobati nanti saat Davin sudah ia jemput.

Sesampainya di sekolah, nampak pak Ari, satpam sekolah sedang mengunci pagar sekolah dari dalam.

Tinnn... Tinnn...

Pak Ari menoleh ke arah bunyi klakson dan mendapati Atira yang menghentikan motornya tepat di depan gerbang.

“Pak Ari, lihat Davin?” tanya Atira dengan nafas yang memburu.

“Kelas berapa Bu?” tanya pak Ari yang memang belum mengenal Davin. Bahkan, ada banyak siswa-siswi yang tak dikenali oleh pak Ari saking banyaknya anak yang bersekolah di sini.

“Kelas 1, Pak. Matanya coklat, kulitnya putih, rambutnya baru saya cepak kemarin.” Atira menjelaskan kondisi fisik anaknya. Ia mengungkapkan warna mata karena orang yang bermata coklat itu cukup sedikit dan hampir mudah dikenali.

“Wah, enggak tahu ya. Tapi, semua anak sudah dijemput, ada juga yang pulang sendiri, yang rumahnya dekat atau yang udah besar gitu.”

“Anak saya biasa saya jemput, Pak! Tiap hari saya antar jemput,” jelas Atira.

“Hari ini ibu terlambat jemput?” tanya Pak Ari.

“Iya, Pak. Ibu saya sedang dirawat di ICU, tadi saya harus menemani ibu saya terlebih dulu.”

“Gimana ya, Bu? Guru-guru juga sudah pulang semua, pak kepala sekolah juga. Di dalam sudah saya periksa, kosong semua.”

Atira kembali menghubungi bu Retno dan memintanya untuk memeriksa di rumah apakah Davin sudah ada di rumah atau belum. Lagi-lagi jawaban bu Retno menegaskan bahwa Davin belum ada di rumahnya.

“Mang Sahrul!”

Pak Ari kembali membuka gembok dan mempersilakan mang Sahrul, OB sekolah untuk masuk.

“Mamah nya Ujang Davin ganteng ya?” tanya mang Sahrul tiba-tiba, sebelum ia melewati gerbang.

“Iya. Mang Sahrul lihat anak saya?” tanya Atira berharap.

“Bukannya tadi sudah dijemput pake mobil? Katanya dijemput Mamah, pake mobil hitam.”

“Saya belum jemput, Mang! Siapa yang jemput anak saya?”

Dunia Atira terasa berhenti di detik ini.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Zainal Arifin
hehee ceritanya oke sih, banyak drama
goodnovel comment avatar
Haydar huzayfa
aduh, anaknya kemana lagi
goodnovel comment avatar
Muhammad Fares Mu'taz
kasian, banyak banget masalahnya. besok-besok harus banyak bahagianya ya Thor!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status